TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Islam
pada Program Studi Perdata Islam
Konsentrasi Hukum Perdata Islam
Oleh :
AHMAD NAJIYULLAH FAUZI
NIM. 505940001
PROGRAM PASCASARJANA
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2011
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN
LEMBAR PERSETUJUAN
NOTA DINAS
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN .......................................................................
10
10
11
12
19
20
: KONSEP
NUSYUZ
DALAM
PERSPEKTIF
HUKUM
PERKAWINAN ISLAM.............................................................
22
22
24
27
31
35
86
86
102
104
106
BAB V
DENGAN
UU
NO
23
TAHUN
2004
TENTANG KDRT..............................................................................
107
107
126
133
138
: PENUTUP ...................................................................................
152
A. Kesimpulan .............................................................................
152
B. Saran-saran ..............................................................................
153
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI
AHMAD NAJIYULLAH F :Konsep Nusyuz dan Relevansinya dengan UndangUndang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Nusyuz merupakan konsepsi hukum klasik masa lalu, yang hanya sebagai
bagian dari tradisi pemikiran Islam bahkan telah terkodifikasikan sebagai aturan
hukum baku. Oleh banyak kritikus, konsepsi ini dinilai sangat merugikan kaum
perempuan, yang mana di dalamnya melanggengkan dominasi laki-laki dan
menyampingkan kepentingan perempuan. Hal itu tercermin dari adanya beberapa hak
suami dalam menindak isteri yang nusyuz tanpa adanya batasan-batasan yang jelas.
Masalah ini adalah bagaimana konsep nusyuz dalam perspektif hukum
perkawinan Islam? Bagaimana konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut
Undang-Undang No 23 tahun 2004? Bagaimana sanksi pidana suami yang
melampaui batas-batas haknya dalam perspektif Undang-Undang No 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep nusyuz dalam
perspektif hukum perkawinan Islam, konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut
Undang-Undang No 23 tahun 2004, dan sanksi pidana suami yang melampaui batasbatas haknya dalam perspektif Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Bentuk
penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research), yang berusaha
mengungkapkan konsep Nusyuz dan relevansinya dengan Undang-Undang No 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dengan cara
membaca dan mencatat informasi yang relevan dengan kebutuhan, mencakup bukubuku teks jurnal atau majalah-majalah ilmiyah dan hasil penelitian.
Hasil penelitian menyimpulkan, kosep nusyuz dalam perspektif hukum
perkawinan Islam ditegaskan dalam Q.S An-Nisa ayat 34 dan 128 serta beberapa
hadits. Konsep nusyuz tidak hanya berlaku bagi pihak isteri semata akan tetapi juga
bagi pihak suami, dengan solusi apabila salah satu pihak suami maupun isteri telah
nusyuz disarankan untuk melakukan perdamaian atau ishlah. Walaupun ada beberapa
ahli fikih yang tidak memberlakukan istilah nusyuz kepada suami artinya hanya
mengakui nusyuz dari pihak isteri saja sedangkan pihak suami tidak. Kompilasi
Hukum Islam secara eksplisit juga tidak memberlakukan istilah nusyuz pada suami.
berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) KUHP yang berisi mengenai penganiayaan yang
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus ribu rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi mengenai
penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku diancam pidana
penjara paling lama lima tahun dan satu kasus dengan junto Pasal 356 untuk
penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal 356
(penganiayaan dengan pemberatan pidana) karena penganiayaan itu dilakukan
terhadap isteri, suami, ayah, ibu dan anaknya.
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya serta limpahan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul: Konsep Nusyuz dan
Relevansinya dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah
limpahkan kepada Rasul junjungan alam Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabatnya serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat dorongan, bimbingan dan
bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun materil. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang Tua dan segenap keluarga yang dengan kesabarannya menanti akhir
studi.
2. Bapak Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, M.Ag, Rektor IAIN Syekh Nurjati
(Institut Agama Islam Negeri) Cirebon.
3. Bapak Praf. Dr. H. Jamali Sahrodi, M.Ag, Direktur Pascasarjana IAIN
Syekh Nurjati Cirebon.
4. Bapak Dr. H. Attabik Lutfi, MA., Ketua Program Studi Hukum dan
Peradilan Islam Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
5. Bapak Prof. Dr. H. Adang Djumhur S, M.Ag, Dosen Pembimbing I.
6. Bapak Dr. H. Sumanta, MA., Dosen Pembimbing II.
7. Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
181.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1998, hlm.
Elli Nurh Ayati, "Tantangan keluarga pada Mellenium ke-3" dalam Lusi Margiani dan
Muh. Yasir Alimi (ed.), Sosialisasi Menjinakkan "Taqdir" Mendidik Anak Secara Adil, cet. I,
(Yogyakarta: LSPPA,1999), hlm. 229-230.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari
3
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam
Islam, cet. III, (Yogyakarta: Mizan, 2001), hlm. 183.
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an-Nisa: 34)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri disebutkan pada pasal 80
ayat (7), kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila
isteri nusyuz.4 Yang dimaksud dengan kewajiban suami di sini adalah
kewajiban memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. Seperti
yang telah dijelaskan ayat (4) dalam pasal yang sama sebelumnya.
Beberapa tahun belakangan ini, kekerasan sebuah kata yang cukup
popular dan aktual, telah memasuki wilayah politik, ekonomi, sosial, budaya,
maupun pemikiran keagamaan, bahkan telah memasuki wilayah yang paling
kecil dan eksklusif yaitu keluarga. Ada berbagai bentuk kekerasan baik
kekerasan terhadap sesama maupun terhadap lingkungan alam, terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungan sosial. Ini memberikan kesan bahwa
kekerasan inheren dalam hidup manusia. Subyek dan obyek sasarannya juga
potensial dilakukan dan dialami oleh siapapun baik perorangan (individual)
maupun kolektif (kelompok).5
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu fenomena
dari berbagai macam kekerasan yang terjadi saat ini. Sebagaimana kasus
Depag RI, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (Derektorat
Jendral Pengembangan Kelembagaan Agama Islam), Pasal 80 Ayat (7).
5
Raymundus I Made Sudhiarsa,Membangun Peradaban Anti Kekerasan, PsikoIslamika, 2(
Juli, 2004), hlm. 135.
kekerasan lain yang terus meningkat, kekerasan dalam rumah tanggapun dari
tahun ke tahun semakin meningkat.
Tindakan yang bisa dilakukan suami tersebut sepertinya sudah menjadi
hak mutlaknya dengan adanya justifikasi hukum yang menguatkannya. Dan
hal itu dapat ia lakukan setiap kali ada dugaan isterinya melakukan nusyuz.
Dalam suatu kutipan kitab klasik dinyatakan, nusyuz ialah wanita-wanita
yang diduga meninggalkan kewajibannya sebagai isteri karena kebenciannya
terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami dan menentang
suami dengan sombong.6
Apabila dipahami dari pernyataan dalam kitab tersebut, baru pada taraf
menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim isterinya melakukan
nusyuz, jelas posisi isteri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang
dipersalahkan. Isteri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan
diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai
kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan isterinya
sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz atau tidak.
Orang sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika
isteri nusyuz suami diberikan berbagai hak dalam memperlakukan isterinya.
Mulai dari hak untuk memukulnya, menjahuinya, tidak memberinya nafkah
baik nafkah lahir maupun batin dan pada akhirnya suami juga berhak
menjatuhkan talak terhadap isterinya.
6
Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, Syarh Uqud al-Lujjayn fi Bayan al-Huquq azZawjayn, (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.), hlm. 7.
Tentu saja pihak isteri yang terus menjadi korban eksploitasi baik
secara fisik, mental maupun seksual. Hal itu diperparah lagi dengan belum
adanya aturan yang jelas dalam memberikan batasan atas hak-hak suami
tersebut, sehingga kesewenang-wenangan suami dalam hal ini sangat mungkin
terjadi. Oleh karena itu ketika berbicara persoalan isteri yang nusyuz dan hakhak yang menjadi kewenangan suami, perlu juga diajukan batasan-batasan hak
suami itu sendiri secara jelas.
Di pihak lain perlu juga diupayakan agar terciptanya sebuah ruang bagi
isteri untuk bisa melakukan pembelaan atas kemungkinan segala tindak
kekerasan terhadap dirinya. Hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan
seperangkat aturan hukum pidana yang dapat melindungi terjadinya tindak
kekerasan terhadap mereka. Hal itu ditempuh karena persoalan nusyuz
berangkat dari aturan hukum yang telah diterima oleh masyarakat sehingga
dalam upaya menyikapinya pun harus menggunakan perspektif hukum pula.
Dan itu dapat diupayakan jika batas-batas hak suami dalam memperlakukan
isteri saat nusyuz telah jelas aturannya, sehingga jika sewaktu-waktu suami
melampaui batas-batas yang menjadi haknya, isteri dapat melakukan tuntutan
pidana.
