Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan


Agama Di Indonesia

Dosen Pengampu : Dra. Yusliati, MA.

Disusun Oleh

Darul Ikhsan ( 12120213523 )

Salsabila ( 12120224765 )

Syafrida Indah Sari Sy ( 12120222285 )

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF


KASIM RIAU
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb

Pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kita kepada Allah SWT yang
telah memberikan nikmat dan hidayah sehingga kita masih bisa merasakan
kebersamaan sampai saat ini

Shalawat dan salam tidak lupa kita kirimkan kepada Nabi kita Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan hingga sekarang ini

Terakhir kami ucapkan banyak banyak terima kasih kepada Dosen


pengampu Peradilan Agama Di Indonesia, yang mana karena Beliau lah ilmu yang
kami dapatkan saat ini bertambah lebih luas lagi. Dengan adanya makalah ini, kami
mengharapkan kritikan dan saran dari ibu dan teman teman sekalian, agar ke
depannya kita lebih baik lagi dan apa yang tercantum dalam makalah ini bisa
menjadi ladang ilmu bagi kita semua. Sekian

Terima kasih

Wassalamu’alaikum wr wb

Pekanbaru, 1 Maret 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN...................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 3
C. Tujuan Pembahasan...................................................................... 3

BAB II : PEMBAHASAN...................................................................... 4

A. Masa Penjajahan Belanda............................................................. 4


B. Masa Penjajahan Jepang............................................................... 12

BAB III : PENUTUPAN........................................................................ 15

A. Kesimpulan................................................................................... 15
B. Saran............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di


Indonesia. Dalam klasifikasinya, Peradilan Agama merupakan satu dari tiga
peradilan khusus yang ada di Indonesia, dua lainnya adalah Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara.1

Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, Peradilan


Agama memiliki kewenangan absolut yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 perubahan pertama yakni Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan
perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Adanya kewenangan absolut itu menjadikan Peradilan Agama, baik dalam
pengadilan tingkat pertama dan banding, tidak salah dalam menerima suatu perkara
yang diajukan kepadanya karena menjadi kewenangan lingkungan peradilan lain.
Kewenangan absolut adalah kewenangan Badan Peradilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain,
baik dalam lingkungan pengadilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan
yang lain.2

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang


berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan,
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat
pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

Sejarah Peradilan Agama di Indonesia lelah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan


Islam, kemudian pada jaman penjajahan be landa dan Jepang. sesudah kemerdekaan

1
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita, (Malang:
UIN Malang Press, 2009), hlm. 15.
2
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 85

1
sampai akhirnya keluar IV .Yo. 7 tahun 1989 lemang Pengadilan agama yang lehih
mempertegas lagi kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia Proses interaksi
peradilan agama mi telah berlangsung dalam jangka waktu wng panjang sejak
masyarakat Islam memiliki kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga
sekarang, maka ketika disebutkan peradilan agama maka yang dimaksudkan adalah
peradilan Islam di Indonesia.3

Berbicara tentang peradilan agama di Indonesia tidak akan lepas dari sejarah
yang melatar belakanginya, ada empat produk hukum yang mempengaruhi
berlakunya hukum di Indonesia, yaitu hukum adat masyarakat asli sebagai warga
pribumi, hukum Eropa daratan (kontinental) yang dikenal dengan civil law, hukum
Eropa kepulauan yang dikenal dengan nama common law atau Anglo Saxon yang
dibawa oleh penjajah Belanda, serta hukum Islam sebagai produk pemahaman
Islam yang dipopulerkan oleh penduduk muslim Indonesia pada masa kerajaan-
kerajaan Islam.

Peradilan Islam dalam sejarahnya mengalami pasang surut, itu mungkin tidak
lepas dari kenyataan adanya beberapa produk hukum yang berbeda yang saling
mengambil tempat untuk bisa eksis dan diaplikasikan di Indonesia oleh masing-
masing penggagasnya, keadaan sosial masyarakat, sistem pemerintahan yang
sedang berkuasa, sangat mempengaruhi perkembangan Peradilan Islam di
Indonesia.

