Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN, KEDUDUKAN, SIFAT DAN SEJARAH PERADILAN

AGAMA DI INDONESIA
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu : Bapak Ali Geno Berutu, M.H.,HK

DISUSUN OLEH :

1. Husni Maulana (33030190001)


2. Naura Raihana Dwianda (33030190002)
3. Liwa Saniy Rachmad Putra (33030190019)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas segala limpahan rahmat,
taufik, serta hidayah Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum
Acara Peradilan Agama.
Makalah Hukum Acara Peradilan Agama ini telah kami susun dengan
semaksimal mungkin, untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
teman-teman khususnya kelompok kami yang telah membantu membuat makalah
Hukum Acara Peradilan Agama ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
dengan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah Hukum Acara Peradilan Agama ini.

Akhir kata dari kami, kami berharap semoga makalah tentang “Pengertian,
Kedudukan, Sifat dan Sejarah Peradilan Agama di Indonesia” ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Salatiga, 03 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i


KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................3
C. TUJUAN………………………………………………………………….3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................4
A. PENGERTIAN PENGADILAN AGAMA .............................................4
B. KEDUDUKAN PENGADILAN AGAMA .............................................4
C. SIFAT PENGADILAN AGAMA ...........................................................6
D. SEJARAH PENGADILAN AGAMA .....................................................7
BAB III PENUTUP ...........................................................................................9
A. KESIMPULAN ......................................................................................11
B. SARAN ..................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap umat Islam yang menyadari pentingnya keberadaan Peradilan Agama di


Indonesia, harus mensyukuri keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama saat ini yang sudah
sejajar dengan peradilan lainnya setelah sebelumnya mengalami pasang surut dan perjalanan
berliku-liku. resmi diakui sejak zaman penjajahan. Dalam kondisi yang masih sangat
sederhana dan memiliki kewenangan yang sangat terbatas maka mendapatkan momentum
kebangkitannya dengan disahkannya dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 pada masa pemerintahan Orde
baru berikutnya di era reformasi, keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama mencapai
puncak kekokohannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Dan
terakhir, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama semakin diperkuat dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009.

Hukum Islam telah ada di Nusantara sejak Umat Islam datang dan menetap di
Nusantara ini. Berdasarkan pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam kepada
Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama Hijriah atau pada abad VII/VIII M. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam hanya
sampai di Nusantara pada abad XIII M. Daerah pertama yang dikunjungi merupakan pantai
utara pulau sumatera dengan formasi komunitas Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.

Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para pedagang
melalui perdagangan dan pernikahan, peran hukum Islam sangat besar. Ini bisa dilihat dari
kenyataan bahwa jika seorang saudagar muslim ingin menikah dengan wanita pribumi,
misalnya, wanita itu masuk Islam terlebih dahulu dan menikah kemudian dilaksanakan
menurut ketentuan syariat Islam. Keluarga yang tumbuh dari pernikahan ini mengatur
hubungan antara anggotanya dengan prinsip-prinsip hukum Islam/ aturan lama yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Jika ada anggota keluarga yang meninggal, harta warisan
dibagi menurut hukum waris Islam.

1
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, pada zaman Kerajaan Hindu sudah memiliki
lembaga peradilan. Lembaga Peradilan dibagi menjadi dua, yaitu peradilan perdata dan
peradilan perdata padat. Yang termasuk perkara perdata dalam perkara umum yang dapat
membahayakan mahkota, keamanan dan keselamatan ketertiban negara, seperti kerusuhan,
pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain sebagainya. Hal ini diadili di pengadilan sipil
yang dilakukan oleh Raja sendiri. Sementara itu, hal-hal yang menyangkut individu diadili oleh
pejabat negara yang disebut jaksa. Pengadilan ini dilakukan di Pengadilan Padu.

Peradilan atau hukum qadla adalah fardlu kifayah dan dapat dilaksanakan dalam
keadaan apapun. Dalam keadaan tidak ada qadli atau penguasa yang dapat melaksanakan
peradilan dapat dilakukan dengan cara tahkim pada muhakkam yaitu menyerahkan hukum
kepada seseorang yang dianggap menguasai hukum, seperti penilaian wanita seseorang untuk
bertindak sebagai wali atau menyerah dua pihak yang berselisih kepada pihak ketiga untuk
memutuskan kasusnya. Dalam masyarakat yang terorganisir, jabatan hakim atau qadli dapat
dilakukan dengan pemilihan dan Bai'at oleh ahlul halli wal 'aqdi, yaitu pengangkatan seseorang
dipercaya oleh majelis atau sekelompok orang menonjol di masyarakat. Berada di negara yang
pemerintahan, komposisi jabatan tersebut dapat dilaksanakan dengan memberikan tauliyah,
yaitu pemberian kekuasaan dari penguasa.

