Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Studi Fiqh”
Dosen Pengampu :
Moh. Noval Rikza, M.Pd.

Oleh :
Kalyana Mu’arifaturrohmah (207220044)1, Labiibah Nasywa Oktari
(207220048)2, Laila Rahmawati (207220050)3

JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT


yang hingga saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan,
sehingga penulis diberi untuk menyelesaikan makalah tentang “Sejarah
Hukum Islam di Indonesia”.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi syarat nilai mata kuliah Studi Fiqh
yang diampu oleh Bapak Moh. Noval Rikza, M.Pd.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai sejarah hukum islam di
Indonesia. Hukum islam merupakan syariat islam yang berisi sistem
kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah
Rosul . Makalah ini berisi paparan mengenai bagaimana sejarah hukum
islam di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih jauh dari
sempurna serta kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan
penulis. Maka dari itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca. Penulis berharap karya tulis ini
dapat bermanfaat.

Ponorogo, 8 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................... 3

BAB I ................................................................................................................ 4

A. Latar Belakang ............................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 6

BAB II .............................................................................................................. 7

A. Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia... .............................. ......7

B. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia .................... 15

C. Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia .................................... 21

BAB III ........................................................................................................... 27

A. Kesimpulan ........................................................................................... .....22

B. Saran ......................................................................................................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam memiliki sejarah pertumbuhan dan perkembangan dari
masa ke masa, setapak demi setapak menuju kesempurnaan dan selalu sesuai
dengan kondisi masyarakatnya. Sejarah tasyri’ berkembang sejak adanya Islam
yaitu sejak masa Rasulullah sampai dengan sekarang. Hukum islam adalah salah
satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi yang sangat krusial dalam
pandangan umat islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit dari
hukum Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam
dalam skema doktrinal-Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht
menilai, bahwa “adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum
Islam”.
Hukum Islam pada awalnya merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan
kreatif. Hal ini dapat di lihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang
responsif terhadap tantangan historisnya masing- masing dan memiliki corak
sendiri-sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan politis dimana madzhab
hukum itu mengambil tempat untuk tumbuh dan berkembang. Keberadaan
hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan dengan keberadaan Islam di
Indonesia. Dalam sejarah masuknya Islam ke Indonesia melalui kawasan
nusantara adalah kawasan Utara Pulau Sumatera yang kemudian dijadikan
sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim.
Secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat
Islam pertama di Peureulak Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di
wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah air
pada abad ke-13 Masehi. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai
yang terletak di wilayah Aceh Utara. Kemudian tidak beberapa jauh dari Aceh
berdirilah kesultanan Malaka, di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak,
Mataram dan Cirebon, selanjutnya di Sulawesi dan Maluku berdiri kerajaan
Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Islam masuk dibawa oleh pedagang arab pada abad VII M atau I H untuk
pertama kalinya dengan membawa hukum-hukum islam ke Nusantara. Pengaruh
Islam yang masuk ke Indonesia menyebabkan munculnya kelompok- kelompok
baru yang disebut ulama dan santri, yang ingin menjauhkan diri dari pengaruh
politik penguasa asing. Islam telah diterima secara massal sebagai agama yang
membebaskan, membebaskan manusia dari perbedaan kelas dan memberikan
ajaran tentang dinamika kehidupan. Ulama dan santri muncul sebagai kelompok
baru yang lepas dari pengaruh politik penguasa asing. Ummah mengakui Islam
sebagai agama yang membebaskan karena membebaskan individu dari sistem
kasta dan memberikan ajaran tentang dinamika kehidupan. Maka tidaklah
berlebihan jika menyamakan periode perkembangan Islam dengan Renaisans,
kelahiran kembali doktrin kehidupan, untuk memberikan pedoman menikmati
hidup di dunia seolah-olah hidup selamanya dalam kesadaran ibadah akan mati
besok.
Perjalanan perkembangan hukum islam di Nusantara tak terisahkan dari
sejarah islam. Berbicara tentang hukum islam sama halnya berbicara mengenai
agama. Joseph Sacht berpendapat Islam tidak mungkin dipelajari tanpa belajar
mengenai hukum islam. Hal ini memberikan petunjuk bahwa selaku instasi
agama yang memiliki pengaruh besar. Hukum islam berjalan beriringan dengan
perkembangan serta pelebaran kawasan islam serta relasinya dengan culture dan
umat lain. Tampaknya perkembangan itu terjadi di awal periode 4 Al-Khulafaur
Rasyidin (11-14 H) yang merupakan khalifah pertama yang mana di zaman itu
telah dihentikannya wahyu secara sementara dan mulai bermunculan yang
membutuhkan penyelesaian secara hukum. Status hukum Syariah menjadi sangat
penting, menentukan pandangan hidup dan perilaku umat Islam itu sendiri,
bahkan menjadi penentu utama pandangan hidup mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia ?
2. Bagaimana kedudukan dan pelaksanaan hukum Islam dalam sistem
hukum di Indonesia?
3. Apa saja teori-teori berlakunya hukum Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Menguraikan sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia.
2. Menjelaskan kedudukan dan pelaksanaan hukum Islam dalam
sistem hukum Islam di Indonesia.
3. Menyebutkan teori-teori berlakunya hukum Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia


Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke
nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islampun mulai
diberlakukan dalam tata kehidupan masyarakat. Norma atau kaidah hukum
dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami
institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial inilah hukum
Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berlangsung secara bertahap
menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pertahapan. Di sisi
lain setiap masyarakat pada umumnya sudah memiliki aturan atau adat istiadat
sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum dengan
hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam di kalangan
masyarakat Islam di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum
Islam dengan berbagai cara. Segala kebijakan, terutama di bidang politik dan
hukum, dibuat untuk menggerus keberadaan hukum Islam. Di bidang politik
misalnya, Belanda menjalankan kristeningpolitiek, 1 yaitu upaya mendukung misi
zending dan penyebaran agama Kristen ke dalam masyarakat Hindia Belanda. Di
bidang hukum, pemerintah Belanda berusaha mengkonfrontir hukum Islam
dengan hukum adat dan mereduksi dalam pemberlakuannya.

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, apabila dirunut dari


mulai masuknya agama Islam hiingga era reformasi dapat dibagi dalam empat

1
Kristeningpolitiek merupakan sebutan dari kalangan umat Islam Indonesia tentang
kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menunjang usaha kristenisasi. Lihat Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985), hlm. 23
tahap. Tahap perkembangannya dimulai dari masa kerajaan Islam, masa
kolonial, masa kemerdekaan (orde baru dan orde lama), dan masa reformasi.
Pembagian ke dalam empat periode ini didasarkan pada corak, karakter,
dan bentuk implementasinya dalam realitas hukum yang berlaku. Kebijakan
politik pemerintah yang berkuasa serta keinginan umat Islam menjadi faktor
penentu corak dan karakter hukum Islam yang berlaku. Kedua faktor tersebut
memepengaruhi pasang surutnya implementasi hukum Islam dalam sejarah
perkembangannya di Indonesia.
1. Masa Kerajaan Islam (Abad XII-XVIII M)
Fase ini terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya Islam ke Indonesia hingga
masa kolonialisasi Belanda. Berdasarkan data sejarah, Islam mulai menampakkan
pengaruhnya sekitar Abad XII hingga XIII M. Masa ini disebut juga fase
akulturasi, karena pda masa ini hukum islam mengalami adaptasi dengan budaya
lokal sementara. Secara sosiokultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi
living law dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari akulturasi
yang terjadi antara Islam, sebagai agama, dan kebudayaan lokal. Di beberapa
daerah seperti Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum Islam
diterima tanpa reserve, sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan
adanya pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, syara’ mengata
adat memakai. Ungkapan ini menggambarkan bagaimana kentalnya hubungan
antara hukum adat dengan hukum Islam. 2 Catatan sejarah tentang berlakunya
hukum Islam pada masa ini tidak banyak diketahui. Hanya ada beberapa naskah,
khususnya naskah Jawa, yang dapat digunakan untuk mengungkap bagaimana
pemberlakuan hukum Islam di masyarakat.3

2
Taufik Abdullah, “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik di Minangkabau”, dalam
Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 104-127.
3
Diantara naskah tersebut adalah: Buku Peringatan1000 hari Wafatnya Kanjeng Pengulu Tapsir
Anom V, Pengulu Ageng Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Lihat Zaini Ahmad Noeh,
“Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam ”, dalam Amrullah
Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996),
hlm. 69.
Namun ada beberapa kemirirpan pelaksanaan hukum Islam di berbagai
kerajaan Islam di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh hukum tata negara Islam
yang dianut oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ciri tata negara Islam adalah urusan
agama merupakan bagian tak terpisahkan dari negara. 4
Pengaruh terkuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam
bidang hukum keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemeliharaan dan
penyelesaian hukum ini ditugaskan kepada para hakim atau qadhi, dan penghulu
dengan para pegawainya. Tugas mereka adalah melayani kebutuhan masyarakat
dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum
keluarga.
Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, sebelum kedatangan VOC, telah
memberlakukan hukum Islam yang menganut mazhab Syafi’i. Kerajaan-
kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak,
Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Banten, Ternate, Buton, Sumbawa,
Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, dan Palembang serta memberikan
wewenang penegakan hukum Islam pada kekuasaan pengadilan.
Corak syafi’iah hukum Islam di Indonesia memiliki ciri khusus karena
mmengalami akulturasi dengan k e bu d a ya a n masyarakat. Kondisi ini
memunculkan adanya karakter hukum yang berbeda dan khas di setiap kerajaan
Islam. Para ulama menjadi tokoh penting dalam upaya mengakulturasikan kitab
fiqh dan dengan adat istiadat masyarakat. Hasil akulturasi hukum Islam dengan
adat lokal tersebut terekam dengan sejumlah karya fiqh mereka.

