Anda di halaman 1dari 165

KONSEP NUSYUZ DAN RELEVANSINYA

DENGAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2004


TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA

TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Islam
pada Program Studi Perdata Islam
Konsentrasi Hukum Perdata Islam

Oleh :
AHMAD NAJIYULLAH FAUZI
NIM. 505940001

PROGRAM PASCASARJANA
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2011

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN
LEMBAR PERSETUJUAN
NOTA DINAS
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAFTAR ISI
BAB I

BAB II

: PENDAHULUAN .......................................................................

A. Latar Belakang Masalah ......................................................

B. Perumusan Masalah .............................................................

C. Tujuan Penelitian .................................................................

10

D. Manfaat Penelitian ...............................................................

10

E. Tinjauan Pustaka ..................................................................

11

F. Kerangka Pemikiran ............................................................

12

G. Metode Penelitian ................................................................

19

H. Sistematika Pembahasan ......................................................

20

: KONSEP

NUSYUZ

DALAM

PERSPEKTIF

HUKUM

PERKAWINAN ISLAM.............................................................

22

A. Pengertian Nusyuz .................................................................

22

B. Dasar-Dasar Hukum Nusyuz..................................................

24

C. Bentuk-Bentuk Perbuatan Nusyuz .........................................

27

D. Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz..........................................

31

E. Hak-Hak Suami Atas Isteri Nusyuz dan Batas-Batasanya.....

35

BAB III : KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF UU


NO 23 TAHUN 2004 ...................................................................

86

A. Kekerasan dalam Rumah Tangga ...........................................

86

B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga .................

102

C. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga ............................

104

D. Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Kekerasan dalam Rumah


Tangga.....................................................................................

106

BAB IV : TINDAK KEKERASAN TERHADAP ISTERI NUSYUZ DAN


RELEVANSINYA

BAB V

DENGAN

UU

NO

23

TAHUN

2004

TENTANG KDRT..............................................................................

107

A. Kekerasan dalam Rumah Tangga ..............................................

107

B. Kepemimpinan dalam Keluarga...............................................

126

C. Upaya Penyelesain dalam Persoalan Nusyuz ..........................

133

D. Sanksi Pidana terhadap Suami yang Melampaui Hak-Haknya

138

: PENUTUP ...................................................................................

152

A. Kesimpulan .............................................................................

152

B. Saran-saran ..............................................................................

153

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAKSI
AHMAD NAJIYULLAH F :Konsep Nusyuz dan Relevansinya dengan UndangUndang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Nusyuz merupakan konsepsi hukum klasik masa lalu, yang hanya sebagai
bagian dari tradisi pemikiran Islam bahkan telah terkodifikasikan sebagai aturan
hukum baku. Oleh banyak kritikus, konsepsi ini dinilai sangat merugikan kaum
perempuan, yang mana di dalamnya melanggengkan dominasi laki-laki dan
menyampingkan kepentingan perempuan. Hal itu tercermin dari adanya beberapa hak
suami dalam menindak isteri yang nusyuz tanpa adanya batasan-batasan yang jelas.
Masalah ini adalah bagaimana konsep nusyuz dalam perspektif hukum
perkawinan Islam? Bagaimana konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut
Undang-Undang No 23 tahun 2004? Bagaimana sanksi pidana suami yang
melampaui batas-batas haknya dalam perspektif Undang-Undang No 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep nusyuz dalam
perspektif hukum perkawinan Islam, konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut
Undang-Undang No 23 tahun 2004, dan sanksi pidana suami yang melampaui batasbatas haknya dalam perspektif Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Bentuk
penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research), yang berusaha
mengungkapkan konsep Nusyuz dan relevansinya dengan Undang-Undang No 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dengan cara
membaca dan mencatat informasi yang relevan dengan kebutuhan, mencakup bukubuku teks jurnal atau majalah-majalah ilmiyah dan hasil penelitian.
Hasil penelitian menyimpulkan, kosep nusyuz dalam perspektif hukum
perkawinan Islam ditegaskan dalam Q.S An-Nisa ayat 34 dan 128 serta beberapa
hadits. Konsep nusyuz tidak hanya berlaku bagi pihak isteri semata akan tetapi juga
bagi pihak suami, dengan solusi apabila salah satu pihak suami maupun isteri telah
nusyuz disarankan untuk melakukan perdamaian atau ishlah. Walaupun ada beberapa
ahli fikih yang tidak memberlakukan istilah nusyuz kepada suami artinya hanya
mengakui nusyuz dari pihak isteri saja sedangkan pihak suami tidak. Kompilasi
Hukum Islam secara eksplisit juga tidak memberlakukan istilah nusyuz pada suami.
berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) KUHP yang berisi mengenai penganiayaan yang
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus ribu rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi mengenai
penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku diancam pidana
penjara paling lama lima tahun dan satu kasus dengan junto Pasal 356 untuk
penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal 356
(penganiayaan dengan pemberatan pidana) karena penganiayaan itu dilakukan
terhadap isteri, suami, ayah, ibu dan anaknya.

ABSTRACT

AHMAD NAJIYULLAH F: "Concept and Relevance nushuz by Act No. 23 of 2004


on the Elimination of Domestic Violence"
Nushuz a legal conception of the classical past, which is only a part of the
tradition of Islamic thought has even codificated as a legal standard. By many critics,
the concept was considered very detrimental to women, which in it perpetuates male
dominance and disregard women's interests. This was reflected by the presence of
some rights in taking action against the husband and wife who nushuz without clear
boundaries.
This issue is how the concept of marriage nushuz in the perspective of
Islamic law? How does the concept of domestic violence under the Act No 23 of
2004? How criminal sanctions husband beyond the boundaries of its rights in the
perspective of Act No. 23 of 2004 concerning the elimination of domestic violence?
The purpose of this study was to determine nushuz concept in Islamic
marriage law perspective, the concept of domestic violence under the Act No 23 of
2004, husband and criminal sanctions that go beyond the limits of its rights in the
perspective of Act No. 23 of 2004 on the elimination of violence in the household.
The research was conducted using qualitative methods. Form this study is a
literature review (library research), which seeks to express the concept and its
relevance nushuz by Act No. 23 of 2004 on the elimination of domestic violence, a
way to read and record information relevant to the needs, including textbooks
journals or magazines Ilmiyah and research results.
The study concluded, kosep nushuz in the perspective of Islamic marriage
law stated in Sura An-Nisa verse 34 and 128 as well several hadits. Nushuz concept
applies not only to the wife alone but also for the husband, with a solution where one
party is the husband and wife have been advised to make peace nushuz or ishlah.
Although there are some that do not impose Jurist nushuz term to mean only
recognizes nushuz husband of the wife alone while the husband is not. Compilation of
Islamic Law does not explicitly impose a term nushuz husband. pursuant to Article
351 Paragraph (1) of the Criminal Code which contains about persecution punishable
by a maximum imprisonment of two years and eight months or a maximum fine of
three hundred thousand dollars. And Article 351 Paragraph (2) which contains about
persecution that resulted in serious injuries, and perpetrators threatened imprisonment
of five years and one case with junto Article 356 for wife abuse against the
perpetrators can be punished under Article 356 (abuse by criminal weighting) because
of the abuse committed against the wife, husband, father, mother and child.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya serta limpahan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul: Konsep Nusyuz dan
Relevansinya dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah
limpahkan kepada Rasul junjungan alam Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabatnya serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat dorongan, bimbingan dan
bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun materil. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang Tua dan segenap keluarga yang dengan kesabarannya menanti akhir
studi.
2. Bapak Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, M.Ag, Rektor IAIN Syekh Nurjati
(Institut Agama Islam Negeri) Cirebon.
3. Bapak Praf. Dr. H. Jamali Sahrodi, M.Ag, Direktur Pascasarjana IAIN
Syekh Nurjati Cirebon.
4. Bapak Dr. H. Attabik Lutfi, MA., Ketua Program Studi Hukum dan
Peradilan Islam Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
5. Bapak Prof. Dr. H. Adang Djumhur S, M.Ag, Dosen Pembimbing I.
6. Bapak Dr. H. Sumanta, MA., Dosen Pembimbing II.
7. Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

8. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis.


Penulis menyadari sepenuhnya, walau dengan segala daya dan upaya yang
telah penulis usahakan semaksimal mungkin, namun segala kekurangan dan
kekhilafan dalam penulisan tesis ini, penulis sangat berterimakasih dan terbuka untuk
menerima saran dan kritik yang konstruktif guna penyempurnaan tesis ini.
Hanya doa yang dapat penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, semoga amal
baik bapak/ibu/saudara/I yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini mendapat
pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin.

Cirebon, 2 Juli 2011

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan
saja untuk merealisasikan ibadah kepada Allah SWT, tetapi sekaligus
menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun
demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia yaitu untuk membina
keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perlu diatur hak dan kewajiban antara masing-masing suami dan isteri
tersebut. Apabila hak dan kewajiban mereka terpenuhi, maka dambaan
berumah tangga dengan didasari rasa cinta dan kasih sayang akan dapat
terwujud.1
Konsep keluarga biasanya tidak dapat dilepaskan dari empat
perspektif berikut: (1) keluarga inti (nuclear family); bahwa institusi keluarga
terdiri dari tiga komponen pokok, suami, isteri dan anak-anak. (2) keluarga
harmonis. (3) keluarga adalah kelanjutan generasi. (4) keluarga adalah
keutuhan perkawinan. Dari keempat perspektif ini bisa disimpulkan bahwa
institusi keluarga (rumah tangga) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah,
ibu (yang terikat dalam perkawinan), anak-anak yang bertalian erat dengan

181.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1998, hlm.

unsur kakek-nenek serta saudara yang lain, semua menunjukkan kesatuannya


melalui harmoni dan adanya pembagian peran yang jelas.2
Umumnya, setiap orang yang akan berkeluarga pasti mengharapkan
akan terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Namun
kanyataanya tidak selalu sejalan dengan harapan semula. Ketegangan dan
konflik kerap kali muncul, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran,
saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, semua itu sudah
semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan bermusyawarah, saling
berdialog secara terbuka. Pada kenyataannya, banyak persoalan dalam rumah
tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat mengakibatkan
terganggunya keharmonisan hubungan suami isteri. Sehingga memunculkan
apa yang biasa kita dikenal dalam hukum Islam dengan istilah nusyuz.
Istilah nusyuz atau dalam bahasa Indonesia biasa diartikan sebagai sikap
membangkang, merupakan status hukum yang diberikan terhadap isteri
maupun suami yang melakukan tindakan pembangkangan atau purik (Jawa)
terhadap pasangan. Nusyuz bisa disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari
rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasangan, hak-haknya yang
tidak terpenuhi atau adanya tuntutan yang berlebihan terhadapnya. Jadi,
persoalan nusyuz seharusnya tidak selalu dilihat sebagai persoalan perorangan
yang dilakukan salah satu pihak terhadap yang lain, tetapi juga terkadang
harus dilihat sebagai bentuk lain dari protes yang dilakukan salah satu pihak
terhadap kesewenang-wenangan pasangannya.
2

Elli Nurh Ayati, "Tantangan keluarga pada Mellenium ke-3" dalam Lusi Margiani dan
Muh. Yasir Alimi (ed.), Sosialisasi Menjinakkan "Taqdir" Mendidik Anak Secara Adil, cet. I,
(Yogyakarta: LSPPA,1999), hlm. 229-230.

Selama ini memang persoalan nusyuz terlalu dipandang sebelah mata.


Artinya, nusyuz selalu saja dikaitkan dengan isteri, dengan anggapan bahwa
nusyuz merupakan sikap ketidakpatuhan isteri terhadap suami. Sehingga isteri
dalam hal ini selalu saja menjadi pihak yang dipersalahkan. Begitu pula dalam
kitab-kitab fiqh, persoalan nusyuz seakan-akan merupakan status hukum yang
khusus ada pada perempuan (isteri) dan untuk itu pihak laki-laki (suami)
diberi kewenangan atau beberapa hak dalam menyikapi nusyuznya isteri
tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya
adalah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur
bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga.
Apabila tindakan pertama ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan
kedua, yaitu memisahkan dari tempat tidurnya. Apabila dengan kedua isteri
masih tetap tidak mau berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan
ketiga yaitu memukulnya.3
Allah swt berfirman:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari
3

Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam
Islam, cet. III, (Yogyakarta: Mizan, 2001), hlm. 183.

harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. an-Nisa: 34)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri disebutkan pada pasal 80
ayat (7), kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila
isteri nusyuz.4 Yang dimaksud dengan kewajiban suami di sini adalah
kewajiban memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. Seperti
yang telah dijelaskan ayat (4) dalam pasal yang sama sebelumnya.
Beberapa tahun belakangan ini, kekerasan sebuah kata yang cukup
popular dan aktual, telah memasuki wilayah politik, ekonomi, sosial, budaya,
maupun pemikiran keagamaan, bahkan telah memasuki wilayah yang paling
kecil dan eksklusif yaitu keluarga. Ada berbagai bentuk kekerasan baik
kekerasan terhadap sesama maupun terhadap lingkungan alam, terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungan sosial. Ini memberikan kesan bahwa
kekerasan inheren dalam hidup manusia. Subyek dan obyek sasarannya juga
potensial dilakukan dan dialami oleh siapapun baik perorangan (individual)
maupun kolektif (kelompok).5
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu fenomena
dari berbagai macam kekerasan yang terjadi saat ini. Sebagaimana kasus

Depag RI, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (Derektorat
Jendral Pengembangan Kelembagaan Agama Islam), Pasal 80 Ayat (7).
5
Raymundus I Made Sudhiarsa,Membangun Peradaban Anti Kekerasan, PsikoIslamika, 2(
Juli, 2004), hlm. 135.

kekerasan lain yang terus meningkat, kekerasan dalam rumah tanggapun dari
tahun ke tahun semakin meningkat.
Tindakan yang bisa dilakukan suami tersebut sepertinya sudah menjadi
hak mutlaknya dengan adanya justifikasi hukum yang menguatkannya. Dan
hal itu dapat ia lakukan setiap kali ada dugaan isterinya melakukan nusyuz.
Dalam suatu kutipan kitab klasik dinyatakan, nusyuz ialah wanita-wanita
yang diduga meninggalkan kewajibannya sebagai isteri karena kebenciannya
terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami dan menentang
suami dengan sombong.6
Apabila dipahami dari pernyataan dalam kitab tersebut, baru pada taraf
menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim isterinya melakukan
nusyuz, jelas posisi isteri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang
dipersalahkan. Isteri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan
diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai
kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan isterinya
sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz atau tidak.
Orang sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika
isteri nusyuz suami diberikan berbagai hak dalam memperlakukan isterinya.
Mulai dari hak untuk memukulnya, menjahuinya, tidak memberinya nafkah
baik nafkah lahir maupun batin dan pada akhirnya suami juga berhak
menjatuhkan talak terhadap isterinya.
6

Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, Syarh Uqud al-Lujjayn fi Bayan al-Huquq azZawjayn, (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.), hlm. 7.

Tentu saja pihak isteri yang terus menjadi korban eksploitasi baik
secara fisik, mental maupun seksual. Hal itu diperparah lagi dengan belum
adanya aturan yang jelas dalam memberikan batasan atas hak-hak suami
tersebut, sehingga kesewenang-wenangan suami dalam hal ini sangat mungkin
terjadi. Oleh karena itu ketika berbicara persoalan isteri yang nusyuz dan hakhak yang menjadi kewenangan suami, perlu juga diajukan batasan-batasan hak
suami itu sendiri secara jelas.
Di pihak lain perlu juga diupayakan agar terciptanya sebuah ruang bagi
isteri untuk bisa melakukan pembelaan atas kemungkinan segala tindak
kekerasan terhadap dirinya. Hal itu bisa dilakukan dengan menyediakan
seperangkat aturan hukum pidana yang dapat melindungi terjadinya tindak
kekerasan terhadap mereka. Hal itu ditempuh karena persoalan nusyuz
berangkat dari aturan hukum yang telah diterima oleh masyarakat sehingga
dalam upaya menyikapinya pun harus menggunakan perspektif hukum pula.
Dan itu dapat diupayakan jika batas-batas hak suami dalam memperlakukan
isteri saat nusyuz telah jelas aturannya, sehingga jika sewaktu-waktu suami
melampaui batas-batas yang menjadi haknya, isteri dapat melakukan tuntutan
pidana.
Kekerasan ini meliputi kekerasan fisik dan non fisik, kekerasan seksual
maupun ekonomi, kekerasan budaya maupun politik (structural). Definisi
yang diungkapkan tentang KDRT sama dengan apa yang dalam UU No. 23
tahun 2004 tentang penghapusan KDRT. Dalam UU 23 tentang penghapusan
KDRT pasal 1 yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya


kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Selain itu dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT
juga menggunakan sudut pandang korban sebagai pihak yng harus di bela, dan
dalam posisi benar sebagaimana terlihat dalam pasal 10, dan pasal 18. Hal ini
berimplikasi pada kesalahan dalam melihat akar masalah dan solusi yang
diambil. Sehingga, seorang istri yang melanggar hak suami tidak dianggap
bersalah tapi suami yang memarahinya dianggap bersalah karena telah
melakukan tekanan mental terhadap istri.7
Biasanya kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh mereka yang
memiliki kekuasaan yang penuh (powerful). Laki-lakilah yang selama ini
memiliki kekuasaan penuh. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari memang
laki-lakilah yang berkuasa. Dengan demikian posisi istri baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun kehidupan di luar keluarga memang menjadi
sangat lemah.8
Di sinilah yang menjadi nilai penting penelitian tesis ini, di samping
untuk mengetahui sampai sampai mana relevansi nusyuz dengan Undang-

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah


Tangga, (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2005)
8
Mansur Fakih, Analisis Gender dan Analisis Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 12.

Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah


tangga yang sering terjadi ahir-ahir ini.

B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian tesis ini adalah masail al-fiqh berkenaan dengan
konsep nusyuz dan relevansinya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif.
c. Jenis Masalah
Jenis masalah tesis ini adalah ketidakjelasan tentang Konsep Nusyuz
dan relevansinya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini dibuat untuk memfokuskan masalah
penelitian yang akan dikaji dalam tesis ini, sebagai berikut:
a. Hukum Islam sebagai produk kerja intelektual, perlu dipahami tidak
sebatas pada fikih. Persepsi yang tidak proporsional dalam memandang
eksistensi sering melahirkan persepsi yang keliru dalam memandang
perkembangan atau perubahan yang terjadi dalam hukum Islam. Gerakan
pembaharuan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya baik yang

bersifat individual maupun secara kelompok pada kurun dan situasi


tertentu, untuk mengadakan perubahan dalam persepsi dan praktek yang
telah mapan kepada pemahaman yang baru. Pembaharuan yang bertitik
tolak dari asumsi atau pandangan yang jelas dipengaruhi oleh situasi dan
lingkungan sosial, bahwa hukum Islam sebagai realitas dan lingkungan
tertentu tersebut tidak sesuai bahkan menyimpang dengan Islam yang
sebenarnya.
b. Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi,
fungsi pertama sebagai kontrol sosial yaitu hukum Islam diletakkan
sebagai hukum Tuhan yang selain sebagai kontrol sosial sekaligus
sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas
Masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai dalam
proses perubahan sosial yaitu hukum lebih merupakan produk sejarah
yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap
tuntutan perubahan sosial, budaya,dan politik. Sehingga dalam kontek ini
hukum Islam dituntut untuk akomodatif terhadap persoalan umat tanpa
harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
3. Pertanyaan Penelitian
Masalah tesis ini adalah adakah relevansi antara konsep nusyuz dan
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pertanyaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan Islam?

10

2. Bagaimana konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut UU


Nomor 23 tahun 2004?
3. Bagaimana relevansi nusyuz dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian tesis ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui konsep nusyuz dalam perspektif hukum perkawinan
Islam.
2. Untuk mengetahui konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut UU
Nomor. 23 tahun 2004.
3. Untuk mengetahui relevansi nusyuz dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

D. Manfaat penelitian
1. Memberikan sumbangan secara teoritis bagi:
Ilmu pengetahuan, berupaya pemahaman baru yang lebih komprehensif dan
sistematis, untuk diimplementasikan sebagai norma-norma hukum in
abstracto yang telah ditemukan tersebut untuk dijadikan titik tolak dalam
melihat dan menilai masalah in concreto, yaitu terjadinya perlakuan suami
yang melampaui batas-batas haknya dan kemungkinan sanksi pidananya.
2. Memberikan sumbangan bagi para praktisi, yaitu para Ulama, hakim
pengadilan agama, notaris, penasehat hukum atau advokat khususnya, maupun

11

umat Islam pada umumnya dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan dalam


rumah tangga.

E. Tinjauan Pustaka
Sejauh telaah yang telah dilakukan oleh penyusun atas berbagai karya
tulis baik berupa buku-buku ilmiah, jurnal, ataupun yang lain, telah banyak
ditemukan karya-karya yang membahas persoalan nusyuz, hal ini tentu saja
karena tema nusyuz sendiri termasuk dalam kategori persoalan klasik. Namun
dalam mencari referensi yang membicarakan tentang batas-batas hak suami
dalam memperlakukan isterinya saat nusyuz dan mengkaitkannya dengan
kemungkinan sanksi pidananya maka penyusun belum menemukan adanya
sebuah karya yang membahasnya dalam satu bahasan secara khusus.
Di antara telaah yang sudah dilakukan penyusun terhadap karya-karya
yang terbatas itu terdapat beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini
yang mencoba mengkorelasikan kedua persoalan tersebut, yaitu karya-karya
yang mencoba mengupas persoalan nusyuz sebagai bagian isu-isu wacana
keperempuanan kontemporer baik itu yang berupa refleksi pemikiran dalam
mengkukuhkan

pemahaman

yang

telah

ada

ataupun

upaya

untuk

mendiskontruksinya. Diantara karya-karya yang dapat disebutkan di sini


adalah:
Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan, tentang isu-isu keperempuanan dalam
Islam, karya Syafiq Hasyim. Di sini banyak masalah-masalah keperempuanan
yang telah dikonsepsikan pada masa klasik dicoba untuk diurai kembali

12

(dekontruksi) sebagai langkah awal dalam upaya memperjuangkan nasib


perempuan baik dalam wilayah publik maupun domestik.
Perempuan Kekerasan dan Hukum. Buku yang ditulis oleh Aroma
Elmina Martha ini diawali dengan uraian panjang tentang fenomena
kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam wilayah domestik
atau rumah tangga. Walaupun istilah kekerasan terhadap perempuan sendiri
tidak digunakan dalam rumusan hukum.

F. Kerangka Pemikiran
Secara etimologis, nusyuz berarti menentang (al-isyan). Istilah
nusyuz sendiri diambil dari kata al-nasyaza, artinya bangunan bumi yang
tertinggi (ma-irtafaa minal ardi). Makna ini sesuai dengan pengertian yang
ada dalam surat al-Mujadalah (58):11, waidza qila unsyuzu. Secara
terminologis nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah SWT. untuk taat
kepada suami.9 Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh
Asghar Ali Engineer dalam bukunya menyatakan bahwa nusyuz merupakan
perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan
perselingkuhan.10
Al-Tabari juga mengasumsikan makna kata nusyuz ini dengan
mengartikannya sebagai

suatu tindakan bangkit melawan suami dengan

kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya. Dia juga mengatakan


makna literer dari nusyuz adalah menentang dan melawan. Sedangkan
9

Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan., hlm. 183.


Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan: Menyingkap Megaskandal Doktri dan Lakilaki, Alih bahasa Akhmad Affandi, cet. I, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 92.
10

13

menurut az-Zamakhsyari, ia mengatakan nusyuz bermakna menentang suami


dan berdosa terhadapnya (an tasa zawjaha). Imam Fakhr al-Din al-Razi juga
berpendapat bahwa nusyuz juga dapat berupa perkataan (qawl) atau perbuatan
(fal). Artinya, ketika isteri tidak sopan terhadap suaminya ia berarti nusyuz
dengan perkataan dan ketika ia menolak tidur bersamanya atau tidak
mematuhinya maka ia telah nusyuz dalam perbuatan (fal).11
Rumusan konsep nusyuz yang lebih menyudutkan pihak perempuan
tersebut, menimbulkan implikasi tidak hanya dalam memahami makna ayat alQur'an yang membicarakanya. seperti pada surat an-Nisa (4): 34 dan 128
tetapi juga berimplikasi dalam memahami kedudukan dan hak-hak
perempuan dalam Islam. Ayat dari surat tersebut banyak dikutip oleh para ahli
hukum Islam untuk menunjukkan bahwa perempuan benar-benar berada di
bawah laki-laki dan bahwa laki-laki memiliki hak-hak tertentu dalam
memperlakukannya, terutama saat perempuan itu (isteri) melakukan
pembangkangan atau nusyuz.
Problematika tindakan kekerasan tidak semakin berkurang, apalagi
hilang sama sekali, tetapi justru semakin hari semakin merajalela. Tentunya
keadaan ini menambah resah dan gelisah masyarakat. Apalagi negara yang
seharusnya berkewajiban menjamin rasa aman ternyata tidak mampu
menciptakan rasa aman tersebut ditengah-tengah masyarakat.
Kesalahan identifikasi terhadap penyebab utama kekerasan dalam
rumah tangga akan mengakibatkan kesalahan pada penentuan penyelesaian

11

Ibid.

14

masalah kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini pun akan berujung semakin
memperkeruh persoalan yang ada dalam masyarakat.
Berbagai kalangan pun memberi andil untuk meminimalkan kekerasan
dalam rumah tangga yang semakin hari semakin meningkat. Salah satu bentuk
perhatian dalam menangani korban KDRT organisasi keagamaan yakni dengan
mendirikan berbagai pusat pelayanan korban kekerasan. Diantara layanan yang
diberikan adalah memberikan konsultan melalui telepon, mengupayakan
pendampingan psikologi, serta memberikan bantuan medis dan pendampingan
hukum.12
Hak-hak yang dimiliki laki-laki (suami) dalam memperlakukan
isterinya yang sedang nusyuz dengan mengacu pada surat an- Nisa (4) 34 ada
tiga macam: (1) menasehati isteri yang sedang nusyuz. (2) memisahi
ranjangnya. (3) boleh memukulnya. Walaupun dalam memahami ketiga hal
tersebut banyak memunculkan penafsiran-penafsiran yang berbeda mengenai
tujuannya, apakah murni sebagai pendidikan (li-tadib) atau lebih merupakan
sebagai bentuk penghukuman suami terhadap isterinya. Kebanyakan penafsir
klasik sepakat bahwa pemukulan tersebut dilakukan setelah dicoba berbagai
cara untuk mempengaruhi isteri, jika dia tetap keras kepala baru diberikan
pukulan ringan, bukan untuk melukai tapi untuk menghukum. Namun apa pun
alasannya persoalan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang nusyuz
kiranya tetap saja menjadi ajang legitimasi yang membolehkan tindak
kekerasan suami terhadap isteri.
12

Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Lembaga Kajian
Agama Dan Gender,1999), 47.

15

Hal itu tentu saja berkaitan dengan batas-batas pengertian nusyuz yang
belum jelas dan juga pemberian status hukum nusyuz yang merupakan hak
seorang suami. Artinya, suami berhak menentukan apakah isterinya
melakukan nusyuz atau tidak. Seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab
Uqud al-Lujjayn tentang beberapa hal yang membolehkan seorang memukul
isterinya antara lain; jika isteri menolak berhias dan bersolek di hadapan
suami, menolak ajakan untuk tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anak
kecilnya yang sedang menangis, mencaci maki orang lain, menyobek-nyobek
pakaian suami, menarik jenggot suami (sebagai penghinaan), mengucapkan
kata-kata yang tidak pantas, seperti bodoh, dungu. Meskipun suaminya
mencaci lebih dahulu, menampakkan wajahnya kepada orang lain yang bukan
mahramnya, memberikan harta suami di luar batas kewajaran, menolak
menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara-saudara suami.13
Begitu pula ketika kita mencoba memahami hak suami dalam
memisahi ranjang isteri yang nusyuz. Tidak ada ketentuan yang menjelaskan
secara terperinci sampai dimana batasan-batasannya. Walaupun ada sebagian
ulama yang berpendapat bahwa hijr yang dilakukan suami itu boleh
dilakukan asal tidak melebihi tiga hari. Sedangkan yang lain berpendapat
dengan menganalogikannya pada batas hak ila yaitu empat bulan. Meskipun
begitu perlakuan hijr suami itu sendiri dapat dikategorikan sebagai bentuk
kekerasan seksual terhadap isteri. Sebab jika dikembalikan lagi pada tujuan
asal perkawinan yang salah satunya adalah untuk pemenuhan kebutuhan

13

Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujjayn., hlm. 8.

16

biologis, maka sikap tidak perduli terhadap kebutuhan biologis pasangannya


yang ditunjukkan dengan cara menjahui ranjangnya dan menghindari dalam
berhubungan seks merupakan tindakan yang salah. Karena kebutuhan itu tidak
hanya merupakan hak suami saja namun juga merupakan hak isteri. 14 Seperti
yang dijelaskan oleh beberapa ayat dalam al-Quran yang menyinggung
tentang arti pentingnya penyaluran kebutuhan biologis secara sehat dan benar.
Di antaranya yaitu;

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah
Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah
ditetapkan Allah untukmu. (Q.S. AL-Baqarah: 187)

Tidak hanya sebatas hak untuk memisahkan ranjang dan memukul,


suami pun masih memiliki hak yang lain dalam memperlakukan isterinya yang
sedang nusyuz seperti pencegahan nafkah dan penjatuhan talak. Untuk
pencegahan nafkah hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), sesuai dengan penghasilan suami menanggung:
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
2. Biaya pengobatan bagi isteri dan anak

14

Khoiruddin Nasution, Islam, Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), cet.
I, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZAFFA, 2004), hlm. 40.

17

3. Biaya pendidikan bagi anak


Kewajiban-kewajiban di atas diperjelas lagi dengan ayat (5) kewajiban
suami terhadap isterinya tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku
sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. Begitu pula pada ayat (7)
dijelaskan lagi dengan menyatakan; kewajiban suami sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.15
Oleh karena itu sudah semestinya jika kewajiban itu tidak hilang hanya
karena perkara-perkara sepele seperti hal-hal yang diklaim suami terhadap
isterinya saat nusyuz. Menurut Ibnu Hazm bahwa apapun alasannya memberi
nafkah merupakan kewajiban pihak suami sejak terjalinnya akad nikah baik
suami mengajak hidup serumah atau tidak, baik isteri masih dibuaian, atau
berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau fakir, masih punya orang tua atau telah
yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak, semua disesuaikan dengan
keadaan dan kesanggupan suami.16 Tidak mudah sebenarnya melacak sebabsebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, karena tidak bisa dipungkiri
kondisi sosial masyarakat kita masih beranggapan bahwa persoalan dalam
rumah tangga merupakan sesuatu yang tabuh diungkapkan karena hal itu
adalah urusan internal dan privasi sebuah keluarga.
Setidaknya ada beberapa faktor yang berpeluang dalam menimbulkan
tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap isteri. Salah
satunya adalah kekeliruan dalam memahami ajaran agama. Seperti kekeliruan
dalam memahami surat An-Nisa (4): 34 yang
15

sering dianggap sebagai

KHI Pasal. 80 Ayat (4), (5) dan (7).


As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (al-Qahirah: Fath al-Ilam al-Arabi, 1410 H/1990 M.),
III: 278.
16

18

pembolehan pemukulan suami terhadap isteri. Atau juga juga terhadap ayat
dalam surat al-Baqarah (2):223 yang banyak dipahami sebagai pemberian hak
terhadap suami dalam melakukan eksploitasi seksual terhadap isteri.17 Semua
itu tentu saja tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa laki-laki adalah pemimpin
atas perempuan dan mereka merupakan pihak yang berkuasa. Paradigma
kekuasaan semacam itu tampaknya juga melahirkan implikasi dalam teori
perkawinan. Islam memandang bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang
menghalalkan laki-laki dan perempuan untuk menikmati naluri seksualnya.
Melalui akad ini, isteri dianggap milik laki-laki atau suami dengan
kepemilikan intifa. Meskipun menurut sebagian ulama Syafiiyyah, akad
nikah bukanlah akad tamlik (kepemilikan), melainkan akad ibadah (pilihan).18
Sementara itu, seperti yang diketahui walaupun istilah kekerasan
terhadap perempuan belum digunakan dalam rumusan hukum. KUHP
menempatkan sebagian besar dalam bab kejahatan dengan kesusilaan. Khusus
tentang penganiayaan terhadap anggota keluarga termasuk terhadap isteri
dijelaskan dalam pasal 356 dalam bab penganiayaan. Dalam pasal itu
disebutkan bahwa pidana dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah
dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya,
bapaknya yang sah, isterinya atau anaknya.19

17

Fathul Jannah dkk., Kekerasan Terhadap Isteri, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 60.
Lihat Hussain Muhammad, Refleksi Teologis Tentang Keperempuan: kekerasan Terhadap
Perempuan, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar eksplorasi Lanjut Atas Hak-hak Reproduksi
Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 209.
19
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
18

19

G. Metode Penelitian
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian pustaka (Library
research), yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari
pustaka, buku-buku atau karya-karya tulis yang relevan dengan pokok
permasalahan yang diteliti. Sumber tersebut diambil dari berbagai karya
yang membicarakan mengenai persoalan-persoalan keluarga, hak-hak dan
perlindungan terhadap perempuan.
2. Pendekatan Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, digunakan untuk
melakukan inventarisasi dan identifikasi secara kritis analitis dengan
melalui proses klasifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang telah
berlaku selama ini. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
normatif- yuridis, pendekatan tersebut dipakai untuk menemukan asas
atau doktrin hukum positif yang berlaku,20 berupa Pendapat-pendapat ahli
hukum baik hukum Islam maupun hukum positif umum untuk selanjutnya
dianalisa secara kritis. Tidak lupa pula dengan mengadakan telaah
terhadap fakta-fakta hukum yang relevan kemudian mengkorelasikannya
dengan doktrin dan asas-asas hukum tersebut.

20

Ibid.

