Anda di halaman 1dari 19

PERADILAN AGAMA

Perkembangan Peradilan Agama


Di Indonesia Pada Masa Reformasi 1998 – Sekarang

Disusun Oleh:

Nama : Indra Kurniawan


Nim : 1730101090
Dosen mata kuliah : Arne Huzaimah, S.Ag.M

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATTAH PALEMBANG


TAHUN 2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang,
jauh sebelum bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Para pakar dan ahli hukum
sejarah sepakat bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak
Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu hukum
Islam mulai berkembang di wilayah nusantara bersama-sama dengan hukum adat.
Kendati demikian, dalam perjalanannya keberadaan peradilan agama mengalami
pasang surut.
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-
kerajaan Islam, kemudian pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. sesudah
kemerdekaan sampai akhirnya keluar IV .Yo. 7 tahun 1989 Peradilan agama yang
lebih mempertegas lagi kedudukan Peradilan Agama di Indonesia proses interaksi
Peradilan Agama ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sejak
masyarakat Islam memiliki kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga
sekarang masa reformasi, maka ketika disebutkan peradilan agama maka yang
dimaksudkan adalah Peradilan Islam di Indonesia. masalah peradilan agama telah
diatur pada Pasal 224 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
Badan kehakiman menurut Undang-undang
2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-
undang.
Dari masalah peradilan Agama No. 1 itu bahwa, kekuasaan kehakiman
diatur oleh Mahkamah Agung. Peradilan agama sangat berkaitan erat dengan
Mahkamah Agung. Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya
memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang
mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama
sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi
prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya

2
system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti
system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.

Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk


memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga
yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang
kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Maka dari itu MA di
bentuk agar (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan atau ditegakan
dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip negara
Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi penentu bagi
keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.
Oleh karena itu penulis dalam makalah ini dengan judul “Peradilan
Agama Di Indonesia Pada Masa Reformasi (1998 - Sekarang) Dan
Mahkamah Agung Dalam Perjalan Sejarah”, yang akan dibahas lebih rinci
pada Bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan peradilan agama di indonesia pada masa reformasi (1998 -
sekarang) ?
2. Bagaimana mahkamah agung dalam perjalan sejarah ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk menjelaskan Peradilan Agama Di Indonesia Pada Masa Reformasi
(1998 - Sekarang).
2. Untuk mengetahui Bagaimana Mahkamah Agung Dalam Perjalan
Sejarah.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masa Reformasi ( 1998- Sekarang)


Pada Masa Orde Baru, awalnya menunjukkan progres yang luar biasa, dimana
dengan melihat UU No. 19 Tahun 1946 yang dirasa tidak sesuai dengan prinsip
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka perlu segera diganti, sehingga lahirlah UU No.14
Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di lihat secara hukum, khususnya berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan tampak bahwa kekuasaan Kehakiman telah diakui sebagai kekuasaan yang
merdeka, dalam rangka penegakan hukum di negara kesatuan Republik Indonesia.
sehingga secara yuridis tidak boleh ada intervensi dari kekuasaan lain. Bahkan
perkembangan yang luar biasa dialami oleh Peradilan Agama, yaitu berkaitan dengan
tidak diperlukannya lagi fiet eksekusi (exekutoir verklering) dari Peradilan Umum
untuk melaksanakan putusan yang dihasilkan.
Sejarah juga yang membuktikan, bahwa ternyata dalam prakteknya muncul
kesenjangan antara das sollen, dengan das sein (law in book and law in action gap),
sehingga yudikatif masih banyak mendapatkan intervensi dari kekuasaan lain dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal tersebut diperparah dengan merebaknya
praktek mafia hukum, yang juga dilakukan oleh aparat penegak hukum itu tersendiri.
Praktek-praktek yang demikian tersebut, yang menyebabkan terjadinya
kehancuran sendi-sendi hukum di negara ini. Dalam rangka menyikapi hal tersebut,
maka pada tahun 1999 diundangkanlah Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dan disesuaikan dengan
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Poin penting pada era Reformasi Kekuasaan Kehakiman adalah diintrodusir
Peradilan satu atap, sehingga pembinaan secara teknis Yudisial, administratif,
organisatoris, dan finansial berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian,