Hal-hal tersebut bisa terlihat dari potret sejarah perjalanan Peradilan agama.
Penulis menilai ini sangat menarik sekali untuk dikaji karena akan memberikan
gambaran kepada kita faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut perjalanan
Peradilan Agama di Indonesia, sehingga mungkin akan menumbuhkan sikap
tertentu dan paradigma baru yang akan membawa kepada masa depan Peradilan

3
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 429.

2
Agama yang lebih baik lagi, karena bagaimanapun juga ini merupakan salah satu
simbol kebesaran Islam yang ada di Indonesia.4

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan pembahasan


ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah

a. Bagaimana sejarah peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan


Belanda?
b. Bagaimana sejarah peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan
Jepang?

C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah dalam


makalah ini adalah sebagai berikut

a. Untuk mengetahui sejarah peradilan agama di Indonesia pada masa


penjajahan Belanda
b. Untuk mengetahui sejarah peradilan agama di Indonesia pada masa
penjajahan Jepang

4
Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah, M.Ag., BUKU DARAS PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA, ( Bandung : PT. Liventurindo, 2021 ) hal. 43

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Belanda

Tahun 1602 merupakan tahun kedatangan Verenidge Oest Indische


Compagnie(VOC) di bawah pimpinan gubernur Jendral Van Imhoff. Di zaman
VOC, kedudukan hukum islam yang telah ada pada masyarakat dan kerajaan
kerajaan Islam di Indonesia diakui. Di daerah Aceh, Demak, Mataram, Banten,
Palembang, Makassar dan daerah lainnya. Seiring berjalannya waktu, kedatangan
VOC ini kemudian menjajah Indonesia dengan membawa segala pengaruh terhadap
kehidupan bangsan Indonesia termasuk di bidang hukum dan peradilan. Sejak
semula sikap politik Belanda terhadap hukum islam dan Peradilann agama di
Indonesia adalah "Princeped gebrekkig mar fietelijk omnisbar", prinsipnya tidak
diperlukaan tetapi kenyataannya harus ada. Belanda dalam menjajah Indonesia
tidak memerlukan hukum islam dan Peradilan Agama tetapi karena hal ini
diperlukan oleh rakyat jajahan maka harus diadakan meskipun hanya sekedar
'pupuk bawang’ agar tidak mendapatkan perlawanan dari rakyat.5

Tahun 1645, ketika sultan Agung wafat dan digantikan oleh putranya yakni
Amangkurat I pada tahun 1645, Belanda mulai memasukkan pengaruhnya ke dalam
kerajaan Mataram dengan mengurangi peranan alim ulama di peradilan Surambi
dan kekuasaan Pengadilan Surambi mulai dikurangi dan dikikis oleh Belanda dan
menghidupkan kembali Pengadilan Pradata. Sejak tahun 1645 ini, Peradilan Agama
hanya berkuasa mengadili perkara perkara mengenai perkawinan, perceraian,
warisan dan lain sebagainya saja. Tahun 1677 merupakan permulaan jaatuhnya
kerajaan mataram dan awal semakin derasnya pengaruh Belanda ke dalam
pemerintahan Mataram. Pada masa Amangkurat II dan sesudahnya para raja
menarik diri dari pengadilan dan menyerahkan urusan peradilan kepada pejabat

5
Dr. A Mukti Arto, S.H., M.Hum., PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA (Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuristis
Dan Pragmatis),(Surakarta : Pustaka Mantiq, 2012) hal. 84