Kekerasan ini meliputi kekerasan fisik dan non fisik, kekerasan seksual
maupun ekonomi, kekerasan budaya maupun politik (structural). Definisi
yang diungkapkan tentang KDRT sama dengan apa yang dalam UU No. 23
tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Dalam UU 23 tentang penghapusan
KDRT pasal 1 yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian tesis ini adalah masail al-fiqh berkenaan dengan
konsep nusyuz dan relevansinya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif.
c. Jenis Masalah
Jenis masalah tesis ini adalah ketidakjelasan tentang Konsep Nusyuz
dan relevansinya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dibuat untuk memfokuskan masalah
penelitian yang akan dikaji dalam tesis ini, sebagai berikut:
a. Hukum Islam sebagai produk kerja intelektual, perlu dipahami tidak
sebatas pada fikih. Persepsi yang tidak proporsional dalam memandang
eksistensi sering melahirkan persepsi yang keliru dalam memandang
perkembangan atau perubahan yang terjadi dalam hukum Islam. Gerakan
pembaharuan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya baik yang
10
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tesis ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan
Islam.
2. Untuk mengetahui konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut UU
Nomor. 23 tahun 2004.
3. Untuk mengetahui relevansi nusyuz dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
D. Manfaat penelitian
1. Memberikan sumbangan secara teoritis bagi:
Ilmu pengetahuan, berupaya pemahaman baru yang lebih komprehensif dan
sistematis, untuk diimplementasikan sebagai norma-norma hukum in
abstracto yang telah ditemukan tersebut untuk dijadikan titik tolak dalam
melihat dan menilai masalah in concreto, yaitu terjadinya perlakuan suami
yang melampaui batas-batas haknya dan kemungkinan sanksi pidananya.
2. Memberikan sumbangan bagi para praktisi, yaitu para Ulama, hakim
pengadilan agama, notaris, penasehat hukum atau advokat khususnya, maupun
11
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh telaah yang telah dilakukan oleh penyusun atas berbagai karya
tulis baik berupa buku-buku ilmiah, jurnal, ataupun yang lain, telah banyak
ditemukan karya-karya yang membahas persoalan nusyuz, hal ini tentu saja
karena tema nusyuz sendiri termasuk dalam kategori persoalan klasik. Namun
dalam mencari referensi yang membicarakan tentang batas-batas hak suami
dalam memperlakukan isterinya saat nusyuz dan mengkaitkannya dengan
kemungkinan sanksi pidananya maka penyusun belum menemukan adanya
sebuah karya yang membahasnya dalam satu bahasan secara khusus.
Di antara telaah yang sudah dilakukan penyusun terhadap karya-karya
yang terbatas itu terdapat beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini
yang mencoba mengkorelasikan kedua persoalan tersebut, yaitu karya-karya
yang mencoba mengupas persoalan nusyuz sebagai bagian isu-isu wacana
keperempuanan kontemporer baik itu yang berupa refleksi pemikiran dalam
mengkukuhkan
pemahaman
yang
telah
ada
ataupun
upaya
untuk
12
F. Kerangka Pemikiran
Secara etimologis, nusyuz berarti menentang (al-isyan). Istilah
nusyuz sendiri diambil dari kata al-nasyaza, artinya bangunan bumi yang
tertinggi (ma-irtafaa minal ardi). Makna ini sesuai dengan pengertian yang
ada dalam surat al-Mujadalah (58):11, waidza qila unsyuzu. Secara
terminologis nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat
kepada suami.9 Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh
Asghar Ali Engineer dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan
perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan
perselingkuhan.10
Al-Tabari juga mengasumsikan makna kata nusyuz ini dengan
mengartikannya sebagai
13
11
Ibid.
14
masalah kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini pun akan berujung semakin
memperkeruh persoalan yang ada dalam masyarakat.
Berbagai kalangan pun memberi andil untuk meminimalkan kekerasan
dalam rumah tangga yang semakin hari semakin meningkat. Salah satu bentuk
perhatian dalam menangani korban KDRT organisasi keagamaan yakni dengan
mendirikan berbagai pusat pelayanan korban kekerasan. Diantara layanan yang
diberikan adalah memberikan konsultan melalui telepon, mengupayakan
pendampingan psikologi, serta memberikan bantuan medis dan pendampingan
hukum.12
Hak-hak yang dimiliki laki-laki (suami) dalam memperlakukan
isterinya yang sedang nusyuz dengan mengacu pada surat an- Nisa (4) 34 ada
tiga macam: (1) menasehati isteri yang sedang nusyuz. (2) memisahi
ranjangnya. (3) boleh memukulnya. Walaupun dalam memahami ketiga hal
tersebut banyak memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda mengenai
tujuannya, apakah murni sebagai pendidikan (li-tadib) atau lebih merupakan
sebagai bentuk penghukuman suami terhadap isterinya. Kebanyakan penafsir
klasik sepakat bahwa pemukulan tersebut dilakukan setelah dicoba berbagai
cara untuk mempengaruhi isteri, jika dia tetap keras kepala baru diberikan
pukulan ringan, bukan untuk melukai tapi untuk menghukum. Namun apa pun
alasannya persoalan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz
kiranya tetap saja menjadi ajang legitimasi yang membolehkan tindak
kekerasan suami terhadap isteri.
12
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Lembaga Kajian
Agama Dan Gender,1999), 47.
15
Hal itu tentu saja berkaitan dengan batas-batas pengertian nusyuz yang
belum jelas dan juga pemberian status hukum nusyuz yang merupakan hak
seorang suami. Artinya, suami berhak menentukan apakah isterinya
melakukan nusyuz atau tidak. Seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab
Uqud al-Lujjayn tentang beberapa hal yang membolehkan seorang memukul
isterinya antara lain; jika isteri menolak berhias dan bersolek di hadapan
suami, menolak ajakan untuk tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anak
kecilnya yang sedang menangis, mencaci maki orang lain, menyobek-nyobek
pakaian suami, menarik jenggot suami (sebagai penghinaan), mengucapkan
kata-kata yang tidak pantas, seperti bodoh, dungu. Meskipun suaminya
mencaci lebih dahulu, menampakkan wajahnya kepada orang lain yang bukan
mahramnya, memberikan harta suami di luar batas kewajaran, menolak
menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara-saudara suami.13
Begitu pula ketika kita mencoba memahami hak suami dalam
memisahi ranjang isteri yang nusyuz. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan
secara terperinci sampai dimana batasan-batasannya. Walaupun ada sebagian
ulama yang berpendapat bahwa hijr yang dilakukan suami itu boleh
dilakukan asal tidak melebihi tiga hari. Sedangkan yang lain berpendapat
dengan menganalogikannya pada batas hak ila yaitu empat bulan. Meskipun
begitu perlakuan hijr suami itu sendiri dapat dikategorikan sebagai bentuk
kekerasan seksual terhadap isteri. Sebab jika dikembalikan lagi pada tujuan
asal perkawinan yang salah satunya adalah untuk pemenuhan kebutuhan
13
16
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah
Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah
ditetapkan Allah untukmu. (Q.S. AL-Baqarah: 187)
14
Khoiruddin Nasution, Islam, Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), cet.
I, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZAFFA, 2004), hlm. 40.
17
18
pembolehan pemukulan suami terhadap isteri. Atau juga juga terhadap ayat
dalam surat al-Baqarah (2):223 yang banyak dipahami sebagai pemberian hak
terhadap suami dalam melakukan eksploitasi seksual terhadap isteri.17 Semua
itu tentu saja tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa laki-laki adalah pemimpin
atas perempuan dan mereka merupakan pihak yang berkuasa. Paradigma
kekuasaan semacam itu tampaknya juga melahirkan implikasi dalam teori
perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang
menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk menikmati naluri seksualnya.
Melalui akad ini, isteri dianggap milik laki-laki atau suami dengan
kepemilikan intifa. Meskipun menurut sebagian ulama Syafiiyyah, akad
nikah bukanlah akad tamlik (kepemilikan), melainkan akad ibadah (pilihan).18
Sementara itu, seperti yang diketahui walaupun istilah kekerasan
terhadap perempuan belum digunakan dalam rumusan hukum. KUHP
menempatkan sebagian besar dalam bab kejahatan dengan kesusilaan. Khusus
tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap isteri
dijelaskan dalam pasal 356 dalam bab penganiayaan. Dalam pasal itu
disebutkan bahwa pidana dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah
dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya,
bapaknya yang sah, isterinya atau anaknya.19
17
Fathul Jannah dkk., Kekerasan Terhadap Isteri, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 60.
Lihat Hussain Muhammad, Refleksi Teologis Tentang Keperempuan: kekerasan Terhadap
Perempuan, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar eksplorasi Lanjut Atas Hak-hak Reproduksi
Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 209.
19
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
18
19
G. Metode Penelitian
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian pustaka (Library
research), yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari
pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis yang relevan dengan pokok
permasalahan yang diteliti. Sumber tersebut diambil dari berbagai karya
yang membicarakan mengenai persoalan-persoalan keluarga, hak-hak dan
perlindungan terhadap perempuan.
2. Pendekatan Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, digunakan untuk
melakukan inventarisasi dan identifikasi secara kritis analitis dengan
melalui proses klasifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang telah
berlaku selama ini. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
normatif- yuridis, pendekatan tersebut dipakai untuk menemukan asas
atau doktrin hukum positif yang berlaku,20 berupa Pendapat-pendapat ahli
hukum baik hukum Islam maupun hukum positif umum untuk selanjutnya
dianalisa secara kritis. Tidak lupa pula dengan mengadakan telaah
terhadap fakta-fakta hukum yang relevan kemudian mengkorelasikannya
dengan doktrin dan asas-asas hukum tersebut.
20
Ibid.