2
RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengertian peradilan agama di Indonesia?


2. Bagaimana kedudukan peradilan agama di Indonesia?
3. Bagaimana sifat peradilan agama di Indonesia?
4. Bagaimana sejarah peradilan agama di Idonesia?

TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian peradilan agama di Indonedia.


2. Untuk mengetahui kedudukan peradilan agama di Indonesia.
3. Untuk mengetahui sifat peradilan agama di Indonesia.
4. Untnuk mengetahui sejarah peradilan agama di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama


Peradilan Agama merupakan lembaga sosial hukum Islam di Indonesia. Istilah
yudikatif secara etimologis berasal dari kata adil dan akhiran -an berarti sesuatu yang ada
hubungannya dengan hal-hal yang berkaitan dengan keadilan. Dalam bahasa Arab disebut
dengan al qadla. Istilah ini secara etimologis dalam Al-Qur'an memiliki banyak arti,
diantaranya dapat berarti mengakhiri atau melengkapi, memenuhi, dan dapat juga berarti
memerintahkan.
Dari segi istilah yudikatif dan pengadilan memiliki pengertian dan pengertian yang
berbeda, perbedaannya adalah :
1. Peradilan dalam istilah Inggris disebut judiciary, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
sebagai rechtspraak. Keduanya memiliki maksud sebagai segala sesuatu yang berhubungan
dengan tugas negara dalam menegakan hukum dan keadilan1
2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court, sedangkan dalam istilah Belanda disebut
rechtbank. Keduanya memiliki maksud sebagai badan yang melakukan peradilan berupa
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara2.

Dengan demikian, peradilan agama termasuk peradilan khusus seperti halnya peradilan
militer, yang memang merupakan pengadilan bagi golongan militer mengenai perkara pidana
dan disiplin militer yang dilakukan oleh orang yang berstatus militer dan peradilan tata usaha
negara yang kewenangannya termasuk di bidang tata usaha negara. . salah satu pihak adalah
penguasa atau pemerintah.

B. Kedudukan Peradilan Agama

Di era reformasi, telah terjadi beberapa perubahan dan upaya untuk menyelenggarakan
dan menyelenggarakan Peradilan Agama. Gerakan reformasi selain berhasil menjawab
persoalan-persoalan politik, juga berhasil menjawab tuntutan reformasi hukum dan peradilan.

1
Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), Hlm 91-92
2
Ibid. Hlm. 92

4
Pentingnya reformasi hukum dan peradilan, mengingat pada masa Orde Baru banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan dan aparatur
hukum, akibatnya hukum tidak dapat ditegakkan karena lembaga peradilan itu korup (judicial
corruption). Karena itu, separuh gerakan reformasi berhasil, isu independensi peradilan
bergema3.

Menurut UUD, kedudukan Peradilan Agama sebagaimana yang terkandung dalam


UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan Penghakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya di lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara BUMN, dan oleh
Mahkamah Konstitusi.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 menegaskan :
1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
2. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan keadilan bagi orang-orang yang mencari keadilan yang beragama Islam
mengenai hal-hal tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3 UU Pengadilan
Agama menyatakan :
1. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama
b. Pengadilan Tinggi Agama
2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Negeri Tertinggi.

3
Ibid, hal. 292

5
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2
menyatakan : penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 dilakukan oleh Pengadilan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
Mahkamah Konstitusi. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan : semua peradilan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah lembaga peradilan negara dan
ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman


menegaskan: Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lembaga
peradilan di bawahnya lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.

Kesimpulannya, kedudukan Peradilan Agama dengan Pengadilan Negeri adalah


sederajat, tidak ada disparitas antara keduanya, yang membedakan adalah kewenangan
mengadili, dimana Peradilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara perdata
(tertentu), sedangkan kewenangan Pengadilan Negeri adalah berwenang memeriksa dan
mengadili perkara pidana umum dan perdata umum.4

C. Sifat peradilan Agama

Sifat peradilan agama diantaranya meliputi :

a. Memberikan pelayanan dalam administrasi banding, kasasi dan peninjauan kembali


serta administrasi peradilan lainnya.
b. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada seluruh unsur di lingkungan
Peradilan Agama (umum, kepegawaian dan keuangan kecuali biaya perkara)
c. Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat hukum Islam kepada Instansi
Pemerintah di wilayah kerjanya, jika diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, da Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1990), hlm.
35

6
d. Memberikan pelayanan penyelesaian atas permintaan bantuan dalam pembagian
harta warisan di luar perselisihan antara orang-orang yang beragama Islam
berdasarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Keagamaan. pengadilan.
e. Akta Waris Waarmerking di bawah tangan untuk pengambilan simpanan/tabungan,
pensiunan dan sebagainya.
f. Melaksanakan tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum, melaksanakan
hisab rukyat, pelayanan penelitian/penelitian dan sebagainya.5
D. Sejarah peradilan agama

Keadilan menurut bahasa adalah segala sesuatu tentang perkara pengadilan. Menurut
para ahli hukum, peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan suatu
perkara untuk dan atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. Dengan demikian,
Peradilan Agama adalah kekuasaan (negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara) perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah
di kalangan umat Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Agama dalam
bentuknya yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tak terputus dalam sejarah
masuknya Islam.

