Disusun Oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang,
jauh sebelum bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Para pakar dan ahli hukum
sejarah sepakat bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak
Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu hukum
Islam mulai berkembang di wilayah nusantara bersama-sama dengan hukum adat.
Kendati demikian, dalam perjalanannya keberadaan peradilan agama mengalami
pasang surut.
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-
kerajaan Islam, kemudian pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. sesudah
kemerdekaan sampai akhirnya keluar IV .Yo. 7 tahun 1989 Peradilan agama yang
lebih mempertegas lagi kedudukan Peradilan Agama di Indonesia proses interaksi
Peradilan Agama ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sejak
masyarakat Islam memiliki kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga
sekarang masa reformasi, maka ketika disebutkan peradilan agama maka yang
dimaksudkan adalah Peradilan Islam di Indonesia. masalah peradilan agama telah
diatur pada Pasal 224 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
Badan kehakiman menurut Undang-undang
2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-
undang.
Dari masalah peradilan Agama No. 1 itu bahwa, kekuasaan kehakiman
diatur oleh Mahkamah Agung. Peradilan agama sangat berkaitan erat dengan
Mahkamah Agung. Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya
memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang
mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama
sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi
prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya
2
system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti
system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan peradilan agama di indonesia pada masa reformasi (1998 -
sekarang) ?
2. Bagaimana mahkamah agung dalam perjalan sejarah ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk menjelaskan Peradilan Agama Di Indonesia Pada Masa Reformasi
(1998 - Sekarang).
2. Untuk mengetahui Bagaimana Mahkamah Agung Dalam Perjalan
Sejarah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
secara tegas dapat disimpulkan bahwa, terjadi peningkatan independensi Kekuasaan
Kehakiman sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang Kekuasaan Kehakiman yang
menghendaki Kekuasaan Kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan
kekuasaan lain.1
Berdasarkan pada fakta-fakta diatas, nampak bahwa sejarah lembaga Peradilan
di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Terkait dengan Peradilan Agama
mengalami pasang surut, terutama menyangkut kewenangannya untuk menerima,
memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa-sengketa yang dialami umat Islam.
Hal tersebut disebabkan oleh munculnya berbagai kebijakan yang didasarkan pada
teori-teori yang berkaitan dengan berlakunya hukum Islam terhadap kehidupan
masyarakat muslim.
Saat ini mengenai berlakunya hukum Islam bagi umat Islam tidak mengalami
perdebatan lagi. Secara tegas dapat dikatakan bahwa dasar berlakunya hukum islam
terhadap umat islam adalah melalui peraturan perundang-undangan dari tingkat
tertinggi berupa undang-undang dasar 1945, undang-undang, sampai dengan peraturan
tingkat teknis, seperti peraturan daerah, peraturan Bank Indonesia, dan sebagainya.2
1
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm 45.
2
Dr. Hj. Dzajimah Muqoddas, S.H, M.Hum., 2011, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di
Negara-Negara Muslim, PT. Lkis Printing Cemerlang, Yogykarta, hlm 146.
5
Begitu juga jika peraturan perundang-undangan yang lahir kemudian
menyebut Peradilan Agama (seperti UU darurat No.1 Tahun 1951 UU No.19
Tahun 1964, dan UU No.14 Tahun 1970) maka yang dimaksudkan adalah
Peradilan Agama Islam.
6
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mana ini menjadi
pijakan yang sangat kuat bagi eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Hingga
akhirnya pada tahun 2006 UU No.7 Tahun 1989 mengalami amandemen UU No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Inti dari UU No.3 Tahun 2006 ini adalah memberikan perluasan
kewenangan Peradilan Agama untuk dapat menerima, memeriksa, dan memutus,
sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah.3
8
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan pasal ini”.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kewenangan mutlak (kompetensi
absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perkara perdata tertentu seperti
tercantum dalam pasal 49 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006
dan berdasarkan atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas. Dengan kata
lain, bidang-bidang tertentu yang dari hukum perdata yang menjadi kewenangan
absolut Peradilan Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja dari
orang-orang yang beragama Islam. Akan tetapi termasuk sengketa ekonomi
syari’ah, di dalamnya termasuk Perbankan Syari’ah.
Peradilan Agama adalah salah satu Peradilan yang melaksanakan
Kekuasaan Kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang
yang beragama Islam. Secara yuridis formal yuridiksi Peradilan Agama diatur
dalam Islam.
Dengan adanya amandemen UU No. 3 Tahun 2006 terhadap UU No.7
Tahun 1989 maka kewenangan absolute Peradilan Agama semakin diperluas, hal
tersebut sebagaimana bunyi pasal 49 berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang:
1) Perkawinan
2) Waris
3) Wasiat;
4) Hibah;
5) Wakaf;
6) Zakat;
7) Infaq;
8) Shadaqoh, dan ;
9) Ekonomi Syari’ah4
5
Basiq Djalil., Peradilan Agama Di Indonesia., (Jakarta; kencana, 2017), hlm 85.
6
Wahyuni Azizah, http://wahyuniazizah.blogspot.com/2016/11/makalah-mahkamah-agung.html, diakses
pada tanggal 06 Maret 2020, Pukul 18:55 WIB
10
1) mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia sehingga dapat berjalan
secara patut dan wajar.
2) Mengawasi perbuatan/kelakuan Hakim serta Pengadilan-pengadilan.
3) Memberi tegoran-tegoran apabila diperlukan.
4) Berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan baik sipil
maupun militer, Pokrol Jendral dan lain pejabat Penuntut Umum.