4
Ibid., hlm. 70
Diantara kitab fiqh yang merupakan bukti akulturasi adalah kitab Siratal
Mustaqim yang ditulis mulai tahun 1634 M hingga 1644 M oleh Nurrudin Ar-
Raniry (w. 1068 H/1658 M). Beliau ini adalah mufti kerajaan pada masa
pemerintahan sultan Iskandar II dari kerajaan Samudra Pasai. Ar-Raniry
berusaha menjadikan fiqh sebagai sarana social engineering. Contoh ketetapan
hukum dalam kitabnya, yakni tidak sah salat seseorang yang bermakmum
kepada kaum panteisme, penyembelihan hewan kaum wujudiyahjuga tidak sah,
nilainya sama dengan sembelihan orang musyrik. Fatwa Ar-Raniry ini dalam
beberapa hal terkesan provokatif, sehingga mengundang reaksi keras dari
masyarakat. Karel Steenbrink menilai Ar-Raniry sebagai tokoh yang keras dan
kasar.5
Kitab lain adalah Mir’at at-Tullah fi Tasyi’ al-Ma’rifah al-Ahkam as-
Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab karya Abdur Rauf as-Sinkili (1024-1105 H).
Kitab ini ditulis atas permintaan dari Sultan Aceh, yaitu Sayyidat ad-Din. 6
Pemikiran as- Sinkili lebih fleksibel dan akomodatif. Kitabnya menjangkau
pembahasan yang lebih luas, yaitu seluruh ajaran fiqh. Ulama lain yang menulis
kitab fiqh akulturatif adalah Abdullah Trengganu (1138-1146 H/1725-1733 M)
dan Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1898 M). Kitab-kitab yang ditulis
para ulama tersebut ada yang dijadikan sebagai undang-undang kerajaan dan ada
pula yang ditulis untuk konsumsi masyarakat umum. Kitab-kitab fiqh selainnya
disusun oleh penulisnya sebagai jawaban bagi kebutuhan hukum di kalangan
masyarakat. Kitab-kitab ini diajarkan di pesantren-pesantren maupun dalam
pengajian-pengajian umum.
2. Masa Kolonial (Abad XVIII-pertengahan abad XX)
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial dapat dibagi
menjaadi dua periode, yaitu periode receptio complexu dan periode receptie.
Periode pertama diimplementasikan pada fase pertama pemerintahan Belanda,
yaitu awal abad ke-17 hingga akhir abad ke -18.

5
Karel Stenbrink, Kitab Suci atau Kertas Toilet? Nuruddin Ar-Raniry dan Agama Kristen
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 5.
6
A Hasjmi, 50 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (Jakarta: Bulan Bintang,
1877), hlm. 109.
Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya
bagi orang Islam. VOC tidak turut campur dengan institusi hukum Islam.
Hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan
diaplikasikan sepenuhnya. 7
Belanda tidak ikut ampur dalam urusan hukum Islam. Bahkan pada
tanggal25 Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum
Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui Kantor Dagang Belanda (VOC),
dikeluarkanlah Resolute de Indische Regeering yang berisi pemberlakuan hukum
waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia.
Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer ,yang merupkan legislsi
hukum Islam pertama di Indonesia. 8
Kebijakan adopsi terhadaap hukum Islam berlangsung hingga masa
pemerintshan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Hal ini tidak terlepas
dari peran para ahli hukum Belanda, khususnya yang menulis tentang Islam di
Indonesia. Diantaranya adalah J.E.Wvan Nes (1850) yang menerbitkan buku
Boedelsscheidingen of Java volgens de kitab Saphi’i. Meurenge juga
mengeluarkan saduran Hanboek van het Mohammedansche Recht pada tahun
1844. Ahli hukum yang paling berjasa dalam hal ini adalah Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927) dengn teorinya yang bernama receptio in
complexu. Dia juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No. 152 yang berisi
ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah
hukum Islam. 9
Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang sifatnya
intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi
dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini dimulai ketika

