Anda di halaman 1dari 19

KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA MENURUT UU NO.

14 TAHUN 1970

DAN UU NO. 4 TAHUN 2004


Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama

Dosen Pengampu: Dr. Arso, S.H., M. Ag

Disusun Oleh:

Ahmad Muharrom (0205213052)

Ahmad Syahbudin Ritonga (0205211009)

Alfania Pane (0205211003)

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN

HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2023 / 2024


KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
dengan judul “Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970 Dan UU NO. 4
Tahun 2004”

Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan


pengetahuan kepada kita semua, khususnya mahasiswa Program Studi Hukum Pidana Islam.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Sehubungan dengan hal ini, kritik dan saran
dari para pembaca yang bersifat membangun tentu kami harapkan demi sempurnanya makalah
ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir, khususnya kepada dosen pembimbing mata
kuliah ini. Semoga Allah senantiasa Meridhoi segala usaha kita. Amin.

Medan, 17 November 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................................1

1.3 Tujuan Masalah..........................................................................................................................1

BAB II..............................................................................................................................................2

PEMBAHASAN..............................................................................................................................2

2.1 Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970...............................................2

2.2 Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 4 Tahun 2004.................................................4

BAB III............................................................................................................................................7

PENUTUP........................................................................................................................................7

3.1 KESIMPULAN..........................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................8

iii
1.1 Latar Belakang BAB I
PENDAHULUAN

Peradilan Agama hingga saat ini tampaknya tidak bisa dilepaskan dari proses
sejarah penyelesaian sengketa atau perkara yang muncul di kalangan masyarakat muslim
di Indonesia. Selain itu, keberadaan Peradilan Agama tampaknya juga sangat erat
kaitannya dengan dinamika perubahan politik hukum yang berlangsung sejak fase awal
perkembangan Islam, fase penjajahan, hingga fase kemerdekaan Indonesia. Salah satu
indikator penting yang mendukung asumsi di atas adalah menyangkut dinamika
kompetensi Peradilan Agama yang kewenangannya diperluas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia terus berkembang seiring dengan perkembangan hukum Islam menjadi hukum
nasional dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran hukum yang mendasari proses
legislasi berlakunya hukum Islam. Masa kolonial Belanda, muncul teori receptie in
complexue yang pada hakikatnya mengakomodasikan hukum yang hidup di masyarakat.
Kemudian untuk keperluan penjajahan Snouck Hugronje membuat teori receptie yang
dikembangkan oleh Van Vollen Hoven, yaitu hukum Islam yang berlaku bagi masyarakat
pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
Memasuki fase kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10
disebutkan ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970?
2. Jelaskan Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 4 Tahun 2004?

1.3 Tujuan Masalah


1
Untuk Mengetahui Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970 dan
UU No. 4 Tahun 2004

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970

Memasuki fase kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 disebutkan ada
empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan tersebut disejajarkan posisinya
secara hukum dan seluruh proses peradilan berpuncak kepada Mahkamah Agung. Dengan
adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama
dengan pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pada tahun
1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan
Agama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
yaitu dengan diberikannya kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia terus berkembang seiring dengan
perkembangan hukum Islam menjadi hukum nasional dipengaruhi oleh perkembangan
pemikiran hukum yang mendasari proses legislasi berlakunya hukum Islam. Masa kolonial
Belanda, muncul teori receptie in complexue yang pada hakikatnya mengakomodasikan hukum
yang hidup di masyarakat. Kemudian untuk keperluan penjajahan Snouck Hugronje membuat
teori receptie yang dikembangkan oleh Van Vollen Hoven, yaitu hukum Islam yang berlaku
bagi masyarakat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai
hukum adat.
Namun demikian, pada kenyataannya Pengadilan Agama masih memerlukan pengakuan
dan pengesahan dari Pengadilan Negeri, bahkan Pengadilan Negeri dapat meninjau keputusan
Pengadilan Agama tersebut. Sekalipun pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang juga mengatur yurisdiksi Pengadilan Agama, seluruh
keputusan Pengadilan Agama tetap harus mendapatkan dan/atau meminta pengukuhan eksekusi
(executoir verklaaring) dari Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dinyatakan bahwa keputusan