20
H. Sistematika pembahasan
Agar lebih mudah pembahasan dan pemahaman materi tesis ini, penulis
menggunakan sistematika pembahasan dalam beberapa bab dan dari beberapa
dirinci menjadi beberapa sub bab.
BAB I PENDAHULUAN, yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah,
Kerangka
Pemikiran,
Tujuan
Penelitian,
Metode
Penelitian
Manfaat
Penelitian,
dan
Sistematika
Pembahasan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ, yang terdiri dari:
Pengertian Nusyuz, Dasar Hukum Nusyuz, Bentuk-bentuk Perbuatan
Nusyuz, Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz, dan Hak-Hak Suami
Atas Isteri Nusyuz dan Batas-Batasnya.
BAB
III
KEKERASAN
DALAM
RUMAH
TANGGA
DALAM
21
22
BAB II
KONSEP NUSYZ DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN
ISLAM
A. Pengertian Nusyz
Menurut bahasa nusyz adalah masdar atau infinitive dari kata, ,
yang mempunyai arti tanah yang terangkat tinggi ke atas.1 'Ali as-Sabuni
dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
al-Qurtubi:
Sedangkan menurut
Ibn Manzur, Lisan al-'Arabi, (Beirut: Dar Lisan al-'Arabi, ttp), III: 637.
Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta:
Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), I: 322.
3
Al-Qurtubi, Jami' al-Ahkam al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1967), III: 170.
4
Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm.
1418.
2
23
dengan ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan
pergaulan yang tidak harmonis.5
Menurut Ibnu Mansur, secara terminologis nusyz ialah rasa kebencian
suami terhadap
Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus,
mengartikan nusyz sebagai ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada
isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun sebaliknya.7
Isteri yang melakukan nusyz dalam Kompilasi Hukum Islam
didifinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan
kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami
dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.8
Bagi sebagian ulama berpendapat bahwa nusyz tidak sama dengan
syiqq, karena nusyz dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-isteri.
Nusyz berawal dari salah satu pihak, baik dari isteri maupun suami bukan
kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan
nusyz melainkan dikategorikan sebagai syiqq.9 Begitu pula mereka
membedakan antara nusyz dan irdh.10 Menurut mereka, dengan
memperbandingkan antara surat an-Nisa (4): 34 dengan an-Nisa (4): 128
5
Dikutip dari Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 25-26.
6
Ibid., hlm. 1354.
7
Ibid.
8
Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 Ayat (1) dan 84 Ayat
(1).
9
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: 1353.
10
Iradh ialah kurangnya perhatian seorang suami terhadap isterinya hingga tidak ada
komunikasi dan intraksi yang wajar sebagai pasangan hidup, atau menelantarkan isteri tanpa
setatus, diperhatikan tidak, dicerai pun tidak.(lihat, Saleh bin Ganim, nusyuz, hlm. 29).
24
25
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. An-Nisa: 34)
Ayat diatas sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang
nusyznya isteri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan
bagaimana awal mula terjadinya nusyz isteri tersebut melainkan hanya
sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat
juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum yang terdapat
dalam Ayat tersebut yaitu:
1. Kepemimpinan rumah tangga
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
3. Solusi tentang nusyz yang dilakukan oleh isteri
26
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyz dan sikap tak acuh),
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.s. An-Nisa: 128)
Ayat di atas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyz-nya suami,
walaupun pada realitanya maupun dalam literatur-literatur kajian fiqh
persoalan tentang nusyz-nya suami kurang mendapat perhatian dan jarang
menjadi obyek kajian secara khusus.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan
nusyz dipersempit hanya pada nusyznya isteri saja serta akibat hukum yang
ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyz KHI
berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi isteri, yaitu bahwa
dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang isteri ialah
berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum Islam. Dan isteri dianggap nusyz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam
27
masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyz isteri tersebut menurut KHI
harus di dasarkan atas bukti yang sah.11
atas
11
28
dirinya.
2. Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan
tetapi mazhab Syafii dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya
isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyz, akan
tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri
itu dianggap nusyz.15
3. Apabila isteri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. Dalam suatu hadits
dijelaskan tentang kewajiban seorang isteri kepada suaminya, untuk tidak
menolak apabila diajak oleh suaminya untuk melakukan hubungan suamiisteri.
16
17
14
29
perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap suami baik lahir
maupun batinnya, sehingga seorang isteri tersebut selalu meninggalkan
kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga suami merasa benci dan
tiada kepedulian kepadanya.19
Secara lebih khusus Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyz
isteri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika isteri tidak disibukkan
oleh pelbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak terbayangbayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.20
Sedangkan Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri
nusyz isteri adalah:
1. ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang sah.
2. isteri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia
pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara.
3. keduanya tinggal di rumah isteri, tetapi isteri melarang sang suami untuk
memasuki rumahnya.21
Adapun bentuk-bentuk ucapan yang bisa dimasukkan dalam kategori
nusyz-nya isteri sehingga suami diperbolehkan memukulnya diantara
mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti
bodoh, kepada suami meskipun suami mencaci lebih dulu.22
19
30
31
2. menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan
hendak mencelakakan isteri.
3. tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.
4. menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya.
5. bersenggama dengn isteri melalui duburnya.
25
32
26
33
29
Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li alMalayin, 1964), hlm. 102.
30
KHI, Pasal 80 Ayat (4), (5) dan (7).
31
Ibid., Pasal 84 Ayat (2), (3) dan (4).
34
35
34
36
tetapi,
dalam
kitab-kitab
fiqh
pembahasan
mengenai
37
36
38
prinsip
kebersamaan,
dalam
arti
keduanya
sama-sama
37
39
UU. No. 1/74 Pasal 31 Ayat (2), Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum, jo. KHI Pasal 79 Ayat (3). Dan UU No. 1/74 Pasal 34 Ayat (3), Jika suami isteri
melalaikan kewajibanya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan, jo. KHI
Pasal 77 Ayat (5).
42
UU. No. 1/74 Pasal 33, Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain, jo. KHI Pasal 77 Ayat (2).
43
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Isteri., hlm. 61.
44
Ibid., hlm. 62-63.
41
40
41
pemaknaan atas kata " "dalam rangkaian kalimat awal Ayat surat anNisa (4): 34 ( ) yang menurut mereka memiliki dua arti yaitu
( prasangka) dan ( pengetahuan), walaupun sebagian mufassir ada
yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal dan
ar-Razi.47
Begitu pula masuk dalam pengertian substansi hukum perbuatan
nusyz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu
perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari
perbuatan
nusyz
tersebut
sangat
beragam,
sehingga
diperlukan
47
Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), IX: 93. dan Muh. Yusuf as-Syahir, Tafsir Bahr Muhit, III: 43.
42
48
Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan
Masa yang Akan Datang, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 15.
49
Ibid., hlm. 91.
50
Said Hawa, al-Asas fi Tafsir., II: 1054
51
Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir., III: 94.
43
44
bersifat
mutlak
(absolut)
karena
adanya
beberapa
alasan
yang
mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan penafsiran
atas ayat an-Nisa (4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep
kedudukan dan relasi suami isteri dalam rumah tangga.
Hampir secara keseluruhan ulama sepakat bahwa laki-laki (baca:
suami) adalah pemimpin bagi perempuan (baca: isteri) dengan dua alasan.
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Dan kedua, karena
nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga
lainnya. Sekalipun ulama sepakat dengan kelebihan laki-laki atas
perempuan, tetapi dalam menjelaskan faktor-faktor sebagai penyebab nilai
lebih laki-laki atas perempuan tersebut terdapat perbedaan.
Dalam menafsirkan Ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam AlKasysyf an Haqiq At-Tanzl wa Uyn Al-Aqwl menyatakan bahwa
suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat
kunci yang menjadi landasan adalah
. Oleh
(kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang
kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya).
Dengan fungsi itulah laki-laki dinamakan qawwm. Alasan mengapa
45
menurut Az-Zamakhsyari
55
46
Sebaik-baik isteri adalah perempuan yang apabila engkau
memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya dia
patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia akan menjaga
dirinya dan harta bendamu.
Begitu pula pendapat at-Tabari dalam menafsirkan
At-Tabari, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.), IV:
59
81.
47
ia
60
Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Misamma bi Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,
1415 H/1995 H.), IX: 92.
61
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Marifah, 1393
H/1973 M.), V: 67.
48
Melengkapi
penjelasan
Muhammad
Abduh,
Rasyid
Ridha
62
Ibid., V: 70.
49
menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda
milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizt li al-ghaib),
termasuk juga menjaga rahasia suami. Tetapi ada perbedaan sedikit antara
'Al-Alusi dengan mufassir lainnya dalam menafsirkan kata qanitt. Bagi
Al-Alusi, kata tersebut berarti perempuan-perempuan yang patuh kepada
Allah dan suami-suami mereka. Sedangkan Az-Zamakhsyari dan Said
Hawa menafsirkan qanitt adalah perempuan-perempuan yang patuh pada
suaminya, sebagaimana disebut di atas tanpa menyebutkan terlebih dahulu
patuh kepada Allah.63
Begitu pula menurut keempat mufassir yang lain yaitu at-Thabari,
ar-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pendapat keempat mufassir
tersebut bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat az-Zamakhsyari
maupun al-Alusi seperti di atas, dalam menyikapi isteri yang nusyz
karena laki-laki menempati posisi sebagai kepala rumah tangga maka ia
diberikan kewenangan atau hak dalam mendidik atau juga dapat dikatakan
sekaligus untuk menindak isteri mereka yang nusyz tersebut dengan
melakukan tiga tahap cara yang telah dijelaskan al-Quran; menasihati,
memisahi ranjang dan memukul. Ketiga tahap tersebut harus dilakukan
suami secara bijak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri.
