Disusun oleh :
KELAS D
2023
2
DAFTAR ISI
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang perjalanan peradilan agama yang telah dilalui dalam rentang waktu
yang demikian panjang berarti berbicara tentang masa lalu yakni sejarah peradilan agama.
Hal ini dianggap penting untuk rencana melangkah kemasa yang akan datang peradilan
agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara ini sejak agama islam dianut oleh
penduduk yang berada diwilayah ini, berabad-abad lamanya sebelum kehadiran penjajah.
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman1 telah cukup memakan waktu yang sangat panjang,
sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang
Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh
pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan
masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya
secara paripurna.
1
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya
di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 57.
2
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…
3
Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah awal terbentuknya dari perdalilan agama. ?
2. Bagaimana peradilan agama di era kerajaan islam, di era penjajahan, di era reformasi?
3. Bagaimana metode peradilan agama di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang terbentuknya peradilan agama di indonesia.
2. Memahami peradilan agama di era kerajaan islam, era penjajahan dan reformasi
3. Mengetahui dan memahami metode peradilan agama di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
Abdullah Tri wahyudi.HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA.(SOLO, CV. Mandar Maju) 2014. Hlm 2
5
Abimanyu,tinjauan dan kajian sejarah peradlan agama serta implementasinya.(jakarta,PT, kharisma putra
utama )2013. Hlm.20
3
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu Peradilan
Pradata dan Peradilan Padu.Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindhu
dan ditulis dalam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan hukum materiil tidak
tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prateknya, Peradilan
Pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja,
sedangkan Peradilan Padu menangani perosalan-persoalan yang tidak berhubungan dengan
wewenang raja. Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram
menggantikan dengan sistem Peradilan Serambi yang berasaskan Islam.Penggantian ini
bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajan Mataram.
Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah
mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat
I.Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan
Pradata.Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali.Hal ini dibuktikan dengan
diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al – Mustaqin” yang ditulis Nurudin Ar
– Raniri.Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.6
B. Peradilan agama di era kerajaan islam, era penjajahan dan era reformasi
• Peradilan agama era kerajaan islam
Zaman kerajaan Islam Islam sesungguhnya mengandung dua dimensi ajaran pokok,
yaitu ajaran yang berdemensi keyakinan (i’tiqadiyah) dan ajaran yang berdimensi penerapan
(‘amaliyah), kedua dimensi ini harus berjalan seiringan karena satu sama lain saling
mempengaruhi. Oleh karena itu pelaksanaan ajaran Islam kembali kepada diri manusia itu
sendiri sebagai mukallaf yang dikenakan beban taklif berupa kewajiban malaksanakan
ajaran Islam tersebut.
Pelaksanaan hukum Islam pada dasarnya tidak mengharuskan adanya perundang-
undangan melalui penguasa (meskipun hal itu kini diarasakan sangat perlu dan banyak
manfaatnya) tetapi telah menjadi kewajiban individu setiap muslim. Itulah sebabnya pada
awal perkembangannya, kendati umat Islam pada waktu itu belum ada penguasa yang
memberi sanksi terhadap pelanggaran agama, namun mereka tetap patuh karena kesadaran
dan keyakinan mereka, terutama keyakinan para pemimpin atau ulama mereka bahwa
hukum Islam itu adalah hukum yang benar yang harus dilaksanakan.
6
Ibid hlm.30-39
4
Dengan masuknya Islam ke Indonesia yang utuh pertama kali pada abad pertama
Hijriyah atau bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh
saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus sebagai muballig. Maka dalam
praktek sehari-hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam
yang bersumber pada kitab-kitab fikih. Di dalalm kitab-kitab fikih tersebut termuat aturan
dan tata cara ibadah seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji serta sistem peradilan
yang disebut qad}7
a. Kewenangan Peradilan Agama di wilayah Jawa
Masa ini dikenal adanya Pengadilan Surambi yang mempunyai dua kewenangan,
pertama perkara-perkara yang akan diselesaikan menurut hukum Islam semata, kedua
perkara yang akan diselesaikan menurut hukum adat dan tradisi Jawa. Terhadap perkara-
perkara, seperti perkawinan, perceraian, dan warisan tidak diajukan dan diselesaikan dalam
majelis Pengadilan Surambi, tetapi cukup diajukan kepada penghulu yang memeriksa dan
memutuskan perkara itu di tempat pengadilan. Dalam pemutusan perkara tersebut penghulu
dibantu oleh tiga orang anggota majelis Surambi sebagai penasehat.8 Kewenangan ini sama
dengan Pengadilan Agama di Priangan yang mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan kewarisan.