Masyarakat Indonesia sudah mengenal peradilan sejak lama. Dalam sifat masyarakat
dimana individu saling berinteraksi, akan menimbulkan benturan kepentingan individu dalam
masyarakat. Keberadaan suatu komunitas juga akan diikuti oleh aturan atau undang-undang
yang akan diterapkan dan berlaku bagi seluruh anggota komunitas tersebut. Hukum atau aturan
ini dibuat dalam rangka menciptakan masyarakat yang aman, tentram, dan damai. Meskipun
suatu aturan telah dibuat, tetap saja terjadi pelanggaran (pelanggaran hukum atau perselisihan)
perselisihan pribadi antar anggota masyarakat.

Dengan masuknya Islam ke Indonesia pertama kali pada abad pertama Hijriah (1 H/7
M) yang dibawa langsung dari Arab oleh para pedagang dari Mekkah dan Madinah, masyarakat
mulai menerapkan ajaran dan aturan Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. kehidupan
yang bersumber dari kitab Islam. fiqh. Kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut.
Terkadang wibawa dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan realita

5
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1991), hlm. 28

7
yang ada di masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan kewenangannya dibatasi oleh
berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai
manipulasi dari penguasa dan kelompok masyarakat tertentu sehingga kedudukan Peradilan
Agama melemah. Sebelum meluncurkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai
hukum yang merdeka telah memiliki kedudukan yang kuat, baik dalam masyarakat maupun
dalam peraturan perundang-undangan negara.

Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia menjalankan syariat Islam di


wilayah hukumnya masing-masing. Kerajaan Islam yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad
ke-13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten . Di
Indonesia bagian timur juga terdapat kerajaan-kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar.
Pada pertengahan abad ke-16, sebuah dinasti baru, yaitu Mataram menguasai Jawa Tengah,
dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, berperan sangat
besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya para penguasa kerajaan
Mataram ke dalam Islam, maka pada awal abad ke-17 M penyebaran Islam hampir meliputi
sebagian besar wilayah Indonesia.6

Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan di kota-kota pesisir secara damai
tanpa melalui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat Indonesia seiring dengan penyebaran dan adopsi agama Islam oleh sebagian besar
penduduk Indonesia. Dengan munculnya komunitas Islam, kebutuhan akan lembaga peradilan
yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam semakin dibutuhkan. Hal ini terlihat jelas dari
proses pembentukan lembaga peradilan berdasarkan hukum Islam,

Dalam keadaan-keadaan tertentu, apalagi jika di suatu daerah tidak ada hakim, maka
kedua orang yang bersengketa itu dapat mengadili seseorang yang dianggap memenuhi syarat.
Tahkim (tunduk pada seseorang yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan masalah
hukum) hanya dapat berlaku jika kedua belah pihak terlebih dahulu setuju untuk menerima dan
mematuhi keputusan kemudian, juga tidak mungkin melibatkan pelaksanaan kejahatan, seperti
had (ketentuan hukum yang memiliki bentuk hukum positif) dan 'zir (ketentuan hukum yang
bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat). Jika tidak ada Imam, maka pelimpahan

6
Zaini Ahmad Noch dan Abdul Basil Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu.1980), hal. 44

8
wewenang pelaksanaan keadilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang
berwenang menetapkan hukuman), yaitu sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan. 7

Ada beberasa masa saat islam masuk ke Indonesia

a) Masa Pra-Kolonial

Sejarah berdirinya Peradilan Agama di seluruh Indonesia pada masa penjajahan (Portugis,
Belanda dan Jepang) harus dikaji berdasarkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada abad
X. Penyebaran Islam ke Indonesia melalui pedagang Arab dan Gujarat yang pada saat itu
menciptakan kelompok masyarakat yang akhirnya berkembang menjadi Kerajaan Islam.
Meskipun hukum Islam sudah ada, namun secara kelembagaan belum dikenal dengan nama
Peradilan Agama.