20

H. Sistematika pembahasan
Agar lebih mudah pembahasan dan pemahaman materi tesis ini, penulis
menggunakan sistematika pembahasan dalam beberapa bab dan dari beberapa
dirinci menjadi beberapa sub bab.
BAB I PENDAHULUAN, yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah,
Kerangka

Pemikiran,

Tujuan

Penelitian,

Metode

Penelitian

Manfaat

Penelitian,

dan

Sistematika

Pembahasan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ, yang terdiri dari:
Pengertian Nusyuz, Dasar Hukum Nusyuz, Bentuk-bentuk Perbuatan
Nusyuz, Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz, dan Hak-Hak Suami
Atas Isteri Nusyuz dan Batas-Batasnya.
BAB

III

KEKERASAN

DALAM

RUMAH

TANGGA

DALAM

PERSPEKTIF UU NO 23 TAHUN 2004, yang terdiri dari;


Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan
Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
BAB IV TINDAK KEKERASAN TERHADAP ISTERI NUSYUZ DAN
RELEVANSINYA DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004
TENTANG KDRT, yang terdiri dari: Tindak Kekerasan terhadap
Isteri dalam Rumah Tangga, Kepemimpinan dalam Keluarga, Upaya

21

Penyelesain dalam Persoalan Nusyuz dan Sanksi Pidana terhadap


Suami yang Melampaui Hak-Haknya.
BAB V PENUTUP, yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran-Saran

22

BAB II
KONSEP NUSYZ DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN
ISLAM
A. Pengertian Nusyz
Menurut bahasa nusyz adalah masdar atau infinitive dari kata, ,
yang mempunyai arti tanah yang terangkat tinggi ke atas.1 'Ali as-Sabuni
dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
al-Qurtubi:

Sedangkan menurut

(suatu yang terangkat ke atas dari bumi).3

Adapun Ahmad Warson al-Munawwir dalam kamusnya memberi arti nusyz


dengan arti sesuatu yang menonjol di dalam, atau dari suatu tempatnya. Dan
jika konteksnya dikaitkan dengan hubugan suami-isteri maka ia mengartikan
sebagai sikap isteri yang durhaka, menentang dan membenci kepada
suaminya.4
Menurut terminologis, nusyz mempunyai beberapa pengertian di
antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim
mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri.
Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyz adalah saling menganiaya
suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafiiyah nusyz adalah perselisihan
diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya

Ibn Manzur, Lisan al-'Arabi, (Beirut: Dar Lisan al-'Arabi, ttp), III: 637.
Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta:
Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), I: 322.
3
Al-Qurtubi, Jami' al-Ahkam al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1967), III: 170.
4
Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm.
1418.
2

23

dengan ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan
pergaulan yang tidak harmonis.5
Menurut Ibnu Mansur, secara terminologis nusyz ialah rasa kebencian
suami terhadap

isteri atau sebaliknya.6 Sedangkan menurut Wahbah Az-

Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus,
mengartikan nusyz sebagai ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada
isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun sebaliknya.7
Isteri yang melakukan nusyz dalam Kompilasi Hukum Islam
didifinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan
kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami
dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.8
Bagi sebagian ulama berpendapat bahwa nusyz tidak sama dengan
syiqq, karena nusyz dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-isteri.
Nusyz berawal dari salah satu pihak, baik dari isteri maupun suami bukan
kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan
nusyz melainkan dikategorikan sebagai syiqq.9 Begitu pula mereka
membedakan antara nusyz dan irdh.10 Menurut mereka, dengan
memperbandingkan antara surat an-Nisa (4): 34 dengan an-Nisa (4): 128
5

Dikutip dari Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 25-26.
6
Ibid., hlm. 1354.
7
Ibid.
8
Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 Ayat (1) dan 84 Ayat
(1).
9
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: 1353.
10
Iradh ialah kurangnya perhatian seorang suami terhadap isterinya hingga tidak ada
komunikasi dan intraksi yang wajar sebagai pasangan hidup, atau menelantarkan isteri tanpa
setatus, diperhatikan tidak, dicerai pun tidak.(lihat, Saleh bin Ganim, nusyuz, hlm. 29).

24

dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pengertian kata nusyz lebih


menyeluruh dari pada kata iradh. Hal ini tentu saja dikarenakan kandungan
arti kata nusyz melingkupi seluruh jenis perlakuan buruk dari suami dan isteri
dalam hidup rumah tangga. Sedangkan iradh hanya sebatas beralihnya
perhatian suami dari isterinya kepada sesuatu yang lain.
Dari pengertian di atas, ternyata para ulama memiliki pandangan yang
tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainya. Dan sebagai
kesimpulannya, disamping perbuatan nusyz selain mungkin saja dilakukan
oleh seorang isteri, juga mungkin bila dilakukan oleh seorang suami, jika
suami tidak mempergauli isterinya dengan baik atau ia melakukan tindakantindakan yang melebihi batas-batas hak dan kewenangannya dalam
memperlakukan isteri yang nusyz sebagaimana yang digariskan oleh ajaran
agama.

B. Dasar Hukum Perbuatan Nusyz


Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu terjadi keharmonisan,
meskipun jauh dari sebelumnya, sewaktu melaksanakan perkawinan
dikhutbahkan agar suami-isteri bisa saling menjaga untuk dapat terciptanya
kehidupan yang mawaddah warahmah diantara mereka. Akan tetapi, dalam
kenyataanya konflik dan kesalah-pahaman diantara mereka kerap kali terjadi
sehingga melunturkan semua yang diharapkan.

25

Timbulnya konflik dalam rumah tangga tersebut pada akhirnya kerap


kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh dengan istilah nusyz. Hal ini
dapat ditemukan dalam Ayat al-Quran:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. An-Nisa: 34)
Ayat diatas sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang
nusyznya isteri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan
bagaimana awal mula terjadinya nusyz isteri tersebut melainkan hanya
sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat
juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum yang terdapat
dalam Ayat tersebut yaitu:
1. Kepemimpinan rumah tangga
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
3. Solusi tentang nusyz yang dilakukan oleh isteri

26

Terdapat Ayat lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan


persoalan nusyz yaitu:

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyz dan sikap tak acuh),
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.s. An-Nisa: 128)
Ayat di atas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyz-nya suami,
walaupun pada realitanya maupun dalam literatur-literatur kajian fiqh
persoalan tentang nusyz-nya suami kurang mendapat perhatian dan jarang
menjadi obyek kajian secara khusus.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan
nusyz dipersempit hanya pada nusyznya isteri saja serta akibat hukum yang
ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyz KHI
berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi isteri, yaitu bahwa
dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang isteri ialah
berbakti lahir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum Islam. Dan isteri dianggap nusyz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam

27

masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyz isteri tersebut menurut KHI
harus di dasarkan atas bukti yang sah.11

C. Bentuk-bentuk Perbuatan Nusyz


Bentuk-bentuk perbuatan nusyz sebagaimana dijelaskan dalam
Ensiklopedi Hukum Islam dapat berupa perkataan maupun perbuatan. Bentuk
perbuatan nusyz, yang berupa perkataan dari pihak suami atau isteri adalah
memaki-maki dan menghina pasangannya, sedangkan nusyz yang berupa
perbuatan adalah mengabaikan hak pasangannya atas dirinya, berfoya-foya
dengan orang lain, atau menganggap hina atau rendah terhadap pasangannya
sendiri.12
Dari pengertian nusyz sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas

yaitu sebagai sikap pembangkangan terhadap kewajiban-kewajiban dalam


kehidupan perkawinan,13 sebenarnya para ulama telah mencoba melakukan
klasifikasi tentang bentuk-bentuk perubuatan nusyz itu sendiri. Dan diantara
tingkah laku maupun ucapan yang dapat dianggap sebagai perbuatan nusyz
isteri ialah:
1. Apabila isteri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama tanpa
sebab yang dapat dibenarkan secara syari. Padahal suami telah mengajak
pindah ke tempat kediman bersama sedang tempat kediaman bersama

11

KHI, Pasal 83 Ayat 1 dan Pasal 84 Ayat (1) dan (4).


Ensiklopedi, hlm. 1354-1355.
13
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995), hlm. 81.
12

28

(tempat tinggal) tersebut merupakan tempat tinggal yang layak bagi


14

dirinya.

2. Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan
tetapi mazhab Syafii dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya
isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyz, akan
tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri
itu dianggap nusyz.15
3. Apabila isteri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. Dalam suatu hadits
dijelaskan tentang kewajiban seorang isteri kepada suaminya, untuk tidak
menolak apabila diajak oleh suaminya untuk melakukan hubungan suamiisteri.

16

Isteri yang menolak untuk ditiduri oleh suaminya, tanpa suatu

alasan yang sah maka ia dianggap nusyz.

17

4. Membangkangnya seorang isteri untuk hidup dalam satu rumah dengan


suami dan dia lebih senang hidup di tempat lain yang tidak bersama suami.
Hal ini sebagaimana dijelskan dalam kitab Tafsir Al-Bahrul Muhit
18

dengan ungkapannya yaitu bahwa perbuatan nusyz.

Untuk mengenali bentuk-bentuk perbuatan nusyz dapat juga


mengkaitkannya dengan kata yang artinya menghilangkan, dalam arti

14

Abdurrahman Ba'lawi, Bugyah al-Musytarsyidin, (Bandung: L. Ma'arif, t.t.), hlm. 272.


Imam Taqiyu ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi'i, Kifayat
al-Akhyar, (tnp., Dar al-Fikr, t.t.), II: 148.
16
Abi Daud Sulaiman ibn as-Yas asy-syajastani, Sunan Abi Daud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi
haqqi az-Zawj 'ala al-Mar'ah", (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212. hadis nomor 2141, hadis
diriwAyatkan dari abi Hurairah.
17
Muhammad Sarbini al-Katib, Mugni al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-bab al-Halabi, t.t.), VI:
295.
18
Muh. Yusuf Asy-Syahir al-Jamal, Tafsir Al-Bahr al-Muhit, cet. II, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Alamiyah, 1413 H/1993 M), II: 251.
15

29

perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap suami baik lahir
maupun batinnya, sehingga seorang isteri tersebut selalu meninggalkan
kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga suami merasa benci dan
tiada kepedulian kepadanya.19
Secara lebih khusus Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyz
isteri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika isteri tidak disibukkan
oleh pelbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak terbayangbayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.20
Sedangkan Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri
nusyz isteri adalah:
1. ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang sah.
2. isteri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia
pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara.
3. keduanya tinggal di rumah isteri, tetapi isteri melarang sang suami untuk
memasuki rumahnya.21
Adapun bentuk-bentuk ucapan yang bisa dimasukkan dalam kategori
nusyz-nya isteri sehingga suami diperbolehkan memukulnya diantara
mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti
bodoh, kepada suami meskipun suami mencaci lebih dulu.22

19

Ibid., II: 452.


Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997),
IV: 6851.
21
Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I,
(Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1956), hlm. 222.
22
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-isteri., hlm. 26.
20

30

Menurut Saleh bin Ganim, bentuk-bentuk perbuatan nusyz yang


berupa perkataan atau ucapan adalah seperti tutur sapa seorang isteri kepada
suaminya yang semula lembut, tiba-tiba berubah menjadi kasar dan tidak
sopan. Bila dipanggil suami, isteri tidak menjawab, atau menjawab dengan
nada terpaksa, atau pura-pura tidak mendengar dan mengulur-ulur jawaban,
berbicara dengan sura keras dan nada tinggi, berbicara dengan laki-laki lain
yang tidak mahramnya, baik langsung maupun tidak (lewat telepon atau
bersurat-suratan), dengan tujuan tidak dibenarkan syara, mencaci-maki,
berkata kotor dan melaknat, menyebarkan berita keburukan suami dengan
tujuan melecehkannya di hadapan orang lain, tidak menepati janji terhadap
suami, menuduh suami berbuat mesum dan meminta cerai tanpa alasan yang
jelas.23
Sebagaimana isteri, nusyz suami pun dapat berupa ucapan, perbuatan
atau juga dapat berupa kedua-duanya sekaligus. Dan hal ini sebagaimana
diuraikan secara rinci oleh Saleh bin Ganim sebagai berikut:24
1. mendiamkan isteri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu
menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan.
2. mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
3. berburuk sangka terhadap isteri, dan tidak mengajak isteri tidur bersama.
4. menyuruh isteri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah.
Sementara itu, bentuk nusyz yang berupa perbuatan dapat berupa:
1. tidak mengauli isterinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas.
23
24

Saleh bin Ganim, Nusyuz., hlm. 31-32.


Ibid., hlm. 33-34.

31

2. menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan
hendak mencelakakan isteri.
3. tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.
4. menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya.
5. bersenggama dengn isteri melalui duburnya.

D. Akibat Hukum Nusyz


Menurut Muhammad 'Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyz yang
dilakukan oleh isteri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam
mengatasinya:
1. Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang
baik.
2. Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
3. Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan
sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
4. Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi
isteri yang nusyz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat
hakim) untuk menyelesaikannya.25
Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap isteri
yang nusyz berdasarkan pada surat an-Nisa' Ayat 34 di atas tersebut, ulama
fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau
tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus

25

Muhammad 'Ali as-Sabuni, Rawaiu al-Bayan., hlm. 370-371

32

berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyznya. Sedangkan


mazhab Syafii, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam
melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan
yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal isteri
nusyz.26 Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau
faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah
memaafkannya.27
Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyz menurut jumhur
ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak
ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat
dibenarkan secara syari atau secara aqli maka isteri dianggap nusyz dan
tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu
(poligami) maka terhadap isteri yang nusyz selain tidak wajib memberikan
nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib
memberikan tempat tinggal.28
Menurut mazhab Hanafi, apabila seorang isteri mengikatkan (tertahan)
dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka
isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak
berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syari
maka ia disebut nusyz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena

26

Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.


Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujjayn., hlm. 7.
28
Ahamad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam., hlm. 81.
27

33

sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang


isteri di rumah suami.29
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa kewajibankewajiban suami yang berupa kewajiban memberi nafkah, menyediakan
tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
pengobatan bagi isteri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna dari
isterinya. Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila isteri
nusyz30
Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan bahwa selama isteri dalam keadaan
nusyz kewajiban suami terhadap isterinya seperti yang telah disebutkan di
atas gugur kecuali yang berkaitan dengan hal-hal untuk kepentingan anaknya.
Dan untuk kewajiban suami terhadap isteri nusyz yang gugur tersebut berlaku
kembali jika isteri sudah tidak nusyz lagi.31
Begitu pula akibat hukum yang berupa perceraian, hal ini
dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai
lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2) jo.
Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116
huru f.
Dalam hal akibat hukum bagi nusyznya suami maka tidak ada
ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan atau hak isteri

29

Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li alMalayin, 1964), hlm. 102.
30
KHI, Pasal 80 Ayat (4), (5) dan (7).
31
Ibid., Pasal 84 Ayat (2), (3) dan (4).

34

dalam menindak suaminya tersebut. Walaupun seorang isteri memiliki


kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang
dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri.
Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode
pengacuhan atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya saat ia
nusyz, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara lakilaki dan wanita, serta lemahnya isteri untuk dapat menanggulangi suami.32
Seorang isteri dalam menyikapi nusyznya suami hendaknya berusaha
sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung jawabnya atas isteri
dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan cara musyawarah
secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia juga harus
mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu
suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut.33
Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian juga,
maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah isteri boleh
mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan
memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakim
dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami tetap
wajib memberi nafkah. Hakim juga membolehkan sang isteri untuk pisah
ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian
pun, sang suami belum sadar juga, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman
pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang
32
33

Saleh Ganim, Nusyuz, hlm. 60.


Ibid., hlm. 61.

35

suami belum juga memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan


perceraian dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam
Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh
suami saat menghadapi isteri nusyz, sebagaimana dijelaskan dalam surat annisa (4): 34, bedanya dalam kasus nusyznya suami ini yang bertindak adalah
hakim.34

E. Hak-Hak Suami atas Isteri Nusyz dan Batasan-Batasannya


Terciptanya kebahagiaan dan ketentraman berumah tangga sangat
tergantung pada komitmen suami-isteri dalam melaksanakan peran dan
kewajiban masing-masing. Jika peran dan kewajiban mereka telah dilakukan
secara baik, maka dapat dipastikan kehidupan perkawinan akan berjalan
sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Akan tetapi, perjalanan suatu perkawinan tidak selalu tenang dan
menyenangkan. Dalam berumah tangga, kadang-kadang muncul berbagai
persoalan yang tidak dapat dihindari terutama jika di antara anggota keluarga
tidak mau saling memahami dan bertenggang rasa. Apalagi jika tidak mau
menjalankan apa yang disyariatkan Islam dalam kehidupan berumah tangga,
serta tidak berusaha menjalin hubungan suami-isteri atas dasar kaidah yang
benar.35

34

Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan; Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, cet. I,


(Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 279.
35
Kamil Musa, Suami-Isteri Islami, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997), hlm.
98.

