Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PERADILAN AGAMA di INDONESIA

TENTANG

PERADILAN AGAMA di INDONESIA


Diajukan untuk memenuhi tugas Semester Pendek Mata Kuliah PERADILAN
AGAMA di INDONESIA

Di Susun

Oleh:

MUHAMMAD FAISHAL HABIB

NIM: 21154125

Dosen Pamong: Maulidya Mora Matondang, M.Ag

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang diberi judul PERADILAN AGAMA di
INDONESIA

Makalah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan


dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan hasil makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Medan, 09 Februari 2021

Muhammad Faishal Habib


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Balakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama ................................................................................... 4


B. Peradilan Agama sebagai Peradilan Islam di Indonesia ......................................... 4
C. Kedudukan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama ............................................ 5
D. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama .............. 7
E. Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Orde Lama ....................................... 12

BAB III PENUTUPAN

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia,


sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman1 telah cukup memakan waktu
yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia.
Dikatakan demikian, karena memang Islam adalah agama hukum, dalam arti
sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta
(hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk agama Islam
secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan
masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk
melaksanakannya secara paripurna.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam
selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan.2 Oleh karena itu
pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri.3
Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam.
Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu
yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.4

Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama


keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai
berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan

1
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 57.
2
Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634,
Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990, hlm. 71.
3
Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.
4
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.

1
perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk
ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.5 Hal ini karena
masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati
hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.6

Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul sebelum


datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga
sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat sederhana sesuai dengan
kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang diajukanya kepadanya pada
awal islam, lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hokum yang berkembang
dalam Masyarakat.7

sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan atau


eksistensi Peradilan Agama pada masa orde lama, sehingga dengan pembahasan
ini kita dapat memahami sejarah Peradilan Agama pada masa orde lama, mudah-
mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya pemakalah pribadi.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan


pembahasan ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah

1. Apakah Pengertian Peradilan Agama?


2. Apakah Peradilan Agama termasuk kedalam Peradilan Islam di
Indonesia?
3. Bagaimanakah kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama?
4. Apakah dasar hukum dan bagaimanakah wewenang Peradilan
Agama pada masa orde lama?
5. Bagaimanakah perkembangan Peradilan Agama pada masa orde
lama?

5
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…
6
Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.
7
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.

2
C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah dalam


makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan mengenai pengertian Peradilan Agama.


2. Menjelaskan bentuk Peradilan Agama di Indonesia.
3. Menjelaskan kedudukan Peradilan Agama pada masa orde lama.
4. Menjelaskan dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama pada
masa orde lama.
5. Menjelaskan perkembangan Peradilan Agama pada masa orde
lama.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat


lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia
dan juga salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu.
Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja
dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.

Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di
Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka
ragam sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam,
Mahkamah Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte,
Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische
Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.8

Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun
1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang
dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi.

B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Peradilan Agama


adalah sebutan resmi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Akan tetapi, akan timbul pertanyaan apakah Peradilan Agama yang

8
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), hlm.17.

4
dimaksud merupakan Peradilan Islam dalam konsepsi universal atau hanya
Peradilan Islam di Indonesia?

Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura yaitu
stbl. 1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa Peradilan
Agama berwenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan perkara-perkara tertentu saja, menurut hukum Islam, antara orang-
orang yang beragama Islam, semata-mata perkara yang bersifat perdata.9

Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan
pelaksanaannya, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang beragama Islam
melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah komplit mencakup perkara nikah
menurut konsepsi Islam yang universal.

Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama
adalah Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai peradilan
Islam secara universal, karena Peradilan Islam yang universal merupakan
peradilan yang mempunyai prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap
satu dan dapat diberlakukan dimanapun bukan hanya untuk suatu bangsa atau
negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan kata-kata “di
Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama tersebut hidup di dalam
hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan hukum Islam di satu
pihak dengan hukum negara Indonesia di pihak lainnya.

C. Kedudukan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan
Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke
VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama
dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda

9
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama.

5
yang berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya konflik antara
hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik ini dengan sengaja
dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar,
Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. 10

Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie
ternyata masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia,
khususnya yang ada di legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak
dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, yakni
berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA).
Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum Islam yang
berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.

Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama, keberadaan


peradilan agama tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena
politik kaum kolonialisme yang tidak mensejajarkan peradilan agama dengan
peradilan umum masih tetap diberlakukan, baik menyangkut kompetensi
absolutnya maupun menyangkut kompetensi relatif, finansial dan oraganisasinya,
sehingga quasi peradilan sebagaimana disebutkan sebelumnya masih tetap
berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 1964,
eksistensi lembaga peradilan agama secara tegas dinyatakan, bertugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di samping peradilan umum, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara. Meskipun demikian, suatu hal yang
menggembirakan adalah bahwa pada masa pemerintahan orde lama telah
diterbitkan suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama
diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45 Tahun 1957,

10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 204.