3
Pengadilan Agama berada di bawah Pengadilan Negeri. Pasca runtuhnya Orde Baru,

4
perkembangan Peradilan Agama mengalami perubahan signifikan yakni ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Pasal 2 dari
UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 14 Tahun 1970 menentukan sebagai berikut:
Pertama, badan-badan Peradilan Agama secara organisatoris, administratif, dan finansial
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ini berarti kekuasaan Departemen Agama
terhadap Peradilan Agama dalam bidang-bidang tersebut, yang sudah berjalan sejak proklamasi,
akan beralih ke Mahkamah Agung.
Kedua, pengalihan organisasi, adiministrasi, dan finansial dari lingkungan Peradilan
Negeri, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Agung dan
ketentuan pengalihan untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan
Undang- Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta
dilaksanakan secara bertahap selambat-lambatnya selama lima tahun. Sedangkan bagi
lingkungan Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan.
Ketiga, ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap tersebut ditetapkan
dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2000.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 juga menjadi bukti eksistensi hukum Islam di
Indonesia. Hukum Islam berlaku dengan kekuatan hukum Islam sendiri berdasarkan pada pasal
29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, bukanya pasal 134 ayat (2) Peradilan agama sendiri
sebelum lahir UU No. 7 Tahun 1989 sudah ditegaskan keberadaanya dalam dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 63 termuat bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragam Islam dan Pengadilan
Umum bagi yang lain. Akan tetapi pasal 63 ayat (2), ditegaskan bahwa setia keputusan
Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Ayat (2) ini jelas sangat
merugikan posisi Pengadilan Agama. Pasal 63 ayat (2) ditegaskan oleh PP No. 9 Tahun 1975
pasal 36 dengan tata cara : panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 hari setelah
putusan berkekuatan hukum yang tetap, menyampaikan putusan tersebut kepada Pengadilan
Negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri dengan
membubuhkan kata kata “dikukuhkan”. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri yang
bersangkutan menandatangani dan membubuhi cap dinas pada putusan yang dikukuhkan

5
Keberadaan lembaga pengukuhan ini pada dasarnya

6
merupakan warisan dan peraturan kolonial yang tetap diakui yang menetapkan bahwa semua
keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum sebelum dilaksanakan, bahkan
jika itu adalah keputusan pengadilan banding. Pada masa kolonial, pengesahan ini hanya
dilaksanakan jika pihak yang bersengketa tidak secara suka rela melaksanakan keputusan
hakim. Dalam UU No. 1 tahun 1974, lembaga pegukuhan ini dikuatkan dengan adanya
ketentuan bahwa semua keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum.
Perubahan dari pemberian pengesahan untuk keputusan tertentu menjadi untuk semua
keputusan menunjukkan bahwa peradilan agama berada dibawah (merupakan sub ordinat)
peradilan umum.

Tanggal 28 Desember 1989, pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. UU ini merupakan landasan kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sekaligus
memperkuat posisi peradilan agama UU No. 7 Tahun 1989 bertujuan untuk:
1. Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman.
2. Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama
3. Memurnikan fungsi Peradilan Agama. Dengan adanya UU Peradilan Agama ini, semua
peraturan terdahulu yang mengatur tentang peradilan agama dihapuskan (dinyatakan tidak
berlaku lagi) termasuk lembaga pengukuhan. Alasan adanya lembaga pengukuhan bahwa
peradilan agama belum memiliki juru sita tidak bisa diterima lagi. Berdasarkan pasal 38 sampai
pasal 42, di setiap peradila agama ditetapkan adanya juru sita dan juru sita pengganti.

UU. No. 14 tahun 1970 untuk membuat UU ini dibentuk diperlukan waktu 19 tahun yang
berisikan :

1. Peradilan umum / pidana

2. Peradilan agama / perdata

3. Peradilan militer

4. Peradilan tata usaha negara

Kekuasaan ini masih belum mandiri karena bercampur legislatif , eksekutif , dan yudikatif.

UU. No. 7 tahun 1989 :

1. Kedudukan peradilan agama


7
2. Kompetensi kewenangan

Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah

yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sadakah.

3. Hukum acara

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur “hukum
acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara
perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

2.2 Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 4 Tahun 2004

Negara Indonesia sebagai negara hukum tentang adanya kebebasan peradilan telah di
jamin sebagimana tersebut dalam Undangundang Dasar 1945 hasil Amandemen dan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman menurut
UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Perubahan UUD Dasar RI 1945 telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Undangundang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah diubah
dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian dirubah lagi menjadi UU Nomor 4 Tahun
2006.

UU. No. 3 tahun 2006 mengatur tentang kompetensi dan tidak ada pilihan hukum bersifat mutlak.
( perubahan UU tentang No. 7 )
Peradilan agama diindonesia yaitu :

1. Lembaga tahkim : pengangkatan hakim melalui komunitas islam ( embrio pengadilan


agama )

8
2. Ahlul halli wal’ aqdi : diartikan dengan “orang-orang yang mempunyai wewenang untuk
melonggarkan dan mengikat.” Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi
orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.