36

Kerap kali persoalan muncul secara tiba-tiba, dan itu dapat


mengancam keharmonisan dalam rumah tangga sehingga perlu dicarikan
solusi secepatnya agar kondisinya kembali menjadi tenang dan penuh cinta.
Terhadap persoalan nusyz, al-Quran memberi banyak gambaran bagaimana
cara mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam penyelesaian persoalan nusyz
pada dasarnya kedua belah pihak (suami-isteri) harus dapat berperan aktif
untuk dapat terciptanya rekonsuliasi diantara mereka sendiri.
Akan

tetapi,

dalam

kitab-kitab

fiqh

pembahasan

mengenai

penyelesaian persoalan nusyz seolah-olah lebih banyak diserahkan kepada


pihak laki-laki, hal ini tentu saja dilatar belakangi pemahaman tentang konsep
kepemimpinan laki-laki sebagai penguasa dan pengatur dalam rumah tangga
juga pemahaman sebagian ulama fiqh yang kerap kali mengkaitkan persoalan
nusyz hanya kepada pihak perempuan (isteri), sedangkan pihak suami dalam
hal ini adalah seolah-olah menjadi pihak yang dirugikan oleh nusyznya isteri
tersebut sehingga ia diberikan kewenangan atau hak-hak tertentu dalam
menyikapinya.
Sebelum masuk dalam pokok bahasan tentang apa saja hak-hak yang
dimiliki suami berkaitan dengan kewenangannya dalam memperlakukan isteri
yang nusyz dan sampai dimanakah batas-batas hak yang dimilikinya
tersebut, terlebih dulu akan diuraikan sekilas dan secara umum tentang
parameter dasar yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai
apakah perlakuan seorang suami terhadap isteri nusyz telah melampaui hak
dan kewenangan atau tidak.

37

1. Paramater Dalam Menentukan Batasan-Batasan Hak Suami


Minimal dua alasan mengapa batasan-batasan hak dan kewenangan
suami perlu untuk didiskripsikan secara jelas. Pertama, hal ini penting
agar kemungkinan

terjadinya kesewenang-wenangan suami dalam

memperlakukan isteri yang nusyz dapat dicegah. Kedua, untuk


menghindari adanya klaim saling tuduh-menuduh antara suami-isteri
tentang siapa yang sebenarnya sedang melakukan nusyz, sebab tanpa
adanya aturan yang jelas tentang batas-batas hak dan kewenangan suami,
maka perlakuan suami terhadap isterinya secara kasar dan dinilai
melampaui batas, dengan memukul, mencela dan mempergauli secara
tidak baik, tidak memberikan hak-hak isteri seperti nafkah dan lain
sebagainya, semua itupun dapat dikaitakan sebagai bentuk sikap
nusyznya suami. Dan di sini isteri berhak mendapatkan perlindungan
hukum sekaligus suami harus dikenakan tindakan secara hukum pula.36
Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan dalam
menentukan batasan-batasan hak suami dalam memperlakukan isteri yang
nusyz. Hal ini menyangkut, pertama, prinsip-prinsip dasar pola relasi
suami-isteri menurut Islam dalam kehidupan rumah tangga secara umum.
Kedua, substansi perbuatan nusyz itu sendiri, sebagai sebuah perbuatan
hukum yang harus dilihat dari segi kualitatif maupun kuantitatif serta
motifasi yang melatar belakanginya.

36

Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 29.

38

a. Prinsip Dasar Pola Relasi Suami-Isteri


Bardasarkan kajian terhadap al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana
diungkapkan oleh Khoiruddin Nasution terdapat minimal 5 prinsip
perkawinan menyangkut pula di dalamnya adalah mengenai relasi suamiisteri, yaitu:
a. prinsip musyawarah
b. prinsip terwujudnya rasa aman, nyaman dan tentram
c. prinsip anti kekerasan
d. prinsip bahwa relasi suami-isteri adalah sebagai patner
e. prinsip keadilan.37
Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia juga dapat
diketemukan beberapa prinsip dasar menyangkut relasi suami-isteri.
Pertama,

prinsip

kebersamaan,

dalam

arti

keduanya

sama-sama

berkewajiban dalam menegakkan rumah tangga.38 Kedua, prinsip


musyawarah dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga.39 Ketiga,
keduanya berkedudukan secara seimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan dalam masyarakat.40 Keempat, mempunyai hak sama di

37

Khoruddin Nasution, Islam., hlm. 52.


UU. No. 1/74 Pasal 30, Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat, Jo. KHI Pasal 77 Ayat (1).
39
KHI Pasal 80 Ayat (1), Suami adalah pembimbing terhadap isteri dalam rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami isteri. UU. No. 1/74 Pasal 32 Ayat (2), Rumah tempat kediaman yang dimaksud
dalam Ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama, jo. KHI Pasal 78 Ayat (2).
40
UU. No. 1/74 Pasal 31 Ayat (1), Hak dan kedudukan isteri adalah simbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, jo.
KHI Pasal 79 Ayat (2).
38

39

depan hukum.41 Kelima, prinsip saling cinta, hormat-menghormati dan


saling membantu.42
Quraish Syihab sebagaimana dikutip dalam buku Wajah Baru
Relasi Suami-Isteri, menyatakan bahwa akad nikah adalah penyerahan
kewajiban-kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan di antara mereka
selaku suami-isteri untuk hidup bersama selaku pasangan dan mitra yang
berdampingan, menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka.43
Begitu pula menurut Tolhah Hasan, hubungan suami-isteri dalam
rumah tangga muslim bukanlah hubungan dominasi antara satu pihak
terhadap pihak yang lainnya, tetapi hubungan yang harmonis dan saling
menghormati. Dalam hal pergaulan suami-isteri, tidak hanya isteri yang
dituntut untuk tidak berhianat kepada suami. Seorang suami pun wajib
mempergauli isterinya secara baik dengan cara bersikap lembut
terhadapnya dan tidak menyakiti hatinya dan melakukan segala hal yang
mendatangkan rasa tentram, cinta dan damai.44
Sebagai implementasi prinsip-prinsip di atas, dalam menyikapi
persoalan nusyz harus mempetimbangkan dua hal: pertama, keadilan.
Artinya ketika isteri nusyz mereka harus dipahami tidak hanya pada sisi
ketidakpatuhannya saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh,

UU. No. 1/74 Pasal 31 Ayat (2), Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum, jo. KHI Pasal 79 Ayat (3). Dan UU No. 1/74 Pasal 34 Ayat (3), Jika suami isteri
melalaikan kewajibanya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan, jo. KHI
Pasal 77 Ayat (5).
42
UU. No. 1/74 Pasal 33, Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain, jo. KHI Pasal 77 Ayat (2).
43
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Isteri., hlm. 61.
44
Ibid., hlm. 62-63.
41

40

misalnya bagaimana perlakuan suami terhadap isterinya, apakah hak-hak


isteri sudah dipenuhi suami atau belum. Kedua, prinsip mu'syarah bil
marf. Artinya masing-masing harus tetap mempergauli secara baik, tidak
terkecuali dalam menyikapi salah satu pasangan yang sedang nusyz.45
b. Substansi Hukum Perbuatan Nusyz Dan Tujuan Pemberian Sanksi
Dalam menyikapi isteri yang nusyz, yang terpenting juga adalah
harus dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif. Artinya, melihat
persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki
unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum. Yang
dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil, yaitu
adanya undang-undang atau nash yang mengatur hal itu. Kedua, unsur
materiil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai
pertanggung jawaban secara hukum.46
Jika dikaitkan dengan persoalan nusyz maka untuk mengetahui
apakah suatu perbuatan ketidaktaatan tertentu seorang isteri dapat
dikategorikan sebagai sikap nusyz atau tidak maka hal itu dapat dilihat
dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula
perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa
perbuatan tersebut harus bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya
berdasarkan praduga atau perkiraan semata. Oleh karena itu untuk
mengetahui telah terjadinya perbuatan nusyz para mufassir berangkat dari
45

Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terlupakan., hlm. 187.


Mahrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, cet. I, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2004), hlm.. 10.
46

41

pemaknaan atas kata " "dalam rangkaian kalimat awal Ayat surat anNisa (4): 34 ( ) yang menurut mereka memiliki dua arti yaitu
( prasangka) dan ( pengetahuan), walaupun sebagian mufassir ada
yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal dan
ar-Razi.47
Begitu pula masuk dalam pengertian substansi hukum perbuatan
nusyz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu
perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari
perbuatan

nusyz

tersebut

sangat

beragam,

sehingga

diperlukan

pengkategorian secara spesifik untuk dapat menentukan masuk dalam


kelompok apa bentuk perbuatan itu, ringan, sedang ataukah berat.
Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai apakah ia telah
berlebihan atau tidak.
Adapun tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri nusyz juga dapat
digunakan sebagai parameter seorang suami dalam melakukan hakhaknya, begitu pula dapat digunakan untuk menilainya, apakah dia telah
melampaui batas-batas hak dan kewenangannya atau belum. Menurut Andi
Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan
penjatuhan sanksi dapat dibagi menjadi lima hal, yaitu: (1) pembalasan
(revenge), (2) penghapusan dosa (expiation), (3) menjerahkan (deterrent),
(4) perlindungan terhadap umum (protektion of the public), (5)

47

Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), IX: 93. dan Muh. Yusuf as-Syahir, Tafsir Bahr Muhit, III: 43.

42

memperbaiki si pelaku (rehabilitation).48 Dan dari kelima tujuan tersebut


yang paling cocok untuk dijadikan pegangan bagi suami dalam menindak
isteri yang nusyz tentu saja adalah tujuan yang nomor tiga dan lima.
Dalam hal tujuan penjatuhan sanksi terhadap isteri yang nusyz
maka tidak lain hal itu sebagai media pembelajaran terhadap isteri.49
Begitu pula menurut Said Hawa bahwa hak-hak yang dimiliki suami
dalam memperlakukan isteri nusyz tidak lain merupakan upaya
pengobatan terhadap isteri.50
Begitu pula dalam metode penerapannya menurut pendapat Syafii
sebagaimana dikutip oleh ar-Razi bahwa tiap-tiap tahapan harus saling
berurutan, selama cara pertama dapat mengatasi maka tidak perlu
memakai yang selebihnya. Seperti misalnya dalam tahap hijr, sebaiknya
dimulai dalam bentuk hijr lisan lalu tempat tidur kemudian baru
mubsyarah (bersetubuh).51
Menurut Muhammad Abduh dan kebanyakan para mufassir yang
lain bahwa memang sudah menjadi keharusan jika dalam penerapan tiaptiap tahapan berurutan, walaupun pada kenyataannya adanya huruf wau
diantara kalimat-kalimat yang ada tidak dimaksudkan dengan makna

48

Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan
Masa yang Akan Datang, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 15.
49
Ibid., hlm. 91.
50
Said Hawa, al-Asas fi Tafsir., II: 1054
51
Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir., III: 94.

43

littartb (berurutan), sebab hal itu menurutnya sudah dapat diketahui


dengan petunjuk nalar rasio.52
2. Macam-macam Hak Suami Atas Isteri Nusyz
Hak atau wewenang adalah izin atau kekuasaan yang diberikan
oleh hukum kepada seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Menurut L. J. Van Apeldoorn sebagaimana yang
dikutip oleh C.S.T. Kansil mendefinisikan hak ialah hukum yang
dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu dan
dengan demikian menjelma menjadi sesuatu kekuasaan.53
Dalam ilmu hukum hak dibedakan menjadi dua, hak mutlak
(absolut) dan hak nisbi (relatif). Hak mutlak ialah hak yang memberikan
kewenangan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum,
dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Seperti hak
matrial, hak suami untuk menguasai isterinya dan harta bendanya.
Sedangkan hak nisbi atau relatif ialah hak yang memberikan wewenang
kepada seseorang atau beberapa orang untuk menuntut agar supaya
seseorang atau beberapa orang yang lain tertentu untuk memberikan
sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.54
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan
persoalan nusyz secara umum, maka terdapat minimal tiga hak atau
kewenangan yang dimiliki suami, dan selama ini dianggap sebagai hak
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Marifah, 1394
H/1973 M.), V: 79.
53
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hlm. 120.
54
Ibid., hlm. 121.
52

44

bersifat

mutlak

(absolut)

karena

adanya

beberapa

alasan

yang

mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan penafsiran
atas ayat an-Nisa (4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep
kedudukan dan relasi suami isteri dalam rumah tangga.
Hampir secara keseluruhan ulama sepakat bahwa laki-laki (baca:
suami) adalah pemimpin bagi perempuan (baca: isteri) dengan dua alasan.
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Dan kedua, karena
nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan isteri dan rumah tangga
lainnya. Sekalipun ulama sepakat dengan kelebihan laki-laki atas
perempuan, tetapi dalam menjelaskan faktor-faktor sebagai penyebab nilai
lebih laki-laki atas perempuan tersebut terdapat perbedaan.
Dalam menafsirkan Ayat tersebut, Az-Zamakhsyari dalam AlKasysyf an Haqiq At-Tanzl wa Uyn Al-Aqwl menyatakan bahwa
suami adalah pemimpin terhadap isterinya dalam rumah tangga. Kalimat
kunci yang menjadi landasan adalah

. Oleh

Az-Zamakhsyari, kalimat tersebut ditafsirkan dengan :


(kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang
kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya).
Dengan fungsi itulah laki-laki dinamakan qawwm. Alasan mengapa

45

suamilah yang menjadi pemimpin rumah tangga, Al-Zamakhsyari


menafsirkan.55
Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka dan memberikan mahar.
Adapun dua alasan kenapa laki-laki yang memimpin perempuan
dalam rumah tangga adalah:
Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan. Kata ganti hum pada
kalimat

menurut Az-Zamakhsyari

berlaku untuk kedua-duanya, laki-laki dan perempuan.


Kedua, adalah karena laki-laki berkewajiban membayar mahar dan
mengeluarkan nafkah keluarga.56
Sebagai konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah
pemimpin perempuan dengan dua alasan seperti yang telah diuraikan di
atas, Az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa perempuan-perempuan yang
saleh (fassliht), dalam lanjutan Ayat ini adalah perempuan-perempuan
yang taat (qnittun) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan
menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda
milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hfidhtun lil
ghab), termasuk juga menjaga rahasia suami.57

55

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyf an-Haqiq At-Tanzil wa 'Uyun Al-Aqwil, (Taheran:


Intisyarat Aftab, t.t.), I: 524.
56
Ibid., hlm. 523-524.
57
Ibid., hlm. 524.

46

Dengan menyebutkan hadits riwAyat Ibn Jarir dan Baihaqi dari


Abu Hurairah r.a., dia berkata. Rasulullah SAW bersabda:



Sebaik-baik isteri adalah perempuan yang apabila engkau
memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya dia
patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia akan menjaga
dirinya dan harta bendamu.
Begitu pula pendapat at-Tabari dalam menafsirkan

ia menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa alasan tentang

kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi


pendidikannya serta kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban
yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini pula yang tercermin dalam
kalimat

yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk

membayar mahar, nafkah dan kifayah.58


Lebih lanjut ia menjelaskan tentang keutamaan laki-laki dapat juga
ditinjau dari sudut kekuatan akal serta kekuatan fisiknya, sehingga
kenabian pun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan dasar kekuatan
akal dan fisik inilah, maka at-Thabari menyatakan dengan tegas bahwa
kepemimpinan dalam bentuk al-Imam al-Kubra dan al-Imam as-Sughr
seperti imam shalat, kewajiban jihad, azan, iktikf, saksi, hudd, qiss,
perwalian dalam nikah, talak, rujuk dan batasan jumlah isteri, semuanya
didasarkan kepada laki-laki.59
58

At-Tabari, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.), IV:

59

Ibid., IV: 82.

81.

47

Ar-Razi juga memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dengan


at-Thabari mengenai masalah kepemimpinan laki-laki atas perempuan,
menurutnya hal itu dikarenakan adanya keutamaan dalam diri laki-laki
sebagaimana firman Allah,

ia

mengatakan bahwa keutamaan laki-laki itu berdasarkan dua aspek; hakiki


dan syari. Secara hakiki laki-laki memiliki kelebihan dalam hal akal dan
ilmu. Dalam segi syari laki-laki memiliki kontribusi dan peran optimal
dalam segala hal yang berkaitan dengan ibadah tanpa ada halangan apa
pun.60
Sedangkan menurut Muhammad Abduh pengertian kepemimpinan
laki-laki dalam surat an-Nisa (4): 34 itu adalah memiliki arti menjaga,
melindungi, menguasai dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai
konsekwensi dari kepemimpinan itu adalah laki-laki mendapatkan bagian
lebih banyak daripada perempuan dalam hal kewarisan, karena laki-laki
bertanggung jawab terhadap nafkah mereka. Adapun perbedaan taklif dan
hukum antara laki-laki dan perempuan menurutnya adalah akibat dari
perbedaan fitrah dan kesiapan individu (potensi), juga sebab lain yang
sifatnya kasbi, yaitu memberi mahar dan nafkah. Jadi sudah sewajarnya
apabila laki-laki (suami) yang memimpin perempuan (isteri) demi tujuan
kebaikan dan kemaslahatan bersama.61

60

Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Misamma bi Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr,
1415 H/1995 H.), IX: 92.
61
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Marifah, 1393
H/1973 M.), V: 67.

