TENTANG
Di Susun
Oleh:
NIM: 21154125
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang diberi judul PERADILAN AGAMA di
INDONESIA
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam
selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan.2 Oleh karena itu
pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri.3
Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam.
Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu
yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.4
1
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 57.
2
Muhammad Daud Ali, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634,
Jakarta, tanggal 1-10 Januari 1990, hlm. 71.
3
Viktor Tanja, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.
4
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 29.
1
perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk
ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.5 Hal ini karena
masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati
hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.6
B. Rumusan Masalah
5
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama…
6
Asep Hikmat, Dinamika Islam, (Bandung: Risalah, 1982), hlm. 212.
7
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.
2
C. Tujuan Pembahasan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di
Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka
ragam sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam,
Mahkamah Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte,
Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische
Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.8
Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun
1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang
dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi.
8
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), hlm.17.
4
dimaksud merupakan Peradilan Islam dalam konsepsi universal atau hanya
Peradilan Islam di Indonesia?
Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura yaitu
stbl. 1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa Peradilan
Agama berwenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan perkara-perkara tertentu saja, menurut hukum Islam, antara orang-
orang yang beragama Islam, semata-mata perkara yang bersifat perdata.9
Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama
adalah Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai peradilan
Islam secara universal, karena Peradilan Islam yang universal merupakan
peradilan yang mempunyai prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap
satu dan dapat diberlakukan dimanapun bukan hanya untuk suatu bangsa atau
negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan kata-kata “di
Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama tersebut hidup di dalam
hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan hukum Islam di satu
pihak dengan hukum negara Indonesia di pihak lainnya.
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan
Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke
VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama
dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda
9
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama.
5
yang berkembang kemudian adalah adanya isu tentang terjadinya konflik antara
hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik ini dengan sengaja
dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar,
Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. 10
Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie
ternyata masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia,
khususnya yang ada di legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak
dengan berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, yakni
berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA).
Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum Islam yang
berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.
10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 204.
6
sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4
lingkungan Peradilan Negara.11
Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal
dan akhir pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964,
namun apa yang dinamakan quasi pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat
dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir tahun 1989 suasana kesemuan dan
kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu sisi secara formil
dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh,
pincang dan tidak sempurna.12
Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu
kita ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan
untuk mempertahankan keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP
No. 29 Tahun 1957, PP No. 45 Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 yang akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
11
Ihsan Halik,” Peradilan Agama”, www. hukum
perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.
12
Ihsan Halik,” Peradilan Agama”.
7
Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah) No.29 Tahun
1957 yang mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di Provinsi Aceh yang bertugas mengadili perkara-
perkara yang bertalian dengan Agama Islam.
13
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum,
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, (Jakarta: Prenada Media,
2006), hlm.73.
14
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 74.
8
29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang ada Pengadilan Negeri di
Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama yang susunannya terdiri dari
sekurang-kurangnya seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-
banyaknya 8 orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
15
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
16
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 75.
9
Karena adanya keragaman dasar hukum yang digunakan serta
ditambah dengan penampungan banyak pejabat-pejabat Badan Peradilan
Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan
UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan
nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama
terhapus, sehingga perkara-perkara yang menjadi wewenang pengadilan
tidak mendapat pelayanan yang semestinya. Selain itu juga, untuk
melaksanakan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951, maka
daerah luar jawa dan Madura menggunakan PP No. 45 Tahun 1957 yang
mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama (Mahkamah
Syar’iyyah) yang pada hakikatnya isinya sama dengan PP No. 29 Tahun
1957. Karena PP No. 29 Tahun 1957 ternyata tidak dapat memberikan
penyelesaian bagi daerah-daerah yang lain secara integratif, maka PP No.
29 Tahun 1957 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, sehingga digantikan
oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura.17
17
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
10
Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera, yakni pembentukan 54 Pengadilan
Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi,
kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6 Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi di Banjarmasin dan 34 Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1
Pengadilan Agama/ Mahkamah Provinsi di Makassar.18
18
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm. 76-77.
19
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957.
11
yang telah dijelaskan di atas, sehingga adanya pencabutan peraturan
sebelumnya, akan tetapi, pembentukan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara efektif dan integratif,
dengan pembentukan Pengadilan Agama yang semakin meluas di seluruh
penjuru wilayah di Indonesia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
tidak hanya di Aceh saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah
lainnya.
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
12
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.20
Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama Peradilan
Agama adalah di bidang yudikatif sama seperti 3 pengadilan yang lain.
Adapun hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Agama
sebagaimana hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Kehakiman
yang terbatas di bidang organisatoris, administratif, dan keuangan,
sebagaimana yang dijelaskan di dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 yang berbunyi:
20
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1989), hlm. 5.
21
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pasal 2.
13
“ Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat
(1), organisatoris, administratif, dan finansiil ada di bawah kekuasaan
masing-masing departemen yang bersangkutan.”22
22
UU No. 14 Tahun 1970 pasal 11 ayat (1).
23
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…, hlm.82.
24
H.A. Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia…
14
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa pada masa orde
lama kekuasaan Peradilan Agama sudah mulai kuat keberadaannya, hal ini
disebabkan oleh adanya kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan
tugasnya tanpa ada pengaruh dari kekuasaan pemerintah. Selain itu juga
dapat kita liat perkembangan Peradilan Agama yang cukup pesat dengan
ditandai oleh perluasan Peradilan Agama di seluruh belahan Indonesia.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir pada masa
orde lama, yaitu:
1
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
_____ , Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta,
tanggal 1-10 Januari 1990.
Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum
perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-agama.html, diakses pada
tanggal 02 Oktober 2013.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.
Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum,
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah,
Jakarta: Prenada Media, 2006.
Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama
di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995.
_____ , Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1989.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 2004.
Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.