Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah

SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tugas makalah

Peradilan Agamadi Indonesia dengan judul “Pengadilan Agama Pada Masa Orde

Reformasi” dapat terselesaikan tepat waktu.

Dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke pangkuan

Baginda Nabi Agung Muhammad SAW yang kitanantikan syafa’atnya di yaumul

qiyamah nanti, Amiin.

Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan

dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen pengajar mata

Peradilan Agama di Indonesia. Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat

menambah khazanah keilmuan dalam mempelajari Peradilan Agama di Indonesia

dan memberikan manfaat bagi pembacanya.

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak kesalahan

dan kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat

membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah berikutnya.

Sukabumi, Maret 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peradilan agama adalah kekuasan negara dalam menerima, memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan,

wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah diantara orang-orang islam untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan Peradilan Agama

dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat pertama dan Pengadilan

Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat kasasi

dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara tertinggi.

Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang

diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukan

kepada umat islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula,baik perkaranya

ataupun para pencari keadilannya (justiciabel).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Penataan Peradilan Agama Pada Masa Reformasi ?

2. Apa Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama ?

3. Bagaimana Kedudukan Peradilan Agama dalam UUD 1945, UU Nomor

35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 ?

4. Bagaimana Eksistensi Peradilan Agama Pasca Penyatuatapan ke MA ?


C. TUJUAN

1. Mengidentifikasi dan memahami Peradilan Agama di Indonesia pada era

reformasi.

2. Mengidentifikasi dan memahami perkembangan Peradilan Agama di

Indonesia pasca Penyatuatapan ke Mahkamah Agung.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Penataan dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Reformasi

Konsekuensi dari diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 diletakkan

kebijakan bahwa, segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis

yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap

dibawah Mahkamah Agung. Dengan adanya kebijakan ini, maka lembaga-

lembaga peradilan yang ada di Indonesia segera dialihkan ke Mahkamah Agung

RI. Kebijakan ini dilakukan untuk memisahkan kekuasaan eksekutif dengan

yudikatif dengan tujuan untuk memantapkan posisi lembaga peradilan pada segi-

segi hukum formal dan teknis peradilan.

Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi

dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup signifikan,

baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya. Dengan mengikuti

paradigma separation of power, status dan kedudukan Peradilan Agama kemudian

dilepaskan dari bayang-bayang eksekutif yakni Departemen Agama untuk

selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof system) dibawah Mahkamah

Agung bersama dengan badan peradilan lainnya. Misalnya menyangkut sengketa

keperdataan-antara orang islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan

umum, melainkan sudah bisa memutuskan secara langsung.

Dari segi kewenangannya pun, Peradilan Agama di era reformasi

mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan


bidang; zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah. Khusus mengenai

kewenangan di bidang ekonomi syariah, peradilan agama menghadapi

permasalahan dan yang jauh lebih berat adalah menyangkut hukum materiil

bidang ekonomi syariah.1

Perubahan signifikan menyangkut kewenangan peradilan agama, secara

konstitusional diperoleh melalui UU No. 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas

UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang disetujui DPR tanggal 21

Februari 2006. UU ini muncul sebagai konsekuensi adanya UU No.4 Tahun 2004.

Pada Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tersebut ditegaskan bahwa, peradilan agama

adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama islam mengenai perkara tertentu.

B. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UUD 1945

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di

bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.

C. Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 35 Tahun 1999

Pada tahun 1999 akhirnya diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tanggal 31

Agustus 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

1
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm.14-15
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai realisasi awal dari semangat

supremasi hukum yang dikumandangkan dalam gerakan reformasi secara total

dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Pertimbangan penting pengubahan

UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman adalah karena UU ini dinilai telah menyimpang dari UUD 1945

dimana telah memunculkan dualisme pembinaan peradilan oleh dua kekuasaan

yang berbeda, yaitu kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif.

Pembinaan peradilan pada waktu itu dipisahkan menjadi dua, yaitu

Pertama: pembinaan teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung yang

merupakan pelaksana kekuasaanyudikatif dan kedua: pembinaan administrasi,

organisasi dan finansial berada di bawah Departemen-departemen yang

merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif di bawah Presiden. UU No. 35 Tahun

1999 ini merupakan koreksi atas UU No. 14 Tahun 1970 dan sebagai jembatan

yang mengantarkan penyatuatapan semua badan peradilan di bawah Mahkamah

Agung, baik secara teknis yudisial maupun secara adminstrasi, organisasi dan

finansial, keluar dari masing-masing Departemennya semula dan masuk ke

Mahkamah Agung.