4
pejabat yang bertindak atas nama raja. Setelah Mataram terpecah menjadi dua yakni
Surakarta dan Yogyakarta, Belanda mempunyai kesempatan dan peluang luas
untuk ikut campur dalam urusan peradilan di dua kerajaan tersebut. Tahun 1747
pernah di usahakan pengumpulan hukum pidana islam guna menjadi bahan bagi
pengadilan Landraad yang dibentuk di semarang. Usaha ini menghasilkan kitab
"Muharar". Pada tahun 1760 hukum islam dikompilasikan oleh VOC, yakni
resolusi der indische redeering tanggal 25 mei 1760 disusun kumpulan peraturan
hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC
untuk mengadili orang Indonesia. Kumpulan hukum islam terkenal dengan sebutan
"compendium Freijer". Di buat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan
islam untuk daerah Cirebon, semarang, dan Makassar. Pada 13 desember 1799
VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan akibat banyak pejabat VOC
yang korupsi. Setelah itu kemudian didirikan pemerintahan Hindia Belanda. Selama
kurun waktu 350 tahun sejak tahun 1622-1942 merupakan masa penjajahan
Belanda di Indonesia. Tahun 1622-1799 merupakan masa pemerintahan VOC yang
kemudian dilanjutkan masa pemerintahan Hindia Belanda sampai tahun 1942.6

Tahun 1808-1811 merupakan masa pemerintahan Daendels. Di daerah jawa


tengah dan jawa timur yang karena beluma ada, maka di setiap landgrerecht
diikutsertakana seorang penghulu yang akan ikut memberikan pertimbangan
apabila ketua dan Landraad beserta anggota akan memutus perkara. Untuk tiap
Vredesgerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang Penghulu sebagai
anggota . Vredesgerecht ini akan memutus perkara perkara kecil misalnya
perselisihan perselisihan dalam perkawinan, penganiayaan, hutang piutang dan lain
sebagainya. seperti halnya VOC Daendles berpendapat bahwa hukum asli di jawa
adalah hukum islam. Oleh karena itu diangkatlah seorang penghulu yang dianggap
ahli hukum islam sebagai penasehat pada setiap Landgerecht.7

Pada tahun 1820 melalui pasal 13 Staatsblad tahun 1820 NO. 22 Belanda
mulai ikut campur tangan lebih jauh dalam soal peradilan Agama dengan

6
Ibid, hal. 84-86
7
Ibid, hal. 86

5
dikeluarkannya intruksi kepada para Bupati agar perselisihhan mengenai Waris di
kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada umat islam Pada tahun 1825 yakni
pada 23 maret 1825 dikeluarkan peraturan dikeluarkan peraturan untuk Ibukota
Palembanag mengenai wewenang Peradilan Agama yang meliputi: Perkawinan,
Perceraian, Pembagian harta, kepada siapa anak diserahkan kalau orangtuanya
bercerai, apa hak masing masing orangtua terhadap anak tersebut, pusaka dan
wasiat, perwalian, perkara perkara lainnya yang menyangkut agama. 8

Pada Tahun 1835 Pemerintah Hindia Belanda Mengeluarkan Penjelasan


Pasal 13 Staatsblad Tahun 1820 No. 22 yang isinya bahwa gugatan untuk
mendapatkan pembiayaan yang timbul dari keputusan para 'pendeta' itu harus
diajukan kepada pengadilan biasa. Hal ini dilatarbelakangi oleh politik konkordansi
dalam bidang hukum karena mereka beranggapan bahwa hukum Belanda jauh lebih
baik daripada hukum yang ada di Indonesia. Pada tahun 1838 pemerintah Hinda
Belanda hendak memberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW) di wilayah jajahannya
di Indonesia. Mr Scoulten van Oud Haarlem selaku ketua Komisi Penyesuian UU
Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada
Pemerintahannya bahwa untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak
menyenangkan, mungkin juga perlawanan , jika diadakan pelanggaran terhhaadap
agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat dapatnya agar mereka
itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.