Bahkan ketika kekuasaan kerajaan Mataram telah merosot, perkara-perkara yang diancam
dengan hukuman badan dan hukuman mati yang merupakan kewenangan Peradilan Perdata,
karena tidak dapat dikirim ke Mataram menjadi wewenang Pengadilan Agama.9
b. Kewenangan Pengadilan Agama di luar pulau Jawa
Beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Jambi, Palembang, Bengkulu,
Sumatera Barat, Lampung kesemuanya memiliki Pengadilan Agama yang mempunyai
wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, perceraian serta harta
peninggalan atau warisan. Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya
dalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja, sehingga raja
dominan sebagai pemutus perkara, salah satu contohnya adalah kerajaan Bone dimana raja
adalah penghulu tertinggi dalam kerajaan, yang berwenang memutus perkara keagamaan
7
Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan Agama (Laporan hasil Simposium, Proyek Pembinaan
Administrasi Hukum dan Pradilan, 1983), hlm. 26.
8
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. II; Jakarta: PT. Grafindo Peersada, 1998), h. 107-
108.
9
H. A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 37.
5
yaitu pernikahan dan kewarisan di luar perkara-perkara kerajaan lainnya.10 Sama halnya
kewenangan Pengadilan Agama di Jawa, kewenangan Pengadilan Agama di luar pulau Jawa
zaman kerajaan Islam, menurut penulis tidak terlepas dari putusan perkara perkawinan dan
kewarisan.
10
Ibid., h. 38.
6
yang diberikan oleh penguasa juga sangat mendorong berdirinya peradilan agama dan
diakui keberadaannya serta aktualisasinya Ini sesuai dengan teori living law dan teori hukum
ketatanegaraan. Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran penting
pada masa awal penjajahan belanda, ini karena sesuai dengan teori living law hukum yang
hidup di masyarakat dan yang mempengaruhi pola pikir mereka adalah hukum Islam,
namun ketika belanda berkuasa dan melancarkan politik hukumnya, peradilan agama
dengan hukum Islam yang diusungnya bersinggungan dengan hukum Eropa dan hukum
adat, ketika terjadi gap semacam ini maka kebijakan penguasalah yang paling menentukan,
pemerintah belanda dalam hal ini ingin menyingkirkan peradilan agama walaupun
masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak lepas dari pertimbangan politik dari
mereka11, seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan akan fanatisme yang berlebihan dari
rakyat jajahan, dsb.
11
Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.h.176-177
7
sebelumnya. Hal ini menghasilkan TAP MPR NOMOR X/MPR/1998 yang menharuskan
Pemerintah untuk segera meninjau ulang ketentuan yang telah membagu dua penanganan
lembaga peradian antara institusi eksekutif di satu bidang dan institusi yudikatif pada bidang
yang lain.
Yang menjadi sasaran utama TAP MPR tersebut adalah Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentnag Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimanv. Untuk itu, pada
tahun 1999 Pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 sebagai
amandemen tehadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Sebagai konsekuensi dari
diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut, diletakkannya kebijakan
bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun
urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “kebijakan satu
atap (one roof sysem)”.