48

Melengkapi

penjelasan

Muhammad

Abduh,

Rasyid

Ridha

menjelaskan bahwa termasuk dalam kategori kepemimpinan adalah akad


nikah yang berada pada kekuasaan laki-laki dan laki-lakilah yang berhak
menjatuhkan talak. Sementara itu menurut dia, alasan yang dikemukakan
oleh para mufassir tentang kelebihan laki-laki terhadap perempuan, seperti
menjadi nabi, imam, muazin, khatib jumat dan sebagainya bukanlah yang
dimaksud oleh Ayat ini.62
Berangkat dari akar pemikiran tentang konsep kepemimpinan lakilaki atas perempuan seperti di atas, selanjutnya hal ini berimplikasi dalam
memahami persoalan nusyz. Az-Zamakhsyari berpendapat. oleh karena
isteri mempunyai kewajiban untuk patuh kepada suami sebagai pemimpin
rumah tangga, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka apabila isteri
nusyz (tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri, tidak patuh atau
melawan kepada suaminya), suami berhak bertindak dalam tiga tahapan:
(1) menasehatinya (faidzuhunna); (2) pisah ranjang (wahajuruhunna fi almadajii); (3) memukulnya (wadhribuhunna).
Seperti halnya Az-Zamakhsyari, al-Alusi juga berpendapat sama,
kewenangan suami untuk memperlakukan isteri yang nusyz merupakan
konsekuensi dari penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan.
Kedua mufassir ini sepakat bahwa perempuan-perempuan yang saleh
(fassliht), dalam lanjutan Ayat tersebut adalah perempuan-perempuan
yang taat (qnittun) melaksanakan kewajibannya pada suami, dan

62

Ibid., V: 70.

49

menjaga kehormatan diri serta menjaga rumah tangga dan harta benda
milik suami, tatkala para suami tidak berada di tempat (hafizt li al-ghaib),
termasuk juga menjaga rahasia suami. Tetapi ada perbedaan sedikit antara
'Al-Alusi dengan mufassir lainnya dalam menafsirkan kata qanitt. Bagi
Al-Alusi, kata tersebut berarti perempuan-perempuan yang patuh kepada
Allah dan suami-suami mereka. Sedangkan Az-Zamakhsyari dan Said
Hawa menafsirkan qanitt adalah perempuan-perempuan yang patuh pada
suaminya, sebagaimana disebut di atas tanpa menyebutkan terlebih dahulu
patuh kepada Allah.63
Begitu pula menurut keempat mufassir yang lain yaitu at-Thabari,
ar-Razi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pendapat keempat mufassir
tersebut bisa dikatakan hampir sama dengan pendapat az-Zamakhsyari
maupun al-Alusi seperti di atas, dalam menyikapi isteri yang nusyz
karena laki-laki menempati posisi sebagai kepala rumah tangga maka ia
diberikan kewenangan atau hak dalam mendidik atau juga dapat dikatakan
sekaligus untuk menindak isteri mereka yang nusyz tersebut dengan
melakukan tiga tahap cara yang telah dijelaskan al-Quran; menasihati,
memisahi ranjang dan memukul. Ketiga tahap tersebut harus dilakukan
suami secara bijak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi isteri.
Demikianlah akar pemikiran tentang kepemimpinan dalam rumah
tangga yang sekaligus berimplikasi terhadap kewenangan suami dalam
memperlakukan isteri yang nusyz dengan berangkat dari penafsiran
63

Lihat Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf..., I:524, Abi al-Fida' Syihab ad-Din Mahmud alAlusi, Ruh Al-Ma'ani, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), III: 24.

50

terhadap surat an-Nisa (4); 34. Dalam hal kewenangan mengasingkan


isteri (hijr), memukul, mencegah hak nafkahnya dan menjatuhi talak
semua itu merupakan konsekuwensi logis dari pemahaman mereka bahwa
suami adalah pemimpin rumah tangga, dan ini mendapat sorotan dari
kalangan feminis Muslim.64
Dan mengenai hak-hak yang dimiliki suami tersebut akan diperinci
dan sekaligus akan dikemukakan batasan-batasannya menurut perspektif
hukum sebagai berikut:
a. Hak Persuasif dan Sanksi Fisik
Dengan merujuk dalam al-Quran pada surat an-Nisa (4): 34,
seorang suami diberikan tiga hak yang merupakan bentuk dari
kewenangannya dalam memperlakukan isterinya yang nusyz. Yaitu:
(1) menasihatinya, (2) memisahi tempat tidurnya (menghindari untuk
berhubungan badan), (3) diperbolehkan memukulnya.
b. Hak Mencegah Nafkah
Para ulama mazhab sepakat bahwa isteri yang melakukan nusyz
tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang

64

Feminis adalah laki-laki maupun perempuan yang memiliki kesadaran akan ketidakadilan
gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan
sadar mereka untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan istilah feminis muslim merujuk pada
mereka yang memliki konsern terhadap isu-isu gender dan keperempuanan dalam Islam, seperti
Asghar Ali Engineer, Riffat Hassan, Amina Wadud Muhsin dan yang lain. (lihat Yunahar Ilyas,
Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran, Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hlm. 42-54. Sedangkan istilah fiminisme sendiri merujuk pada pengertian atau
gagasan kaum fiminis sebagai tanggapan dari perasaan ketidakadilan oleh karena adanya
supreoritas laki-laki dan penganugrahan hak-hak tertentu kepada mereka semata-mata karena
mereka adalah pria dan menyembunyikan hak-hak dari kaum wanita semata-mata karena mereka
wanita. (lihat Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hlm. 62.

51

batasan nusyz yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut.65


Demikian pula menurut Sayyid Sabiq, bahwa suami berhak mentazir
isterinya yang nusyz, seperti dengan pencegahan nafkah disamping
melakukan tindakan-tindakan yang telah ditentukan dalam al-Qur'an,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.66
Menurut Muhammad Ali Sabikh, apabila seorang isteri berlaku
nusyz yaitu isteri yang durhaka terhadap suami atau keluar rumah
tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan secara syari maka:
a. menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah.
b. Menggugurkan nafkahnya yang berupa kebendaan
c. Gugur pula nafkah yang terhutang.67
Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban
suami memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis karena
kedurhakaan isteri kepada suaminya dalam rumah tangga itu harus
dihilangkan, hal ini sesuai kaidah fiqh yang berbunyi;
68

"Bahaya yang besar dihilangkan dengan bahaya yang ringan"


Karena isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka
suami pun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah.69

65

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B., dkk., cet. II,
(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), hlm. 402.
66
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. II, (al-Qahirah: Fath al-Ilam al-Arabi, 1410
H/1990 M.), III: 229.
67
Muhammad Ali S{abikh wa Awladuhu, Al-Ahkm Syarih fi Ahwal Asy-Syahsiyyah, (ttp.,
1965), hlm. 28.
68
Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 82.

52

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pencegahan nafkah bagi


isteri yang nusyz juga diakui, sebagaimana yang disebutkan disana
bahwa kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal (5):
nafkah, kiswah, tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan, semua itu akan menjadi gugur apabila
isteri nusyz.70 Dan hak-hak tersebut dapat diperoleh isteri lagi jika ia
tidak nusyz lagi.71
c. Hak Talak
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa
perkawinan dapat putus karena:72
a.

Kematian

b.

Perceraian; dan

c.

Atas keputusan pengadilan


Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya bahwa untuk

melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami-isteri itu


tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.73
Suami-isteri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena
terjadinya nusyz oleh salah satu pihak atau kedua-duanya secara
bersamaan (syiqq) dan telah diupayakan sekuat tenaga untuk
menyelesaikanya secara damai, baik oleh kedua belah pihak yang

69

Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshari Umar Sitanggal,
(Semarang: C.V. Asy-Syifa', t.t.), hlm. 465.
70
KHI, Pasal 80 Ayat (7).
71
KHI, Pasal 84 Ayat (3).
72
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 34.
73
Ibid., Pasal 39 Ayat (2)

53

bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga sebagai mediator, maka


dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain kecuali memutuskan
hubungan tali perkawinan suami-isteri tersebut agar situasi tidak
semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak kekerasan.74
Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab
yang memperbolehkan menjatuhkan talak dengan tiada dibenci oleh
Allah ialah:
a. Isteri berbuat zina
b. Isteri nusyz setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya
c. Isteri suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang
menggangu keamanan rumah tangga, dan lain-lain, sebab yang berat
yang tidak memungkinkan berdirinya rumah tangga dengan damai
dan teratur.75
Islam telah menetapkan kepada kaum perempuan hak-haknya
sebagaimana

telah

menetapkan

pula

atas

mereka

kewajiban-

kewajibannya. Islam pun telah menetapkan bagi laki-laki hak-haknya


sebagaimana

telah

menetapkan

pula

atas

mereka

kewajiban-

kewajibannya. Adanya penetapan berbagai hak dan kewajiban ini


keduanya tidak lain terkait dengan kemaslahatan keduanya dalam
pandangan Allah SWT sebagai as-Syari(pembuat hukum). Pemecahan
atas berbagai aktivitas yang mereka lakukan didasarkan pada anggapan

74

Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 69.


Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. X, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1983), hlm. 113.
75

54

bahwa ia merupakan perbuatan tertentu yang dilakukan oleh seorang


manusia tertentu.
Pemecahan yang diberikan akan sama jika memang tabiat
keduanya selaku manusia mengharuskan adanya pemecahan yang sama
jika memang tabiat keduanya selaku manusia mengharuskan adanya
pemecahan yang sama. Sebaliknya, pemecahan yang diberikan kepada
keduanya berbeda jika memang watak salah satu dari keduanya
menuntut adanya pemecahan yang berlainan. Namun demikian, adanya
kesamaan di dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara keduanya
bukan didasarkan pada ada atau tidak adanya aspek kesetaraan.
Demikian pula dengan adanya perbedaan dalam sejumlah hak dan
kewajiban di antara keduanya, tidak di lihat dari ada atau tidak adanya
unsur kesetaraan. Sebab, Islam hanya memandang komunitas
masyarakat, baik pria atau wanita, dengan mengganggapnya sebagai
sebuah komunitas yang bernama manusia. Dalam konteks ini, salah satu
watak (karakter) dari suatu komunitas masyarakat manusia adalah
adanya kaum laki-laki dan kaum perempuan. Allah Swt berfirman:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada

55

Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta


satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisa: 1)
Atas pandangan inilah, Allah Swt memberikan taklif syariat. Atas
dasar ini pula, Allah Swt memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada
kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Berbagai hak dan kewajiban ini
merupakan hak dan kewajiban yang bersifat manusiawi (Insaniyah).76
Berbagai hak dan kewajiban serta taklif syariat terkait dengan
watak wanita dengan predikatnya sebagai perempuan, kedudukannya di
dalam suatu komunitas(jamaah), atau keberadaannya di dalam masyarakat.
Berbagai hak dan kewajiban serta taklif syariat juga terkait dengan pria
dengan predikatnya sebagai pria, kedudukannnya di dalam sebuah
komunitas(jamaah), dan keberadaannya didalam masyarakat. Dalam
realitas semacam ini, berbagai hak dan kewajiban serta taklif syariat
menjadi banyak ragamnya di antara laki-laki dan perempuan.77
3. Batasan-Batasan Hak Suami dalam Memperlakukan Isteri Nusyz
Walapun pada dasarnya persoalan nusyz tidak selalu muncul dari
pihak isteri akan tetapi juga dapat timbul dari pihak suami, namun pada
kenyataannya hak-hak yang dimiliki oleh suami selama ini lebih dominan
dan mendapatkan pengakuan secara yuridis. Artinya, secara hukum
maupun secara realitas di lapangan pihak suami selalu menjadi pihak yang
menang dan diuntungkan ketika persoalan nusyz terjadi, sedangkan bagi

76

Said Ramadhan Al-Buthi, Perempuan Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam
(Solo: Intermedia, 2002), hlm. 22.
77
Rukmini, Op. Cit.,

56

pihak isteri kerap kali menjadi korban yang dipersalahkan. Oleh karena itu
batasan hak-hak suami di sini perlu untuk ditegaskan.
Islam juga membolehkan melakukan tindakan kekerasan sebagai
ta'dib dalam rumahtangga.78 Kekerasan yang dimaksud disini bukanlah
kekerasan yang dilakukan dengan landasan amarah atau kekerasan yang
sampai melukai atau (bahkan) membunuh. Tapi, bentuk kekerasan yang
dimaksud adalah bentuk-bentuk tindakan fisik yang dibolehkan oleh syara,
ketika syara tidak membolehkan bahkan mengharamkannya maka itu
adalah kejahatan.
Misal perkara yang diperbolehkan adalah ketika terjadi Nusyz.
Hal ini berdasarkan Q.S An-Nisaa ayat 34. Dalam ayat ini, Allah telah
menjelaskan keadaan kaum perempuan adakalanya mereka taat dan
adakalanya membangkang (nusyz). Termasuk nusyz adalah mereka
yang menyombongkan diri dan tidak melakukan ketaatan kepada suami.
Maka ketika tanda-tanda nusyz tampak, suami wajib melakukan beberapa
langkah dalam upaya meyadarkan dan mengembalikan keadaan istri ke
jalan yang benar. Dimulai dengan menasihati, kemudian memisahkan diri
dan berpaling dari istri dan langkah ketiga memberikan pukulan yang tidak
menyakitkan dan tidak membekas, dengan tujuan kebaikan. Ibn Abbas
memperjelasnya

dengan

pukulan

yang

tidak

menyakitkan,

tidak

mematahkan tulang dan tidak menimbulkan luka. Jika Istri mentaati

78

Kholishoh. Op. Cit,.

57

perintah suami, maka suami dilarang untuk mencari-cari kesalahan istri


dan mendzaliminya.
Asy-Syafi'i menjelaskan bahwa memukul diperbolehkan namun
meninggalkannya adalah lebih baik. Dalam catatan pinggir Jumal AlJalalain juga disebutkan bahwa masing-masing langkah harus dilandaskan
pada kejelasan masalah dan tidak boleh didasarkan pada dugaan semata.
a. Hak Persuasif dan Sanksi Fisik
Dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa bila kamu
mengkhawatirkan nusyz dari pihak isteri-isteri kamu, maka nasihatilah
mereka, dan pisahkan dirimu di tempat tidur mereka, jika nasehatmu
diacuhkan maka janganlah mereka diajak bicara tanpa memutus
pernikahanmu dengan mereka, dan jika semua itu tidak berhasil juga,
maka kamu boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak
merusak bagian-bagian tubuhnya terutama wajah dan kepalanya.79
Dalam hal ini bahwa tindakan bertahap yang dapat dilakukan oleh
suami terhadap isteri yang nusyz adalah:
b. Menasihati ( )
Dalam rangka menyikapi persoalan nusyz ini, langkah
pertama yang ditawarkan dalam al-Qur'an adalah dengan memberikan
nasehat (advice) secara bijaksana kepada isteri yang nusyz. Tentu saja
nasehat kepada isteri berbeda antara satu dengan yang lainya,
tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi, karena diantara mereka

79

Imam Abi AL-Fida' Al-Hafiz Ibn Kasir, Tafsir., I: 466.

58

ada yang terpengaruh oleh sanksi-sanksi duniawi, seperi dimusuhi dan


lain-lain ada juga yang tidak.
Nasihat merupakan upaya persuasif dan langkah edukasi
pertama yang harus dilakukan seorang suami ketika menghadapi isteri
yang nusyz. Hal ini ditujukan sebagai cara perbaikan secara halus
untuk

menghilangkan

semua

kendala-kendala

yang

mengusik

hubungan cinta kasih suami-isteri. Hampir seluruh ulama berpendapat


sama, yakni, amat pentingnya cara memberi nasihat ini, sehingga hal
ini menjadi urutan pertama dalam upaya menyelesaikan permasalahan
nusyz.80
Suami hendaknya mengingatkan kembali tentang ikatan janji
yang kuat (mitsqan ghalidzan) diantara mereka yang tidak boleh
pudar begitu saja oleh hati maupun aqal. Kepada isteri juga
disampaikan akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka
apabila ia tetap dan meneruskan jalannya itu.81 Dalam Tafsir al-Bahru
al-Muhit dijelaskan dalam usaha menasihati isteri yang nusyz
tersebut tidak lupa dengan mengingatkan kepadanya akan perintah
Allah untuk taat kepada suami.82 Hal ini senada dengan apa yang

80

Saleh bin Ganim as-Saldani, Nusyuz, hlm. 46.


Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut
al-Qur'an dan Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP,
1994), hlm. 78.
82
Muh. Yusuf Asy-Syahir, Tafsir, II: 251.
81

59

diungkapkan oleh Abu Bakar Al-Jassas bahwa menasihati yaitu


menakut-nakuti isteri dengan siksaan Allah.83
Maidah atau nasihat merupakan upaya persuasif yang penting
dan sudah semestinya selalu dikedepankan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang terjadi antara suami-isteri dalam rumah tangga.
Namun jika persoalan yang mereka hadapi terasa semakin berat dan
diantara mereka tidak ada lagi pihak yang mau memulai untuk
mengambil insiatif damai secara persuasif ini, maka mereka dapat
mendatangkan mediator pihak lain sebagai perwakilan mereka guna
mendiskusikan persoalan yang sedang terjadi.84
Diharapkan dengan adanya sikap saling memberikan nasihat
secara baik dan bijak akan dapat menciptakan kondisi relasi suamiisteri dan kehidupan rumah tangga secara umum kembali harmonis dan
kondusif. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan
adanya suasana musyawarah dan demokratis dalam kehidupan rumah
tangga. Musyawarah berarti dalam segala aspek kehidupan dalam
rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan
musyawarah

minimal

antara

suami-isteri.

