Anda di halaman 1dari 15

SUSUNAN HIERARKI BADAN PERADILAN AGAMA

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Peradilan Agama di Indonesia”

Dosen Pengampu: Dewi Artika M. Kn

Disusun Oleh:

Dea nabila zuhana damanik 0201222094

Nasrullah 0201222121

Zainuddin parlindungan 0201212116

Putri handayani 0201222119

Wan nazari tarigan 0201222113

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2024/2025
KATA PENGANTAR

‫الرحِ ي ِْم‬
َّ ‫ْمن‬
ِ ‫الرح‬
َّ ِ‫بِس ِْم هللا‬
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami ucapkan rasa syukur atas kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan hasil
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Medan, 27 Maret 2024

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia ......................................... 2
B. Susunan Badan Peradilan Agama di Indonesia ..............................3
C. Asas Asas Dalam Peradilan ............................................................6

BAB III PENUTUP..................................................................................11


Kesimpulan ............................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di antara empat
lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga
lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di Indonesia.
Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dikatakan Peradllan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini Peradilan
Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak
hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam
tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.

Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun. 2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-
undang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah badan peradilan agama di Indonesia?
2. Bagaimana susunan badan peradilan agama di Indonesia?
3. Apa saja asas-Asas hukum dalam badan peradilan di Indonesia?

C. Tujuan Masalah
1. Memahami sejarah badan peradilan agama di Indonesia
2. Mengetahui susunan badan peradilan agama di Indonesia
3. Memahami asas-Asas hukum dalam badan peradilan di Indonesia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Badan Peradilan Agama

Badan-badan Peradilan Agama sejak berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989 telah


menjadi seragam, yaitu Pengadilan Agama (PA) bagi tingkat pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama (PTA) bagi tingkat banding. Untuk sekadar bandingan dan sejarah,
sedikit akan dijelaskan titelatuer sebelumnya sebagai berikut.

Sejarah bercerita bahwa sejak zaman jajahan Belanda, Per adilan Agama secara
nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, dengan beraneka ragam
sebutan namanya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah
Syara', Priesterraad, Pengadilan Paderi, Godsdientige rechtspraak, Godsdienst Beamte,
Mohamme dan sche Godsdienst Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische
Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan sebagainya.1

Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun 1957
yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang dibentuk baru
dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah Provinsi.2 Sampai dengan awal tahun 1980, nama Badan
Peradilan Agama di Indonesia itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu.

a. Kelompok Peradilan Agama di pulau Jawa Madura disebut Pengadilan Agama


(terjemahan dari Priesterraad) dan Mahkamah Islam Tinggi (terjemahan dari Hof
voor Islamietische Zaken).
b. Kelompok Peradilan Agama di sebagian daerah Kalimantan Selatan dan Timur
disebut Kerapatan Qadli (terjemahan dari Kadigerecht) dan Kerapatan Qadli Besar
(terjemahan dari Opper Kadigerecht).
c. Kelompok Peradilan Agama selain dari 1 dan 2 di atas (PP Nomor 45 tahun 1957)
disebut Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar'iyah Provinsi.3

1 Rasyid Raihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, RajaGrafindo, Jakarta, 2015. Hlm 25
2 Ibid, hlm 26

3 Ibid, hlm. 27

2
Sebutan yang beraneka ragam itu dengan Keputusan Menteri Agama (H.
Alamsyah Ratu Perwira Negara) Nomor 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980
diseragamkan menjadi Pengadilan Agama (untuk tingkat pertama) dan Pengadilan
Tinggi Agama (untuk tingkat banding), tetapi tidak menyeragamkan kompetensinya,
sebab Keputusan Menteri tidak cukup kuat untuk mengubah kompetensi Peradilan
Agama yang dulunya diatur dengan Ordonantie atau PP Sebutan seragam ini nantinya,
diambil over ke dalam UU Nomor 7 tahun 1989.4

B. Susunan Badan Peradilan Agama di Indonesia

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:


Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.Pengadilan Agama berkedudukan di
Ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi
Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.5

Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan


menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud "antara orang yang
beragama Islam" adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai haI-hal yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama.6

Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun


2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
Perkawinan; Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infak, Shodaqoh, Ekonomi syari'ah.7

4 Ibid, Hlm 28
5 Tri Wahyudi Abdullah, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018. Hlm. 8

6 Nurfaidah, “Revitalisasi Lembaga Peradilan di Indonesia,” Shautut Tarbiyah, (Tanpa Kota) Ed. 21, ThXIV,

September, 2008. Hlm. 120


7 Fauzan M, Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Prenada

Media, Jakarta, 2005.5

3
Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh
Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir.
mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah
hukumnya.8

Pada lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang


diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 3A UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Syari'at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan
khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk Pengadilan khusus da|am
lingkungan Peradilan Agama.9