Namun, seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di Negara
Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah lagi menjadi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Bahkan untuk mempercepat proses peralihan
lembaga-lembaga peradilan tersebut, dipertegas lagi dalam ketentuan peralihan pasal 42
Undang-undang ini bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling
lambat tanggal 31 Maret 2004, Peradilan Agama tanggal 30 Juni 2004 dan Peradilan Militer
tanggal 30 Juni 2004. Sedangkan untuk badan peradilan agama yang sejak lama berada di
bawah Departemen Agama, bahkan dalam hal-hal tertentu tidak dapat dipisahkan
hubungannya dengan Departemen Agama secara khusus dan dengan umum termasuk
majelis ulama. Maka, khusus untuk badan peradilan agama mengingat sejarah peradilan
agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan
agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis
Ulama Indonesia.
Bagi peradililan agama, amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak
semata-mata berorientasi pada penambahan kewenangan pada bidang Ekonomi Syari’ah,
akan tetapi, secara makro lebih disebabkan karena implikasi dari berubahnya sruktur hukum
yang terkait dengan kekuasaan yudikatif, termasuk paradilan agama sebagai akibat dari
adanya reformasi hukum di Indonesia.
8
C. Metode Peradilan Agama Di Indonesia
Cik Hasan Bisri menyimpulkan metode Peradilan Agama di Indonesia ada enam
macam. Hal itu sebagai berikut:
1. Pengkajian Relasional
Metode pengkajian relasional ini maksudnya adalah mencari titik temu antara Peradilan
Agama dengan pranata hukum dan pranata sosial. Hal ini tentu sangat luas sekali. Untuk
jelasnya hubungan tersebut dapat kita buat bentuk-bentuk pertanyaan yang menghubungkan
antara Pengadilan Agama tersebut dengan pranata hukum dan sosial tersebut. Misalnya; apa
hubungan antara Peradilan Agama dengan kedudukan hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara?, apa hubungan antara Peradilan Agama dengan sistem hukum
yang berlaku di Indonesia ini?, apa hubungan Peradilan Agama dengan politik hukum yang
diputuskan oleh penguasa negara?, apa hubungan Peradilan Agama dengan program
pembangunan Nasional bidang hukum?, apa hubungan antara Peradilan Agama dengan
perkembangan pemikiran di bidang hukum?, apa hubungan antara Peradilan Agama dengan
pendidikan tinggi di bidang syari'ah dan hukum?, dan pertanyaan lain yang masih sangat
banyak sekali yang tidak mungkin dituangkan di dalam tulisan ini. Setiap jawaban terhadap
pertanyaan ini meng- gambarkan adanya hubungan yang erat antara Peradilan Agama
dengannya.
9
kemerdekaanRI., dan yang lainnya. Keseluruhan jawaban terhadap hal ini merupakan hasil
yang diperoleh melalui metode kajian sosio historis.
3. Pengkajian Sistemik
Peradilan Agama adalah merupakan bahagian dari sistem terbentuknya negara kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, maka metode pengkajian sistemik ini akan
mencoba menyoroti eksistensi Peradilan Agama dalam sistem penyelenggaraan negara
Republik Indonesia yang berdasar hukum ini. Untuk mendekatkan pemahaman dapat
dikemukakan pertanyaan yang berupa sasaran yang hendak ditemukan melalui metode ini,
yaitu; apa dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan Peradilan Agama di
Indonesia ini? apa asas-asas yang diterapkan dalam penyelenggaraan Peradilan Agama di
Indonesia ini? bagaimana posisi Peradilan Agama di Indonesia dalam tata Peradilan di
Indonesia? bagaimana hubungan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung? bagaimana
hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Agama?, bagaimana gambaran organisasi
Peradilan Agama?, bagaimana mekanisme kerja dalam Peradilan Agama?, apa persyaratan
yang diperlukan untuk dapat diangkat menjadi hakim pada Peradilan Agama?, dan pertanyaan
lain juga masih sangat banyak, dan tidak sempat dicantumkan dalam tulisan ini. Keseluruhan
kajian terhadap Peradilan Agama sebagai bahagian dari sistem negara hukum Republik
Indonesia adalah sasaran yang akan ditemukan melalui metode ini.