Sedangkan

maksud

demokratis adalah bahwa antara suami dan isteri harus saling terbuka
untuk dapat menerima pandangan dan pendapat pasangannya.85

83

Abi Bakr Ahmad ibn 'Ali Razi Al-Jassas, Ahkam Al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Kutub alAlamiyah, 1415 H/1993 M.), II: 238.
84
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazzali, Ihya Ulum ad-Din, (Beirut: Dar alKitab al-Islami, t.t.), II: 15.
85
Khoiruddin Nasution, Islam., hlm. 52.

60

Terciptanya suasana musyawarah dan demokratis dalam rumah


tangga pada ahirnya akan menjadikan pasangan suami-isteri dalam
menjalankan kewajiban dan memperoleh hak secara berimbang dan
sejajar. Dan dari sini diharapkan dapat memunculkan sikap diantara
mereka untuk:
1) saling mengerti, mengerti latar belakang masing-masing dan diri
sendiri.
2) saling menerima, menerima sebagaimana adanya menyangkut
kelebihan dan kekurangan pasangannya.
3) saling menghormati, menghormati perasaan, keinginan dan pribadi
masing-masing.
4) saling mempercayai.
5) saling mencintai, bijaksana dan menjahui sikap egois.86
c. Pisah ranjang ( )
Secara etimologis hijr berarti meniggalkan, memisahkan dan
tidak berhubungan dengan obyek yang dimaksud.87 Sedangkan kata alMadhaji' yang menjadi rangkaian kata hijr berarti tempat tidur atau
tempat berebah.88 Secara epistemologis atau istilah para fuqaha', hijr
adalah seorang suami

86

yang tidak menggauli

isterinya, tidak

Ibid., hlm. 60.


Saleh bin Ganim as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I (Jakarta: Gema
Insani Press, 1998), hlm. 25.
88
Muhammad 'Ali as-Sabuni, Rawaiul Bayan., hlm. 367.
87

61

mengajaknya bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama


apapun dengannya.89
Sedangkan hijr menurut pendapat Ibn 'Abbas sebagaimana yang
juga dikutip oleh as-Sabuni adalah sikap seorang suami yang
memiringkan pinggang dan memalingkan punggungnya dari isterinya
serta menghindari melakukan hubungan badan dengannya. Pendapat
yang lain mengatakan tentang hijr yaitu suami yang meninggalkan
tempat tidur isterinya dan menjauhkan diri untuk kontak dengannya.90
Jadi batasannya jarak mengenai hijr itu sendiri dapat dikatakan sebatas
kontak fisik, tempat tidur atau maksimal sebatas dalam rumah.
Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa hijr dapat
berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami
tidak memperhatikan atau memperdulikan perkataan isterinya serta
tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah
bahwa suami berpisah tempat tidurnya dari isterinya atau sekedar tidak
menggaulinya, atau memisahkan diri dari kamarnya.
Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada
ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi
waktunya dengan menganalogikannya kepada hukum illa,91 yang
menurut syara ditentukan selama 4 (empat bulan).

89

Ibid.
Ibid.
91
Illa' adalah marahnya suami terhadap isteri sampai mengeluarkan sumpah untuk tidak
mencampurinya (mengaulinya). Lihat, Muh. Rasyid Rida, jawaban Islam terhadap seputar
keberadaan wanita, alih bahasa Abd. Haris Rifa'i, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), hlm. 53.
90

62

Adapun batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap


menjahui dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami
tanpa batas, selama yang diinginkannya, selagi hal itu dipandang dapat
menyadarkan isteri, asal tidak lebih dari empat bulan berturut-turut,
karena jangka waktu empat bulan adalah batasan maksimal yang tidak
boleh dilampaui, sesuai pendapat yang terkuat dari pendapat ahli
hukum. Hal ini juga sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Tafsir alQurtubi bahwa suami dibolehkan tidak menggauli isterinya selama
empat bulan dalam upaya menyadarkan isterinya.92
Pada dasarnya jika diteliti lebih jauh tahap hijr ini masih
merupakan upaya lanjut yang merupakan hak dari suami dalam
menyikapi isteri nusyz secara persuasif sebelumnya yaitu Mauidzah
yang mana kedua langkah tersebut merupakan usaha bijaksana untuk
rekonsisiliasi, penyatuan kembali dengan melakukan intropeksi diri
masing-masing pasangan. Kalau perlu, dalam tahap intropeksi dan
perenungan diri ini dilakukan dengan pisah ranjang sementara (altahjir fil mdhaji).93
Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nurjannah
Ismail ia berpendapat bahwa langkah kedua ini, yaitu menjahui isteri
dari tempat tidurnya merupakan sanksi dan pelajaran yang diberikan
kepada isteri yang sangat mencintai suami dan amat menderita bila
dikucilkan. Menjahui tempat tidur bukan berarti harus meninggalkan
92

Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 52.


Masdar Farid Masudi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. I, (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 165.
93

63

tempat tidur atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama isteri, karena itu
malah akan dapat menambah kebandelan isteri. Sebab dengan masih
tidur bersama isteri walaupun tidak mencampurinya diharapkan akan
mampu menetralisir emosi suami dan isteri, sehingga jiwa menjadi
tenang dan pertengkaran dapat diatasi.94
Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang selama ini lebih
dipahami sebagai hak suami untuk menghukum isterinya yang nusyz
dengan menjahuinya, mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan
badan dengannya merupakan pemahaman yang berlebihan. Sebab
ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka tentu saja persoalan yang
ada di antara suami-isteri tidak akan selesai-selesai bahkan akan
berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa isteri karena
kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami
yang berusaha menjahuinya.
Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan dalam
urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah
yang dapat menganggu keharmonisan relasi suami-isteri antara lain
penyelewengan, perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.95
Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam senantiasa
menekankan arti penting keadilan diantara suami-isteri agar terjamin
keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang.
Hal ini sebagaimana disinggung oleh al-Quran sendiri, diantaranya:
94

Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, V: 72.


A. Rahmat Rasyadi, Islam; Problem Seks Kehamilan dan Melahirkan, cet. X, (Bandung:
Angkasa, 1993), hlm. 16.
95

64

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. Al-Baqarah: 228)
Dalam Ayat lain juga disebutkan:

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. AnNisa: 32)
Ulama mazhab Hanafi berpendapat isteri boleh menuntut
suami untuk melakukan persetubuhan dengannya, karena kehalalan
suami bagi isteri merupakan hak isteri, begitu pula sebaliknya jika isteri
menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki

65

berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suamiisteri jika tidak ada udzur (alasan yang dibenarkan secara syari).96
Begitu pula masalah kewajiban isteri untuk melayani suami
dalam berhubungan badan, al-Syirazi berpendapat bahwa meskipun
pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika
ia tidak mud atau sedang tidak bergairah untuk melayaninya ia boleh
menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi
isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya
untuk melayaninya sampai sembuh.97 Jika suami tetap memaksa maka
dia telah melanggar prinsip mu'asyarah bi al-maruf dengan berbuat
aniaya kepada pihak yang seharusnya dilindungi.
Oleh karena itu suami tidak boleh mengklaim isterinya telah
melakukan nusyz hanya gara-gara dia tidak bersedia melayaninya di
sesuatu ketika, karena hal itu harus juga mempertimbangkan situasi dan
kondisi isteri. Bahkan dalam persoalan hijr yang selama ini dipahami
sebagai kewenangan suami untuk menjahui isteri yang nusyz sebagai
bentuk pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika
harus dikaji kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya
suami telah melupakan prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip
muasyarah bil marf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah
melakukan nusyz terhadap isterinya.

96
97

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami., Juz IX, hlm. 6599.


Al-Syirazi, al-Fiqh ala Mazahib al-Arbaah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 65.

66

d. Memukul ( )
Dalam masalah pemukulan ini fuqaha' mendefinisikannya
dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang
menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan
mengunakan alat atau tidak.98
Kalau diteliti lebih lanjut sebenarnya kalimat dharaba berasal
dari fiil madhi dharaba yadhribu yang di dalam Al-Quran kata ini
mempunyai banyak arti:
1) Jika dalam Ayat jelas fiil amr yang berasal dari fiil madI
bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari
anggota tangannya kepada orang lain.
2) Untuk Ayat kalimat fiil madI ini bukan arti pukul,
namun mempunyai arti itibar (perumpamaan).
3) Jika untuk Ayat artinya fiil amar yang
tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu
alat.
Bagi

fuqaha

yang

berpendapat

tentang

dibolehkannya

melakukan pemukulan, mereka mendasarkannya pada surat an-Nisa


(4): 34 yang memiliki kronologi historis (as-sabab an-nuzul)
sebagaimana diriwayatkan oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Saad
ibn Ar-Rabi ibn Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair
sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunnya Ayat ini.

98

Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 57.

67

Diriwayatkan bahwa Habibah nusyz terhadap suaminya Saad, salah


seorang pemimpin Anshar. Lalu Saad memukul Habibah, puteri Zaid
ibn Zuhair ini mengeluhkan perlakuan suaminya kepada ayahnya. Sang
ayah kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan
Habibah membalas dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah
turun surat an-Nisa Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda:
Kita menginginkan satu cara, Allah menginginkan cara yang lain.
Yang diinginkan Allah itulah yang terbaik (
) . Kemudian dibatalkan hukum qisas terhadap pemukulan
suami itu.99
Ada juga beberapa hadits yang dikerap kali dijadikan dasar
dalam masalah ini oleh fuqaha, diantaranya:

,
,
,



100

Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan


untuk dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan
terhadap isteri ini yaitu;
99

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf., I: 524.


Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah, Al-Jami' as-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmizi,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn Majah
dalam Sunan ibn Majah, "Kitab an-Nikah", "Bab al-Mar'ah 'ala az-Zawj", hadis 1851.
100

68


101

Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di
atas tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka
memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya
karena telah melanggar hak-hak suami.102
Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya
pemukulan terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui
batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkannya
tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau
suatu yang lebih baik jika harus dihindari.103
Walaupun kelihatannya secara tekstual syariat membolehkan
suami memukul isteri yang nusyz, akan tetapi bagaimanapun harus
diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat
diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh
dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti

101

Sad (38): 44.


Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan dia memohon
pertolongan kepada Allah SWT. Allah memperkenankan doanya dan memperkenankan agar dia
menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub a.s. mentaati perintah itu maka keluarlah air dari bekas
kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub a.s. pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah
dia dari penyakitnya dan dia dapat berkumpul kembali bersama keluarganya. Maka mereka
kemudian berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Pada
suatu ketika, Ayyub a.s. teringat atas sumpahnya, bahwa dia akan memukul isterinya bilamana
sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu dia masih sakit. Akan
tetapi tumbuh dalam hatinya rasa ibah dan sayang kepada isterinya sehingga dia tidak dapat
memenuhi sumpahnya. Oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam Ayat
44 di atas, agar dia dapat melaksanakan sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya yaitu
memukulnya dengan seikat rumput.
103
Muhammad 'Ali as-Sabuni, Rawaiul Bayan, II: 350.
102

69

isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi menggangu atau


tindakan balas dendam.104 Dalam hal pemukulan, para mufassir sepakat
bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak
menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak melukai, tidak
mematahkan tulang dan tidak merusak muka.
Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili,
bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
a. bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
b. Bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian,
karena

pemukulan ini bukan bermaksud untuk menciderai apalagi

membunuh isteri yang nusyz, melainkan untuk mengubah sifatnya.


c. Memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit
dan akan memperbesar timbulnya bahaya.105
Dalam rangka memberi pendidikan bagi isteri yang nusyz arRazi dan at-thabari juga tampaknya memiliki pemahaman yang tidak
jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan adanya
kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan
nusyz. Hanya

saja untuk masalah pemukulan ini, kedua mufassir

tersebut bahkan tampaknya semua mufassir sepakat memberikan


catatan bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak
menyakitkan (ghaira mubarrih), yang tidak melukai, tidak mematahkan
tulang dan tidak merusak muka. Ringkasnya, mereka mengatakan wa
104
105

Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga., hlm. 81.


Ensiklopedi Hukum Islam, hlm.1355.

70

ad-dharbu mubah wa tarkuhu afdal (pemukulan itu boleh dan


meninggalkannya lebih baik).106
Sebagaimana para mufassir yang lain Muhammad Abduh
berpendapat

perintah

memukul

isteri

bukanlah

sesuatu

yang

bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan


sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul isteri
ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara
memukulnya. Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri
sudah tidak nusyz lagi cukup dengan cara menasehatinya atau
mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu memukulnya.
Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu kita
diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya,
menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus
dengan cara yang baik pula.107
Terdapat penjelasan yang menarik dari Rasyid Ridha, yaitu
penolakannya terhadap anggapan orang bahwa Islam menindas kaum
perempuan karena adanya perintah pemukulan ini. Ia menggariskan
bahwa pemukulan dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkahlangkah sebelumnya tidak berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak
menyakitkan. Lebih lanjut ia menyatakan: jangan membayangkan
kaum perempuan Islam itu lemah dan kurus yang dagingnya disobeksobek oleh cemeti suaminya. Untuk itu, ia mengutip hadits Rasulullah
106
107

Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, V: 75.


Ibid.

71

SAW; Apakah salah satu diantara kalian akan memukul isterinya


seperti halnya memukul budak lalu menyetubuhinya di malam hari?.
Menurut Rasyid Ridha pemukulan adalah obat pahit (ilaj murr) dan ia
mengatakan bahwa laki-laki yang saleh tidak akan memukuli
perempuan (isterinya) walaupun itu diperbolehkan.108
Diantara ketiga hak atau kewenangan yang dimiliki seorang
suami dalam memperlakukan isteri nusyz dengan berdasarkan pada
surat an-Nisa (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul merupakan
salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang,
khususnya di kalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikirpemikir feminis kontemporer.
Jika para ulama sepakat dengan pemukulan terhadap isteri
nusyz diperbolehkan asal masih dalam batas-batas yang wajar dan
tidak bertujuan untuk

menyakiti, pada dasarnya ulama juga

menekankan agar tidak memukul. Sedangkan bagi para feminis ada


yang berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah dianjurkan oleh AlQuran. Pendapat ini dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar
Ali Engineer, ia berpendapat dengan mengutip pendapat Ahmed Ali
dari kitab Ragib Al-Mufradt fi Garib Al-Quran yang menerangkan
bahwa kata dharaba mempunyai makna metaforis yaitu melakukan
hubungan seksual.109

108

Ibid., V: 74-75.
Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan
Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), hlm. 76.
109

72

Pada dasarnya Nabi sangat menghargai perempuan, asbab annuzul ayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada
Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati
menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya, tetapi
Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati,
keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan,
tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan
mengutip pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women
Under Islam; bahwa ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah
merupakan pemimpin Anshar (Saad bin Rabi). Keputusan Nabi untuk
mengqisas suaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah,
mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan
dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat
ini

diwahyukan

mengendalikan

sebagai

anjuran

yang

menyejukkan

kekerasan

laki-laki

terhadap

perempuan

demi
dan

menganjurkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang


didominasi laki-laki.110
Ayat ini tampak mengizinkan pemukulan terhadap isteri, tetapi
Lokhandwala berpendapat bahwa konteks Madinah tidak dapat
diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut mempunyai maksud
agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama Al-Quran
mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat sebaiknya diperingatkan,

110

Ibid., hlm. 72.

73

dan jika mereka tetap dalam nusyz (pemberontakannya) mereka harus


dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka tetap tidak berubah juga,
maka mereka harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar tidak mencaricari jalan untuk memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika
mereka taat.111
Dalam

menyikapi

persoalan

nusyz

Amina

Wadud

menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Quran Dan Perempuan,


bahwa nusyz adalah

gangguan keharmonisan keluarga, dengan

mengutip surat an-Nisa Ayat 34; karena itu, wanita yang baik adalah
(qanitat), memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah
telah memelihara mereka. Adapun wanita-wanita yang kamu takutkan
(nusyz), nasihatilah mereka, pisahkan mereka di tempat tidur yang
terpisah, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu,
jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Berarti, seorang
wanita harus mematuhi suaminya, jika tidak, suami boleh memukulnya.
Amina berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk memberi
jalan pemecahan ketidak-harmonisan antara suami dan isteri.112 Oleh
karena itu memahaminya sebagai sebuah dalil yang membolehkan
seorang suami dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada isteri
yang nusyz adalah tidak tepat.
Bagi Amina, ia setuju dengan dua cara pertama dalam
menyikapi isteri nusyz, yaitu menasehati dan menjahuinya dari tempat
111
112

Ibd.
Amina Wadud, Qur'an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000), hlm. 21.

74

tidur. Mengenai cara yang ketiga yaitu memukul, dia menentangnya.