Perkembangan penting dalam UU No. 35 Tahun 1999 ini berkaitan dengan

organisasi, administrasi dan finansial pengadilan sebagai berikut:

1. Pembinaan organisasi, administrasi dan finansial semua badan peradilan

yang semula berada di bawah departemen masing-masing dialihkan ke

Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat 1).


2. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengalihan tersebut

diatur lebih lanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan lingkungan

peradilan masing-masing (Pasal 11 ayat 2).

3. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan tersebut

dilakukan secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak UU ini mulai berlaku

(Pasal 11 A ayat 1).

4. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama

waktunya tidak ditentukan (Pasal 11 A ayat 2).

5. Pelaksanaan pengalihan secara bertahap ditetapkan dengan Keputusan

Presiden.

D. Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 4 Tahun 2004

Pertimbangan penting pengubahan UU Kekuasaan Kehakiman melalui UU

No. 4 Tahun 2004 ini adalah untuk merealisasikan amanat dari UU No. 35 Tahun

1999, yakni mengalihkan semua pengadilan dari masing-masing Departemennya

menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung untuk menjamin kemerdekaannya

dari campur tangan eksekutif dan menguatkan kedudukan pengadilan.

Perkembangan penting dengan diundangkannya UU ini maka kedudukan, peran

dan fungsi yang diberikan kepada Peradilan Agama semakin luas dan mantap

dengan perkembangan kemajuan yang sangat mendasar, yakni:

1. Perubahan fungsi pengadilan dari sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman menjadi pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 2 UU No. 7

Tahun 1989 menyatakan bahwa Peradilann Agama merupakan salah satu


pelaksana kekuasaan kehakiman. Pembentuk UU tidak menjelaskan apa

perbedaan antara dua kata dimaksud. Barangkali istilah ‘pelaku’ ini

bersumber dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa

“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung ....dst”.

konsisten dengan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka Pasal 2 UU

No. 4 Tahun 2004 menggunakan kata ‘dilakukan’. Kata ‘pelaksana’ adalah

subjek yang mengerjakan sesuatu atas inisiatif, perintah atau ide pihak

lain. Sedang ‘pelaku’ adalah subjek yang memiliki ide, kewenangan dan

kemampuan untuk melaksanakan idenya sendiri.

2. Terdapat penegasan larangan campur tangan dalam urusan peradilan oleh

pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal

sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Penegasan larangan campur

tangan ini tidak ada dalam UU sebelumnya.

3. Dialihkannya pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan

pengadilan dari empat lingkungan peradilan dari Departemen masing-

masing ke Mahkamah Agung. Dengan demikian campur tangan eksekutif

terhadap pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan

tidak ada lagi dan kemandirian serta kemerdekaan hakim diharapkan lebih

terjamin.

4. Dialihkannya tata cara sumpah hakim dari praktik “diambil sumpah” oleh

atasannya menjadi “mengucapkan sumpah” dihadapan pimpinannya.

5. Kedudukan Peradilan Agama sebagai sebuah lingkungan peradilan telah

disejajarkan dengan Peradilan Umum sehingga tidak ada lagi istilah


Peradilan Khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana pernah diatur dalam

UU No. 14 Tahun 1970 sebelumnya. Dan dengan demikian dimungkinkan

dibentuknya pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.

6. Dilibatkannya Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal guna

menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan

hakim, dan pengangkatan hakim agung. Hal ini tidak pernah ada

sebelumnya.

7. Diakuinya Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai

peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.

8. UU ini disamping memantapkan kedudukan Peradilan Agama, namun

tanpa mengubah fungsi khusus Peradilan Agama sebagai peradilan syariah

Islam, pertama, dari sudut kedudukan dan kelembagaan, maka Peradilan

Agama telah sejajar dengan Badan Peradilan Umum, yakni sebagai

Pengadilan Negara dibawah Mahkamah Agung. Kedua, dari sudut fungsi

yang diembannya, maka Peradilan Agama tetap merupakan peradilan

khusus (spesifik), yakni sebagai Peradilan Syariah Islam.

E. Penyatuatapan Peradilan Agama

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama

disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan,

struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumberdaya manusia, finansial, dan sarana

prasarana, serta kewenangan dan hukum materialnya. Perubahan tersebut semakin


mengukuhkan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang

mandiri dan independen.