6
sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4
lingkungan Peradilan Negara.11

Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal
dan akhir pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964,
namun apa yang dinamakan quasi pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat
dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir tahun 1989 suasana kesemuan dan
kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu sisi secara formil
dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh,
pincang dan tidak sempurna.12

D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde


Lama

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping sebagai


Peradilan khusus yakni sebagai Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi
wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan
hukum materiil Islam dalam batas-batas kekuasaannya.

Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu
kita ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan
untuk mempertahankan keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP
No. 29 Tahun 1957, PP No. 45 Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 yang akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957.


a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957

11
Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum
perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.
12
Ihsan Halik,” Peradilan Agama”.

7
Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah) No.29 Tahun
1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Aceh yang bertugas mengadili perkara-
perkara yang bertalian dengan Agama Islam.

Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak tanggal 1


Agustus 1946 atas tuntutan rakyat sebagai hasil revolusi kemerdekaan
yang sesuai dengan hasrat masyarakat di Aceh, sehingga dibentuklah
Mahkamah syar’iyyah yang diakui sah oleh wakil Pemerintah Pusat di
Pemantang Siantar. Mahkamah Syar’iyyah tidak hanya terdapat di Aceh,
tetapi juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera, yaitu
Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.13

Sejak terbentuknya Mahkamah Syar’iyyah hingga pemulihan


kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949,14 Mahkamah Syar’iyyah di
Aceh berjalan lancar. Akan tetapi, ketika semua pegwai jawatan negara
Republik Indonesia dipusatkan di kementerian agama dan Perdana Menteri
Pemerintah Darurat meninggalkan Aceh, maka Mahkamah Syar’iyyah
tidak ada lagi yang mengaturnya dan tidak lagi mempunyai dasar hukum
yang kuat.

Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah Syar’iyyah


tersebut, menimbulkan pergejolakan di kalangan masyarakat. Dalam
rangka meredakan pergejolakan serta untuk memberikan landasan yang
kuat bagi eksistensi Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa
dan Madura, maka diajukan sebuah rancangan Peraturan Pemerintah
tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah untuk
daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957. Menurut PP No.

13
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum,
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media,
2006), hlm.73.

14
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74.

8
29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang ada Pengadilan Negeri di
Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama yang susunannya terdiri dari
sekurang-kurangnya seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-
banyaknya 8 orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan


Pemerintah No. 29 Tahun 1957.

Adapun wewenang Pengadilan Agama meliputi:

1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.


2) Segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus
menurut menurut hukum agama Islam yang berkenaan
dengan nikah, talak dan rujuk, fasakh, serta hadhanah.
3) Perkara waris mewaris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal,
dan lain-lain berhubungan dengan itu.
4) Perkara perceraian dan mengesahkan bahwa taklik talak
sudah berlaku.15

Dengan berlakunya PP No. 29 Tahun 1957 ini maka keadaan dasar


hukum Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat beragam.

1) Di Aceh berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957.


2) Di bekas negara Sumatera Timur yang disebut Majelis
Agama Islam didasarkan ketetapan Wali Negara Sumatera
Timur tanggal 1 Agustus 1950 No. 350 yang telah diaktivir
dengan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1953.
3) Di Palembang berdasarkan Penetapan Menteri Agama No.
15 Tahun 1952.16

15
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
16
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75.

9
Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan serta
ditambah dengan penampungan banyak pejabat-pejabat Badan Peradilan
Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan
UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan
nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama
terhapus, sehingga perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan
tidak mendapat pelayanan yang semestinya. Selain itu juga, untuk
melaksanakan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, maka
daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP No. 45 Tahun 1957 yang
mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama (Mahkamah
Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama dengan PP No. 29 Tahun
1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957 ternyata tidak dapat memberikan
penyelesaian bagi daerah-daerah yang lain secara integratif, maka PP No.
29 Tahun 1957 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sehingga digantikan
oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura.17

2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.


a. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 menetapkan tentang


pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di daerah luar
Jawa dan Madura. Peraturan Pemerintah ini menjelaskan bahwa
pelaksanaan dari peraturan ini diatur oleh Menteri Agama sebagaimana
yang disebutkan didalam pasal 12.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dengan memerhatikan Surat


Penetapan Menteri Kehakiman pada tanggal 27 Mei 1957 No. J.P. 18/7/6
tentang Kedudukan Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Pengadilan Negeri,
pada 13 November 1957 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri
Agama No.58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/

17
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

10
Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera, yakni pembentukan 54 Pengadilan
Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi,
kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6 Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi di Banjarmasin dan 34 Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1
Pengadilan Agama/ Mahkamah Provinsi di Makassar.18

Dalam rangka untuk memperlancar jalannya Pengadilan Agama di


daerah-daerah, maka Menteri Agama membentuk cabang-cabang kantor
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah, tidak hanya di luar Jawa dan
Madura tetapi juga di daerah Jawa dan Madura.

b. Wewenang Pengadilan Agama Menurut Peraturan


Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

Kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi perkara-perkara


yang dijelaskan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yang berbunyi:

“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan


antara suami-isteri yang beragama Islam, dan perkara yang menurut
hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam, yang berkenaan
dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, maskawin, tempat kediaman
(maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-malwaris,
wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan
dengan itu. Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan
mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.”19

Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada hakikatnya


isi dan wewenang Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1957 sama dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana

18
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77.
19
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.