Demikianlah akar pemikiran tentang kepemimpinan dalam rumah
tangga yang sekaligus berimplikasi terhadap kewenangan suami dalam
memperlakukan isteri yang nusyz dengan berangkat dari penafsiran
63
Lihat Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf..., I:524, Abi al-Fida' Syihab ad-Din Mahmud alAlusi, Ruh Al-Ma'ani, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), III: 24.
50
64
Feminis adalah laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketidakadilan
gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan
sadar mereka untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan istilah feminis muslim merujuk pada
mereka yang memliki konsern terhadap isu-isu gender dan keperempuanan dalam Islam, seperti
Asghar Ali Engineer, Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin dan yang lain. (lihat Yunahar Ilyas,
Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran, Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hlm. 42-54. Sedangkan istilah fiminisme sendiri merujuk pada pengertian atau
gagasan kaum fiminis sebagai tanggapan dari perasaan ketidakadilan oleh karena adanya
supreoritas laki-laki dan penganugrahan hak-hak tertentu kepada mereka semata-mata karena
mereka adalah pria dan menyembunyikan hak-hak dari kaum wanita semata-mata karena mereka
wanita. (lihat Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hlm. 62.
51
65
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B., dkk., cet. II,
(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), hlm. 402.
66
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. II, (al-Qahirah: Fath al-Ilam al-Arabi, 1410
H/1990 M.), III: 229.
67
Muhammad Ali S{abikh wa Awladuhu, Al-Ahkm Syarih fi Ahwal Asy-Syahsiyyah, (ttp.,
1965), hlm. 28.
68
Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 82.
52
Kematian
b.
Perceraian; dan
c.
69
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshari Umar Sitanggal,
(Semarang: C.V. Asy-Syifa', t.t.), hlm. 465.
70
KHI, Pasal 80 Ayat (7).
71
KHI, Pasal 84 Ayat (3).
72
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 34.
73
Ibid., Pasal 39 Ayat (2)
53
telah
menetapkan
pula
atas
mereka
kewajiban-
telah
menetapkan
pula
atas
mereka
kewajiban-
74
54
55
76
Said Ramadhan Al-Buthi, Perempuan Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam
(Solo: Intermedia, 2002), hlm. 22.
77
Rukmini, Op. Cit.,
56
pihak isteri kerap kali menjadi korban yang dipersalahkan. Oleh karena itu
batasan hak-hak suami di sini perlu untuk ditegaskan.
Islam juga membolehkan melakukan tindakan kekerasan sebagai
ta'dib dalam rumahtangga.78 Kekerasan yang dimaksud disini bukanlah
kekerasan yang dilakukan dengan landasan amarah atau kekerasan yang
sampai melukai atau (bahkan) membunuh. Tapi, bentuk kekerasan yang
dimaksud adalah bentuk-bentuk tindakan fisik yang dibolehkan oleh syara,
ketika syara tidak membolehkan bahkan mengharamkannya maka itu
adalah kejahatan.
Misal perkara yang diperbolehkan adalah ketika terjadi Nusyz.
Hal ini berdasarkan Q.S An-Nisaa ayat 34. Dalam ayat ini, Allah telah
menjelaskan keadaan kaum perempuan adakalanya mereka taat dan
adakalanya membangkang (nusyz). Termasuk nusyz adalah mereka
yang menyombongkan diri dan tidak melakukan ketaatan kepada suami.
Maka ketika tanda-tanda nusyz tampak, suami wajib melakukan beberapa
langkah dalam upaya meyadarkan dan mengembalikan keadaan istri ke
jalan yang benar. Dimulai dengan menasihati, kemudian memisahkan diri
dan berpaling dari istri dan langkah ketiga memberikan pukulan yang tidak
menyakitkan dan tidak membekas, dengan tujuan kebaikan. Ibn Abbas
memperjelasnya
dengan
pukulan
yang
tidak
menyakitkan,
tidak
78
57
79
58
menghilangkan
semua
kendala-kendala
yang
mengusik
80
59
minimal
antara
suami-isteri.
Sedangkan
maksud
demokratis adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka
untuk dapat menerima pandangan dan pendapat pasangannya.85
83
Abi Bakr Ahmad ibn 'Ali Razi Al-Jassas, Ahkam Al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Kutub alAlamiyah, 1415 H/1993 M.), II: 238.
84
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazzali, Ihya Ulum ad-Din, (Beirut: Dar alKitab al-Islami, t.t.), II: 15.
85
Khoiruddin Nasution, Islam., hlm. 52.
60
86
isterinya, tidak
61
89
Ibid.
Ibid.
91
Illa' adalah marahnya suami terhadap isteri sampai mengeluarkan sumpah untuk tidak
mencampurinya (mengaulinya). Lihat, Muh. Rasyid Rida, jawaban Islam terhadap seputar
keberadaan wanita, alih bahasa Abd. Haris Rifa'i, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), hlm. 53.
90
62
63
tempat tidur atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama isteri, karena itu
malah akan dapat menambah kebandelan isteri. Sebab dengan masih
tidur bersama isteri walaupun tidak mencampurinya diharapkan akan
mampu menetralisir emosi suami dan isteri, sehingga jiwa menjadi
tenang dan pertengkaran dapat diatasi.94
Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang selama ini lebih
dipahami sebagai hak suami untuk menghukum isterinya yang nusyz
dengan menjahuinya, mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan
badan dengannya merupakan pemahaman yang berlebihan. Sebab
ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka tentu saja persoalan yang
ada di antara suami-isteri tidak akan selesai-selesai bahkan akan
berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa isteri karena
kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami
yang berusaha menjahuinya.
Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan dalam
urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah
yang dapat menganggu keharmonisan relasi suami-isteri antara lain
penyelewengan, perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.95
Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam senantiasa
menekankan arti penting keadilan diantara suami-isteri agar terjamin
keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang.
Hal ini sebagaimana disinggung oleh al-Quran sendiri, diantaranya:
94
64
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. AnNisa: 32)
Ulama mazhab Hanafi berpendapat isteri boleh menuntut
suami untuk melakukan persetubuhan dengannya, karena kehalalan
suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya jika isteri
menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki
65
berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suamiisteri jika tidak ada udzur (alasan yang dibenarkan secara syari).96
Begitu pula masalah kewajiban isteri untuk melayani suami
dalam berhubungan badan, al-Syirazi berpendapat bahwa meskipun
pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika
ia tidak mud atau sedang tidak bergairah untuk melayaninya ia boleh
menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi
isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya
untuk melayaninya sampai sembuh.97 Jika suami tetap memaksa maka
dia telah melanggar prinsip mu'asyarah bi al-maruf dengan berbuat
aniaya kepada pihak yang seharusnya dilindungi.
Oleh karena itu suami tidak boleh mengklaim isterinya telah
melakukan nusyz hanya gara-gara dia tidak bersedia melayaninya di
sesuatu ketika, karena hal itu harus juga mempertimbangkan situasi dan
kondisi isteri. Bahkan dalam persoalan hijr yang selama ini dipahami
sebagai kewenangan suami untuk menjahui isteri yang nusyz sebagai
bentuk pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika
harus dikaji kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya
suami telah melupakan prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip
muasyarah bil marf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah
melakukan nusyz terhadap isterinya.
96
97
66
d. Memukul ( )
Dalam masalah pemukulan ini fuqaha' mendefinisikannya
dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang
menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan
mengunakan alat atau tidak.98
Kalau diteliti lebih lanjut sebenarnya kalimat dharaba berasal
dari fiil madhi dharaba yadhribu yang di dalam Al-Quran kata ini
mempunyai banyak arti:
1) Jika dalam Ayat jelas fiil amr yang berasal dari fiil madI
bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari
anggota tangannya kepada orang lain.
2) Untuk Ayat kalimat fiil madI ini bukan arti pukul,
namun mempunyai arti itibar (perumpamaan).
3) Jika untuk Ayat artinya fiil amar yang
tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu
alat.
Bagi
fuqaha
yang
berpendapat
tentang
dibolehkannya
98
67
,
,
,
100
68
101
Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di
atas tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka
memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya
karena telah melanggar hak-hak suami.102
Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya
pemukulan terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui
batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkannya
tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau
suatu yang lebih baik jika harus dihindari.103
Walaupun kelihatannya secara tekstual syariat membolehkan
suami memukul isteri yang nusyz, akan tetapi bagaimanapun harus
diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat
diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh
dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti
101
69
70
perintah
memukul
isteri
bukanlah
sesuatu
yang
71
108
Ibid., V: 74-75.
Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan
Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm. 76.