Menurutnya memukul bukanlah jalan terbaik dan tidak akan dapat
menyelesaikan masalah yang terjadi, justeru akan semakin membuat
persoalan menjadi berat. Memukul harus dimaknai sebagai cara untuk
kembali mengadakan usaha damai dan kalau tidak bisa maka lebih baik
diakhiri dengan perceraian.
e. Hak mencegah Nafkah
Dalam kitab Kifayat al-Ahyar dijelaskan bahwa ketika seorang
isteri yang telah jelas-jelas nusyz maka hendaknya dinasihati, dan jika
masih tetap tidak mau berubah maka boleh dijauhi (hijr), dan jika tidak
mau berubah juga maka boleh dipukul. Gugur pula sebab nusyz
tersebut adalah hak nafkah isteri dan gilirannya.113
Hampir seluruh ulama sepakat tentang tercegahnya nafkah
bagi isteri yang nusyz. namun mereka berbeda pendapat di dalam
menentukan bentuk dan sifat perbuatan nusyz seperti apa yang
menyebabkan tercegahnya nafkah isteri itu. Menurut Abu Hanifah,
seorang isteri gugur hak nafkahnya manakala dia bepergian tanpa izin
dari suaminya dan untuk sesuatu yang tidak menjadi kewajiban
baginya. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafii, hal itu tidak
sampai

113

menyebabkan

hilangnya

hak

nafkah

isteri. 114

Dasar

Imam Taqiy ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafii, Kifayat
al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 77.
114
Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, (Surabaya: alHidayah, t.t.), hlm. 248.

75

ketidakwajiban seorang suami dalam memberikan nafkah kepada isteri


nusyz adalah berdasarkan ijma' ulama.115
Ulama Hanafi berpendapat manakala isteri mengeram dirinya
dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpa izin dari
suaminya, maka ia masih disebut patuh (mutat), sekalipun ia tidak
bersedia dicampuri tanpa alasan syara' yang benar. Penolakan yang
seperti itu, walaupun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya untuk
mendapat nafkah. Oleh karena itu beliau berbeda pendapat dengan
seluruh mazhab yang lainya. Sebab seluruh mazhab yang lain sepakat
bahwa, manakala isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk
menggauli dirinya dan ber-khalawat dengannya tanpa alasan berdasar
syara' maupn rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyz yang
tidak berhak atas nafkah. Bahkan Syafi'i mengatakan bahwa, sekadar
kesediaan digauli dan ber-khalawat, sama sekali belum dipandang
cukup kalau si isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya
mengatakan dengan tegas, aku menyerahkan diriku kepadamu.116
Ada pula yang mengkaitkan gugurnya hak nafkah isteri ini
dengan pengertian perbuatan nusyz secara umum, karena ketika isteri
melakukan nusyz, maka berarti ia telah keluar dari ketaatan, dan itu
dapat menyebabkan hilangnya hak nafkah. Dan jika ia taat lagi, maka

115
116

As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 279.


Jawad Mugniyyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 76.

76

nafkah isteri tersebut wajib diberikan terhitung saat ia taat pada


suaminya kembali.117
Adapun hikmah dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi isteri
yang nusyz adalah diharapkan dengan itu sikap isteri akan kembali
baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah kekokohan dan
kelangsungan rumah tangga karena gugurnya nafkah merupakan sanksi
kepada isteri yang melakukan nusyz.118
Dalam masalah nafkah bagi isteri yang nusyz, Ibn Hazm
mempunyai pendapat yang bertentangan dengan jumhur fuqaha. Ibn
Hazm berpendapat bahwa isteri yang nusyz tetap mendapatkan nafkah.
Menurutnya, suami wajib memberinya nafkah sejak akad nikah, tidak
ada perbedaan antara isteri yang nusyz maupun yang tidak, yang masih
kecil atau yang sudah besar dan sebagainya. Mengenai pendapat Ibn
Hazm ini disebut dalam kitab al-Muhalla;



119

Pendapat tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:



117

Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah al-Islamiy, hlm. 27.


Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami-isteri Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1993), hlm. 33.
119
Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, (Damaskus: Dar al-Fikr,
tt.), X: 88.
118

77


120

Dan juga riwayat Abu Dawud dari Hakim bin Muawiyah dari
ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;

:

121

Dari kedua riwayat hadits tersebut, menunjukkan bahwa
Rasulullah

SAW.

Menyamaratakan

seluruh

wanita

dan

tidak

menghususkan orang yang nusyz dengan lainnya, begitu pula wanita


yang masih kecil atau pula yang sudah besar. Adapun pendapat
sebagian yang menyatakan tidak ada nafkah bagi isteri yang tidak mau
diajak serumah dengan suami, menurut Ibn Hazm, pendapat itu tidak
ada dasarnya baik dalam al-Qur'an, as-Sunnah, qaul Sahabat, qiyas
maupun ra'yu. Jika ada pengecualian kepada isteri yang nusyz atau
masih kecil maka Allah tidak akan lupa menjelaskannya.122
Ibn Hazm tidak mengetahui alasan Fuqaha' yang berpendapat
bahwa isteri yang nusyz tercegah (gugur) hak nafkahnya. Hanya ada
satu riwayat yaitu dari Nakhai, as-Sya'bi, Humad bin Abi Sulaiman, al-

120

Muslim, Sahih Muslim, "Kitab al-Hajj", "Bab Hijjah 'an-Nabi SAW., (Bairut: Dar alKutub al-'Ilmiyah, t.t.), II: 512. diriwAyatkan dari Jabir bin Abdullah.
121
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Haq al-Mar'ah 'ala Zawjiha",
(Bairut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212, hadis nomor 2142. diriwAyatkan dari Hakim bin Mu'awiyah
al-Qusyairiy dari ayahnya.
122
Ibn Hazm, al-Muhalla., X: 88.

78

Hasan dan az-Zuhri, tetapi Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka
secara jelas, hanya saja mereka menyatakan;
123

Fuqaha' yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam


Hanafi. Dalam mengomentari pendapat ini, Ibn Hazm berkata bahwa
yang berpandangan demikian, maka berarti mereka telah berdusta,
karena nafkah dan kiswah merupakan kewajiban apabila telah terjadi
hubungan suami-isteri. Hal ini diungkapkannya dalam al-Muhalla;



124

Imam Syafi'i berpendapat bahwa isteri yang keluar dari rumah
tanpa izin suaminya maka nafkahnya menjadi gugur. Dalam hal ni Ibn
Hazm berargumen sebagai berikut;


125
:
Dan tentang isteri yang nusyz, telah dijelaskan di dalam alQur'an surat an-Nisa' Ayat 34. berdasarkan Ayat tersebut Ibn Hazm
mengatakan bahwa; Allah telah mengabarkan atau memberitahu
bahwasanya tidaklah kepada isteri yang nusyz itu kecuali hijr dan
pemukulan dan Allah tidak menggugurkan nafkah dan kiswah. Maka
123

Ibid., hlm. 89.


Ibid.
125
Ibid.
124

79

kamu sekalian telah menyiksanya dengan mencegah haknya, dan hal


tersebut telah disyariatkan dalam agama bahwa tidak diizinkan berbuat
begitu (menggugurkan nafkah dan kiswah) karena hal tersebut adalah
batil.126
Sebenarnya, persoalan pencegahan hak nafkah bagi isteri yang
nusyz itu erat kaitannya dengan konsep patuh dan taatnya seorang
isteri itu sendiri. Dan dalam aplikasinya istilah kepatuhan ataupun
ketaatan adalah 'urf, dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut
'urf, seorang isteri disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila
suaminya meminta dirinya untuk digauli. Mereka tidak menawarkan
bahwa isteri harus menawarkan dirinya siang dan malam. Tapi
bagaimana pun, di sini terdapat beberapa masalah yang berkaitan
dengan persoalan nusyz dan taat.127 Bahkan hal itu pun seiring dengan
perubahan zaman dan kedewasaan masarakat akan mengalami
perubahan pula.
Disinilah letak pentingya pengkategorian mengenai bentukbentuk perbuatan nusyz secara kualitatif, kuantitatif serta kemungkinan
hal yang melatar belakanginya, agar dalam menyikapinya pun dapat
secara proporsional. Seperti contoh, sangat tidak adil jika seorang isteri
yang hanya bermuka masam ketika suaminya pulang kerja larut malam
dianggap nusyz kemudian tidak dikasih uang untuk belanja pada esok

126
127

Ibid.
Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 402.

80

harinya. Dan seperti contoh perbuatan-perbuatan nusyz ringan yang


lainnya.
f. Hak Talak
Al-Qur'an tidak memberi suatu ketentuan yang mengharuskan
suami untuk mengemukakan sesuatu alasan untuk mempergunakan
haknya menjatuhkan talak kepada isterinya. Namun biasanya suatu
alasan yang dikemukakan suami untuk menjatuhkan talak kepada
isterinya adalah bahwa ia merasa sudah tidak senang lagi kepada
isterinya. Alasan ketidaksenangan suami ini sangat subyektif, yang
dapat disebabkan oleh hal-hal yang subyektif pula.128
Sistem hukum yang ada di negara kita pada dasarnya
menganut asas mempersulit dalam masalah cerai. Hal ini dapat kita
baca sebagaimana yang tertera dalam Pasal 39 Ayat (1) Undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974, Pasal 14 s.d. 18 peraturan pemerintah
No. 9 Tahun 1975 yang menentukan, bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan, dan untuk melakukan perceraian
itu harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-isteri itu tidak dapat
hidup rukun sebagai suami-isteri. Alasan-alasan yang dapat dijadikan
dasar untuk perceraian adalah sebagaimana tersebut dalam penjelasan
Pasal 39 Ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.129

128

M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), hlm. 43.
129
Ibid., hlm. 43.

81

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), berkenaan dengan


alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian
dijelaskan dalam secara terinci sebagai berikut;130
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
secara berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Antara suami-isteri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta'lik-talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Talak adalah suatu perbuatan hukum dari seorang suami yang
dilakukan kepada isterinya, yang mana dapat membawa akibat yang
sangat luas bagi seseorang dan keluarganya, bisa mengubah corak

130

KHI, Pasal 116.

82

kehidupan kekeluargaan menjadi lebih baik atau bisa menjadi lebih


buruk. Karena itu Islam mensyari'atkan bahwa suami yang menjatuhkan
talak itu harus memenuhi syarat-syarat, yaitu diantaranya: "sudah
dewasa, berpikiran sehat, mempunyai kehendak bebas dan masih
mempunyai hak talak.
Sebagai salah satu contoh talaknya orang yang dalam keadaan
marah atau emosi, maka talaknya tersebut secara hukum tidak jatuh.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi;
131

Bila hal ini ditinjau lebih jauh lagi dengan mengkaitkannya


pada persoalan nusyz maka penjatuhan talak kepada isteri yang nusyz
patut diduga sebagai suatu keputusan yang mengandung cacat hukum
karena dijatuhkan pada saat kondisi psikologis suami yang tidak stabil
dan kondusif. Hal ini juga menghindari adanya kemungkinan
pertimbangan-pertimbangan

pendek

yang

temporal

yang

dapat

mendorong kearah keputusan yang emosional dan kondisi sesaat yang


menekan mereka.
Oleh karena itu dengan pertimbangan kemaslahatan dan
kemudlaratan berkenaan dengan sebab musabab, hukum talak atau
kedudukan talak berkutat dalam wilayah al-Ahkm al-khamsah. Karena

Abu Dawud, Sunan abi Dawud, Kitab at-Talak, Bab at-Talak Ala Ghalat, II: 231,
hadis nomor 2193. diriwAyatkan dari Sayfiyyah binti Syaibah dari Aisyah.
131

83

itu hukum talak beredar antara wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut;
a. wajib, yaitu: talak hakamain (juru damai) dalam hal syiqaq
(perselisihan hebat
memandang

bahwa

antara suami-isteri), karena juru damai


talak

itulah

satu-satunya

jalan

untuk

menghentikan syiqaq mereka.132


b. Sunah, yaitu: talak dengan sebab buruknya akhlak isteri dan
tabi'atnya dan tidak menjaga kehormatannya.133
c. Mubah, yaitu; talak ketika ada hajat karena kedua suami-isteri telah
sepakat untuk bercerai, mungkin mereka merasa sudah tidak dapat
lagi melanjutkan kehidupan perkawinan mereka lagi.134
d. Makruh, yaitu; menjatuhkan talak dengan tidak ada sebab yang
berhajat pada cerai.135
e. Haram, apabila menjatuhkan talak ketika isteri dalam keadaan haid
atau dalam keadaan suci yang telah dicampuri.136 Atau menjatuhkan
talak kepada isteri tanpa ada sebab apa-apa, karena tindakan tersebut
menyakiti isteri dan tidak patut.137
Dalam

ketentuan

perundang-undangan

perkawinan

di

Indonesia sendiri hak talak tidaklah merupakan monopoli pihak lakilaki saja, sebab perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal ini
132

Asy-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 345.


Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Beirut Dar al-Fikr,
t.t.),, IV: 293.
134
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 297.
135
Ibid., hlm. 345.
136
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta:Wijaya, 1954), hlm. 356.
137
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab aL-Fiqh Ala al-Mazahib., hlm. 297.
133

84

walaupun dengan penggunaan istilah yang berbeda. Hal ini dapat


ditemukan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang
menyatakan, masing-masing pihak (suami-isteri) berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.138 Dan dalam Pasal selanjutnya
dijelaskan, jika suami-isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.139 Begitu pula
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan bahasa redaksi
yang sama dalam Pasal 77 Ayat (5).
Sebagai

catatan

penting

dalam

masalah

hak

suami

menjatuhkan talak kepada isteri yang nusyz, bahwasanya talak atau


perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang
terakhir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan
guna perbaikan kehidupan perkawinan dan jika tidak ada jalan lain lagi
kecuali perceraian suami-isteri. Atau dengan perkataan lain bahwa
perceraian itu adalah way out pintu darurat bagi suami-isteri demi
kebahagiaan yang dapat diharapkan setelah perceraian itu. Hal ini tentu
saja dengan pertimbangan bahwa melakukan talak merupakan sesuatu
yang dibenci oleh Allah, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi;
140

Sungguh sangat tidak rasional dan terlalu gegabah jika


permasalahan yang timbul dalam keluarga hanya diselesaikan dengan
138

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31 Ayat (1).


Ibid., Pasal 34 Ayat (3).
140
Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab at-Talak, Bab fi Karahiyati al-Talak, hlm. 226,
hadis nomor 2178. diriwAyatkan dari Muharib bin Distar dari Ibnu Umar.
139

85

perceraian begitu saja, padahal masih ada seribu satu jalan keluar dan
selalu masih ada harapan besar untuk kembali merajut benang-benang
yang terlanjur kusut dalam rumah tangga.

86

BAB III
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF
UU NO 23 TAHUN 2004

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga


1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kata kekerasan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat
(hal tertentu) keras, kegiatan kekerasan, paksaan, kekejangan.1 Istilah
kekerasan dalam kamus besar bahasa Indonesia juga diartikan sebagai
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain.
Kata kekerasan merupakan padanan kata violence dalam bahasa
Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda. Violence
dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap
fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata
kekerasan

dalam

bahasa

Indonesia

umumnya

dipahami

hanya

menyangkut serangan secara fisik semata.2


Terlepas dari perbedaan pengertian etimologis, kekerasan dan
violence tersebut, saat ini kekerasan tidak hanya diartikan secara fisik,
namun juga psikis. Sebagaimana yang saat ini dikenal tentang kekerasan
1

WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm.

489.
2

Mansour Faqih, Perkosaan dan Kekerasan Analisis Gender, dalam Eko Prasetyo dan
Suparman Marzuki (eds.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan, ( Yogyakarta: PKBI, 1997),
hlm. 7

87

terhadap isteri, anak, pembantu atau antar anggota keluarga dalam rumah
tangga (selanjutnya disingkat KDRT) yakni, dapat berupa kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual serta penelantaran rumah tangga
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 UU. No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT.
Tindak kekerasan merupakan bentuk kata kerja yang berakibat
tertentu bagi obyeknya. Menurut bahasa kekerasan sendiri berasal dari
bahasa latin yaitu violentia, yang berarti kekerasan, keganasan, kehebatan,
kesengitan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya dan perkosa.
Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal
yang bersifat keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain atau ada paksaan.3 Kekerasan dapat
didefinisikan juga serangan atau invasi (assault) terhadap fisik, maupun
intregitas mental psikologis seseorang.4 Oleh karena itu kekerasan tidak
hanya menyangkut serangan fisik saja, tetapi juga non fisik seperti
ancaman dan paksaan, sehingga secara emosional yang mengalaminya
akan merasa terusik.
Kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat)
terhadap seseorang atau sejumlah orang-orang berposisi lemah (atau yang
tengah dipandang berada di dalam keadaan lemah). Bersarana kekuatannya

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Dan


Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 484.
4
Mansur fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 17.