4
secara tegas dapat disimpulkan bahwa, terjadi peningkatan independensi Kekuasaan
Kehakiman sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang Kekuasaan Kehakiman yang
menghendaki Kekuasaan Kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan
kekuasaan lain.1
Berdasarkan pada fakta-fakta diatas, nampak bahwa sejarah lembaga Peradilan
di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Terkait dengan Peradilan Agama
mengalami pasang surut, terutama menyangkut kewenangannya untuk menerima,
memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa-sengketa yang dialami umat Islam.
Hal tersebut disebabkan oleh munculnya berbagai kebijakan yang didasarkan pada
teori-teori yang berkaitan dengan berlakunya hukum Islam terhadap kehidupan
masyarakat muslim.
Saat ini mengenai berlakunya hukum Islam bagi umat Islam tidak mengalami
perdebatan lagi. Secara tegas dapat dikatakan bahwa dasar berlakunya hukum islam
terhadap umat islam adalah melalui peraturan perundang-undangan dari tingkat
tertinggi berupa undang-undang dasar 1945, undang-undang, sampai dengan peraturan
tingkat teknis, seperti peraturan daerah, peraturan Bank Indonesia, dan sebagainya.2

1. Landasan Yuridis Peradilan Agama


Menurut Mahfudz MD, terdapat tiga landasan yang dipakai sebagai dasar
pijakan Peradilan Agama di Indonesia, yaitu:
a. Pancasila
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pancasila dapat dijadikan dasar
bagi berlakunya hukum-hukum agama di Indonesia. Berlakunya hukum agama ini
terutama sejauh menyangkut hukum privat.
Dengan demikian menurut pandangan ini bukan hanya Peradilan Agama
Islam yang dapat dilembagakan tapi agamaagama yang lainpun sejauh diakui dalam
naungan Pancasila dapat memiliki lembaga yang lain. Terkait dengan hal tersebut,
perlu ditegaskan bahwa Peradilan Agama yang diberlakukan berdasarkan pada
pasal II peralihan UUD 1945 adalah Peradilan Agama Islam sebab sejak
dilembagakan secara formal pada tahun 1882 Peradilan Agama Islam-lah yang
disebut Peradilan Agama.

1
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm 45.
2
Dr. Hj. Dzajimah Muqoddas, S.H, M.Hum., 2011, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di
Negara-Negara Muslim, PT. Lkis Printing Cemerlang, Yogykarta, hlm 146.
5
Begitu juga jika peraturan perundang-undangan yang lahir kemudian
menyebut Peradilan Agama (seperti UU darurat No.1 Tahun 1951 UU No.19
Tahun 1964, dan UU No.14 Tahun 1970) maka yang dimaksudkan adalah
Peradilan Agama Islam.

b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali
UUD 1945 menurut Prof. Notonagoro rumusan sila pertama Pancasila
mendapatkan tambahan ”Bersesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradap”.

c. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945


Hal ini dapat kita baca dalam UUD 1945 pra-Amandemen, yang
menyatakan bahwa “ lembaga dan peraturan yang ada masih terus berlaku sampai
terus berlaku selama belum dibuat lembaga dan peraturan yang baru menurut
undang-undang dasar ini”.
Dengan demikian eksistensi Peradilan Agama sesaat setelah telah Indonesia
merdeka memiliki payung hukum, yaitu didasarkan pada Staatblaad 1882 tentang
Priesterad (raad Agama). Begitu juga pada tahun 1760 tentang pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman. Peradilan Agama mendapatkan pijakan hukum yang kuat,
dalam arti benar-benar diakui sebagai lembaga Peradilan di negara Republik
Indonesia yang Independen adalah setelah diundangkannya UU No.14 Tahun 1970
tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 10 UU No.14 Tahun 1970 yang
menyatakan bahwa kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Kemudian ditindak lanjuti dengan adanya perundangundangan
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya dipertegas
kedudukan, susunan, dan kewenangan Peradilan Agama dalam rangka ikut
menegakkan hukum di Negara kesatuan republik Indonesia.
Kemudian dengan adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka Undang-
Undang inipun harus disesuaikan. Sehingga pada tahun 2004 berhasil diundangkan

