Anda di halaman 1dari 14

PERAN, FUNGSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA SEBAGAI SALAH

SATU PELAKSANAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Mata Kuliah Kapita Selekta Peradilan

Agama Pada Fakultas Syariah Dan Hukum Islam Program Studi Hukum Keluarga Islam

(HKI)Kelompok Tiga (III) Semester Tiga (III) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone

Disusun Oleh:

KELOMPOK 7

SELVIYANA
742302022065
BULAN
742302022082

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah swt kepada Rasulullah saw atas
berbagai nikmat, rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Peradilan Agama. Makalah
ini disusun agar pembaca dapat memahami cara kerja dari apa yang telah kami buat. Dengan ini
kami berharap agar materi kami buat dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran.

Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen, kami meminta masukan demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa
yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung
maupun tidak. Semoga hal yang telah kami sampaikan bisa bermanfaat bagi pembaca serta
memberikan inspirasi baru dan memperoleh ibrah pada makalah yang kami susun.

Watampone, 21 Oktober 2023

Penyusun

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..............1
A. Latar Belakang……………………………………………………………….……………1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………....2
C. Tujuan……………………………………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….......3
A. Kedudukan peradilan agama pasca reformasi…………………………… .………………3
B. Fungsi dan wewenang Peradilan agama pasca reformasi………………………………....4

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………..…10


A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...….10
B. Saran…………………………………………………………………………………..…10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...……...11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era reformasi terjadi perubahan secara besar-besaran pada lembaga peradilan
khususnya peradillan agama, dimana peradilan agama harus menundukkan diri kepada Undang
Undang satu atap yaitu Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI dan
Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun hal terjadi lagi
perubahan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 diganti dengan Undang Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman sementara itu Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004
diubah menjadi Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Demikian pula dikeluarkannya dan berlakunya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan
tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, Negara dan masyarakat yang tertib, bersih,
makmur dan berkeadilan. Bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, namun hal ini terjadi perubahan kembali yaitu
dikeluarkannya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih perlu disempurnakan kembali yaitu
dengan mengadakan perubahan kedua yakni Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu tentang Pengadilan Agama memberikan
itsbat kesaksian ru’yat hilal penentuan awal bulan pada tahun Hijriah yakni kewenangan baru
peradilan agama.
Dengan bersumber pada Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun
berlakunya Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 nomor 22 tentang Perubahan Kedua atas
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah : Pasal 1 dalam Undang
Undang ini yang dimaksud dengan (1) Pengadilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam. (2) Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama (3) Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada

1
pengadilan tinggi agama (4) Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor
Urusan Agama (5) Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita
pengganti pada pengadilan agama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan peradilan agama di Indonesia pasca reformasi?
2. Apa fungsi dan kewenangan peradilan agama sebagai salah satu pelaksaaan kehakiman di
Indonesia pasca reformasi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan peradilan agama pasca reformasi
2. Untuk mengetahui fungsi dan kewenagan peradilan agama sebagai salah satu pelaksanaan
kehakiman di Indonesia pasca reformasi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Peradilan Agama Pasca Reformasi


Peradilan Agama telah mengalami perubahan dalam hal perubahan paradigma hukum
yang diterapkan di Indonesia dengan menerapkan konsep pemisahan kekuasaan, bukan
pembagian kekuasaan. Status dan posisinya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman,
peradilan agama saat ini memiliki independensi karrna ia tidak lagi berada dibawah kekuasaan
eksekutif. 1 Di era reformasi, Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, secara
konstitusional posisinya sudah semakin kuat. Ia, tidak hanya diakui dalam konstitusi UUD 1945,
akan tetapi juga diakui penuh dalam UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Melalui UU tersebut, Peradilan Agama ditempatkan pada tempat yang pas secara hukum, yakni
berada satu atap di bawah MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi. Meskipun
pengalihan dari posisi sebelumnya di Depag menuai prates; pro dan kontra, namun akhirnya PA
tetap disatu atapkan bersama badan peradilan lainnya di bawah MA, dengan tetap
memperhatikan Depag dan Majelis Ulama Indonesia dalam hal pembinaannya.
Tidak hanya status dan kedudukan yang telah mengalarni perubahan, kewenangannya
pun sudah mengalarni keberanjakan, tidak lagi menangani persoalan ahwal ai-Syakhsryah
(hukum keluarga), tapi sudah berwenang menyelesaikan terutama persoalan ekonomi syariah.
Hal ini seperti ditunjuk oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang PA. Meski demikian, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi umat Islam
Indonesia, PA posisi, status, dan kedudukannya sudah semakin kuat dan kokoh. Kuat dan
kokohnya status PA di Indonesia, ternyata disebabkan olep karena desakan faktor kultur
masyarakat muslim Indonesia daripada rekayasa dan upaya pihak struktural. Kalaupun ada usaha
dari pihak struktural, hal itu lebih bersifat politis akomodatif penguasa terhadap sesuatu yang
telah menjadi tradisi dan perilaku masyarakat.
Peradilan Agama sebagai suatu lembaga dalam rangka penegakan supremasi hukum
Islam bagi yang memintanya telah banyak melakukan berbagai gebrakan dalam mengeluarkan
amar putusan. Putusan-putusan lembaga Peradilan Agama telah berperan aktif dalam

1
Jaenal Aripin, “Reformasi Hukum Dan Reposisi Peradilan Agama Di Indonesia”, AL-QALAM, (Jurnal
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syariah Hidayatullah Jakarta: Vol.26, No.1, Januari 2009),
Hlm.46-53

