14 TAHUN 1970
Disusun Oleh:
HUKUM
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
dengan judul “Kedudukan Peradilan Agama Menurut UU No. 14 Tahun 1970 Dan UU NO. 4
Tahun 2004”
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB II..............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..............................................................................................................................2
BAB III............................................................................................................................................7
PENUTUP........................................................................................................................................7
3.1 KESIMPULAN..........................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................8
iii
1.1 Latar Belakang BAB I
PENDAHULUAN
Peradilan Agama hingga saat ini tampaknya tidak bisa dilepaskan dari proses
sejarah penyelesaian sengketa atau perkara yang muncul di kalangan masyarakat muslim
di Indonesia. Selain itu, keberadaan Peradilan Agama tampaknya juga sangat erat
kaitannya dengan dinamika perubahan politik hukum yang berlangsung sejak fase awal
perkembangan Islam, fase penjajahan, hingga fase kemerdekaan Indonesia. Salah satu
indikator penting yang mendukung asumsi di atas adalah menyangkut dinamika
kompetensi Peradilan Agama yang kewenangannya diperluas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia terus berkembang seiring dengan perkembangan hukum Islam menjadi hukum
nasional dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran hukum yang mendasari proses
legislasi berlakunya hukum Islam. Masa kolonial Belanda, muncul teori receptie in
complexue yang pada hakikatnya mengakomodasikan hukum yang hidup di masyarakat.
Kemudian untuk keperluan penjajahan Snouck Hugronje membuat teori receptie yang
dikembangkan oleh Van Vollen Hoven, yaitu hukum Islam yang berlaku bagi masyarakat
pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
Memasuki fase kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10
disebutkan ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Memasuki fase kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas
keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 disebutkan ada
empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan tersebut disejajarkan posisinya
secara hukum dan seluruh proses peradilan berpuncak kepada Mahkamah Agung. Dengan
adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama
dengan pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pada tahun
1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan
Agama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
yaitu dengan diberikannya kewenangan bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia terus berkembang seiring dengan
perkembangan hukum Islam menjadi hukum nasional dipengaruhi oleh perkembangan
pemikiran hukum yang mendasari proses legislasi berlakunya hukum Islam. Masa kolonial
Belanda, muncul teori receptie in complexue yang pada hakikatnya mengakomodasikan hukum
yang hidup di masyarakat. Kemudian untuk keperluan penjajahan Snouck Hugronje membuat
teori receptie yang dikembangkan oleh Van Vollen Hoven, yaitu hukum Islam yang berlaku
bagi masyarakat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai
hukum adat.
Namun demikian, pada kenyataannya Pengadilan Agama masih memerlukan pengakuan
dan pengesahan dari Pengadilan Negeri, bahkan Pengadilan Negeri dapat meninjau keputusan
Pengadilan Agama tersebut. Sekalipun pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang juga mengatur yurisdiksi Pengadilan Agama, seluruh
keputusan Pengadilan Agama tetap harus mendapatkan dan/atau meminta pengukuhan eksekusi
(executoir verklaaring) dari Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dinyatakan bahwa keputusan
3
Pengadilan Agama berada di bawah Pengadilan Negeri. Pasca runtuhnya Orde Baru,
4
perkembangan Peradilan Agama mengalami perubahan signifikan yakni ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Pasal 2 dari
UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang
Nomor 14 Tahun 1970 menentukan sebagai berikut:
Pertama, badan-badan Peradilan Agama secara organisatoris, administratif, dan finansial
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Ini berarti kekuasaan Departemen Agama
terhadap Peradilan Agama dalam bidang-bidang tersebut, yang sudah berjalan sejak proklamasi,
akan beralih ke Mahkamah Agung.
Kedua, pengalihan organisasi, adiministrasi, dan finansial dari lingkungan Peradilan
Negeri, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Agung dan
ketentuan pengalihan untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan
Undang- Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing serta
dilaksanakan secara bertahap selambat-lambatnya selama lima tahun. Sedangkan bagi
lingkungan Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan.
Ketiga, ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap tersebut ditetapkan
dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2000.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 juga menjadi bukti eksistensi hukum Islam di
Indonesia. Hukum Islam berlaku dengan kekuatan hukum Islam sendiri berdasarkan pada pasal
29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, bukanya pasal 134 ayat (2) Peradilan agama sendiri
sebelum lahir UU No. 7 Tahun 1989 sudah ditegaskan keberadaanya dalam dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 63 termuat bahwa yang dimaksud dengan
pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragam Islam dan Pengadilan
Umum bagi yang lain. Akan tetapi pasal 63 ayat (2), ditegaskan bahwa setia keputusan
Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Ayat (2) ini jelas sangat
merugikan posisi Pengadilan Agama. Pasal 63 ayat (2) ditegaskan oleh PP No. 9 Tahun 1975
pasal 36 dengan tata cara : panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 hari setelah
putusan berkekuatan hukum yang tetap, menyampaikan putusan tersebut kepada Pengadilan
Negeri untuk dikukuhkan. Pengukuhan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri dengan
membubuhkan kata kata “dikukuhkan”. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri yang
bersangkutan menandatangani dan membubuhi cap dinas pada putusan yang dikukuhkan
5
Keberadaan lembaga pengukuhan ini pada dasarnya
6
merupakan warisan dan peraturan kolonial yang tetap diakui yang menetapkan bahwa semua
keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum sebelum dilaksanakan, bahkan
jika itu adalah keputusan pengadilan banding. Pada masa kolonial, pengesahan ini hanya
dilaksanakan jika pihak yang bersengketa tidak secara suka rela melaksanakan keputusan
hakim. Dalam UU No. 1 tahun 1974, lembaga pegukuhan ini dikuatkan dengan adanya
ketentuan bahwa semua keputusan peradilan agama harus disahkan oleh peradilan umum.
Perubahan dari pemberian pengesahan untuk keputusan tertentu menjadi untuk semua
keputusan menunjukkan bahwa peradilan agama berada dibawah (merupakan sub ordinat)
peradilan umum.
Tanggal 28 Desember 1989, pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. UU ini merupakan landasan kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sekaligus
memperkuat posisi peradilan agama UU No. 7 Tahun 1989 bertujuan untuk:
1. Mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman.
2. Menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama
3. Memurnikan fungsi Peradilan Agama. Dengan adanya UU Peradilan Agama ini, semua
peraturan terdahulu yang mengatur tentang peradilan agama dihapuskan (dinyatakan tidak
berlaku lagi) termasuk lembaga pengukuhan. Alasan adanya lembaga pengukuhan bahwa
peradilan agama belum memiliki juru sita tidak bisa diterima lagi. Berdasarkan pasal 38 sampai
pasal 42, di setiap peradila agama ditetapkan adanya juru sita dan juru sita pengganti.
UU. No. 14 tahun 1970 untuk membuat UU ini dibentuk diperlukan waktu 19 tahun yang
berisikan :
3. Peradilan militer
Kekuasaan ini masih belum mandiri karena bercampur legislatif , eksekutif , dan yudikatif.
Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah
3. Hukum acara
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur “hukum
acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara
perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Negara Indonesia sebagai negara hukum tentang adanya kebebasan peradilan telah di
jamin sebagimana tersebut dalam Undangundang Dasar 1945 hasil Amandemen dan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman menurut
UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Perubahan UUD Dasar RI 1945 telah
membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Undangundang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah diubah
dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 dan kemudian dirubah lagi menjadi UU Nomor 4 Tahun
2006.
UU. No. 3 tahun 2006 mengatur tentang kompetensi dan tidak ada pilihan hukum bersifat mutlak.
( perubahan UU tentang No. 7 )
Peradilan agama diindonesia yaitu :
8
2. Ahlul halli wal’ aqdi : diartikan dengan “orang-orang yang mempunyai wewenang untuk
melonggarkan dan mengikat.” Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi
orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
9
6) Di bidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik
di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atau atas nama pemerintah.
7) Di bidang ketertiban dan ketentraman melaksanakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum
masyarakat, pengamanan kebijakan penegak hukum, pengawasan peredaran barang cetakan,
pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan negara, pencegah penyelahgunaan dan
penodaan negara.
1
0
1) Rules of Recognition.
2) Rules of Change
3) Rules of adjudication.
Salah satu yang menonjol yang dirasakan di Indonesia saat ini adalah sifat birokratisnya
penegakan hukum yang sesuai dengan kewenangan masing-masing institusi atau lembaga hukum
yang bertugas menegakkan hukum sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan undang-
undang.
1
1
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1
2
DAFTAR PUSTAKA
1
3
1
4
1
5
1
6