109
72
Pada dasarnya Nabi sangat menghargai perempuan, asbab annuzul ayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada
Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati
menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya, tetapi
Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati,
keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan,
tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan
mengutip pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women
Under Islam; bahwa ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah
merupakan pemimpin Anshar (Saad bin Rabi). Keputusan Nabi untuk
mengqisas suaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah,
mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan
dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat
ini
diwahyukan
mengendalikan
sebagai
anjuran
yang
menyejukkan
kekerasan
laki-laki
terhadap
perempuan
demi
dan
110
73
menyikapi
persoalan
nusyz
Amina
Wadud
mengutip surat an-Nisa Ayat 34; karena itu, wanita yang baik adalah
(qanitat), memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah
telah memelihara mereka. Adapun wanita-wanita yang kamu takutkan
(nusyz), nasihatilah mereka, pisahkan mereka di tempat tidur yang
terpisah, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu,
jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Berarti, seorang
wanita harus mematuhi suaminya, jika tidak, suami boleh memukulnya.
Amina berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk memberi
jalan pemecahan ketidak-harmonisan antara suami dan isteri.112 Oleh
karena itu memahaminya sebagai sebuah dalil yang membolehkan
seorang suami dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada isteri
yang nusyz adalah tidak tepat.
Bagi Amina, ia setuju dengan dua cara pertama dalam
menyikapi isteri nusyz, yaitu menasehati dan menjahuinya dari tempat
111
112
Ibd.
Amina Wadud, Qur'an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000), hlm. 21.
74
113
menyebabkan
hilangnya
hak
nafkah
isteri. 114
Dasar
Imam Taqiy ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafii, Kifayat
al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 77.
114
Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, (Surabaya: alHidayah, t.t.), hlm. 248.
75
115
116
76
119
Pendapat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:
117
77
120
Dan juga riwayat Abu Dawud dari Hakim bin Muawiyah dari
ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;
:
121
Dari kedua riwayat hadits tersebut, menunjukkan bahwa
Rasulullah
SAW.
Menyamaratakan
seluruh
wanita
dan
tidak
120
Muslim, Sahih Muslim, "Kitab al-Hajj", "Bab Hijjah 'an-Nabi SAW., (Bairut: Dar alKutub al-'Ilmiyah, t.t.), II: 512. diriwAyatkan dari Jabir bin Abdullah.
121
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Haq al-Mar'ah 'ala Zawjiha",
(Bairut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212, hadis nomor 2142. diriwAyatkan dari Hakim bin Mu'awiyah
al-Qusyairiy dari ayahnya.
122
Ibn Hazm, al-Muhalla., X: 88.
78
Hasan dan az-Zuhri, tetapi Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka
secara jelas, hanya saja mereka menyatakan;
123
124
Imam Syafi'i berpendapat bahwa isteri yang keluar dari rumah
tanpa izin suaminya maka nafkahnya menjadi gugur. Dalam hal ni Ibn
Hazm berargumen sebagai berikut;
125
:
Dan tentang isteri yang nusyz, telah dijelaskan di dalam alQur'an surat an-Nisa' Ayat 34. berdasarkan Ayat tersebut Ibn Hazm
mengatakan bahwa; Allah telah mengabarkan atau memberitahu
bahwasanya tidaklah kepada isteri yang nusyz itu kecuali hijr dan
pemukulan dan Allah tidak menggugurkan nafkah dan kiswah. Maka
123
79
126
127
Ibid.
Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 402.
80
128
M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), hlm. 43.
129
Ibid., hlm. 43.
81
130
82
pendek
yang
temporal
yang
dapat
Abu Dawud, Sunan abi Dawud, Kitab at-Talak, Bab at-Talak Ala Ghalat, II: 231,
hadis nomor 2193. diriwAyatkan dari Sayfiyyah binti Syaibah dari Aisyah.
131
83
itu hukum talak beredar antara wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut;
a. wajib, yaitu: talak hakamain (juru damai) dalam hal syiqaq
(perselisihan hebat
memandang
bahwa
itulah
satu-satunya
jalan
untuk
ketentuan
perundang-undangan
perkawinan
di
Indonesia sendiri hak talak tidaklah merupakan monopoli pihak lakilaki saja, sebab perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal ini
132
84
catatan
penting
dalam
masalah
hak
suami
85
perceraian begitu saja, padahal masih ada seribu satu jalan keluar dan
selalu masih ada harapan besar untuk kembali merajut benang-benang
yang terlanjur kusut dalam rumah tangga.
86
BAB III
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF
UU NO 23 TAHUN 2004
dalam
bahasa
Indonesia
umumnya
dipahami
hanya
WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm.
489.
2
Mansour Faqih, Perkosaan dan Kekerasan Analisis Gender, dalam Eko Prasetyo dan
Suparman Marzuki (eds.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan, ( Yogyakarta: PKBI, 1997),
hlm. 7
87
terhadap isteri, anak, pembantu atau antar anggota keluarga dalam rumah
tangga (selanjutnya disingkat KDRT) yakni, dapat berupa kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual serta penelantaran rumah tangga
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 UU. No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT.
Tindak kekerasan merupakan bentuk kata kerja yang berakibat
tertentu bagi obyeknya. Menurut bahasa kekerasan sendiri berasal dari
bahasa latin yaitu violentia, yang berarti kekerasan, keganasan, kehebatan,
kesengitan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya dan perkosa.
Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal
yang bersifat keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain atau ada paksaan.3 Kekerasan dapat
didefinisikan juga serangan atau invasi (assault) terhadap fisik, maupun
intregitas mental psikologis seseorang.4 Oleh karena itu kekerasan tidak
hanya menyangkut serangan fisik saja, tetapi juga non fisik seperti
ancaman dan paksaan, sehingga secara emosional yang mengalaminya
akan merasa terusik.
Kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat)
terhadap seseorang atau sejumlah orang-orang berposisi lemah (atau yang
tengah dipandang berada di dalam keadaan lemah). Bersarana kekuatannya
88
Berbagai
penemuan
penelitian
masyarakat
bahwa
89
UU. No. 23 Tahun 2004, Tentang penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta :
Cemerlang, t.t., hlm. 2.
90
7
8
91
Rita Serena Kalibonso, Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Sebagai
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Achie Sudiarti Luhulima(ed.) et. Al., Pemahaman
Bentuk- Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya (Bandung:
P. T. Alumni, 2000), hlm. 109.
92
kekerasan
dalam
rumah
tangga
tidak
selamanya
10
KDRT
(Domestic
Viulence)
adalah
suatu
bentuk
93
11
Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 191.
Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah,
2002), hlm. 2.
13
Jamil Samil, Kekerasan Dan Kapitalisme (Jakarta:Pustaka Belajar,1993), hlm. 29.
12
94
hak-hak
individu
yang
lebih
tinggi,
misalnya
hak
14
95
15
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam ( Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Gender, 1999), hlm. 18.
16
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara),
hlm. 15.
17
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekersan Terhadap Isteri (Yogyakarta: PT. Gema
Media Dan Lembaga Kjaian Perempuan dan Agama(LKPA, 2004), hlm.17.
96
orang
tua/lingkungannya.
Anak
laki-laki
yang
97
98
diskriminasi
gender
gender
atau
termanifestasikan
ketidakadilan
dalam
brbagai
gender.
bentuk
Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 13.
19
Sri Suhandjati Sukri, op. Cit., hlm. 34-35.
99
untuk meniru hal tersebut dalam rumah tangga diamati oleh anak dan
terekam dalam jiwanya, yang suatu saat nanti dapat muncul jika ada
rangsangan dari luar. Rangsangan itu dapat berupa struktur sosial yang
bias gender ataupun sebab lain yang melekat dalam diri anak atau
lingkungannya.
Seorang anak yang hidup dalam struktur masyarakat patriarkhi
akan tumbuh menjadi pemilik kekuasaan dalam rumah tangga. Ialah
yang mengatur dan berwenang melakukan tindakan-tindakan untuk
menjaga superioritasnya. Hal ini akan bertambah kokoh jika didukung
oleh ideology patriarkhi yang menjadi alat legitimasi dalam melakukan
kekerasan terhadap perempuan.
Dari sini terlihat bahwa kekerasan itu tidak hanya berpengaruh
pada suatu generasi, tetapi juga dapat berlanjut pada generasi
berikutnya.
c. Pemahaman Agama yang Bias Gender
Pemahaman yang bias gender terhadap ayat-ayat Al-quran dan
hadits Nabi serta teks-teks keagamaan lainnya dapat mempengaruhi
terbentuknya kerangka
kekerasan terhadap
100
dengan ruh Islam yang membawa misi perdamaian dan rahmat bagi
seluruh makhluk Allah. Ketimpangan relasi gender yang menempatkan
laki-laki menjadi makhluk yang superior diantaranya berasal dari
pemahaman yang tekstual dan mengabaikan konsteksnya.
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Penafsiran semacam ini
mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan
suami melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik.20
Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya
bergantung pada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat
perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa suami. Salah
satu akibatnya isteri sering kali diperlakukan semena-mena sesuai
dengan kehendak atau mood suaminya.
d. Adanya kecenderungan
masyarakat
Farkha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasn Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Lembaga
Kajian Agama Dan Gender, 1999), hlm.25-27.
101
102
21
103
22
Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam (Bogor: Pustaak Thoriqul Izzah,
2002), hlm. 2.
104
23
Ibid, hlm. 14
105
106
107
menindak para pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
107
BAB IV
TINDAKAN KERAS TERHADAP ISTERI NUSYZ
DAN RELEVANSINYA DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
dalam
bahasa
Indonesia
umumnya
dipahami
hanya
WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),
hlm.489.
2
Mansour Faqih, Perkosaan dan Kekerasan Analisis Gender, dalam Eko Prasetyo dan
Suparman Marzuki (eds.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI, 1997),
hlm.7.