3
pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Pandangan ini diperkuat lagi dengan hasil penelitian
yang menyatakan bahwa Peradilan Agama telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
rangka pembaharuan hukum Islam melalui putusan-putusan yang ditetapkan.2 Salah satu bentuk
pengaruh Hukum Islam pasca satu atap peradilan di Indonesia adalah kasus Aceh yang
memberlakukan syari’at Islam yang di dalamnya termuat Perdata Islam dan Pidana Islam yang
apabila dilanggar maka terdapat sanksi hukumannya sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku.
B. Fungsi Dan Wewenang Peradilan Agama Sebagai Salah Satu Pelaksanaan Kehakiman
Di Indonesia Pasca Reformasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan
Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah,
antara lain:
1) Ijin Poligami (Ijin beristeri lebih dari seorang);
2) Pencegahan perkawinan;
3) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
4) Pembatalan perkawinan;
5) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
6) Perceraian karena talak;
7) Gugatan perceraian;
8) Penyelesaian harta bersama;
9) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
10) Penguasaan anak/Hadhanah;

2
Abdul Manan, “Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan pengendalian Administrasi
Kepanitraan”, Diterbitkan Oleh Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. 2007). Cet-3.
Hlm. 3.

4
11) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
12) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak (Pengesahan Anak / Pengangkatan
Anak);
13) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
14) Perwalian
15) Pencabutan kekuasaan wali;
16) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut dan dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali
oleh orang tuanya;
17) Ganti rugi terhadap wali (Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda
anak yang ada di bawah kekuasaannya);
18) Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam;
19) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campur; dan
20) Itsbat Nikah (Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain);
21) Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal
orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
22) Dispensasi kawin;
23) Wali Adhal.
b. Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama
disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah sebagai berikut:
1) Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2) Penentuan mengenai harta peninggalan;

5
3) Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
5) Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat
itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan
hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya
dikemukakan pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh
wilayah nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar
hukumnya.
Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk
menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-
orang agama yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang pengadilan agama diatur dalam penjelasan undang-
undang Nomor 3 tahun 2006 tentanf perubahan atas undang-undang peradilan agama
dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi
tersebut meninggal dunia.” Namun, undang-undang tersebut tidak mengatur lebih jauh
tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam kompilasi hukum islam (KHI).
Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang
membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana
wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana
kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa
yang akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil

6
investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat melebihi
sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat disimpan, bagaimana jika
wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat dalam kondisi perang,
wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat
tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah
bagi anak angkat serta besarnya.
d. Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang
hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara
garis besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima
pasal. Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di
mana hibah dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak,
kapan hibah harus mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar
wilayah Republik Indonesia.
e. Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai
sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan
secara rinci dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang
mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi
wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi
wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf;
prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran
benda wakaf; perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf. Khusus mengenai
perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun

7
sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, lembaran negara No. 38
tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang Muslim atau badan hukum
yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.
Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Secara garis besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk
campur tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat;
organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan
pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.
g. Infaq
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan:
“perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan,
baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah
Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam
bentuk peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur
lebih lanjut.
h. Shadaqah
Mengenai shadaqah diartikan sebagai perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala
semata. Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan
hingga kini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
i. Ekonomi syariah

8
Ekonomi syari’ah diartikan dengan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah. 3

Selain kewenangan tersebut, dalam pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.

Pengadilan Agama selain diberikan tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut diatas, juga
memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah
laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006); Serta terhadap
pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim
Pengawas Bidang ;
2. Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada
jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun
administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
dirubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009) ;
3. Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi
perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan
peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan
administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang
Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum);
4. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana
diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dengan perubahan
kedua yaitu Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009;

3
Abdul Manan, “Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama”, (Prenada
Media Grup : Jakarta 2012)

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
 Peradilan Agama telah mengalami perubahan dalam hal perubahan paradigma hukum
yang diterapkan di Indonesia dengan menerapkan konsep pemisahan kekuasaan, bukan
pembagian kekuasaan. Status dan posisinya sebagai penyelenggara kekuasaan
kehakiman, peradilan agama saat ini memiliki independensi karrna ia tidak lagi berada
dibawah kekuasaan eksekutif. Di era reformasi, Peradilan Agama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman, secara konstitusional posisinya sudah semakin kuat. Ia, tidak
hanya diakui dalam konstitusi UUD 1945, akan tetapi juga diakui penuh dalam UU
No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui UU tersebut, Peradilan
Agama ditempatkan pada tempat yang pas secara hukum, yakni berada satu atap di
bawah MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi. Meskipun pengalihan
dari posisi sebelumnya di Depag menuai prates; pro dan kontra, namun akhirnya PA
tetap disatu atapkan bersama badan peradilan lainnya di bawah MA, dengan tetap
memperhatikan Depag dan Majelis Ulama Indonesia dalam hal pembinaannya.
 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang : Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi
syariah.
B. Saran
Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah yang dibuat sehingga saran dan kritik
dibutuhkan untuk karya ilmiah berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aripin Jaenal, Reformasi Hukum Dan Reposisi Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta;Kencana
2008)

Manan Abdul, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan pengendalian Administrasi
Kepanitraa, (Mahkamah Agung RI : 2007)

Manan Abdul, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,
(Prenada Media Grup : Jakarta 2012)

11

Anda mungkin juga menyukai