Anda di halaman 1dari 5

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan 1 sebagai
negara hukum, Indonesia selalu mendasarkan setiap penyelenggarakan negara dan
pemerintahannya pada peraturan perundang-undangan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Dalam perkembangannya, sebagaian besar
peraturan-perundangundangan yang berlaku di indonesia masih berasal dari masa
kolonial yang tidak mencerminkan cita-cita bangsa dan kurang responsif terhadap
kebutuhan masa kini. Padahal, sejak merdeka telah menentukan politik hukum untuk
menggantikan tatanan lama dengan yang baru, berdasarkan nilai-nilai dan cita-cita
indonesia. 3. Dengan landasan itulah politik hukum dibangun dan dikembangkan baik
pada tataran tujuan maupun proses pembentukan hukum dalam berbagai perundang-
undangan.
Merubah peraturan lama menjadi peraturan baru memang memerlukan waktu,
tenaga dan dana yang besar sekali. Di samping itu, pengertian hukum kolonial
menimbulkan berbagai tuntutan dan perdebatan mengenai hukum yang seharusnya
mewarnai pembentukan hukum nasional indonesia modern. Sebagian kalangan ingin
mempertahankan hukum barat dengan memperbahar timnya seiring perkembangan
masyarakat. Sebagian yang lain menghendaki pemberlakuan hukum adat sebagai
hukum nasional indonesia. Sebagian yang lain lagi mengusulkan agar hukum islam
lidintrodusir sebagai hukum nasional indonesia.
B. Rumusan Masalah
Jelaskan makna, konsep, Reformasi Hukum Islam, Perubahan Undang-undang,
peradilan, Khi, perkawinan, Perbankan syariah, Wakaf, Kewarisan, Zakat dan
Penyelenggaraan Haji?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui makna, konsep, Reformasi Hukum Islam, Perubahan Undang-
undang, peradilan, Khi, perkawinan, Perbankan syariah, Wakaf, Kewarisan, Zakat dan
Penyelenggaraan Haji.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Makna Konsep Reformasi Hukum Islam
Secara umum tujuan pemberlakuan Hukum Islam (Maqaashidus Syari’ah)
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari mafsadat. Islam
Sebagai agama rahmatan lil’alamin senantiasa menawarkan solusi bagi umat
manusia. Di antaranya dengan mengakomodir problematika yang dihadapi dalam
rangka mewujudkan tujuan tersebut. Di sisi lain, muncul banyak persoalan baru
menyangkut hukum yang belum ditegaskan dalam Al-qur’an dan Sunnah maupun
kitab-kitab dalam pemikiran fiqih klasik. Ahli hukum menyebut kondisi ini
sebagai kehampaan hukum (vacum of law). Mereka juga perpendapat harus
(segera) diadakan pembaruan.
B. Reformasi Hukum Islam di Indonesia adalah suatu kepercayaan
Dalam literatur islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti
dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekontruksi,
dipergunakan adalah kata reformasi dari bahasa inggris (reformation) yang berarti
membentuk atau menyusun kembali.
Sebenarnya, ide Pembaruan Hukum Islam (baca: Reformasi Hukum Islam )
bukanlah hal baru di indonesia. Pada tahun 1986 misalnya, Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MA-RI) melegitimasi (meskipun prosesnya memakan waktu
tiga tahun) pernikahan beda agama (interfoith marriage) antara Andrianus Petrus
Hendrik (Kristen) dengan Andy Voni Gani Parengi (seorang Muslimah) yang
sebelumnya ditolak oleh KUA dan Kantor Catatan Sipil (Ratno Lukio 2008). Pada
pertengahan 1990-an MA-Ri juga memberi jatah warisan kepada ahli waris non
muslim melalui sarana wasiat wajibah yang sebelumnya tidak dikenal dalam
kitab-kitab fiqih maupun.
Dalam konteks Indonesia, munculnya pemikiran hukum Islam sepertinya lebih
banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan. Perubahan yang
dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya.
Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang
untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta
minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak
terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk
Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak
dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi
Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon
dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh
fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya
urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang
disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat
angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa
dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan
terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.
Reformasi Hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka
pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup agenda penataan
kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke
tingkat pemerintahan desa, pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-
undangan mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa, dan pembaruan
dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke
arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan
perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi
kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental
reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform)
C. Perubahan UU Peradilan
Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan perjelasan pasal 49 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama adalah:
a. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau
berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. Ijin beristeri lebih dari seorang.
2. Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun
dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pndapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan Perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan Penceraian.
10. Penyelesaian Harta Bersama.
11. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
12. Penguasaan Anak-anak
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak
ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di
bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campur; dan
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.
b. Kewarisan
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan
Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2. Penentuan mengenai harta peninggalan;
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
5. Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa
yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya
amandemen terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat itu dinyatakan
dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman
kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini
berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.
Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan
wewenang untuk menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan
di luar sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai