Anda di halaman 1dari 6

1.

Dasar rujukan kitab penyusun kompilasi hukum islam


a. Al- Bajuri
b. Fathul Mu’in
c. Asy – syarkawi ala at Tahrir
d. Al – Qalyubi/al-mahali
e. Fathu al-wahab wa syarhuh
f. At – Tuhfah
g. Targhib al-mustaq
h. Al-Qawani asy-Sar;iyyah li sayyid bin yahya
i. Al – qawani asy-Syar’iyyah li sayyid shadaqoh dachlan
j. Asy syamsuri fi al-faraid
k. Bughyah al-mustarsyidin
l. Al- fiqh ala al-mazahib al-arba’ah
m. Al-mughni al muhtaj
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
Keberadaan Kompilasi Hukum Islam didasarkan pada Inpres No. 1 Tahun 1991.
Kedudukannya dalam SIstem Hukum Nasional dlarahkan kepada kedudukan Inpres itu
sendiri dalam tata urutan perundangundangan di Indonesia. Artinya Kompilasi Hukum
Islam itu kedudukannya dibawah atau lebih rendah dari UU dan Peratiiran Pemerintah.
Hanya saja materi Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan adalah
merupakan hukum Islam yang sudah lama hidup dan diamalkan oleh masyarakat
Indonesia yang beragama Islam. Sehubungan dengan hal tersebutIdi atas TahirAzhaii
berpendapatbahwa dlkeluarkanhya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam merupakan tindakan yang tepat karena Inpres itu berisi perintah Presiden kepada
pembantunya, dalam hal ini Menteri Agama, agar la menyebarkan Kompilasi Hukum
Islam kepada Pengadilari Tinggi Agama dan Pengadilan Agama dengan maksud agar
Kompilasi Hukum Islam itu dapat dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara warga
negara yang .beragama Islam yang berkaitan dengan perkaraatau masalah perkawinan,
kewarisari,. dan perwakafan.
Kompilasi hukum islam dalam penegakan hukum di indonesia
Kompilasi Hukum Islam diharapkan dapat menyatukan wawasan hakim Peradilan
Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang dimajukan kepada
mereka. Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh almarhum Wasit Aulawi, Kompilasi
Hukum Islam ini, mudahmudahan dapat (1) memenuhi asas manfaat dan keadilan
berimbang yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, (2) mengatasi berbagai masalah
khilafiyah (perbedaan pendapat) untuk menjamin kepastian hukum, dan (3) mampu
menjamin bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional.
2. A. Pembaharuan dalam KHI meliputi hukum perkawinan dan perceraian, hukum
kewarisan, dan perwakafan. Pembaharuan dalam materi tersebut dilakukan karena
sebagia nnilai-nilai fiqh sudah tidak memadai lagi dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang timbul karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat, dan waktu.
Artinya pembaharusan ini sudah seharusnya dilakukan kana untuk memenuhi tantangan
zaman hari ini tentang produk hukum islam terutama di Indonesia.
b. pemnaharuan huukum kontenporer KHI
a. Pencatatn perkawinan
b. Asas perkawinan adalah monogami
c. Perceraian di pengadilan
d. Pembatasan usia nikah
e. Izin poligami
f. Pembagian warisan dengan cara damai
g. Ahli waris pengganti
h. Wasiat wajibah
i. Warisan anak zinah
j. System pewarisan kolektif
k. Harta Bersama atau gono gini
l. Wkaf: sertifikat dan saksi
m. Larangan perkawinan beda agama
c. Berbicara soal kemampuan pasti sudah mampu khi menjawab permasalahan konten
porer karna pada dasar nya hari ini KHI masih dijadikan sumber hukum oleh PA setelah
undang-undang. Dan terbukti pula dengan pembaharuan yang dilakukan oleh pra pemuka
dan ulama umat islam dengan menertibkan aturan aturan baru dalam KHI.
3. Dalam ajaran Islam, kita mengenal dua istilah yang diterjemahkan sebagai hukum Islam.
Keduanya kadangkala difahami sebagai dua hal yang berlainan dan tidak jarang pula diartikan
sebagai istilah yang sinonim, yaitu istilah syari’ah dan fiqih. Artinya Ketika kita mengenalkan
atu memberi pemaham tentang Khi tidan terlepas dari duahal tersub. Karena masyarakat tidak
akan menolak ketikan berbicara syari;ah dan fiqih sebagai hukum, strateginya kesampingkan
dulu mdzhab adri pencetus Khi supaya madzhab madzhab yang lain menerima. Dan juga
bagaimna masyrakat mengenal dan mau menggunakan k=Khi sebagai sumber HUkun islam
berikan lah pembelajaran supaya paham dengan cara yang sistematis terstruk dan masip.
4. a.Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah

 A. Perkawinan

Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan Undang-
Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah,

B. Waris
Dalam perkara waris, Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. 

C. Wasiat

Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan
bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.” Namun,
Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam
KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.

D. Hibah

Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah sebagai:
“pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum
kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”

Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis besar diatur
dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara garis besar
pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan, harta
benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat persetujuan
ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia.

E. Wakaf

Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai: “perbuatan
seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.”
Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang ini.

F. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang dimiliki
oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat. Regulasi mengenai zakat telah diatur
tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah
memandang perlu untuk campur tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan,
pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat;
organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan
pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.

G. Infaq

Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.

H. Shadaqah

Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang
lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”

Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

I. Ekonomi Syari’ah

Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah.”

b. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 11 ayat (3)
mengamanahkan tugas daripada seorang hakim harus menerima, memeriksa, mengadili dan
memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan berdasarkan atas dasar-dasar pertimbangan
dan keyakinannya. Dalam melaksanakan tugasnya hakim dituntut mampu mengadili dan
memeriksa perkara secara cermat dan teliti dari setiap gugatan yang diajukan
kepadanya.sebenarnya ketikan dipersulit oleh hakim tidak kalua menurut saya, karna dilihat dari
tugasnyaa pun hanya menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara. Mungkin
kalua berbicara dipersulit itu berbicara system/prosedur yang diberlaukan di pengadilan tersebut
entah into d=administrasi, jadwal penceraian yang banyak dan lain sebagainya yang menghambat
pada proses diberlangsungkan nya siding putusan. Hemat saya sbenernya hakim harus mampu
mendamain kan keduabelah pihak dalam proses mediasi supaya terciptanaya keluarga yang
Sakinah mawadah warohmah.

5. Sudah umum kita ketahui bahwa eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua
bentuk, yakni hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum
formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Secara garis besar bahwa
buku tentang Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku masing-masing buku pertama
tentang perkawinan (Munakahat), buku kedua tentang kewairsan (Faraid) dan buku ketiga adalah
(perwakafan). Dalam kerangka sistematikanya masing-masing buku terbagi dalam beberapa bab
dan kemudian untuk bab-bab tertentu terbagi pula atas beberapa bagian yang selanjutnya dirinci
dalam pasal-pasal

Anda mungkin juga menyukai