108
namun juga psikis. Sebagaimana yang saat ini dikenal tentang kekerasan
terhadap isteri, anak, pembantu atau antar anggota keluarga dalam rumah
tangga (selanjutnya disingkat KDRT) yakni, dapat berupa kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual serta penelantaran rumah tangga
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 UU. No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT.
Secara tegas, kekerasan dalam rumah tangga, diatur dalam pasal 5
UU. PKDRT yang menyatakan bahwa :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara ;a)
kekerasan fisik; b) kekerasan psikis; c) kekerasan seksual, atau ; d)
penelantaran rumah tangga .3
Berdasarkan pasal tersebut, bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga
dibagi
menjadi
kekerasan
fisik
(yaitu
perbuatan
yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat), kekerasan psikis
(yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang), kekerasan seksual
(yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut, dan pemaksaan
hubungan seksual terhadap seseorang dalam rumah tangga dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu), atau penelantaran rumah
tangga (seperti orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
UU.PKDRT, hlm.5
109
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut).4
Sebenarnya
hal
prinsip
yang
menjadi
latar
belakang
diundangkannya UU. No. 23 Th. 2004 ini adalah adanya kesadaran akan
diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan baik dalam
ruang publik maupun dalam rumah tangga, serta adanya pelecehan
terhadap anak di bawah umur dengan menjadi korban pelecehan seksual
dan ekploitasi anak di bawah umur dan sebagainya. UU. Ini merupakan
ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak kekerasan dalam rumah
tangga, prosedur penanganan perkara, perlindungan terhadap korban dan
sanksi bagi para pelakunya.
UU. anti kekerasan dalam rumah tangga ini dilegislasikan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa setiap warga berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan suami.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapuskan.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan
perempuan dan anak-anak, harus mendapatkan perlindungan dari
Negara dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari segala
110
pembantu
rumah
tangga
mempunyai
hak
untuk
111
Dari Ibn Umar ra. Dia berkata: saya mendengar Rasulullah saw.
Bersabda : setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggunganjawab tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggunganjawaban tentang rakyatnya,
seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai
tanggung jawab dalam keluarganya, seorang perempuan adalah penjaga
dalam rumah tangga suaminya dan akan dimintai tanggungjawab dalam
penjagaannya, dan seorang pembantu adalah penjaga terhadap harta
tuannya dan akan dimintai tanggungjawab dalam kepenjagaannya itu.
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai tenggung jawab dalam
kepemimpinannya. (HR. Bukhari-Muslim)5
Hadits tersebut di atas, dapat dipahami bahwa setiap anggota
keluarga mempunyai hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama
sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Tidak dibenarkan apabila
meminta perlakuan yang lebih melebihi hak dan kewajibannya tersebut.
Diantara hak seorang suami adalah mendapatkan penghormatan dan
ketaatan secara layak dari anggota keluarga tersebut berkenaan dengan
peran seorang kepala rumah tangga dan harus bertanggung jawab baik
moral, material dan spiritual dalam menegakkan ajaran Allah Swt. Oleh
karena itu kewajiban seorang suami meliputi hal-hal yang bersifat material
duniawi dan spiritual ukhrowi.
5
Abi Zakariya Muhyiddin Yahya al-Nawawi, Riyadus Shalihin. (Surabaya : Darul Ulum, t.t),
hlm. 158.
112
113
Syekh ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri wa Falsafatuhu, (Kairo: Jamiah al-azhar, tt).
Jilid II, hlm.43.
114
oleh walinya sejak ia berumur tujuh tahun. Adapun tindakan keras dari
suami terhadap pembantu misalnya karena tindakan sembrono dari
pembantu tersebut belum didapatkan referensi untuk dianalisa secara
hukum Islam selama ia bukan merupakan pelanggaran kriminal yang
dalam penanganannya dipasrahkan kepada pihak berwenang.
Berkaitan dengan nusyz, al-Quran al-Nisa ayat 34 menyatakan :
Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyz,
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. An-Nisa: 34)7
Terkait dengan ayat tersebut, Tafsir Jalalain menerangkan bahwa
para laki-laki adalah pemimpin yaitu yang menguasai para perempuan,
memberikan pelajaran dan melindunginya, karena apa yang telah
dilebihkan oleh Allah swt. kepada sebagian mereka atas sebagian yang
7
2004)
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
115
lain, seperti kelebihan dalam hal ilmu, akal dan perwalian, dan sebagainya,
dan harta yang mereka nafkahkan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa
perempuan-perempuan yang shalih adalah yang taat kepada suaminya,
menjaga diri dan kehormatannya ketika suaminya tidak ada, karena Allah
swt. telah menjaganya dengan cara mewasiatkannya kepada suaminya.
Adapun bagi perempuan-perempuan yang dikhawatirkan akan berbuat
nusyz yaitu maksiat kepada suaminya dengan membangkang perintahperintahnya, maka nasehatilah mereka agar mereka takut kepada Allah
Swt., dan pisahlah tempat tidur yakni pindahlah ke tempat tidur yang lain
jika mereka masih berbuat nusyz, dan pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukai jika dengan pisah tidur mereka belum kembali berbuat
baik. Jika mereka telah kembali melakukan apa yang suami perintahkan,
maka janganlah mencari cara untuk memukulnya untuk berbuat aniaya.8
Melengkapi penjelasan di atas, al-Jurjawi menegaskan hal-hal sebagai
berikut; kewajiban untuk memberikan pelajaran kepada isteri adalah
apabila ia mulai tidak taat dan menunjukkan gelaja nusyz kepada suami.
Maka suami wajib memberikan pelajaran, akan tetapi pemberian pelajaran
tersebut
dilaksanakan
dengan
urut-urutan,
pertama
suami
wajib
maka
tinggalkan
isteri
itu
sendirian,
Jalaluddin al-Sayuthi, Tafsir Jalalain. (Bandung : al-Maarif, t.t.), Jilid I. hlm. 86.
dengan
116
117
Dari Amr ibn syuaib dari bapaknya dari kakekknya beliau bersabda ;
Bersabda Rasulullah saw. Perintahkan anak-anak kalian untuk
mengerjakan sholat ketika sudah berumur tujuh tahun dan pukullah
mereka apabila meninggalkan sholat ketika sudah berumur sepuluh tahun.
Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (yang laki-laki dan perempuan).
HR. Abu Daud dengan sanad yang baik.12
12
118
Dari Abi Tsurayyah Sibrah Ibn Mabad al Juhani ra. Beliau bersabda,
Bersabda Rasulullah saw. : Ajarkanlah seorang anak bersholat ketika ia
berumur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan sholat
setelah berumur sepuluh tahun. HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi. Tirmidzi
berkata, Hadits ini adalah hadits hasan. Adapun redaksi Abu Daud
adalah: Perintahkanlah seorang anak dengan sholat ketika ia berumur
tujuh tahun.13
Berdasar kedua hadits di atas kewajiban mengajarkan sholat kepada
anak-anak kaum muslimin dibebankan kepada kedua orang tuanya dimulai
sejak anak tersebut berumur tujuh tahun dan dipantau dalam pelaksanaan
sholat tersebut sehingga apabila ia telah berumur sepuluh tahun, maka
apabila si anak tersebut lalai untuk mengerjakan sholat maka orang tuanya,
dalam hal ini bapaknya wajib memberikan pelajaran kepadanya dengan
memukul yang tidak keras dan tidak menimbulkan bekas, yang
dimaksudkan supaya ia lebih memperhatikan dalam melaksanakan sholat.
Kewajiban memukul ini dimaksudkan sebagai sarana pendidikan
dan tahdzir (menakut-nakuti) agar si anak itu apabila sampai masanya
nanti aqil baligh tidak menjadi orang yang tarikussholah. Dimana derajat
seorang yang meninggalkan sholat lebih hina dari anjing dalam pandangan
syariah. Jadi pada intinya perintah ini adalah untuk berhati-hati agar
sesuatu yang tidak dikehendaki (meninggalkan sholat) terjadi apabila telah
jatuh taklif (perintah mengerjakan syariat) kepada anak tersebut.
13
119
: ......... :
.....
.
Dari Amr ibn al- Ahwas, ia mendengar Rasululullah saw., bersabda.
: apabila ia (isteri) tersebut nusyuz maka tinggalkanlah di tempat tidur
dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai, apabila ia sudah taat
kepada kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk aniaya
kepadanya. HR. Turmudzi.14
Dengan takhshis dari hadits ini maka jelaslah bahwa pukulan yang
diperbolehkan dalam kasus nusyz ini adalah pukulan yang tidak sampai
menyebabkan luka dan apalagi cidera. Lain lagi halnya dengan pukulan
14
120
yang harus dilaksanakan terhadap anak yang berumur sepuluh tahun yang
meninggalkan sholat, maka jelas-jelas hanya pukulan yang bersifat
mendidik dan menakut-nakuti saja, toh pada usia ini apabila ia belum
baligh ia belum dikenai taklif. Sehingga pada masa balighnya nanti ia
menjadi orang yang sangat perhatian terhadap sholat berkat kebiasaan
yang ditanamkan sejak ia baru tamyiz.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan lain yang mungkin terjadi dalam
sebuah keluarga adalah di luar lingkup analisa ini. Dan untuk itu
diperlukan adanya kajian mendalam terhadap UU. No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU. PKDRT)
setelah mengecualikan kedua bentuk kekerasan/pemukulan tadi. Hal ini
perlu ditegaskan kembali agar tidak terjadi kontra produktif antara UU.