11
yang telah dijelaskan di atas, sehingga adanya pencabutan peraturan
sebelumnya, akan tetapi, pembentukan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara efektif dan integratif,
dengan pembentukan Pengadilan Agama yang semakin meluas di seluruh
penjuru wilayah di Indonesia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
tidak hanya di Aceh saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah
lainnya.

3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14


Tahun 1970
a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970

Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang


Dasar 1945, maka pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah Undang-Undang
No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Menurut undang undang ini, Peradilan Negara Republik
Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi
pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun tidak lama kemudian, undang-undang ini diganti dan
disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai
lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2) dari undang-undang
tersebut menyatakan bahwa:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam


lingkungan:

a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara

12
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.20

Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan Agama


adalah salah satu dari lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan
kehakiman yang sah di Indonesia, di samping tiga kekuasaan kehakiman
atau tiga lingkungan Peradilan Negara yang sah lainnya. Mahkamah
Agung dan keempat lingkungan Peradilan Negara tersebut adalah
kekuasaan yang merdeka, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah atau pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam
undang undang baru ini ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka karena sejak tahun 1945-1966 keempat
lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara
utuh, melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan
lain.

Adapun tugas pokok kekuasaan kehakiman djelaskan di dalam


pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:

“Tugas Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah menerima,


memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya. Tugas lain daripada yang tersebut di ayat (1) dapat diberikan
kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.”21

Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama Peradilan
Agama adalah di bidang yudikatif sama seperti 3 pengadilan yang lain.
Adapun hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Agama
sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Kehakiman
yang terbatas di bidang organisatoris, administratif, dan keuangan,
sebagaimana yang dijelaskan di dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 yang berbunyi:

20
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1989), hlm. 5.
21
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2.

13
“ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat
(1), organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan
masing-masing departemen yang bersangkutan.”22

E. Perkembangan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama

Dengan adanya jaminan Yuridis Undang-Undang No. 14 Tahun 1970


Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan
Peradilan Agama semakin kuat. Pada tahun 1972 berdasarkan Keputusan Menteri
Agama No. 34 Tahun 1972 terbentuk 4 kantor Peradilan Agama dan 6 cabang
kantor Peradilan Agama/ Mahkamah syar’iyyah di dalam daerah Provinsi Riau,
Jambi, Aceh, dan Sumatera Utara.23

Menurut catatan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama dalam


suratnya tanggal 15 Desember Tahun 1972 No. DV/70/ED/1972 secara kuantitas
jumlah Pengadilan Agama di seluruh Indonesia sampai dengan Tahun 1972
adalah sebagai berikut:

a. Pengadilan Agama di Jawa, Madura 96 buah


b. Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa, Madura
152 buah
c. Kerapatan Kadi di Kalimantan 10 buah
d. Pengadilan Agama/ mahkamah Syar’iyyah Tingkat Banding untuk
luar Jawa 60 buah
e. Mahkamah Islam Tinggi Peradilan Agama tingkat Banding untuk
wilayah Jawa 1 buah
f. Kerapatan Kadi Besar di Kalimantan 1 buah
g. Badan Administrasi, yaitu jawatan (inspeksi) Peradilan Agama 11
buah.24

22
UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1).
23
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82.
24
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…

14
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada masa orde
lama kekuasaan Peradilan Agama sudah mulai kuat keberadaannya, hal ini
disebabkan oleh adanya kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan
tugasnya tanpa ada pengaruh dari kekuasaan pemerintah. Selain itu juga
dapat kita liat perkembangan Peradilan Agama yang cukup pesat dengan
ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan Indonesia.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan Peraadilan


Agama sudah ada sebelum kedatangan para penjajah Belanda. Peradilan Agama
mengalami pengalaman dinamika yang berbeda dengan peradilan lainnya, dimana
Peradilan Agama membutuhkan proses yang panjang untuk memperkuat
eksistensinya di Negara Indonesia, khususnya pada masa orde lama yang
melahirkan UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat wewenang Peradilan
Agama, dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan yang lain, yakni Peradilan
Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir pada masa
orde lama, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957


2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
4. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
B. Saran

Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai Peradilan Agama,


hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama menjadi
lebih baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan
keberadaan Peradilan Agama.

Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang lebih baik,


maka para penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan
hokum.

1
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
_____ , Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta,
tanggal 1-10 Januari 1990.
Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum
perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html, diakses pada
tanggal 02 Oktober 2013.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.
Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum,
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah,
Jakarta: Prenada Media, 2006.

Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama
di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995.
_____ , Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1989.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 2004.
Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.

Anda mungkin juga menyukai