Pengadilan syari'ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan


Undang-undang Mahkamah Syar'iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
dibentuk berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syari’ah dan Pengadilan
Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah Syar'iyah Propinsi.10

Dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus


dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH
SYAR'IYAH Pasal 128 Pasal 137. Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di lingkungan Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah: Mahkamah Syar'iyah (Tingkat Pertama); Mahkamah Syar'iyah Aceh (Tingkat
Banding); Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).11

8 Erfaniah Zuhriah, “One Roof System Lembaga Peradilan Agama di Bawah Kekuasaan Kehakiman Mahkamah

Agung,” De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, (Malang) Volume 1, Nomor 2 Januari, 2010, Hlm. 85

9 Fauzan M, Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Prenada

Media, Jakarta, 2005. Hlm. 6


10 Tri Wahyudi Abdullah, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018. Hlm. 10
11 Fauzan M, Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Prenada

Media, Jakarta, 2005. Hlm. 7

4
Kewenangan Mahkamah Syar'iyah adalah memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara-perkara: Ahwal syahs/yah (hukum keluarga), Muamalah (hukum
perdata), Jinayah (hukum Pidana) yang didasarkan atas syari'at Islam dan akan diatur
dalam Qonun Aceh.12

Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1989, lingkungan Peradilan Agama terdiri dari dua
tingkat; yaitu Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan
Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding. Sebagai Pengadilan Tingkat
Pertama, pengadilan ini bertindak menerima, memeriksa dan memutuskan setiap
permohonan atau gugatan pada tahap awal dan paling bawah.

Pengadilan Agama bertindak sebagai peradilan sehari-hari menampung, memutus


dan mengadili pada tahap awal setiap perkara yang diajukan oleh setiap pencari
keadilan. Dalam kedudukan sebagai instansi Pengadilan Tingkat Pertama, P.A harus
menerima, memeriksa dan memutus perkara-perkara permohonan serta perkara gugatan
tersebut.

Pasal 56, Pengadilan Agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan apa pun. Dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai Pengadilan Tingkat Banding,
Pengadilan Tinggi Agama mengoreksi putusan Pengadilan Agama, menguatkan atau
membatalkan putusan Pengadilan Agama. (Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 8 UU No. 7 Thn
1989).

Pasal 10 ayat (3) UU No. 14 Thn 1970, sekarang UU No.4 Tahun 2004 dan Pasal
29 UU No. 14 Tahun 1985 sekarang UU No. 5 Tahun 2004 ditegaskan berkaitan
dengan tingkatan hierarki, putusan Pengadilan Agama disebut Pengadilan Tingkat
Pertama, dan putusan Pengadilan Tinggi Agama disebut putusan tingkat terakhir.

Makna putusan Pengadilan Tinggi Agama sebagai putusan tingkat terakhir adalah
pemeriksaan mengenai keadaan, fakta, dan pembuktian pokok perkara sudah selesai
dan berakhir. Itu sebabnya Peradilan Tingkat Pertama dan tingkat banding disebut
peradilan “judex facti”.

12 Tri Wahyudi Abdullah, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018. Hlm. 10

5
Hal-hal yang berkenaan dengan fakta dan pembuktian yang telah dinilai oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, tidak dapat lagi dinilai ulang, karena
putusan dan penilaian tentang hal tersebut sudah berakhir dan terakhir.

Ditinjau dari sudut tingkatan hierarki, MA adalah sebagai peradilan tingkat


terakhir bagi semua lingkungan peradilan. Menurut Psal 30 UU No. 14 Tahun 1985,
jo.UU No. 5 Tahun 2004 Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan
penetapan atau putusan pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena :

1. Tidak berwenang atau melampauai batas wewenang.

2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dan

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan


yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Daerah Pengadilan Agama hanyalah meliputi daerah kota madya dan daerah kabupaten
dimana Pengadilan Agama itu berada.

C. Asas Asas dalam Badan Peradilan

1) Pelaksana kekuasaan kehakiman Pasal 10 UU No. 4/2004, (l) Kekualaan kehakiman


dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (2) Badan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dulum lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dun Peradilan Tata Usaha Negara.

2) Mahkamah Agung Banteng Terakhir Penegakan Hukum Pasal 11 ayat (1) UU No.
4/2004 Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat
lingkungan. peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).

3) Wewenang dan Kekuasaan Mahkamah Agung Pasal 11 ayat (2) UU No. 4/2004 (2)
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: a. mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; b. menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang undang terhadap undang undang; dan c.
kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. (3) Pernyataan tidak berlaku

6
peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemerikSaan tingkat kasasi maupun
berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung; (4) Mahkamah Agung
melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang undang.13

4) Asas Peradilan di Bawah Satu Atap Pasal l3 ayat (1) dan (3) UU No. 4/2004 (l)
Organisasi, administrasi, dan Financial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Maihkamah Agung. (3) Ketemuan
mengenai organisasi. administrasi, dan financial badan peradilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk masing masing lingkungan peradilan diatur dalam
undang-undnng sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.