Lambat laun proses hukum Islam mempengaruhi adat istiadat setempat yang pada akhirnya
hukum Islam sebagai Hukum Adat sulit dan kompleks untuk dikaji. Untuk mengetahui istilah
atau nama Peradilan Agama di Indonesia Pra-Kolonial.

b) Masa Kolonial Belanda

Dengan hak mendelegasikan hak Octroi dari Pemerintah Belanda kepada VOC
(Verenidge Ooeste Copagnie) untuk berdagang sendiri di Indonesia. Dalam pasal 35 Octroi,
VOC mendapat kekuasaan Officieren Van Justitie (Pegawai Keadilan) pada saat pengangkatan
Gubernur Jenderal (Wali Negeri) dan Raad Van Indie (Dewan Hindia) pada tanggal 17
November 1609 diberi perintah kepada Pemerintah Tinggi Belanda (Hooge Regring Van Indie)
agar badan ini menjadi hakim dalam kasus lembaga perdata/pidana. Pada masa pemerintahan
G.G. Daendels (1808 – 1811) meyakini bahwa hukum asal terdiri dari hukum Islam yang
memutuskan perkara perkawinan dan pewarisan.

Pasal 13 Instruksi Bupati-Bupati (Instruksi Bupati) menyatakan bahwa perselisihan


mengenai pembagian warisan di antara rakyat Indonesia harus diserahkan kepada Alim Ulama.
Pada tahun 1930 pemerintah Belanda menunjuk Peradilan Agama di bawah pengawasan

7
Munawira Syadzali, landasan Pemikiran Hukum Islam dalam Rangka Menemukan Peradilan Agama di
Indonesia, dalam buku Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Prospeknya, Pengantar Juhaya S. Praja
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarva. 1994), hal. 47

9
Landraad. Di Stbl. 1835 No. 58 menyatakan: “Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan
Madura dalam hal terjadi perselisihan perkawinan, harta benda perkawinan, maka yang
mengambil keputusan adalah benar-benar Ahli Hukum Islam (Pendeta)/Penghulu dari Pejabat
Agama.

c) Masa Kolonial Jepang.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 Tentara Jepang (Osamu Saeire)
tanggal 7 Maret 1942, bahwa: “Segala Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan Pemerintah Jepang”.

Sebagai langkah selanjutnya, pemerintah Jepang membentuk KUA Pusat (Maret 1943)
dengan nama Shumbu dimana Penghulu menduduki jabatan: Imam Masjid, Kepala Kantor
Urusan Agama, Hakim Wali, Penasehat Agama, Pengadilan Negeri. Penasehat, dan Hakim
Agama. Pada masa pemerintahan Jepang, tidak ada perubahan signifikan dalam hal
kewenangan, hanya dari nama Pengadilan Agama menjadi Soor Yoo Hoo Ien.8

8
Departemen Agama RI. Laporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama (Jakarta : Proyek Pembinaan
Administrasi Hukum Peradilan Agama. 1993), hal. 75

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peradilan Agama merupakan lembaga sosial hukum Islam di Indonesia. Istilah


yudikatif secara etimologis berasal dari kata adil dan akhiran -an berarti sesuatu yang ada
hubungannya dengan hal-hal yang berkaitan dengan keadilan. Dalam bahasa Arab disebut
dengan al qadla. Istilah ini secara etimologis dalam Al-Qur'an memiliki banyak arti,
diantaranya dapat berarti mengakhiri atau melengkapi, memenuhi, dan dapat juga berarti
memerintahkan. Dengan kedudukan Peradilan Agama dengan Pengadilan Negeri adalah
sederajat, tidak ada disparitas antara keduanya, yang membedakan adalah kewenangan
mengadili, dimana Peradilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara perdata
(tertentu), sedangkan kewenangan Pengadilan Negeri adalah berwenang memeriksa dan
mengadili perkara pidana umum dan perdata umum.

B. Saran
Makalah ini dibuat berdasarkan pemikiran dan sumber yang masih sangat kurang, jadi
kami selaku pembuat makalah menyarankan tetap mencari sumber lain jika ingin mendapatkan
materi yang lebih rinci mengenai Pengertian, kedudukan sifat dan sejarah peradilan Agama di
Indonesia.

Kami menyadari bahwa didalamnya terdapat banyak kesalahan ataupun kekeliruan


didalam penyusunannya, untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk kebaikan kita
bersama.

11
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 1993. Laporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama. Jakarta :
Proyek Pembinaan Administrasi Hukum Peradilan Agama.

Harahap, Yahya. 1990. Kedudukan, Kewenangan, da Acara Peradilan Agama. Jakarta :


Pustaka Kartini.

Rasyid, Roihan. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta : Pustaka Kartini.

Subekti. 1978. Kamus Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita.

Syadzali, Munawira. 1994. landasan Pemikiran Hukum Islam dalam Rangka Menemukan
Peradilan Agama di Indonesia, dalam buku Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan
Prospeknya, Pengantar Juhaya S. Praja. Bandung : PT. Remaja Rosdakarva.

12

Anda mungkin juga menyukai