Pada Tahun 1847 melalui Staatsblad Tahun 1847 No. 30, penghulu di Surakarta
dan Yogyakarta tidak boleh lagi mengadili perkara perkara pidana yang dahulu
menjadi kompotensi pengadilan Surambi di zaman Pemerintahan Sultan Agung.
Pada tahun 1848 Pemerintah Hindia Belanda mulai menjalankan politik
konkordansi dengan memberlakukan Kitab UU Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) dan Kitab UU Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) buat orang
orang Eropa yang ada di Indonesia yagn sebelumnya sejak Tahun 1838 telah
diberlakukan di negeri Belanda. Pada tahun 1855 Pemerintah Hinda Belanda

8
Ibid, hal.87

6
mengeleuarkan Regeerings Reglement yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1855
No. 2 yang pasal 78 dinyatakan bahwa:

1. Tidak lagi berwenang mengadili perkara pidana


2. Apabila menurut hukum Agama atau adat adat lama perkara itu harus
diputus oleh mereka (penghulu) telah di putus oleh mereka.
3. Pada pasal 109 di nyatakan bahwa juga berwenang memutus perkara orang
orang Arab dengan Arab, orang Moor dengan orang moor, orang cina
dengan orang cina, orang Pakistan dengan orang Pakistan, orang Malaysia
dengan orang Malaysia dan sebagainya yang beragama islam.9

Pada tahun 1855 ini dimulai diterapkan pendapat yang mengajarkan bahwa
'hukum yang berlaku di jawa adalah hukum islam karena hukum agama itu melekat
pada pemeluknya' ke dalam sistem ketatangeraan melalui peraturan perundang
undangan Hindia Belanda melalui pasal 75,78, dan 109 RR 1854 (Stbl.1855 No.2).
Pendapat ini kemudian dikenal dengan reception in complexu. Tahun 1870-1887
merupakan masa tinggal Lodewijk Willem Christian van Den Berg (1845-1927) di
Indonesia. Ia adalah seorang Belanda yang ahli hukum Islam yang ketika tinggal di
Indonesia mengajarkan pendapat bahwa hukum Islam sebagai sebuah sistem hukum
yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat baik di masyarakat
maupun dalam peraturan perundang-undangan negara di Kerajaan-kerajaan Islam
yang pernah berdiri di Indonesia. Mereka melaksanakan hukum Islam dalam
wilayahnya masing-masing. Dari kenyataan inilah, di kalangan orang Belanda,
yang dipelopor oleh L.W.C van den Berg berkembang teori receptio in complexu
yang mengajarkan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah UU
Agama mereka, yakni hukum Islam. Teori ini kelak menjadi dasar dilahirkannya
Stbl. 1882 No. 152 yang mengangkat Peradilan Agama menjadi pengadilan negara
dalam sistem ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1882 merupakan Tahun dimulainya Peradilan Agama masuk ke dalam


sistem ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda melalui Keputusan (Konninklijk

9
Ibid, hal. 87-88

7
Besluit) Raja Belanda (Raja Wilem tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang dimuat
dalam Staatsblad 1882 No. 152 tanggal 21 Juni 1882 dan mulai berlaku tanggal 1
Agust 1882. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim
disebut dengan Rapat Agama atau Raad Agama dan terakhir disebut dengan.
Dengan dimasukkannya Peradilan Agama ke dalam sistem ketatanegaraan
Pemerintah Hindia Belanda ini, maka secara yuridis formal memiliki kedudukan
sebagai Pengadilan Negara dalam sistem ketatanegaraan Pemerintah Hindia
Belanda dan 1 Agustus 1882 merupakan tanggal pengakuan terhadap Badan
Peradilan Agama sebagai Pengadilan Negara dalam sistem ketetanegaraan Hindia
Belanda di Indonesia. Staatsblad 1882 No. 152 ini telah memberikan pengaruh
positf terhadap perkembangan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem
ketatanegaraan Pemerintah Hindia Belanda meskipun secara realitas belum
berpengaruh secara signifikan. Secara yuridis, Staatsblad 1882 No. 152 ini telah
mengangkat kedudukan Peradilan Agama menjadi Lembaga Negara, mengakui
eksistensi Peradilan Agama yang telah ada selama ini, menjadi dasar bagi
kewajiban Pemerintah membentuk Peradilan Agama pada setiap daerah yang di
tempat itu sudah ada Landraad. Hal ini kelak menjadi dasar bagi dibentuknya
Peradilan Agama di daerah-daerah di mana sudah ada pengadilan negeri. Teori
receptio in complexu ini terus berjalan sampai tahun 1929 ketika politik hukum
Belanda mulai terjadi perubahan dengan dimunculkan dan diterapkannya teori
receptie. Dalam pandangan Daniel S. Lev, para ahli umumnya berani memastikan
bahwa sampai akhir abad kesembilan belas, hukum yang berlaku secara umum di
Indonesia adalah hukum Islam. Pendapat demikian ini, menurutnya, tidaklah
eksklusif dalam artian banyak orang memiliki pandangan seperti itu. Pandangan
mana didasarkan atas kajian-kajian empiris yang tidak saja dilakukan oleh sarjana-
sarjana Indonesia tetapi juga sarjana-sarjana Barat. Untuk mendukung tesisnya itu,
Lev menghadirkan beberapa nama seperti Raffles, Marsden, dan Crawfurd yang
kesemuanya berasal dari inggris.10