7
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri XXXV, (Jakarta:
INIS, 1998), hlm. 30.
8
Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993), hlm. 145-146.
9
Karya van den Berg dalam bidang hukum Islam antara lain Mohammedaansch Recht, yang
berisi tentang asas-asas hukum Islam menuruut ajaran Syafi’i dan Hanafi (1882), dan tentang
hukum famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892). Dia juga menerjemahkan
kitab Fathu al-Qarib dan Minhaaj at-Thalibin ke dalam bahasa Perancis. Lihat dalam Ichtianto,
Pengembangan Teori..., hlm. 121.
terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda.
Pemerintah Belanda melakukan represi terhadap hukum Islam dengan cara
mengkonfrontasikannya dengan hukum adat, yakni hukum asli penduduk
Indonesia sebelum kedatangan Islam. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah
Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam.
Pada masa ini muncul peraturan-peraturan (staatsblad) yang mensubordinasikan
hukum Islam di bawah hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran sistem
hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun
1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum Islam dihapus. Hal ini kemudian
dipertegas dengan keluarnya Stbl 1835 No. 56 yang menentukan kompetensi
penghulu. Perselisihan tentang perkawinan dan kewarisan yang terjadi diantara
orang-orang Islam di Jawa dan Madura harus diselesaikan oleh penghulu.
Sementara kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah pembayaran (uang)
menjadi wewenang pengadilan umum.
Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No. 152
tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura (berpaling Bettreffende
de Priesterraden op Java en Madoera).10
Berdirinya lembaga ini menunjukkan adanya pengakuan yuridis
pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam. Namun di sisi lain
mengindikasikan bahwa pemerintah kolonial ingin menguasai kontrol
administrasi hukum Islam. Upaya operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan
oleh Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang
menempatkan penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di bawah
kontrol bupati. Dengan keadaan seperti ini memudahkan Belanda untuk
menguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah
hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar waktu itu. 11 jelas bahwa

10
DeliarNoer,Administrasi Islam di Indonesia (Jakarta : Rajawali, 1983), hlm. 84

11
Aqib Suminto, Politik Islam...,hlm.30-31
politik hukum yang yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan
agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekuasaanya di Indonesia.
Meskipun pengadilan Islam banyak didirikan, kekuatan judisialnya sangat
dibatasi. Institusi ini hanya mengurus permasalahan yang berhubungan dengan
perkawinan, kewarisan, dan hal-hal yang menyangkut wasiat saja. Hal inipun
masih harus diresipir dengan hukum adat. Inilah wujud dari adatrecht politiek
Belanda, sehingga apapun dilakukan untuk menguatkan posisi hukum adat dan
melemahkan kedudukan hukum Islam.
Pada amsa Jepang tidak ada perubahan substantif terhadap peradilan
Islam dan hukum Islam. Jepang hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam
dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor
Islamietsche Zaken menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin.12
3. Masa Kemerdekaan (1945-1998)
Sejak masa menjelang kemerdekaan, keinginan kaum nasionalis Islam
untuk memberlakukan hukum Islam begitu kuat. Meskipun untuk tujuan itu
mereka harus berhadapan dengan kaum nasionalis sekuler. Pada fase ini hukum
Islam mengalami dua periode, yaitu persuasive-sources dan authoritative
source. Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum Islam sebagai
sumber persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan
menerimanya. 13 Masa ini berlangsungnya selama empat belas tahun, yakni sejak
diterimanya Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI hingga
keluarnya dekrit presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959. Semua hasil
sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi grondwetinterpretatie UUD
1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta,14 Namun
hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan

12
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan , Sejarah Singkat Pengadilan Agamadi Indonesia
(Surabaya: PT. Bina Ilmu,1983), hlm.44
13
Ismail Sunny,Kedudukan Hukum Islam..., hlm.133
14
Tujuh katatersebut berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
para pemeluk-pemeluknya.
pasal 29 ayat (1) dan (2).15 Berdasarkan pasal ini pula, maka dibentuklah
departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946. 16
Periode kedua, authritative source dimulai ketika Piagam Jakarta
ditempatkan dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli1959. Dalam konsiderans
Dekrit Prsiden disebutkan:”Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dalam konstribusi tersebut’. Dekrit Presiden selain
menetapkan Piagam Jakarta di dalam konsederans, juga menetapkan dictum
tentang berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian dasar hukum Piagam
Jakarta dan UUD 1945 ditetapakn dalam satu peraturan perundangan, yaitu
Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki
kedudukan hukum yang sama.17Hal ini berarti Piagam Jakarta termasuk ketujuh
katanya, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dalam
UUD 1945.
4. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara
riil hukum Islam mulai teraktulisasikan dalam kehidupan sosial . wilayah
cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau
perdata namun juga samapai ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh
munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Menurut ketentuan
undang-undang ini, setiap daerah berwenang untuk mengatur wilayahnya sendiri
termasuk bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah,
banyakdaerah yang menerapkan hukum Islam baik sepenuhnya (seperti Nangroe
Aceh Darussalam) dan penerapan sebagian.