5) Sebagai tingkat pertama dan terakhir mengadili perselisihan-perselisihan
tentang kekuasaan mengadili diantara, pertama: pengadilan-pengadilan yang
melakukan peradilan atas nama Raja, diantara pengadilan-pengadilan ini dengan
pengadilan-pengadilan adat di dalam daerah yang langsung diperintah oleh
Gubernemen, dimana rakyat dibiarkan mempunyai peradilan sendiri. Kedua:
diantara pengadilan-pengadilan tersebut diatas, dengan pengadilan-pengadilan
Swapraja, sepanjang ini dimungkinkan menurut perjanjian-perjanjian politik
dengan daerah-daerah pengadilan yang berselisih tidak ada di dalam daerah hukum
appelraad yang sama, dan mengadili di antara appelraad-appelradd. Dan Ketiga:
diantara pengadilan sipil dan pengadilan militer, kecuali jikalau perselisihan itu
timbul diantara Hooggerechtshof sendiri dengan Hoogmilitairgerechtshof, didalam
hal mana diputuskan oleh Gubernur Jendral.7
12
Pasal 7 :
Oentoek mengoeroes segala sebahagian pekerdjaan Kootoo Hooin atau
Kootoo Kensstu Kyoku, maka Gunseikan boleh menjoeroeh Simpankan,
Kensatukan atau pegawai lain dari Kootoo Hooin atau Ken¬satu Kyoku oentoek
bekerdja ditempat jang perloe, jang boekan tempat kedoedoekan Kootoo Hooin
atau Kootoo Kensatu Kyoku.
Pasal 8 :
Dalam hal atjara mengadili parkara, maka hal-hal jang tidak dapat dioeroes
menoeroet atoeran jang soedah-soedah haroes dioeroes menoeroet petoendjoek
Gunseikan, demikian djoega hal-hal jang tidak dapat dioeroes menoeroet atoeran
jang soedah-soedah delam hal oeroesan kehakiman jang lain dari pada atjara
mengadili perkara.
Atoeran tambahan :
Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada tanggal 15, boelan 1, tahoen
Syoowa 19 (2604).8
9
Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (edisi revisi), PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hlm 48-50.
14
Para pejabat Mahkamah Agung (Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan
Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan
Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21
Undang-Undang No. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Pemerintah Belanda Federal yang mengusai daerah-daerah yang dibentuk
oleh Belanda sebagai negara-negara Bagian seperti Pasundan, Jawa Timur,
Sumatera Timur, Indonesia Timur, mendirikan Pengadilan Tertinggi yang
dinamakan Hoogierechtshof yang beralamat di Jl. Lapangan Banteng Timur 1
Jakarta, disamping Istana Gubemur Jenderal yang sekarang digunakan sebagai
gedung Departemen Keuangan.
Hooggerechtshof juga menjadi instansi banding terhadap putusan Raad no
Justitie.Mr. G. Wjjers adalah Ketua Hooggerechtshof terakhir, yang sebelum
perang dunia ke II terkenal sebagai Ketua dari Derde kamar Read van Instills
Jakarta yang memutusi perkara-perkara banding yang mengenai Hukum Adat.
Pada saat itu Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah-¬daerah
Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan dipulihkan kembali
kedaulatan Republik Indonesia area seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat)
maka pekerjaan Hooggerechtshof harus diserahkan kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Pada tanggal 1 Januari 1950 Mr. Dr. Kusumah Atmadja (Ketua MA RIS)
mengambil alih gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtshof. Dengan
demikian maka para anggota Hooggerechtshof dan Procurer General meletakkan
jabatan masing-masing dan selanjutnya pekerjaannya diserahkan pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia Serikat.
Mahkamah Agung pada saat itu tidak terbagi dalam majelis-majelis. Semua
Hakim Agung ikut memeriksa dan memutus baik perkara-perkara Perdata maupun
perkara-perkara Pida-na. Hanya penyelesaian perkara pidana diserahkan kepada
Wakil Ketua.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi
atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat
diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara Bagian
disatu pihak.
15
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa disemua negara-negara Bagian
dilain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu
Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi,
sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan. masing-masing negara
Bagian. Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia
Serikat adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. tahun
1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu
itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama
(Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr.
Abdul Gafar Pringgodig¬do menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo - lihat halaman
34. "Kenang-kenangan sebagai Hakim selama 40 tahun mengalami tiga jaman"
Oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro - terbitan tahun 1974). Menurut Undang-Undang
Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi
pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 tahun 1950 (I.N.
tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada
lingkungan peradilan umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-
Undang No. 13 ta¬hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang
tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah
diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut
menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 tidak berlaku
lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu
adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah
Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut
sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 tahun 1950 tersebut disamping
mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang
jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13
16
tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang
bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap
pasal 70 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang
No. 1 tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja,
sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap
memperlakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1950.10
A. Kesimpulan
1. Peradilan agama di indonesia pada masa reformasi (1998 - sekarang) pada masa
orde baru, awalnya menunjukkan progres yang luar biasa, dimana dengan melihat
uu no. 19 tahun 1946 yang dirasa tidak sesuai dengan prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka perlu segera diganti, sehingga lahirlah uu no.14 tahun 1970 tentang
pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Yang berlandasan yuridis pada pancasila,
dekrit presiden 5 juli 1959, dan pasal ii aturan peralihan uud 1945.
18
2. Mahkamah Agung Dalam Perjalan Sejarah. Sejarah berdirinya Mahkamah
Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan atau sejarah penjajahan di
bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana
bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh
Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya
perkembangan peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu
tersebut.
19