10
Ibid, hal. 88-89

8
Politik Belanda bahwa hukum islam dan Peradilan Agama ini princepeel
gebrekkig mar fietelijk onmisbar, terus dijalankan dan diperkuat demi kepentingan
Penjajahan. Adalah Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven yang menentang teori
receptio in complexu dengan menciptakan teori baru, yaitu teori receptie yang
menyatakan bahs hukum yang berlaku di Indonesia sesungguhnya bukan hukum
Islam melainkan hukum adat, hukum Islam dapat berlaku sepanjang tidal
bertentangan dengan hukum adat dan sudah diresepsi (diterima menjadi hukum adat
sehingga ia tampil bukan lagi sebagai hukum yang Islam melainkan sudah menjadi
hukum adat. Teori receptie thi berpangkal dari keinginan dan kelicikan Snouk
berobsesi agar pertama, rakyat pribumi jajahan jangan sampai kut memegang ajaran
Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran Islam dan
hukum Islam tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat, kedua, peradian
agama seharusnya dihapuskan, pembentukan Peradilan Agama merupakan
kesalahan yang patut disesalkan karena sesungguhnya itu tidak diperlukan karena
akan menambah kesulitan dalam mengatur tata hukum di Indonesia, oleh karena itu
keputusan-keputusannya tidak perlu diberi kekuatan hukum, ketiga, untuk
mempertahankan kemurnian hukum adat hukum Islam harus dihapuskan karena
hukum Islam bukan hukum asli Indonesia karena hukum asli Indonesia adalah
hukum adat; keempat dengan diberlakukannya hukum adat akan sangat mendukung
proses kolonialisme serta melunturkan nasionalisme masyarakat Indonesia.
Menurut Abdul Ghofur Anshori, atas dasar itulah Snouk Hurgronje memberikan
nasihat kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia
dengan berusaha menarik rakyat pribumi (indlander) agar lebih mendekat kepada
kebudayaan Eropa dan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk itu, hendaklah
Pemerintah Hindia Belanda menempuh kebijaksanaan sebagai berikut :

a) Dalam kegiat agama dalam arti sempit, memberikan kebebasan secara jujur
dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam untuk melaksanakan agamanya.
b) Dalam bidang kemasyarakatan, menghormati adat istiadat dankebiasaan
rakyat dengan membuka jalan yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat

9
jajahan kepada suatu kemajuan dengan memberikan bantuan kepada
mereka.
c) Dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tujuan yang dapat membawa atau
menghubungkan ke arah gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan
untuk mencari kekuatan- kekuatan lain dalam menghadapi Pemerintah
Hindia Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.11

Pada Tahun 1919 mulai diterapkan teori receptie melalui penggantian UU Dasar
Hindia Belanda, yaitu dari Regeeringsreglement (RR) menjadi
Indischestaatsregeling (IS). Perubahan UUD ini terjadi karena perubahan politik
hukum yang sangat mendasar, yaitu bahwa oleh sebab teori Receptio In Complexu
ternyata tidak menguntungkan kepentingan politik Pemerintah Belanda akhirnya
diubah dan diganti dengan teori Receptie. Perubahan ini dimuat dalam Pasal 78 ayat
(2) RR Stbl. 1855 No. 2 yang kemudian menjadi Pasal 134 ayat (2) IS. Dengan
Teori Receptie, maka Pasal 134 ayat (2) 1.S. yang baru ini berbunyi sebagai berikut:

“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan
oleh Hakim Agama Islam jika keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat
mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonante”.