15
Pasal 29 ayat (1) berbunyi : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2)
berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
16
Deliar Noer, Administrasi Islam ...,hlm.13-14
17
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia ( Jakarta : Gema Insani Pers, 19960,
hlm 27
B. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia
1. Hukum Islam
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-
Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-
Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar
dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari
term “Islamic Law” dari literatur Barat. Dalam penjelasan tentang
hukum Islam dari literatur Barat ditemukan definisi hukum Islam
yaitu: keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap
muslim dalam segala aspeknya.18 Dari definisi ini arti hukum Islam
lebih dekat dengan pengertian syariah. Hasbi Asy-Syiddiqy
memberikan definisi hukum Islam dengan “koleksi daya upaya
fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat”.19 Pengertian hukum Islam dalam definisi ini
mendekati kepada makna fiqh. Untuk lebih memberikan kejelasan
tentang arti hukum Islam, perlu diketahui lebih dahulu arti dari
kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang
hukum. Namun, untuk mendekatkan kepada pengertian yang
mudah dipahami, meski masih mengandung kelemahan, definisi
yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin dari Oxford English
Dictionary perlu diungkapkan. Menurutnya, hukum adalah “the
body of rules, wether proceeding from formal enactment or from
custom, which a particular state or community recognizes as
binding on its members or subjects”.20 (Sekumpulan aturan, baik
yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh
masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi
anggotanya). Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum

18
Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press, 1964, hlm. 1.
19
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan, Bintang, 1993, hlm.
44
20
AS. Honrby, Oxforrd Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Britain: Oxford
University Press, 1986, hlm. 478.
Islam berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah
dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang
beragama Islam”. 21 Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat
dipahami bahwa hukum Islam mencakup Hukum Syari’ah dan
Hukum Fiqh, karena arti syarak dan fiqh terkandung di dalamnya.

2. Hukum Nasional
Hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh bangsa
Indonesia, setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk
Indonesia, terutama bagi warga negara Republik Indonesia sebagai
pengganti hukum kolonial. Untuk mewujudkan satu hukum
nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku
bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda, ditambah dengan
keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah
kolonial dahulu, bukan pekerjaan mudah.
Pembangunan hukum nasional akan berlaku bagi semua
warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya harus
dilakukan dengan hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk
oleh warga negara Republik Indonesia ini ada agama yang tidak
dapat diceraipisahkan dari hukum. Agama Islam, misalnya, adalah
agama yang mengandung hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bahwa
Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti di Indonesia
ini, unsur-unsur hukum agama itu harus benar-benar diperhatikan.
Untuk itu perlu wawasan yang jelas dan kebijakan yang arif.