4. Pengkajian Aspektual
Metode pengkajian aspektual ini adalah suatu metode di mana seseorang yang
membahas Peradilan Agama di Indonesia dengan tidak membahas secara keseluruhan, tetapi
hanya mengkaji satu aspek saja. Misalnya apa yang dilakukan oleh Notosusanto dalam sebuah
bukunya yang berjudul "Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indo- nesia", berarti
dia hanya membahas aspek organisasi dan yurisprudensi Peradilan Agama itu sendiri.
Demikian juga halnya Roihan A. Rasyid dalam bukunya "Hukum Acara Peradilan Agama di
Indonesia". Juga Umar Mansyur Syah dengan bukunya "Hukum Acara Perdata Pengadilan
Agama", dan lain sebagainya. Penyelesaian aspek Peradilan Agama seperti yang telah
ditentukan menjadi jawaban atas pengkajian aspektual ini.
5. Pengkajian perbandingan
Metode pengkajian ini lebih terarah kepada pencarian persamaan dan perbedaan setelah
terlebih dahulu dilakukan perbandingan terhadap Peradilan Agama itu sendiri, mungkin saja
10
didasarkan atas perbedaan masa, atau karena perbedaan tempat, misalnya membanding
Peradilan Agama pada masa kolonial Belanda berkuasa dengan masa penjajahan Jepang
sehingga ditemukan persamaan dan perbedaannya, atau Peradilan Agama di Jawa dan Madura
dibanding dengan Peradilan Agama di Kalimantan Selatan, atau membanding dengan
Peradilan yang lain, misalnya membanding Peradilan Agama dengan Peradilan Umum, atau
Peradilan Militer, atau Peradilan Tata Usaha Negara, atau mungkin juga membanding dengan
Peradilan Islam dalam konsep fuqaha, atau mungkin juga membanding dengan Peradilan di
negara lain, dan lain sebagainya. Penemuan persamaan dan perbedaan dari perbedaan seperti
ini adalah merupakan hasil dari metode pengkajian perbandingan tersebut.
Metode seperti ini dilakukan dalam rangka mengkaji dan menganalisis produk hukum
Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap, baik itu berupa keputusan maupun
berupa ketetapan yang dipahami sebagai keputusan yang sangat bermanfaat bagi hakim lainnya
untuk dijadikan sebagai pedoman. Pengkajian terhadap hal ini bisa saja mencari kasus apa yang
diputuskan hakim tersebut, siapa pihak-pihak yang berperkara dan dimana kasus itu terjadi,
bagaimana keputusan Pengadilan Agama terhadap hal itu, apa saja hal yang diajukan dalam
memutuskan perkaranya, dan lain sebagainya. Untuk menerapkan metode ini terlihat pihak
redaktur Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam oleh Departemen Agama di masa silam
telah menyadari sepenuhnya, karenanya dalam setiap edisinya sengaja disiapkan kolom untuk
mengisi Yurisprudensi Peradilan Agama tersebut. Demikian juga halnya dengan Majalah
Hukum dan Pembangunan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, juga membuat hal yang
sama. Dengan cara seperti ini akan ditemukan Yurisprudensi Peradilan Agama dengan
berbagai aspeknya. Hal seperti inilah sasaran yang hendak dicapai oleh metode analisis
Yurisprudensi tersebut.12
12
Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 36-41
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan Peraadilan Agama sudah
ada sebelum kedatangan para penjajah Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman
dinamika yang berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama membutuhkan
proses yang panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara Indonesia.
B. SARAN
Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai Peradilan Agama, hendaknya
peraturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama menjadi lebih baik, mengingat
perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan Peradilan Agama.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum acara peradilan agama.(Solo, CV. Mandar Maju
2014)
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum acara peradilan agama edisi revisi.(Solo, CV.
Mandar Maju 2018)cet. 2
Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum,
(Bandung: Bandar MAju, 2001)Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan Agama
(Laporan hasil Simposium, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan
Pradilan, 1983),
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Cet. II; Jakarta: PT. Grafindo
Peersada, 1998)
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA. Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2010.)
H. A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Cet. I; Jakarta: Kencana,
2006
13