Pada Tahun 1929, teori receptie ini mulai diterapkan melalui Stbl. 1929 No.
221. Teori Reseptie ini tercermin dalam Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling.
Teori inilah yang dijadikan landasan kebijakan Belanda terhadap hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia. Teori ini didukung oleh Prof. Ter Haar dan beberapa
sarjana hukum yang memperoleh pendidikan hukum Belanda, baik di Batavia
maupun di negeri Belanda. Pada Tahun 1937 dikeluarkan Staatsblad tentang
Peradilan Agama di Jawa dan Madura, yaitu Stbl. Tahun 1937 No. 116 yang berisi
pengurangan kompetensi sebagai implikasi dari penerapan teori receptie, sehingga
kompetensi mengenai kewarisan dihapuskan dan dialihkan ke Pengadilan Negeri

11
Ibid, hal.89-91

10
sehingga praktis hanya diberi kewenangan menyelesaikan perkara nikah, talak,
cerai dan rujuk (NTCR) saja."

Pada Tahun 1938, Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1938


membentuk Hef voor Islamistiesche zaken (Mahkamah Islam Tinggi yang disingkat
MIT) dengan Stbl. Tahun 1937 No. 610 sebagai pengganti kekecewaan umat Islam.
MIT ini diresmikan pada hari Sabtu tanggal 1 Januari 1938 M. atau 28 Syawal 1356
H.139 Menurut catatan Mr. Notosusanto, MIT ini bersidang untuk yang pertama
kalinya di Gedung Cikini No.8 Jakarta pada Senin 7 Maret 1938, yang dihadiri oleh
Wakil Directeur Justitie sebagai wakil Pemerintah, oleh pembesar-pembesar
lainnya dan wakil dari berbagai lapisan rakyat. Pada Tahun 1938 ini juga dibentuk
Kerapatan Qadi Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur sebagai
tingkat pertama, dan dibentuk pula Kerapatan Qadi Besar sebagai pengadilan
tingkat banding yang berkedudukan di Banjarmasin, yakni dengan Staatsblad No.
638 dan 639 Tahun 1937 Kewenangan Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar
ini sama dengan kewenangan di Jawa dan Madura dan Mahkamah Islam Tinggi di
Batavia. Mr. Notosusanto menuturkan bahwa pada dasamya politik penjajahan
Hindia Belanda tidak ingin mencampuri bidang agama, termasuk di dalamnya
masalah hukum dan Peradilan Agama, dengan dalih menjamin kebebasan bagi
warganya untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun, karena sebagian
terbesar rakyat Indonesia beragama Islam sedang dalam ajaran agama Islam
mengandung unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dari praktik kehidupan
kenegaraan, maka Pemerintah Hindia Belanda dengan terpaksa mengatur dan
mengawasi bidang Agama, demi menjaga keamanan dan ketertiban serta
kepentingan mereka di Indonesia. Seiring dengan kepentingan politiknya.
Pemerintah Belanda yang semula menerapkan teroti receptio in complexu
kemudian menggantinya dengan menerapkan teori receptie. Menurut T. Mulya
Lubis, penciptaan dan penerapan teori receptie merupakan politik pemerintah
kolonial untuk melestarikan terpecahnya komunitas-komunitas adat kita.12