21
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum Islam,
Jakarta:Bumi Aksara, 1992, hlm. 14.
Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan
memayungi seluruh bangsa dan negara dalam segala aspek
kehidupannya, maka menurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh
(1989) dalam merencanakan pembangunan hukum nasional, kita
wajib menggunakan wawasan nasional yang merupakan tritunggal
yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, yaitu: wawasan
kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan bhineka tunggal ika.
Dipandang dari wawasan kebangsaan sistem hukum nasional harus
berorientasi penuh pada aspirasi serta kepentingan bangsa
Indonesia. Wawasan kebangsaan ini, menurut Menteri Kehakiman,
bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup, tetapi terbuka
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang dan
mampu menyerap nilai-nilai hukum modern.22 Karena yang dianut
dalam pembangunan hukum nasional juga wawasan nusantara
yang menginginkan adanya satu hukum nasional, maka usaha
unifikasi di bidang hukum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini
berarti seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu sistem
hukum yaitu sistem hukum nasional. Akan tetapi, demi keadilan,
kata Menteri Kehakiman, hukum nasional yang akan diwujudkan
berdasarkan kedua wawasan itu, harus juga memperhatikan
perbedaan latar belakang sosial budaya dan kebutuhan hukum yang
dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Oleh karena itu, di samping kedua wawasan tersebut,
pembangunan hukum nasional harus mempergunakan wawasan
bhinneka tunggal ika. Dengan mempergunakan wawasan tersebut,
unifikasi hukum yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus
menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan hubungan
masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. Dengan wawasan
Bhinneka Tunggal Ika ini, keragaman suku bangsa, budaya dan
22
Dikutip oleh M. Daud Ali, dalam Pengembangan Hukum Material Peradilan Agama,lihat
Jurnal Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam Nomor 17 Tahun V (Nov-Des 1994), Jakarta: Al-
Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994, hlm. 34.
agama sebagai aset pembangunan nasional harus dihormati,
sepanjang, tentu saja, tidak membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa. Dengan mempergunakan ketiga wawasan itu, secara
serentak dan terpadu berbagai asas dan kaidah hukum Islam, juga
hukum Adat dan hukum eks Barat akan menjadi integral hukum
nasional, baik hukum nasional yang tertulis maupun hukum
nasional yang tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Mengenai
kedudukan hukum Islam, yang telah disinggung di atas, Menteri
Kehakiman menyatakan antara lain:”tidak dapat dipungkiri,
sebagian besar rakyat Indonesia adalah pemeluk agama Islam”.
Agama Islam, kata Menteri Kehakiman, “mempunyai hukum Islam
yang secara substansi terdiri atas dua bidang yaitu :
1) bidang ibadah
Pengaturan bidang ibadah bersifat rinci
2) bidang mu’amalah.
pengaturan mengenai mu’amalah atau mengenai segala aspek
kehidupan masyarakat tidak bersifat rinci,yang ditemukan dalam
bidang terakhir ini hanya prinsip prinsipnya saja.
Pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang
mu’amalah itu diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara
negara dan pemerintahan yakni para ulil amri. Karena hukum Islam
memegang peranan penting dalam membentuk dan membina
ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi
kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah
mengusahakan secara ilmiah transformasi norma-norma hukum
Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang menurut Menteri
Kehakiman, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum khususnya umat
Islam”. Menurut Menteri Kehakiman, cukup banyak asas yang
bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat
dipergunakan dalam menyusun hukum nasional.
3. Kedudukan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum
Nasional
Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum
nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat
besar, paling tidak dari segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh
beberapa argumen. Pertama, UU No. I tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa,
yang dimaksud pengadilan dalam Undangundang ini adalah
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Kedua, di
dalam UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya
adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan
keterampilan, sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap
dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Ketiga, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Undangundang ini membuktikan bahwa Peradilan Agama
sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi
Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam
sebagai umat yang mayoritas.
Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak
terbentuk undangundang, melainkan Instruksi Presiden Nomor I
Tahun 1991. Kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam
memutuskan perkara, terutama di Peradilan Agama. Kelima, PP
No.28 tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, di samping
UU No.5 tahun 1960 sebagai pengaturan pokok masalah
pertanahan di Indonsia. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan
juga Peraturan Menteri Agama No. Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksana PP No. 28 tahun 1978. Untuk pelaksanaan tersebut telah
dikeluarkan beberapa peraturan sebagai berikut : 1. Keputusan
Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian
Wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama
Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai
PAIW; 2. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri masingmasing No. 1 tahun 1978 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1978; 3. Instruksi Menteri
Agama No. 3 tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan
Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian
Wewenang kepada Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi/Setingkat
untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA Kec.
sebagai PPAIW; 4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam dan
Urusan Haji No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea
Materai dengan lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal Pajak
No. S-629/ PJ.331/1080 tentang Ketentuan Menteri Keuangan atas
tanda-tanda sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama
No. 1 Th. 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Th. 1977;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1977 tentang
Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
6. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.
D.II/5/Ed/07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik; 7.
Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan HajiNo. D.II/5/Ed/ll/1981
tentang Petunjuk Pengisian nomor pada formulir Perwakafan
Tanah Milik. 23 Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang
dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat
Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan
merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis

23
M. Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia, Permasalahan dan Pemecahannya, Fakultas
Syariah UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No. 16/VII/2005. Hlm. 275.
dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya.

C. Teori-Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia


1. Teori kredo atau Syahādah
Sebagian besar umat Islam sepakat bahwa sebagai agama, Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan sosial dengan seperangkat norma,
termasuk norma hukum. Nabi SAW sejak awal telah membentuk struktur
hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian,
penerimaan Islam sebagai agama, termasuk makna di dalamnya adalah
penerimaan terhadap hukum Islam.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
keberadaan hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan dengan
keberadaan Islam di Indonesia.24 Oleh karena itu, ketika masyarakat
Indonesia menyatakan masuk Islam, maka secara otomatis berarti
mengakui otoritas hukum Islam atas dirinya. Inilah yang disebut dengan
teori kredo atau syahādah, teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje

24
Akar sejarah Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli sejarah
dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan
kedelapan Masehi. Lihat, Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam
dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan
Hukum Nasional (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia, 2005), hlm. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan
bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13
atau awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan
pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai yang berdiri
pada kisaran waktu tersebut. Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, Oktober 1998), 21.
yang mengatakan bahwa apabila masyarakat Indonesia mengatakan dua
kalimat syahadat maka secara otomatis mengakui otoritas hukum Islam
atas dirinya. 25 Teori kredo atau syahādah ini juga disebut oleh H.A.R Gibb
sebagai teori penerimaan otoritas hukum, yaitu teori yang mengharuskan
pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua
kalimat syahadat sebagai konsekuensi logis dari pernyataanya. Jadi,
dengan pernyataan ikrar atas “tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya”, setiap muslim diwajibkan untuk
mengikuti seluruh perintah Allah yang termaktub dalam al-Qur’an dan
sekaligus taat kepada Rasulullah melalui Sunnahnya. 26 Dalam al-Qur’an
ada beberapa ayat yang dapat dijadikan pijakan berlakunya teori kredo
atau syahādah tersebut, seperti: ayat yang menjelaskan bahwa orang Islam
pada dasarnya diperintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (an-
Nisā’: 49 dan an-Nur:51).
2. Teori Teritorial dan Non-Teritorial
Terkait dengan pemberlakuan hukum Islam ini, Imam Malik, Imam
as-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika membahas tentang
lingkungan berlakunya aturanaturan pidana Islam, mereka berpendapat
bahwa hukum Islam diterapkan terhadap setiap jarīmah (tindak pidana)
yang dilakukan di dalam negera Islam maupun negara yang bukan Islam.
Jadi, hukum pidana Islam tidak mengenal batas-batas wilayah. Teori ini
kemudian dikenal dengan teori non-teritorial. Selain teori non-teritorial,
dikenal juga teori teritorial yang dikemukakan oleh Imam Hanafi, beliau
menyatakan bahwa hukum Islam hanya dapat diberlakukan di negara-
negara yang secara resmi menjadi negara Islam.⁶
Ketentuan asas teritorialitas di Indonesia termaktub dalam KUHP

25
Siti Nurkaerah, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional”, Bilancia, Vol. 2, No. 2 (Juli-Desember, 2008), 207.

26
Suhaya S. Praja, Pilar-Pilar Hukum Islam (Bandung : UNINUS 1995), 133.
Pasal 2, yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang
undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di
dalam Indonesia”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga Negara Indonesia
maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana di wilayah
Indonesia. Hukum Islam di Indonesia: masa penjajahan kolonial
3. Teori Receptio in Complexu
Kehadiran organisasi perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) adalah cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan
Indonesia. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC memiliki peran yang
melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Kerajaan Belanda
memang menjadikan VOC sebagai perpanjangan tangannya di kawasan
Hindia Timur, disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga
mewakili Kerajaan Hindia Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan, tentu saja dengan memberlakukan hukum Belanda yang
mereka bawa.
Teori ini menyatakan bahwa ”bagi setiap penduduk berlaku hukum
agamanya masing-masing. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum
Islamlah yang berlaku baginya, demikian juga bagi pemeluk agama lain.”
Namum demikian, hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam
masalah hukum keluarga (perkawinan dan kewarisan) saja. 27 Teori ini
berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai awal masa VOC, yakni ketika
Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku
di masyarakat.Pengaruh teori receptio in complexu pada kebijakan
kolonial terlihat jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan, seperti
Resolusi Pemerintah Hindia Belanda (Resolutie der Indische Regeering)
tanggal 25 Mei 1670, resolusi ini berisi kompilasi hukum Islam mengenai

27
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Islam dalam Tata Hukum
Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 113.
perkawinan dan kewarisan yang diaplikasikan di pengadilanpengadilan
VOC, Koleksi Hukum Jawa Primer yang diambilkan dari Kitab Hukum
Islam Mugarrar untuk pengadilan-pengadilan umum di Semarang, dan
peraturanperaturan lain yang berisi hukum Islam yang diberlakukan di
Cirebon, Goa, dan dibeberapa wilayah lainnya. 28
4. Teori Receptie
Ketika Peradilan Agama yang dibentuk oleh pemerintah Belanda telah
berjalan dengan semestinya, pemerintah Belanda malah merasa bahwa
hukum Islam benarbenar telah diberlakukan oleh umat Islam di Indonesia
dan mereka merasa terancam dengan itu karena mereka menganggap
bahwa Islam adalah satu-satunya kekuatan paling mengancam dan dapat
menggoyahkan kekuasaan mereka atas Indonesia. Untuk mengantisipasi
hal itu, pemerintah kolonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht
atau hukum adat Indonesia. Gagasan ini disponsori oleh seorang penasehat
pemerintah Hindia Belanda tentang masalah-masalah Islam dan anak
negeri jajahan,Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan Kemudian
dikembangkan oleh Cornelis Van Vallenhoven (1874-1933) dan Ten Haar
(1892-1941), mereka mempunyai latar belakang keahlian di bidang hukum
adat.29
5. Teori Receptie Exit
Fenomena teori receptie yang mengakar kuat di masyarakat itu pada
akhirnya membuat para tokoh Islam bersimpati atas keadaan hukum Islam
di Indonesia saat itu, diantaranya adalah Hazairin. Ia adalah seorang ahli
hukum adat dan hukum Islam Indonesia yang sangat menentang teori
receptie. Menurutnya, teori receptie itu memang sengaja diciptakan oleh
Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama
dengan “teori iblis” karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi
dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Untuk melawan teori