5) Susunan. kekuasaan. dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya Pasal 14 ayat (1) UU. No. 4/2004 Susunan kekuasaan. dan hukum acara
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.

6) Pembentukan Pengadilan Khusus dan Mahkamah Syar'iyah Pasal 15 ayat (l) dan (2)
UU. No. 4/2004 (l) Peradilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-
undang. (2) Peradilan Syariah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan pengadilan khusus dalam ling» kuncen peradilan agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan peradilan
khusus dalam lingkungan peradilan umum, sepanjang kewenangannya menyang-kut
kewenangan peradilan umum.

7) Asas tidak boleh menolak perkara dengan dalih hukum tidak ada atau hukum kurang
jelas Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU. NO. 4/2004 (1) Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengv adili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainv kan wajib untuk memeriksa

13 Erfaniah Zuhriah, “One Roof System Lembaga Peradilan Agama di Bawah Kekuasaan Kehakiman Mahkamah

Agung,” De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, (Malang) Volume 1, Nomor 2 Januari, 2010, Hlm. 87

7
dan mengadilinya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup
usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian."14

8) Jumlah hakim dalam majelis Pasal 17 UU No: 4/2004, (1) Semua pengadilan
memeriksa, mengadili, dam memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
hakim, kecuali undang-undang menentukan lain, (2) Di antara hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dam lainnya nbxgzimana
hakim anggota sidang. (3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau mang yang
ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.

9) Asas sidang terbuka untuk umum Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU. No. 4/2004 (l) Sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain. (2) T1dak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(l) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

10) Asas dalam rapat musyawarah majelis hakim Pasal 19 ayat (3) dan (4) UU. No.
4/2004 (3) Rapat musyawarah majelis hakim bersifat rahasia. (4) Dalam siding
permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulh terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.

11) Asas dcsenting opinion Pasal 19 ayat (5) dan (6) UU. No. 4/2004 (5) Dalam hal siding
permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda
wajib dimuat dalam putusan. (6) Pclasaksanaan lebih lanjut ketentuan lebagalmunl
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.

12) Asas penentuan sahnya putusan Pasal 20 UU. No. 4/2004 Semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kuatan hukum apabila diucapkan dalam siding terbuka
untuk Umum.15

14 Erfaniah Zuhriah, “One Roof System Lembaga Peradilan Agama di Bawah Kekuasaan Kehakiman Mahkamah

Agung,” De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, (Malang) Volume 1, Nomor 2 Januari, 2010, Hlm. 88

15 Erfaniah Zuhriah, “One Roof System Lembaga Peradilan Agama di Bawah Kekuasaan Kehakiman Mahkamah

Agung,” De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, (Malang) Volume 1, Nomor 2 Januari, 2010, Hlm. 89

8
13) Asas upaya hukum banding Pasal 21 ayat (l) UU. No. 4/2004 Terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama dapat di. mintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lam

14) Asas upaya hukum asasi Pasal 33 UU. No. 4/2004 Terhadap putusan pengadilan
dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh
pihakfpihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.

15) Asas upaya hukum Peninjauan Kembali Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU. No. 4/2004 (1)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang. (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali.

16) Asas substansi pertimbangan hukum putusan pengadilan Pasal 25 ayat (l) UU. No.
4/2004 Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undang yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

17) Yang harus menandatangani putusan Pasal 25 ayat (2) UU. No. 4/2004 Tiap putusan
pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang
ikut serta bersidang.16

18) Yang menandatangani berita acara siding, ikhtisar rapat, dan penetapan Pasal Z5 ayat
(3) UU. No. 4/2004 Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara
pemeriksaan siding ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

19) Asas saling memberi bantuan antarpengadilan Pasal 26 UU. No. 4/2004 Untuk
kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.

16 Erfaniah Zuhriah, “One Roof System Lembaga Peradilan Agama di Bawah Kekuasaan Kehakiman Mahkamah

Agung,” De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, (Malang) Volume 1, Nomor 2 Januari, 2010, Hlm. 90

9
KEKUASAAN KEHAKIMAN

Mahkamah Mahkamah
Agung Konstitusi

Peradilan Peradilan Peradilan Peradilan


Umum Agama TUN Militer

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari
Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang
dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:


Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan
Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke
Mahkamah Agung.

11
DAFTAR PUSTAKA

Erfaniah Zuhriah, One Roof System Lembaga Peradilan Agama di Bawah Kekuasaan
Kehakiman Mahkamah Agung De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Malang, 2010

Fauzan M, Pokok Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah
di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Nurfaidah Revitalisasi Lembaga Peradilan di Indonesia, Shautut Tarbiyah, Tanpa Kota,


2008.

Tri Wahyudi Abdullah, Hukum Acara Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, 2018.

Rasyid Raihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, RajaGrafindo, Jakarta, 2015.

12

Anda mungkin juga menyukai