No. 23 tersbut dengan pasal 29 ayat 2 Batang Tubuh UUD. 1945, dimana
setiap warga negara dijamin kebebasannya dalam menjalankan ajaran
agamanya. Pasal 29 ayat 2 UUD. 1945 menyatakan:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.15
Menurut hemat penulis, ketegasan seorang suami dalam menindak
isterinya yang nusyz dan anaknya yang tarikussholah adalah salah satu
dari bentuk kebebasan menjalankan ajaran agama yang dijamin oleh pasal
29 ayat 1 Batang Tubuh UUD. 1945.
15
Undang-Undang Dasar RI. UUD45 Yang Sudah Diamandemen, Surabaya : Apollo, t.t.,
hlm. 21.
121
122
selalu berubah, dan jika pada sebuah struktur sosial dimana perempuan
yang menghidupi keluarganya, atau menjadi teman kerja laki-laki, maka
perempuan pasti sejajar atau bahkan superior terhadap laki-laki dan
memainkan peranan yang dominan di dalam keluarganya sebagaimana
yang diperankan laki-laki.17
Adapun tentang diperbolehkannya pemukulan dalam ayat tersebut,
dapat dipahami berdasarkan peristiwa khusus yang menyebabkan turunnya
( asbabun nuzul ) ayat tersebut. Yaitu, ayat tersebut turun setelah adanya
laki-laki
yang
melukai
isterinya,
dan
kemudian
saudaranya
17
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 237.
18
Abu Bakar al-Sayuthi, Lubabun Nuqul fi Asbab al Nuzul, Hamisy Tafsir Jalalain, (Bandung
: Al-Maarif, t.t), I : 92.
123
: .....
.
Menceritakan kepada kami Abu Bakar..dst. sampai sabda Rasulullah
saw. : Takutlah kalian kepada Allah terhadap perempuan karena kamu
sekalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan dihalalkan
bagimu kehormatannya (menggaulinya) dengan kalimah Allah, dan
bagimu agar isteri-isterimu tidak melakukan jimak dengan laki-laki lain
yang tidak mau sukai di ranjangmu, maka pukullah isteri-isterimu itu
dengan pukulan yang tidak menyebabkan luka, dan isteri-istrmu berhak
atas rizki dan pakaian yang baik.19
Berdasarkan hadits di atas, dapat dimengerti bahwa pemukulan
diperbolehkan karena isteri berbuat zina yang keji. Dalam tafsir al-Mizan
juga dijelaskan, berkaitan dengan penjelasan ayat 19 surat al-Nisa tentang
larangan untuk menguasai yaitu menahan, mempersempit gerak langkah
dan mengekang. Larangan tersebut diberi pengecualian yaitu jika mereka
berbuat fahisyah mubayyanah. Kata fahisyah dalam al-Quran biasanya
digunakan untuk menyebut perbuatan zina, sementara mubayyanah dari
kata bayyana cenderung mempunyai arti pembuktian, sehingga perbuatan
keji yang dimaksud adalah perbuatan zina yang terbukti.20
Dengan melihat dlahir hadits ini, nusyz harus dipahami sebagai
suatu fenomena pembangkangan isteri terhadap suami secara lebih frontal
19
Abul Hasan Muslim Ibn al Hajjaj al Naisaburi, Shahih Muslim no.hadits 1218 ,( Kairo: Dar
al Hadits, 1994), Cet.1. Jilid IV, hlm. 432
20
Sayyid Mohammad Husain, Al-Mizan, hlm. 254-255
124
.
Mayoritas ulama ushul memahami bahwa ibarat yang diambil dari nashnah al-Quran adalah dengan keumumam lafadznya, bukan dengan
kekhususan sebab turunnya ayat tersebut. Ini pendapat yang shahih.21
Walaupun tindak pemukulan dibenarkan dalam Islam, ketika isteri
berbuat nusyz namun pemukulan ini bukan berarti tindak kekerasan,
karena tujuan dari pemukulan ini bukanlah untuk menyakiti, melainkan
21
Moh. Ali al-Shobuni, Al-Tibyan fi ulum al-Quran, (Jakarta: Dinamika Berkat Utama,
1985), hlm. 29.
125
22
126
mereka
sebagai
anak-anak.
Banyak
hadits
Nabi
yang
23
Dicuplik dari desetasi penulis Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufasir Indonesia
Modern Hamka dan M. Hasbi ash-Shiddiqi), Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
24
Didin SyafruddinArgumen Supremasi atas Perempuan, Penafsiran Klasik QS. AnNisa34, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, No. 5, Vol. V tahun 1994, hlm. 410.
127
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(Q.S. An-Nisa:34)
a. Perspektif Para Mufassir
Kalimat Arrijalu qowwamu ala nisa dalam surat An-nisa
ayat 34 oleh ath-Thabari ditafsirkan dengan kaum laki-laki berfungsi
mendidik dan membimbing isteri-isteri mereka dalam melaksanakan
kewajiban terhadap Allah dan para suami.25
Az-Zamakhsyari menafsirkan kalimat itu dengan kaum lakilaki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum
perempuan sebagimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya.
Dengan fungsi itu laki-laki dinamai qawwam.26
Bagi ar-Razi kalimat ini berarti kaum laki-laki berkuasa
untuk mendidik dan membimbing isteri-isteri mereka, seolah-olah Dia
25
57
26
128
129
menjatuhkan
talak,
menjatuhkan
rujuk,
boleh
130
kemampuannya untuk bekerja juga lebih sempurna. Kemudian ArRazi menyebutkan beberapa profesi laki-laki yang dinilainya sebagai
kelebihan mereka atas perempuan seperti Nabi, ulama, imam besar
dan kecil dan lain-lain sebagainya.33
Menurut Ibn katsir, kelebihan kaum laki-laki adalah karena
hanya merekalah yang diangkat menjadi nabi, dan kepala negara.
Untuk yang terakhir Ibnu katsir mengutip hadits Abu Bakrah yang
menyatakan
bahwa
tidak
akan
sukses
suatu
kaum
apabila
131
Muhammad
abduh,
kelebihan
laki-laki
atas
perempuan terbagi dua. Pertama fitri dan yang kedua kasbi. Dari segi
fitri, campuran atau adonan penciptanan laki-laki lebih kuat, lebih
sempurna dan lebih indah. Di antara bentuk kesempurnaann dan
keindahan penciptaan laki-laki adalah tumbuhnya jenggot dan kumis.
Oleh sebab itu, kata Abduh lebih lanjut, orang yang tidak memiliki
jenggot
dan
kumis
merasa
belum
sempurna,
sehingga
dia
132
35
Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, juz V (Beirut : Dar al-Fikr, 1973), hlm. 68-70
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, juz V (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 27
37
Asghar Ali Engineer, Hak Hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan
Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. 62
36
133
meminta
gugat
cerai
dengan
tebusan
atau
khuluk.
Jadi
38
134
(perangai kikir).
Artinya jika kekikiran sudah menjadi tabiat dan sulit dielakkan, namun
keduanya masih tetap mencari solusi untuk mendapatkan kemaslahatan dan
40
135
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyz dan sikap
tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa: 128)
Maksudnya adalah jika kamu membenci dan tidak mencintainya,
maka bersabarlah atas keadaan demikian. Hal ini didasarkan atas (untuk)
menjaga hak-hak dan menghindari berbuat durhaka, berpaling dari apa-apa
yang akan membawa kepada kehancuran dan permusuhan. Asbab an-Nuzul
dari Ayat ini adalah Said mengutip dalam Sunan Said bin Mansur dari
Uswah: Saudah adalah wanita yang sudah tua, maka Saudah meminta kepada
Rasul (sekalipun berat) untuk memberikan jatah harinya (gilirannya) kepada
Aisyah, karena dia tahu kecintaan Rasul kepada Aisyah, kemudian Rasul
menerimanya.41
41
1195.
Sa'id Hawa, al-Asas fi Tafsir, cet. I, (Beirut: Dar as-Salam, 1405 H/1989 M.), II: 1194-
136
Bila nusyz berasal dari pihak isteri, maka suami bisa mengambil
empat langkah penyelesaian. Pertama, menasehati setelah berintropeksi dan
menasehati diri sendiri. Kedua, pisah ranjang dan tidak saling tegur sapa.
Langkah kedua ini tidak boleh dijalankan lebih dari tiga hari atau maksimal
empat bulan kalau dianologikan dengan hukum illa. Ketiga, memukul. Para
ulama berbeda pendapat mengenai bentuk pemukulan ini. as-Sabuni dan
Wahbah az-Zuhailiy mengatakan tidak boleh memukul muka, perut dan
pukulan yang menetap pada satu bagian sehingga dapat menambah rasa sakit.
Imam Hanafi menetapkan, berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim,
untuk pukulan ini mengunkan tidak lebih dari sepuluh batang lidih.42
Di dalam Minhaj yang dikutip oleh al-Jamal (W.1204) menyebutkan
bila telah muncul tanda-tanda nusyz dari isteri, suami bisa menasehati. Bila
telah jelas-jelas yakin dia nusyz, maka suami bisa memisahi ranjang dan
memukul tanpa menyakitkan.43 Langkah keempat adalah mengadakan
perjanjian damai dengan juru damai. Perdamaian ini bukan lagi kategori
dalam nusyz, tetapi dalam syiqaq, yakni kebencian yang telah mewarnai
kedua belah pihak. Bagi pihak yang secara jelas membedakan nusyz dan
syiqaq.