28
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam..., 30
29
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid V, cet. Ke-1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), 1494.
receptie itu, Hazairin kemudian mencetuskan teori receptie exit.
Menurutnya setelah Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya dan
ditetapkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara, maka
walaupun Aturan Peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh
peraturan perundang-undangan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan
dengan UUD 1945. Teori receptie yang dianut oleh pemerintah kolonial
harus exit (keluar) karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.30
6. Teori Receptie a Contrario
Hal yang senada dengan teori receptie exit juga dikemukakan oleh Sajuti
Thalib,salah seorang murid Hazairin. Sajuti Thalib berpendapat bahwa
hukum Islamlah yang berlaku bagi umat Islam dan hukum adat baru bisa
berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pendapatnya ini
kemudian dikenal dengan teori receptie acontrario (penerimaan yang
sebaliknya). Sajuti Thalib tidak setuju dengan teori Van Den Berg yang
mengatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum adat
agama sendiri, seakan-akan hukum adat asli itu tidak ada sama sekali.
Hukum adat menurut Sajuti Thalib tetap ada karena berasal dari budaya
serta tradisi suatu bangsa dan berlaku jika tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Bahkan ia juga lebih tidak setuju lagi dengan teori receptie
Snouck Hurgronje yang merendahkan hukum Islam yang bersumber dari
al-Qur’an dan sunnah, serta mengangkat derajat hukum adat.31
Teori receptie a contrario ini nampaknya mirip dengan teori receptie exit
yang dikembangkan oleh Hazairin. Perbedaan keduanya terletak pada
landasan pemikirannya.
7. Teori Eksistensi

30
Ichtijanto, “Pengembangan Teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, pengantar dalam
Djuhana S. Pradja, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, cet. Ke-2
(Bandung: Rosda Karya, 1994), 102 dan 127-131.
31
Sajuti Thalib, Receptie a Contrario..., 65-69.
Untuk mempertegas makna teori receptie a contrario dalam hubungannya
dengan hukum nasional, Ichtiyanto mengemukakan teori Eksistensi. Teori
eksistensi mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional.
Menurutnya, hukum Islam: (1) exist (ada) sebagai bagian integral dari
hukum nasional, (2) exist dengan kemandiriannya, dalam arti kekuatan
dan kewibaannya diakui sebagai hukum nasional dan diberi status sebagai
hukum nasional, (3) exist dalam arti norma hukum Islam sebagai
penyaring bahan-bahan hukum nasional, dan (4) exist sebagai bahan dan
sumber utama hukum nasional. 32
Jadi, secara eksistensial kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional
merupakan sub-sistem dari hukum nasional. Karena itu hukum islam juga
mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka
pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui
problema dan kendalanya yang belum pernah usai.

32
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam..., 713
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke
nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islam pun mulai
diberlakukan dalam tata kehidupan masyarakat.
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia sendiri dibagi menjadi
empat tahap, dimulai dari masa kerajaan Islam, masa kolonial, masa kmerdekaan
(orde baru orde lama), dan masa reformasi. Pembagian kedalam empat periode
ini didasarkan pada corak, karakter, dan bentuk implementasinya dalam realitas
hukum yang berlalaku. Faktor kebijakan politik pemerintah yang berkuasa dan
keinginan umat Islam mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum
Islam dalam sejarah perkembangannya di Indonesia.
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan
literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah,
fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Sedangkan, Hukum Nasional
adalah hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia, setelah Indonesia merdeka
dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi warga negara Republik
Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial.
Teori-teori berlakunya hukum Islam di Indonesia antara lain : Teori
kredo atau Syahādah, Teori Teritorial dan Non- Teritorial, Teori Receptio in
Complexu, Teori Receptie, Teori Receptie Exit, Teori Receptie a Contrario dan
Teori Eksistensi.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, tentu tidak terlepas dari kekurangan
baik dari segi penulisan maupun isi dan pembahasan, sehingga besar harapan
kami dapat menerima masukan dari pembaca.
DARTAR PUSTAKA

Sodiqin Ali .2012 . Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta: Beranda Publishing

Tamam Badrut Ahmad. 2017. Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, Volume
I Nomor 2

Anda mungkin juga menyukai