6
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mana ini menjadi
pijakan yang sangat kuat bagi eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Hingga
akhirnya pada tahun 2006 UU No.7 Tahun 1989 mengalami amandemen UU No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Inti dari UU No.3 Tahun 2006 ini adalah memberikan perluasan
kewenangan Peradilan Agama untuk dapat menerima, memeriksa, dan memutus,
sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah.3

2. Kewenangan Peradilan Agama


Wewenang atau yang sering disebut kompetensi, kompetensi Agama diatur
dalam pasal 49 sampai dengan pasal 53 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Wewenang tersebut terdiri atas kompetensi Relatif dan kompetensi
Absolut. Kompetensi relatif Peradilan Agama merujuk pada 118 HIR, atau pasal
142 R.Bg jo pasal 73 UU No. tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan
kompetensi Absolut berdasarkan pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yaitu kewenangan mengadili perkara-perkara perdata bidang; (a)
perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
islam ; (c) wakaf dan sedekah. pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ini sekarang sudah di
amandemen dengan UU No.3 Tahun 2006.37
Menurut Yahya Harahap,38 ada lima tugas dan kewenangan Peradilan
Agama, yaitu; 91) fungsi kewenangan mengadili, (2) memberi keterangan,
pertimbangan dan nasihat tentang (3) kewenangan lain oleh atau berdasarkan
Undang-Undang, (4) kewenangan Peradilan Tinggi Agama mengadili perkara
dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif; serta (50
bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Kekuasaan Peradilan Agama ini pada prinsipnya sama makna, perumusan
dan cara pengaturannya dengan sebagaimana yang ditentukan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Bahkan jenis
kekuasaan fungsi dan kewenangan pun sama,
perbedaannya pada ruang lingkup kekuasaan mengadili, yaitu disesuaikan
dengan ciri yang melekat pada masing-masing lingkungan peradilan.
a. Kompetensi Relatif Peradilan Agama
3
Moh. Mahfud, MD, 2006, dalam Absd. Ghofur. Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, yogyakarta: UII Press. Hlm 19-20.
7
Dalam menentukan kompetensi relatif setiap Peradilan Agama dasar
hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan undang-undang Hukum Acara
Pedata. dalam pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang berlaku
pada lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
lingkungan Peradilan Umum.
oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan
Agama merujuk pada ketentuan pasal 118 HIR, atau pasal 142 R.Bg. jo pasal 66
dan pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak
dari aturan yang menetapkan ke pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar
gugatan memenuhi syarat formal.

b. Kompetensi Absolut Peradilan Agama


Pasal 10 UU No.14 tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan
Peradilan, dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu
dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat
banding. Untuk Peradilan Agama menurut Bab I pasal 2 jo. Bab III pasal 49 UU
No.7 Tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu kewenangan mengadili
perkaraperkara perdata bidang; (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat, hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum islam; (c) wakaf dan sedekah.
Dengan demikian kewenangan peradilan agama tersebut sekaligus dikaitkan
dengan asas personalitas keislaman, yaitu yang dapat ditundukkan terhadap
kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang beragama Islam.
Dewasa ini dengan dikeluarkannya UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas UU No.78 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah satu yang diatur adalah
tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga Peradilan Agama, pada
pasal 49 yang sekarang juga meliputi perkara-perkara bidang Ekonomi Syari’ah.
Dari perluasan kewenangan Peradilan Agama saat ini, yang meliputi
perkara bidang ekonomi syari’ah berarti juga perlu mengalami perluasan terhadap
pengertian asas personalitas keislaman diatas. Mengenai hal ini telah diantisipasi
dalam penjelasan pasal 1 angka 37 tentang perubahan pasal 49 UU No.7 Tahun
1989 ini yang menyebutkan sebagai berikut: ”yang dimaksud dengan :”antara
orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam

8
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan pasal ini”.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kewenangan mutlak (kompetensi
absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perkara perdata tertentu seperti
tercantum dalam pasal 49 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006
dan berdasarkan atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas. Dengan kata
lain, bidang-bidang tertentu yang dari hukum perdata yang menjadi kewenangan
absolut Peradilan Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja dari
orang-orang yang beragama Islam. Akan tetapi termasuk sengketa ekonomi
syari’ah, di dalamnya termasuk Perbankan Syari’ah.
Peradilan Agama adalah salah satu Peradilan yang melaksanakan
Kekuasaan Kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang
yang beragama Islam. Secara yuridis formal yuridiksi Peradilan Agama diatur
dalam Islam.
Dengan adanya amandemen UU No. 3 Tahun 2006 terhadap UU No.7
Tahun 1989 maka kewenangan absolute Peradilan Agama semakin diperluas, hal
tersebut sebagaimana bunyi pasal 49 berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang:
1) Perkawinan
2) Waris
3) Wasiat;
4) Hibah;
5) Wakaf;
6) Zakat;
7) Infaq;
8) Shadaqoh, dan ;
9) Ekonomi Syari’ah4

B. Mahkamah agung dalam perjalanan sejarah


Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan
4
M. Yahya harahap., Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta,
Pustaka Kartini, 2010), hlm 133.
9
adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh
Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah
Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari
pengaruh kurun waktu tersebut.5
Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48 Tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut dan membatalkan
berlakunya UU No. 4 tahun 2004. Undang-undang ini di susun karena UU No.4
Tahun 2004 secara substansi dinilai kurang mengakomodir masalah kekuasaan
kehakiman yang cakupannya cukup luas, selain itu juga karena adanya judicial
review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU No.4 Tahun 2004, karena setelah
pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut diputus bertentangan dengan
UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut tidak berlaku,
sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera melakukan
perubahan pada undang-undang dimaksud.6

1. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda


Mahkamah Agung pada masa pemerintah hindia belanda disebut Justitie
Hooggerechtshof Kriminil : Landraad Raad van justitie Hooggerechtshof.
Pengadilan Hooggerechtshof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di
Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Hooggerechtshof terdiri
dari seorang Ketua dan 2 orang anggota, seorang Pokrol jendral dan 2 orang
Advokat Jendral, seorang Panitera dimana perlu dibantu seorang Panitera Muda
atau lebih. Jikalau perlu Gubernur Jendral dapat menambah susunan
Hooggerechtshof tersebut dengan seorang Wakil Ketua dan seorang/lebih anggota
lagi. Tugas/kewenangan Hooggerechtshof :

5
Basiq Djalil., Peradilan Agama Di Indonesia., (Jakarta; kencana, 2017), hlm 85.
6
Wahyuni Azizah, http://wahyuniazizah.blogspot.com/2016/11/makalah-mahkamah-agung.html, diakses
pada tanggal 06 Maret 2020, Pukul 18:55 WIB
10
1)      mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan
secara patut dan wajar.
2)      Mengawasi perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-pengadilan.
3)      Memberi tegoran-tegoran apabila diperlukan.
4)      Berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil
maupun militer, Pokrol Jendral dan lain pejabat Penuntut Umum.
5)      Sebagai tingkat pertama dan terakhir mengadili perselisihan-perselisihan
tentang kekuasaan mengadili diantara, pertama: pengadilan-pengadilan yang
melakukan peradilan atas nama Raja, diantara pengadilan-pengadilan ini dengan
pengadilan-pengadilan adat di dalam daerah yang langsung diperintah oleh
Gubernemen, dimana rakyat dibiarkan mempunyai peradilan sendiri. Kedua:
diantara pengadilan-pengadilan tersebut diatas, dengan pengadilan-pengadilan
Swapraja, sepanjang ini dimungkinkan menurut perjanjian-perjanjian politik
dengan daerah-daerah pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah hukum
appelraad yang sama, dan mengadili di antara appelraad-appelradd. Dan Ketiga:
diantara pengadilan sipil dan pengadilan militer, kecuali jikalau perselisihan itu
timbul diantara Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof, didalam
hal mana diputuskan oleh Gubernur Jendral.7

2. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)


Pada jaman penjajahan Jepang, badan Kehakiman ter¬tinggi disebut Saikoo
Hooin. Kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-
Undang) No. 2 tahun 1944, sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada Kooto
Hooin (Pengadilan Tinggi).
Berikut ini isi Osamu Seirei (Undang-undang Jepang) No. 2 tahun
1944 :OSAMU SEIREI No. 2 Tentang mengubah susunan pengadilan dan
sebagainya.
Pasal 1 :
Untoek sementara waktoe, pekerdjaan Saikoo Hooin (Pengadilan Agoeng) den
Saikoo Kensatu Kyuku (Kedjaksaan Pengadilan Agoeng) dihentikan, serta hal-hal
jang termasoek dalam kekoeasaannja dioeroes menoeroet atoeran pasal 2 sampai
pasal 6.
Pasal 2 :
7
Ibid, hlm 90-91.
11
Perkara jang diadili lagi oleh Saikoo Hooin, jang dimaksoed dalam pasal 9,
Oendang-oendang No. 34, tahoen 2602 (Osamu Seirei No. 3), jaitoe perkara jang
telah diadili oleh Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerin¬tah Balatentera, ketjuali
Kaikyoo Kootoo Hooin atau Mahkamah Islam Tinggi den Sooryo Hooin atau
Pengadilan Agama, selandjoetnja demikian) - dalamnja tidak tennasoek Kootoo
Hooin (Pengadilan Tinggi) -,jang ada didaerah kekoeasaan Kootoo Hooin, diadili
oleh Kootoo Hooin itoe dengan permoesyawaratan tiga orang hakim; akan tetapi
djika dipandang perloe oleh Kootoo Hooin itoe, maka perkara itoe boleh
Diserahkan kepada Kootoo Hooin lain.
Atjara mengadili perkara jang diadili lagi dan hal-hal jang perloe tentang
oeroesan jang dimaksoed pada ajat diatas, heroes menoeroet petoendjoek
Gunseikan.
Pasal 3 :
Kekoeasaan Saikoo Hooin jang ditetapkan dalam pasal 157, ,, Reglement op
de Rechterlbke Organisatie" dilakoekan oleh Kootoo Hooin terhadap Gunsei;
Hooin jang ada dalam daerah kekoeasannja.
Kekoeasaan Saikoo Hooin jang. ditetapkan dalam pasal 162, „Reglement op
de Rechterlijke Organiwtie" dilakoekan oleh Djakarta Kootoo Hooin.
Pasal 4 :
Kekoeasaan djabatan ketoea. Saikoo Hooin menoeroet atoeran kalimat
penghabisan dalam ajat 2, pasal 5, Oendang-oendang No. 34, tahom 2602 (Owmu
Seirei No. 30) dilakoekan oleh ketoea Kootoo Hooin.
Pasal 5 :
Kekoeasam djabaan ketoea Saikoo Kenwtu Kyoku, termasoek djoega
kekoeawan tentang hal-hal jang ditetapkan lalam pasai 180 „Reglement op de
Rechterlijke Organiwtie" dilakoekan oleh Gunsei¬kaobu Sihoobutyoo atas perintah
Gunseikm.
Pasal 6 :
Selain dari pada atoeran jang ditetapkan dalam pasal 2 sampai pasal 5, maka
hal-hal jang termasoek dalam kekoesaan Saikoo Hooin, Saikoo Kensatu Kyoku
atau kekoeasaan ketoenja masing-masing dilakoekan oleh Gunseikanbu
Sihoobutyoo, atau Kootoo Hooin, Kootoo Kensatu Kyoku ataupoen oleh ketoea
Kootoo Hooin atau Kootoo Kensatu Kyoku menoeroet petoendjoek Gunseilran.

12
Pasal 7 :
Oentoek mengoeroes segala sebahagian pekerdjaan Kootoo Hooin atau
Kootoo Kensstu Kyoku, maka Gunseikan boleh menjoeroeh Simpankan,
Kensatukan atau pegawai lain dari Kootoo Hooin atau Ken¬satu Kyoku oentoek
bekerdja ditempat jang perloe, jang boekan tempat kedoedoekan Kootoo Hooin
atau Kootoo Kensatu Kyoku.
Pasal 8 :
Dalam hal atjara mengadili parkara, maka hal-hal jang tidak dapat dioeroes
menoeroet atoeran jang soedah-soedah haroes dioeroes menoeroet petoendjoek
Gunseikan, demikian djoega hal-hal jang tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran
jang soedah-soedah delam hal oeroesan kehakiman jang lain dari pada atjara
mengadili perkara.
Atoeran tambahan :
Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada tanggal 15, boelan 1, tahoen
Syoowa 19 (2604).8

3. Masa Republik Indonesia


Di jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi
dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-Undang (Osamu
Seirei) No. 2.tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan
melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin
(Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah
mengalami kekosongan.
Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari
sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18
Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung sebagai badan
tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh
pasal 24 Undang-Undang Daser 1945, dimana Mahkamah Agung diberi
kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan
Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah
selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung
berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
8
M. Yahya harahap., Op.Cit., hlm 134-136.
13
Setelah Indonesia Merdeka, pada saat berlakunya Undang-undang Dasar
1945 belum ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang
menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-
Undang Dasar 1945. Maka dengan keluarnya Penetapan Pemerintah No. 9, sampai
dengan tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya penunjukan tempatnya saja.
Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi “Menundjukkan sebagai
tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota DJAKARTA-RAJA.”
Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah diundangkannya Undang-
Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan
Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
Undang-Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan Undang-
Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan :
1.      Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi.
2.      Pengadilan-pengadilan federal yang lain dapat diadakan dengan Undang-
Undang federal, dengan pengertian, bahwa dalam Distrik Federal Jakarta akan
dibentuk sekurang-kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam tingkat
pertama, dan sekuran¬kurangnya satu pengadilan federal yang mengadili dalam
tingkat apel.
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan
Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah
selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung
berada dalam pengungsian selama tiga setengah tahun.9
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu
berada dibawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan: bersama dibawah
satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya: Kehakiman
Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya:
Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu
sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 tahun
1961) dibawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa
Agung.

9
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm 48-50.
14
Para pejabat Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan
Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan
Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21
Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang dibentuk
oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan, Jawa Timur,
Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan Pengadilan Tertinggi yang
dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1
Jakarta, disamping Istana Gubemur Jenderal yang sekarang digunakan sebagai
gedung Departemen Keuangan.
Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap putusan Raad no
Justitie.Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang sebelum
perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamar Read van Instills
Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang mengenai Hukum Adat.
Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah-¬daerah
Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali
kedaulatan Republik Indonesia area seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat)
maka pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja (Ketua MA RIS)
mengambil alih gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof. Dengan
demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer General meletakkan
jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia Serikat.
Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelis-majelis. Semua
Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik perkara-perkara Perdata maupun
perkara-perkara Pida-na. Hanya penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada
Wakil Ketua.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi
atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat
diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara Bagian
disatu pihak.

15
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara Bagian
dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu
Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi,
sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan. masing-masing negara
Bagian. Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun
1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu
itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama
(Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr.
Abdul Gafar Pringgodig¬do menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo - lihat halaman
34. "Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga jaman"
Oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro - terbitan tahun 1974). Menurut Undang-Undang
Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi
pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950 (I.N.
tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada
lingkungan peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-
Undang No. 13 ta¬hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang
tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah
diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut
menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku
lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu
adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah
Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut
sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping
mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang
jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13

16
tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang
bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap
pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang
No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja,
sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap
memperlakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1950.10

Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam


Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-
Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undng No. 14 tahun 1970
tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember
1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung
adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan
pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-
pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-
masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.
Hakim Agung harus mempunyai syarat sebagai berikut :
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi Revolusi
Indonesia
c.       Berjiwa dan mengamalkan Pancasila dan Manipol serta segala pedoman
pelaksanaannya
d.      Sarjana Hukum
e.       Ahli Hukum-bukan Sarjana Hukum
f.       Berumur serendah-rendahnya 35 tahun
g.      Berpengalaman sedikit-dikitnya 10 tahun dalam bidang hukum.11
10
Jaenal Aripin, peradilan agama dalam bingkai sejarah, jakarta: kencana, 2008, hlm 76-78.
11
Ibid, hlm 120.
17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peradilan agama di indonesia pada masa reformasi (1998 - sekarang) pada masa
orde baru, awalnya menunjukkan progres yang luar biasa, dimana dengan melihat
uu no. 19 tahun 1946 yang dirasa tidak sesuai dengan prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka perlu segera diganti, sehingga lahirlah uu no.14 tahun 1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang berlandasan yuridis pada pancasila,
dekrit presiden 5 juli 1959, dan pasal ii aturan peralihan uud 1945.

18
2. Mahkamah Agung Dalam Perjalan Sejarah. Sejarah berdirinya Mahkamah
Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan atau sejarah penjajahan di
bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana
bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh
Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya
perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu
tersebut.

19

Anda mungkin juga menyukai