Sebagai sebuah catatan yang harus selalu diperhatikan adalah bahwa
hak atau kewenangan suami dalam memperlakukan isteri saat nusyz seperti
yang dijelaskan dalam surat an-Nisa: 34, juga haknya untuk melakukan
pencegahan nafkah isteri dan juga hak untuk menjatuhkan talak, semua itu
42
137
sebagai
manusia
yang
seharusnya
diperlakukan
secara
manusiawi.
Ketika persoalan nusyz muncul, baik yang dari pihak isteri maupun
dari pihak suami sering kali menggiring mereka dalam situasi genting dan
lepas kontrol dalam bersikap terhadap pasangannya. Hal ini tentu saja lebih
rawan lagi bagi posisi perempuan, baik itu saat mereka yang nusyz atau
ketika ia berhadapan dengan suami yang nusyz. Dalam dua masa transisi
semacam ini kerap kali mereka harus menjadi korban yang sangat tidak
diuntungkan. Artinya, ketika mereka nusyz, maka posisi mereka sangat
44
Abdullah SaId bin Muhammad Ubbadi, Idlahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. III
(Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 62.
138
139
atau
penindasan;
menganiaya
artinya
memperlakukan
artinya
perlakuan
yang
sewenang-wenang
dengan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, cet. I
(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001), hlm. 53.
140
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi mengenai penganiayaan yang
mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku diancam pidana penjara paling
lama lima tahun dan satu kasus dengan junto Pasal 356 untuk
penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal
356 (penganiayaan dengan pemberatan pidana) karena penganiayaan itu
dilakukan terhadap isteri, suami, ayah, ibu dan anaknya. Perbuatan
penganiayaan dalam KUHP dibedakan atas:46
a. Penganiayaan ringan, apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian, yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Hukuman ini dapat
bertambah sepertiga bagi pelaku yang menganiaya orang yang bekerja
padanya atau sebagai bawahanya (Pasal 352 KUHP)
b. Penganiayaan
dengan
rencana,
apabila
sebelum
perbuatannya
46
141
telah
menghambat
kaum
perempuan
untuk
memperkarakan
persoalannya secara hukum. Dengan kata lain jika kita berbicara pada
tingkat perlindungan kepada korban-korban kekerasan, dapat dikatakan
47
142
keadilan masih jauh dari jangkauan kaum perempuan. Hal ini terjadi
karena masih adanya asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai patriarkhi baik
dalam substansi hukumnya sendiri (legal substance), struktur hukumnya
(legal structure) maupun dalam sikap masyarakat termasuk sikap kaum
perempuan sendiri.48
Setelah disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 pada tanggal 22 bulan
September tahun 2004 yang lalu, upaya penghapusan tindak kekerasan
dalam rumah tangga khususnya terhadap kaum perempuan kiranya telah
mendapatkan pijakan yuridis yang kokoh. Walaupun di dalam upaya
sosialisasi dan implementasinya masih belum maksimal, namun setidaknya
Indonesia sekarang telah memiliki perangkat hukum yang jelas dan secara
khusus mengatur tentang perlindungan korban kekerasan dalam rumah
tangga sekaligus ketentuan pidana bagi pelaku tindak kekerasan tersebut.
Dengan itu diharapkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
khususnya terhadap perempuan bagaimanapun bentuknya dan apa pun
alasan yang melatarbelakanginya dapat diproses secara hukum sehingga
rasa keadilan dapat diperoleh oleh pihak yang dirugikan.
Terdapat hal yang menarik ketika mencoba membawa persoalan
hukum nusyz dalam Islam ke dalam konteks hukum ke-Indonesiaan, hal
ini berkaitan dengan adanya kenyataan, pertama, bahwa mayoritas
penduduknya adalah beragama Islam. Kedua, hukum perdata keluarga
48
Atho Mundzar, Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2000), hlm. 137.
143
yang dipakai juga hukum Islam yang juga di dalamnya memuat ketentuan
tentang nusyz. Ketiga, masih kuatnya dominasi laki-laki terhadap
perempuan dalam segala sektor karena kokohnya budaya patriakhi dalam
realitas sosialnya.
Maksud pengkorelasian beberapa fakta tersebut adalah untuk
mengambarkan bahwa dalam kenyaataan masyarakat kita persoalan nusyz
yang merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan rumah tangga,
dan akan sangat mungkin sekali menjadi pemicu terjadinya tindak
kekerasan terutama terhadap pihak perempuan oleh suami karena adanya
hak
dan
kewenangan
yang
dimilikinya
dalam
menyikapi
atau
144
mempunyai
hubungan
keluarga
dengan
orang
49
145
ini
adalah
bahwasanya
setiap
orang
dilarang
52
146
membatasi dan atau melarang untuk bekerja secara layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.53
Sedangkan ganjaran bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah
tangga hal itu diatur secara jelas dalam bab VIII tentang ketentuan pidana
dengan penjelasan yang terinci sebagai berikut;
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan korban mendapat
jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud Ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.
53
147
5.000.000,00 (lima juta rupiah).54 Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana
disebut dalam Pasal 51 merupakan delik aduan.
Begitu pula setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).55 Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 52
merupakan delik aduan.
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta).56 Dan jenis tindak pidana ini
sebagaimana disebut dalam Pasal 53 merupakan delik aduan. Begitu pula
setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
54
148
Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).57
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan
Pasal 47 di atas mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus
atau (satu) tahun berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00).58
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap
orang yang:59
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat
(2).
Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini hakim
dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa:60
57
149
61
150
An-Nur: 4-5)
b. Membunuh: Hal ini bisa menimpa wanita atau laki-laki. Dalam hal ini
sanksi bagi pelakunya adalah qishas. Berdasarkan firman Allah SWT:
"Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh" (QS Al baqarah: 179)
c. Mendatangi wanita pada duburnya hukumnya adalah haram. Dari Ibnu
Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan melihat
seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki dan mendatangi isterinya
pada duburnya" Sanksi hukum adalah Ta'zir dengan bentuk hukuman yang
diserahkan pada pengadilan.
d. Bentuk kekerasan lain yang menimpa wanita (termasuk juga laki-laki)
adalah
penyerangan
terhadap
anggota
tubuh.
Siapapun
yang
151
62
152
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kosep nusyz dalam perspektif hukum perkawinan Islam ditegaskan
dalam Q.S An-Nisa ayat 34 dan 128 serta beberapa hadits. Konsep nusyz
tidak hanya berlaku bagi pihak isteri semata akan tetapi juga bagi pihak
suami, dengan solusi apabila salah satu pihak suami maupun isteri telah
nusyz disarankan untuk melakukan perdamaian atau ishlah. Walaupun
ada beberapa ahli fikih yang tidak memberlakukan istilah nusyz kepada
suami artinya hanya mengakui nusyz dari pihak isteri saja sedangkan
pihak suami tidak. Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit juga tidak
memberlakukan istilah nusyz pada suami.
2. Konsep kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga menurut
Undang-undang No. 23 tahun 2004 adalah segala bentuk tindakan
kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan
mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara
fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan,
paksaan, baik yang terjadi di area publik atau domestik, yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
153
B. Saran-Saran
1. Siapa pun yang akan melangsungkan pernikahan hendaknya terlebih dahulu
memahami makna berkeluarga. Memahami konsepsi Islam yang mengatur
hak dan kewajiban suami isteri. Saling pengertian dan bersabar dalam
154
DAFTAR PUSTAKA
Abduh Muhammad dan Rasyid Ridha, Tafsr al-Man r, Beirut: Dar al-Makrifah,
1975 M./1393 H.
Alusi, Shihab ad-Din mahmud Al-, Ruh al- Maan, 15 Jilid, Beirut : Dar al-Fikr,
t.t.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthaf, Tafsi al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Abdurrahman, Muhammad, bin, Rahmat al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah,
Surabaya: al-Hidayah, t.t.
Rahman, Asmuni, Qaidah-qaidah Usul Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Balawi, Abdurrahman, Buhyah al- Mustarsyidin, Bandung: Al- Maruf, t.t.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Perpustakaan
Fakultas Hukum UII, 1995.
Bisri, Cik Hasan (Penyuting), Kompilasi Hukum Islam Dan Peredilan Agama
Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Dimasqi, Abi Al-Fida Al-Hafidz Ibn Kasir Ad-, Tafsir Al-Quran Al- Adzim, 4
Jilid, Beirut: An-Nur al-Ilmiah, t.t.
Djannah, Fathul, Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS, 2003
Darnela Lindra, Studi Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri
Nusyuz, Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga,
2000.
Djannah, Fathul dkk., Kekerasan Terhadap Isteri, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Elmina Marta, Aroma, Perempuan Kkerasan Dan Hukum, cet. I, Yogyakarta: UII
Press, 2003.
Engineer, Asghar Ali, Matinya Perempuan; Menyingkap Megaskandal Doktrin
dan Laki-laki, alih bahasa Ahmad Affandi, cet. I, Yogyakarta: ERCiSod,
2003.
Fakih, Mansur, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
Hasyim,Syafiq, Menakar Harga Perempuan. Bandung: Mizan, 1999