1. Status dan Kedudukan

Di era reformasi, eksistensi Peradilan Agama mencapai puncak

kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan ketiga UUD 1945

oleh MPR. Dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amendemen, secara eksplisit

dinyatakan bahwa, lingkungan peradilan agama disebutkan sebagai salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, bersama lingkungan peradilan

lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Diawal tahun 2004, terjadi perubahan sangat signifikan yang berhubungan

dengan eksistensi peradilan agama, yaitu disahkannya UU No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas UU No. 35 Tahun 1999.

Dalam UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa, semua lingkungan peradilan,

termasuk peradilan agama, pembinaan organisasi, administrasi dan finansialnya

dialihkan dari pemerintah kepada Mahkamah Agung.

Hal terakhir yang menggembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006

telah disahkan UU No. 3 Tahun 2006, merupakan perubahan atas UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006

tersebut semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan peradilan agama. Hal lain

yang penting dalam kedudukan peradilan agama di era reformasi adalah dalam hal

pembinaan dan pengawasan.


2. Struktur Organisasi, Tugas, dan Fungsi

Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut, kemudian

diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomer:

MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat

Mahkamah Agung RI.

Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Agama terdiri atas:

a. Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

b. Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.

c. Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.

d. Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.

3. Sumber Daya Manusia

Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru dimulai

tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya hanya

direktorat kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah berada di

Mahkamah Agung. Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat

pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat eselonnya. Peningkatan ini

disamping sebagai penopang pelaksanaan tugaas pokok dan fungsi organisasi,

pada saat bersamaan juga membuka peluang bagi pengembangan karir pegawai.2

4. Keadaan Finansial dan Sarana Prasarana

Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan dilingkungan

Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan upaya peningkatan


2
pelayana publik dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk

lingkungan peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami

peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap,

terutama sejak tahun 2005, 2006 dan 2007.3

5. Kewenagan dan Hukum Materiil

Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang

menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan

sedekah. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006, melahirkan

paradigma baru peradilan agama. Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 merupakan

perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi status peraturan perundang-

undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

undang ini.

Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006, landasan hukum positif penerapan

hukum islam lebih kokoh, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa

kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan umum. Ada beberapa irisan

dan titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa

kepemilikan.4

6. Asas-asas Hukum Peradilan Agama

Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari UU No. 3 Tahun 2006, adapun

asas-asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya hampir sama

dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum, yaitu antara lain:5

a. Asas personalitas keislaman.


3

5
b. Asas kebebasan.

c. Asas tidak menolak hukumnya tidak jelas atau tidak ada.

d. Asas hakim wajib mendamaikan.

e. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

f. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak.

g. Asas persidangan terbuka untuk umum.

h. Asas hakim aktif memberi bantuan.

i. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis.

Abdullah Tri Wahyudi dalam bukunya peradilan agama di Indonesia

menambahkan beberapa asas lagi yang itu juga tercamtum dalam UU No. 4 Tahun

2004 yaitu:6

a. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat.

b. Asas kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik.

c. Asas haikim bersifat menunggu (hakim pasif-nemo yudex sine

acto).

d. Asas bahwa ptusan pengadilan harus memuat pertimbangan.

e. Asas beperkara dengan biaya.

f. Asas Ne bis in Idem.

6
Ibid., hlm. 355-356
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi

dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup signifikan,

baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya yaitu terdapat dalam

UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2006.

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama

disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan,

struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumberdaya manusia, finansial, dan sarana

prasarana, serta kewenangan dan hukum materialnya. Perubahan tersebut semakin

mengukuhkan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang

mandiri dan independen.

B. Penutup

Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusias

dari pembaca yang telah sudi menelaah dan mengimplementasikan isi makalah

ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya

pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan

judul makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kelompok kita pada

khususnya juga para pembaca yang dirahmati Allah Azza wa Jalla. Amiin
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di

Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Arto, A Mukti. 2012. Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada

Media, 2008), hlm.14-15

Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006.

Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2, 4 ayat (2), 10, dan 31 UU No. 4 Tahun 2004.

Pasal 4 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 2004

A Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2012), hlm.175

Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2004.

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Prenada

Media, 2008), hlm. 316-326

Ibid., hlm.327-337

Ibid., hlm.337-342

Ibid., hlm.344-348

Ibid., hlm. 348-354

Ibid., hlm. 355-356

Anda mungkin juga menyukai