12
Ibid, hal. 91-93

11
B. Sejarah Peradian Agama Pada Masa Penjajahan Jepang

Tahun 1942-1945 merupakan masa penjajahan Jepang di Indonesia. Pada


masa penjajahan Pemerintah bala tentara Dai Nippon (Gunseikanbu), keadaan
Peradilan Agama tidak mengalami perubahan kecuali sedikit di bidang urusan
agama, yakni dibentuknya SHUMUBU sebagai Kantor Agama Pusat yang
fungsinya mirip dengan Kantoor voor Islamietische Zaken, dan SHUMUKA
sebagai Kantor Agama Karesidenan, dengan menempatkan tokoh-tokoh pergerakan
Islam sebagai pemimpin kantor itu. Kebijakan Jepang ini bertujuan untuk menarik
simpati umat Islam agar membantu "cita-cita Kemakmuran Asia Raya di bawah
pimpinan Dai Nippon."

Pada Tahun 1942, tepatnya pada 29 April 1942. Pemerintah Bala tentara
Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 Tahun 1942 tentang Pengadilan Bala tentara
Dai Nippon. Di dalam Pasal 1 disebutkan bahwa di tanah Jawa dan Madura telah
diadakan "Gunset Hoom". yakni Pengadilan Pemerintah Balatentara. Pasal 3 UU
ini menyebutkan bahwa buat sementara waktu "Gunsei Hooin" (Pengadilan
Pemerintah Bala tentara) terdiri atas:

a) Tiho Hoom (Pengadilan Negeri)


b) Kerzai Hooin (Hakim Polisi)
c) Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
d) Gun Hos (Pengadilan Kewedanan)
e) Kaikoyo Kootoo Hoois (Mahkamal Islam tinggi)
f) Soorya (Rapat Agama)13

Demikian halnya, penataan PADI pada masa peralihan dari pemerintahan


Hindia Belanda kepada pemerintahan Militer Jepang. Sejalan dengan politik islam
yang ditetapkan. Jepang yang sedang menghadapi perang dengan tentara sekutu,
menerapkan politik yang simpatik terhadap umat islam di Indonesia. Secara
simbolik Belanda (1980) menggambarkan hubungan islam dengan Jepang sebagai

13
Ibid, hal.93

12
Bulan Sabit (simbol islam) dan Matahari Terbit (simbol Jepang), sebagai bentuk
hubungan antara subordinasi dengan superordinasi.14

Berkenaan dengan penerapan politik itu tingkat campur tangan terhadap PADI
amat rendah, sehingga memungkinkan adanya usaha memulihkan kekuasaan
pengadilan, khususnya mengenai masalah kewarisan dan perwakafan melalui
Sanyo Kaigi (Dewan Pertimbangan). Usaha memulihkan wewenang Pengadilan
Agama itu dilakukan oleh golongan Islam, namun mengalamikegagalan karena
ditentang oleh golongan nasional. Konflik antara golongan islam dengan golongan
nasional itu, secara makro berpangkal kepada konsep hubungan antara agama
dengan negara, yang berpangkal pada orientasi kebudayaan mereka. Di satu pihak
golongan Islam menghendaki terbentuknya sebuah “Negara Isam”, sedangkan di
pihak lain golongan nasional menghendaki suatu “Negara Netral “ dari agama.

Pertentangan diantar kedua golongan tersebut tercermin dalam pandangan dua


orang tokoh nasipnal di dalam Dewan Sanyo. Abikusno golongan islam,
berpandangan bahwa Pengadilan Agama (Islamic Courts) harus tetap ada dan
kewenangannya dibidang kewarisan harus dipulihkan. Disamping itu, pengadilan
harus diperkuat oleh tenaga yang terdidik dan digaji oleh pemerintah. Sebaliknya,
Supomo, golongan nasionalis, berpandangan bahwa negara yang sekuler harus
bersifat modern dan tidak perlu berdasarkan Islam. Apabila Pengadilan Agama
tidak dapat dihapuskan, maka jabatan penghulu dalam instansi-instansi sipil
dihapuskan.15

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam


yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu)
mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi
Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa
Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara

14
Drs. Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 2000) hal. 121
15
Ibid, hal. 122

13
mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara
Indonesia merdeka kelak. Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan opada tanggal 17 agustus 1945, maka
pertimbangan dewan pertimbangan agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir
dan peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.

Dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang ini
baik posisi maupun wewenangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, justru
Jepang lebih bersikap terbuka terhadap Islam dengan pengakuan dan pengukuhan
adanya Peradilan Agama, hanya istilah penyebutannya saja yang berbeda, ini
tentunya tidak terlepas dari kepentingan Jepang saat itu yang posisinya sedang kritis
dan terjepit sebagai dampak dari perang dengan tentara sekutu, jadi saat mereka
dalam keadaan lemah seperti ini tidak mungkin mereka merusak hubungan dengan
kaum muslim di Indonesia, langkah yang diambil adalah sikap lentur terhadap
Islam termasuk lembaga Peradilan Agama.16

16
Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah, M.Ag., BUKU DARAS PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA, ( Bandung : PT. Liventurindo, 2021 ) hal. 53-54

14
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Peradilan Agama yang merupakan lambang kekuasaan hukum Islam


eksistensinya berbarengan dengan berlakunya hukum Islam, karena keduanya tidak
dapat dipisahkan. Keadaan demikian itu sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia
dijajah Oleh Belanda. Dimasa penjajahan Belanda, eksistensi Peradilan agama
tersebut terus berlangsung, walaupun terdapat usaha-usaha untuk mengebirinya dan
dibuat mandul. Pada masa Penjajahan Jepang, demikian juga keadaannya.
Kenyataan ini membuktikan bahwa peradilan agama mutlak diperlakukan oleh
Ummat Islam di Indonesia, yang merupakan mayoritas penduduk. Usaha-usaha
untuk menghapuskan peradilan agama bagikan gajah yang bersikeras ingin masuk
ke lubang jarum.

Kehadiran hukum kolonial Belanda pada mulanya agar supaya dapat


mempersempit ruang gerak umat Islam, khususnya dalam rangka menyelesaikan
kasus keperdataan diantara umat Islam, peraturan-peraturan atau stabalad pada
akhirnya inilah menjadi rujukan lahirnya perundangundangan peradilan agama di
Indonesia. Perkembangan peradilan agama yang telah dicatat dalam sejarah
merupakan rangkaian perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan
dan peningkatan peradilan agama di Indonesia.

Peradilan Agama pada masa pendudukan Jepang ini baik posisi maupun
wewenangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, justru Jepang lebih
bersikap terbuka terhadap Islam dengan pengakuan dan pengukuhan adanya
Peradilan Agama, hanya istilah penyebutannya saja yang berbeda, ini tentunya
tidak terlepas dari kepentingan Jepang saat itu yang posisinya sedang kritis dan
terjepit sebagai dampak dari perang dengan tentara sekutu, jadi saat mereka dalam
keadaan lemah seperti ini tidak mungkin mereka merusak hubungan dengan kaum

15
muslim di Indonesia, langkah yang diambil adalah sikap lentur terhadap Islam
termasuk lembaga Peradilan Agama

B. Saran

Kesadaran hukum masyarakat yang disalurkan melalui peradilan Agama


mempunyai arti besar dalam pembentukan politik hukum pemerintah. Dengan
demikian semakin ummat berkomitmen kepada Islam, semakin sadar perlunya
hukum islam bagi dirinya, semakin tegak dan tegarlah peradilan agama dimasa
mendatang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dr. A Mukti Arto, S.H., M.Hum., PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM


KETATANEGARAAN INDONESIA (Kajian Historis, Filosofis, Ideologis,
Politis, Yuridis, Futuristis Dan Pragmatis),(Surakarta : Pustaka Mantiq,
2012)

Dr. Hj. Aah Tsamrotul Fuadah, M.Ag., BUKU DARAS PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA, ( Bandung : PT. Liventurindo, 2021 )

Drs. Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2000)
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita,
(Malang: UIN Malang Press, 2009)

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,


(Jakarta: Kencana, 2008)

Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015)

17

Anda mungkin juga menyukai