3. Qaulitul amri : tokoh-tokoh para hakim dari kerajaan sultan.


UU. No 4 tahun 2004 tentang pokok kekuasaan kehakiman ( perkembangan reformasi ) tidak
boleh campur tangan oleh lembaga legislatif , yudikatif , dan eksekutif. ) harus mandiri.
Pengesahan / pengukuhannya keluar UU . perkawinan No. 1 tahun 1974 dibentuk selama 34
tahun.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan
tersebut di atas adalah bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak
eksternal yudisial kecuali dalam hal sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila sehingga putusannya
mencerminkan keadilan rakyat Indonesia. Aparat penegak hukum yang turut membantu dalam
penyelenggaraan pelaksanaan peradilan untuk menciptakan kepastian hukum selain lembaga
kehakiman meliputi:
a. Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor. 16 Tahun 2005 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negera di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
Undang-undang yang dilaksanakan secara merdeka. Kejaksaan mempunyai tugas:
1) melakukan penuntutan;
2) melaksakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.
4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang
5) Melengkapi berkas perkara tertentu, melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
kepengadilan.

9
6) Di bidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik
di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atau atas nama pemerintah.
7) Di bidang ketertiban dan ketentraman melaksanakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum
masyarakat, pengamanan kebijakan penegak hukum, pengawasan peredaran barang cetakan,
pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan negara, pencegah penyelahgunaan dan
penodaan negara.

b. Kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang


Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Negara RI mempunyai tugas dan fungsi
untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelanan kepada Masyarakat.
Dalam rangka peningkatan upaya pelaksanaan dan penegakan hukum baik bagi
masyarakat maupun aparat penegak hukum itu sendiri, maka pemerintah Negara RI telah
melakukan pembaharuan terhadap beberapa peraturan untuk memperbaiki sistem hukum yang
ada demi tercapainya masyarakat yang adil dan tentram, dengan adanya perbaikan peraturan
bagi para aparat penegak hukum maka masing-masing pihak diharapkan dapat melaksanakan
tugas, fungsi dan wewenangnya masing-masing secara bertanggung jawab, pelaksanaan tersebut
tidak lepas dari pengawasan pemerintah dan masyarakat. Pembicaraan Penegakan hukum dalam
kenyataan sehari-hari tampak bahwa hubungan antara penegakan hukum dan struktur
masyarakat memberikan pengaruh yang kuat terhadap cara-cara penegakan hukum suatu
Negara.
Indonesia sebagai Negara modern tampak dari ciri-cirinya sebagai berikut :
a. Adanya UUD dalam bentuk yang tertulis.
b. Hukum itu berlaku untuk wilayah Negara.
c. Hukum merupakan sarana yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan keputusan
politik masyarakatnya.
d. Menurut Max Weber cara penegakan hukum pada suatu masa berbeda dengan masa yang
sebelumnya yang tentunya tidak terlepas dari dominasi yang disebabkan karena keadaan
masyarakatnya yang berbeda, dimana tatanan kehidupan masyarakatnya menurut Hart dalam
Satjipto Rahardjo didasarkan Secondary Rules Obligation di mana masyarakatnya mempunyai
kehidupan yang terbuka, luas, dan komplek seperti saat ini maka terdapat diferensiasi dan
institusionalisasi pekerjaan hukum berupa:

1
0
1) Rules of Recognition.
2) Rules of Change
3) Rules of adjudication.

Salah satu yang menonjol yang dirasakan di Indonesia saat ini adalah sifat birokratisnya
penegakan hukum yang sesuai dengan kewenangan masing-masing institusi atau lembaga hukum
yang bertugas menegakkan hukum sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan undang-
undang.

1
1
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang


Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 disebutkan ada empat
lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan tersebut disejajarkan posisinya secara hukum dan
seluruh proses peradilan berpuncak kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama dengan pengadilan-pengadilan
lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pada tahun 1977 Mahkamah Agung
mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu dengan diberikannya
kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman
menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Badan Peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Perubahan UUD Dasar RI 1945 telah membawa
perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Undangundang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah diubah dengan UU
Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian dirubah lagi menjadi UU Nomor 4 Tahun 2006.

1
2
DAFTAR PUSTAKA

Sukri, Muhammad. "Sejarah Peradilan Agama di Indonesia (Pendekatan Yuridis)." Jurnal


Ilmiah Al- Syir'ah 10.2 (2016).
Tolhah, Abu. "Peluang Dan Tantangan Kompetensi Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama." Asy-Syari'ah 18.1 (2016): 123-138.
Ahmad, R. (2015). Peradilan Agama di Indonesia. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam, 6(2), 311-339

1
3
1
4
1
5
1
6

Anda mungkin juga menyukai