88

fisik maupun non fisik yang superior, dengan kesengajaan untuk


menimbulkan derita di pihak yang tengah menjadi obyek kekerasan itu.
Kekerasan yang menimbulkan derita itu dapat dilakukan sebagai bagian
dari manifestasi pemaksaan kehendak oleh sang pelaku terhadap si korban
(yang oleh sebab itu sebenarnya sungguh bertujuan dan instrumental
sifatnya). Namun tidak jarang pula tindak kekerasan itu terjadi sebagai
bagian dari tindakan manusia untuk melampiaskan rasa marah yang sudah
tak tertahankan lagi (oleh sebab itu sifatnya ekspresif dan tidak ada tujuan
lain kecuali redanya tekanan emosi yang ada dalam dirinya). 5
Kekerasan dalam wilayah publik meliputi kekerasan yang terjadi di
luar keluarga, seperti tempat kerja, di pasar, atau di tempat umum yang
lain. Termasuk kekerasan di wilayah publik adalah pornografi,
perdagangan perempuan, pelacuran paksa dan lain-lain.
Kekerasan dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan
terhadap isteri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam
masyarakat.

Berbagai

penemuan

penelitian

masyarakat

bahwa

penganiayaan isteri tidak berhenti pada penderitaan seorang isteri atau


anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah
tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita. Menurut
Mansour Fakih, Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik
maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang.

Soetandyo Wigjosoebroto, Andiil Kondisi Sosial Budaya Pada Kekerasan terhadap


Perempuan , Dalam S. Edy Santiso(ed.) et. Al., Islam Dan Konstruksi Seksualitas(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, PSW IAIN Yogyakarta, The Asia foundation, 2002), hlm. 134.

89

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap


isteri sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya
kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara
adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang
pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia
atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam
permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik.
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologi,atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis
berat pada seseorang. UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), jumlah kasus kekerasan
terhadap perempuan masih cukup tinggi.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004,6 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU. PKDRT) pasal
1 menyatakan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan atau menelantarkan rumah tangga, termasuk ancaman untuk
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
6

UU. No. 23 Tahun 2004, Tentang penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta :
Cemerlang, t.t., hlm. 2.

90

hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang dimaksudkan dengan


lingkup rumah tangga dalam pasal 2 UU. PKDRT7 adalah meliputi
suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan (suami, isteri dan anak) karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
Sementara itu, Islam telah menggariskan bahwa laki-laki adalah
penegak bagi perempuan,8 yaitu dijadikan sebagai penanggung jawab
terhadap berlangsungnya sebuah keluarga. Diantara tanggung jawab suami
itu adalah memukul isteri apabila ia nusyuz dan memukul anaknya
apabila ia tarikussholah sedangkan anak tersebut sudah berusia sepuluh
tahun. Selain kewajiban-kewajiban yang melekat kepada seorang suami
sebagai tanggung jawab pribadinya kepada Allah. Swt., seperti
memberikan nafkah yang layak, melindungi keluarganya dan lain-lain.
Tulisan ini akan membahas kategorisasi kekerasan dalam UU.
PKDRT, dan kategorisasi kekerasan yang harus dilakukan seorang suami
sebagai pemimpin dalam suatu rumah tangga untuk menegakkan aturanaturan Allah swt. dalam rumah tangga tersebut. Sehingga pada akhirnya
akan dapat ditarik benang merah diantara kedua hukum normatif dan
formal tersebut.

7
8

Ibid, hlm. 3-4


Q.S. Surat Al-Nisa ayat 34.

91

Kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestic) Menurut


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pengertian
KDRT adalah:
"Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga".
Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Lebih lanjut di dalam penjelasan
pasal 1 UU PKDRT, dijelaskan yang dimaksud dengan korban adalah:
"orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga".
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah:9
a. Suami isteri atau mantan suami isteri
b. Orang tua dan anak-anak
c. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah
d. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang
lain yang menetap di sebuah rumah tangga.
e. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau
pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup

Rita Serena Kalibonso, Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Sebagai
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Achie Sudiarti Luhulima(ed.) et. Al., Pemahaman
Bentuk- Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya (Bandung:
P. T. Alumni, 2000), hlm. 109.

92

bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal


bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu).
Yang dimaksud dengan isteri atau suami atau mantan suami isteri
adalah meliputi isteri atau suami atau mantan isteri/suami de jure yakni
seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, serta meliputi isteri atau suami atau
mantan suami/isteri de facto, yaitu seseorang yang telah melakukan
perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak ynag
berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat
didaftarkan di bawah undang-undang tertulis.
Kasus

kekerasan

dalam

rumah

tangga

tidak

selamanya

mengakibatkan perempuan sebagai korbannya, ada kalanya kaum laki-laki


pun dapat menjadi korban dalam permasalahan kekerasan dalam rumah
tangga. Sedangkan menurut menteri Negara pemberdayaan wanita
mengatakan KDRT adalah singkatan dari kekerasan dalam rumah tangga
yaitu tindakan yang mengakibatkan suatu penderitaan-penderitaan dan
kesengsaraan baik secara psikologis, fisik, dan seksual termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan dengan
sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum dan di dalam
lingkungan pribadi.10
Syafiq Hasyim dalam bukunya menakar harga perempuan
mengatakan

10

KDRT

(Domestic

Viulence)

Http://MenegP go.id/kdrt.Htm (diakses pada 8 Mei 2007)

adalah

suatu

bentuk

93

penganiayaan (abuse) baik secara fisik maupun emosional, psikologis


yang merupakan suatu pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan
rumah tangga.11 Yang biasanya mempunyai ciri antara lain: dilakukan di
dalam rumah, di balik pintu tertutup dengan kekerasan/penyiksaan fisik
maupun psikis oleh orang yang mempunyai hubungan dekat dengan
korban (suami). Biasanya pelaku kekerasan mempunyai status dan
kekuasaan yang lebih besar baik dari segi ekonomi, kekuatan fisik maupun
status sosial dan keluarga.
Sedangkan dari sudut Pandang Islam, kekerasan bisa juga termasuk
dalam kejahatan. Suatu perbuatan tidak dianggap kejahatan kecuali jika
telah ditetapkan oleh syara bahwa itu perbuatan tercela sebagai dosa yang
harus dikenai sanksi. Jadi, dosa itu substansinya adalah kejahatan. 12
2. Cycle Of Violence Dalam KDRT
Perbedaan kategori dan bentuk kekerasan menimbulkan berbagai
macam klasifikasi yang tidak bisa dan jauh dari kelemahan. Klasifikasi
atas kekerasan yang analitis, tidak parsial dan teliti harus memenuhi dua
karakter, yaitu obyektif dan lengkap.
Ada 4 jenis kekerasan yang pokok yang memenuhi dua kriteria
diatas, yakni kekerasan langsung (direct violence), kekerasan tak langsung
(inderect violence), kekerasan represif (repressive violence), dan
kekerasan alienatif (alienating violence).13

11

Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 191.
Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam (Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah,
2002), hlm. 2.
13
Jamil Samil, Kekerasan Dan Kapitalisme (Jakarta:Pustaka Belajar,1993), hlm. 29.
12

94

Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang fisik


atau psikologis secara langsung. Yang termasuk alam kategori ini adalah
semua bentuk pembunuhan, pemusnahan etnis, kejahatan perang, dan
semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan
fisik atau psikologis seseorang.
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan,
bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak melibatkan
hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau
institusi) yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Disini
terdapat dua sub kategori yang perlu dibedakan, yakni kekerasan karena
kelalaian (violence by omission) dan kekerasan perantara (mediated
violence).
Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak dasar selain
hak untuk hidup. Sedangkan kekerasan alienatif adalah merujuk pada
pencabutan

hak-hak

individu

yang

lebih

tinggi,

misalnya

hak

perkembangan emosional, budaya atau intelektual.


Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga adalah:14
a. Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam
masyarakat. Kita pada umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa atas
perempuan.

14

Ibid, hlm. 25-28

95

b. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya agar


mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani. Jika kita tetap
mendidik dan membesarkan anak lelaki seperti ini berarti kita
melanggengkan kekerasan.
c. Kebudayaan kita mendorong isteri tergantung pada suami, khususnya
secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sepenuhnya
berada dalam kekuasaan suami. Yang tentunya akan melanggengkan
dan memudahkan suami melakukan kekerasan.
d. Masyarakat tidak menggangap KDRT sebagai persoalan sosial, tetapi
persoalan pribadi suami isteri. Sikap inilah yang menyebabkan
kekejaman dalam rumah tangga ini terus berlangsung.
e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap
bahwa laki-laki boleh menguasai prempuan.
f. Pembagian peran yang kaku antara laki-laki dan perempuan.15
g. Hukum yang mengatur tindak kekerasan masih bias gender.16
Ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab kekerasan dalam
rumah tangga(KDRT), yaitu:17
a. Ketimpangan Gender
Konstruksi sosial budaya sangat berpengaruh terhadap pembagian
peran yang dimainkan oleh kelompok-kelompok dengan jenis kelamin

15

Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam ( Jakarta: Lembaga Kajian Agama
dan Gender, 1999), hlm. 18.
16
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara),
hlm. 15.
17
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekersan Terhadap Isteri (Yogyakarta: PT. Gema
Media Dan Lembaga Kjaian Perempuan dan Agama(LKPA, 2004), hlm.17.

96

tertentu. Artinya, konstruksi sosial budaya ini turut memberikan


kontribusi dalam penciptaan relasi antara laki-laki dan perempuan
secara setara atau sebaliknya, timpang.
Konstruksi sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat di
dalam lintasan sejarah menunjukkan bahwa relasi gender senantiasa
mengalami fluktuasi. Sebenarnya ini memperlihatkan bahwa relasi
gender yang timpang bukanlah sebuah konstruksi yang tidak bisa di
rubah. Memang dalam kenyatan sejarah laki-laki menempati posisi
supraordinat, sedangkan perempuan berada dalam posisi subordinat.
Konstruksi sosial budaya tentang pembagian peran laki-laki dan
perempuan, serta relasi antar keduanya, dapat berlangsung secara turunmenurun. Hal ini disebabkan adanya perspektif budaya yang membagi
kategori budaya laki-laki dan budaya perempuan. Perspektif budaya itu,
akan tumbuh subur dengan adanya dukungan sosialisasi peran yang
dilakukan

orang

tua/lingkungannya.

Anak

laki-laki

yang

diidentifikasikan sebagai pihak yang memiliki karakteristik kejantanan


akan diberikan mainan yang mendukung sifat kejantanannya seperti
mobil-mobilan, pistol, pedang dan lain-lain yang bernuansa maskulin.
Sebaliknya karena perempuan dipersepsikan sebagai makhluk lembut
dan cantik yang memiliki karakteristik kewanitaan, maka anak
perempuan diberikan mainan seperti boneka, alat-alat memasak dan
lain-lain yang bernuansa feminin.

97

Identitas dan karakteristik hasil konstruksi budaya semacam ini,


menyebabkan terbentuknya steorotip dan menyekat peran non kodrati
laki-laki dan perempuan. Pembagian peran yang kodrati didasarkan atas
ketentuan Allah maka tidak menimbulkan persoalan. Karena sesuai
dengan kondisi biologis masing-masing, seperti perempuan ditakdirkan
mengalami menstruasi, sehingga mempunyai kemampuan hamil,
melahirkan, dan menyusui. Sedangkan laki-laki memiliki sperma yang
dapat membuahi sel telur, sehingga perempuan bisa hamil. Peran
semacam ini, tidak dapat ditukar atau digantikan satu sama lain.
Sehingga laki-laki dan perempuan, tinggal menerima dan menjalani
kodrat tersebut.
Adapun peran selain yang kodrati, sebagaimana hasil konstruksi
sosial budaya masyarakat, dapat berubah atau diubah. Peran-peran non
kodrati itu, sering kemudian dipersepsikan sebagai kodrati yang
melekat pada laki-laki dan perempuan, seperti laki-laki berperan di
wilayah publik, sedangkan perempuan di wilayah domestik. Adanya
pembakuan peran non kodrati itu, kemudian menimbulkan pandangan
yang lebih mengutamakan derajat laki-laki, dibanding dengan
perempuan yang wilayah kerjanya di rumah dan tidak mendatangkan
prestise maupun prestasi. Dampak lebih lanjut adalah timbulnya
ketimpangan gender.
Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara
dalam masyarakat. Kita pada umumnya percaya bahwa laki-laki

98

berkuasa atas perempuan. Keyakinan ini juga terbawa sampai dalam


lingkup rumah tangga, isteri adalah sepenuhnya milik suami sehingga
selalu berada dalam kontrol suami. Jika isteri keliru menurut cara
pandang suami, maka mereka bisa berbuat apa saja agar sang isteri
segera kembali ke jalan yang benar termasuk di dalamnya melakukan
kekerasan.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kekuasaan suami dalam
perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural di mana terdapat normanorma di dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh
menguntungkan suami, bahkan pada sebagian masyarakat diakui
sebagai ideologi. Ideologi gender ini kemudin diyakini sebagai
ketentuan Tuhan atau Agama yang tidak dapat diubah.
Pada kenyataannya hasil konstruksi soal budaya ini menempatkan
laki-laki mempunyai kuasa lebih tinggi dari perempuan menyebabkan
munculnya
Ketidakadilan

diskriminasi
gender

gender

atau

termanifestasikan

ketidakadilan
dalam

brbagai

gender.
bentuk

ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, kekerasan,


stereotyping atau pelabelan negative, subordinasi, beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak.18
b. Pengaruh Role Model19
Anak laki-laki yang dibesarkan dilingkungan keluarga yang
ayahnya suka memukul atau berlaku kasar kepada ibunya berpotensi
18

Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 13.
19
Sri Suhandjati Sukri, op. Cit., hlm. 34-35.

99

untuk meniru hal tersebut dalam rumah tangga diamati oleh anak dan
terekam dalam jiwanya, yang suatu saat nanti dapat muncul jika ada
rangsangan dari luar. Rangsangan itu dapat berupa struktur sosial yang
bias gender ataupun sebab lain yang melekat dalam diri anak atau
lingkungannya.
Seorang anak yang hidup dalam struktur masyarakat patriarkhi
akan tumbuh menjadi pemilik kekuasaan dalam rumah tangga. Ialah
yang mengatur dan berwenang melakukan tindakan-tindakan untuk
menjaga superioritasnya. Hal ini akan bertambah kokoh jika didukung
oleh ideology patriarkhi yang menjadi alat legitimasi dalam melakukan
kekerasan terhadap perempuan.
Dari sini terlihat bahwa kekerasan itu tidak hanya berpengaruh
pada suatu generasi, tetapi juga dapat berlanjut pada generasi
berikutnya.
c. Pemahaman Agama yang Bias Gender
Pemahaman yang bias gender terhadap ayat-ayat Al-quran dan
hadits Nabi serta teks-teks keagamaan lainnya dapat mempengaruhi
terbentuknya kerangka

pikir dan perilaku

kekerasan terhadap

perempuan. Walaupun demikian untuk memastikan adanya pengaruh


itu diperlukan penelitian yang mendalam.
Terbentuknya perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor,
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman terhadap teks-teks
keagamaan secara tekstual menyebabkan pemahaman yang tidak sesuai

100

dengan ruh Islam yang membawa misi perdamaian dan rahmat bagi
seluruh makhluk Allah. Ketimpangan relasi gender yang menempatkan
laki-laki menjadi makhluk yang superior diantaranya berasal dari
pemahaman yang tekstual dan mengabaikan konsteksnya.
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Penafsiran semacam ini
mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan
suami melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik.20
Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya
bergantung pada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat
perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa suami. Salah
satu akibatnya isteri sering kali diperlakukan semena-mena sesuai
dengan kehendak atau mood suaminya.
d. Adanya kecenderungan

masyarakat

yang memandang persolan

kekerasan dalam rumah tangga sebagai persolan pribadi yang lumrah


terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini terjadi karena
masyarakat menyakini berbagai mitos dalam KDRT. Padahal mitosmitos tersebut sangat bertentangan dengan fakta yang ada.
Secara sederhana faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan
terhadap isteri dapat dirumuskan menjadi dua faktor: pertama faktor
eksternal, kedua faktor internal.
a. Faktor Eksternal
20

Farkha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasn Dalam Rumah Tangga (Jakarta: Lembaga
Kajian Agama Dan Gender, 1999), hlm.25-27.

101

Penyebab eksternal timbulanya tindak kekerasan terhadap isteri


berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami isteri dan diskriminasi
gender dikalangan masyarakat. Kekuasan merupakan kata serapan dari
kata potene bermakna saya dapat yang secara esensi berarti
menguasai, saya dapat melakukan sesuatu untuk mendapatkan
kekuasaan.
Kekuasaan dalam perkawinan diekspresikan dalam dua area,
kelompok. Pertama, dalam hal pengambilan keputusan dan kontrol atau
pengaruh. Kelompok kedua yang ada di belakang layar seperti
ketegangan konflik dan penganiayaan.
b. Faktor Internal
Faktor internal timbulnya kekerasan terhadap perempuan adalah
kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai perilaku tindakan
kekerasan. R. Langlai dan Levy mengatakan bahwa timbulnya
kekerasan suami terhadap isteri dikarenakan:
1) Sakit mental
2) Pecandu alkohol dan obat bius
3) Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan
4) Kurangnya komunikasi
5) Penyelewengan seks
6) Citra diri yang rendah
7) Frustasi
8) Perubahan situasi dan kondisi

102

9) Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah.21

B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat (pasal 6 UU No. 23 Th 2004). Bentuk-bentuk
kekerasan fisik diantaranya berupa pemukulan anggota badan, mengancam
dengan senjata tajam, dan menyakiti (menjambak rambut, menendang, dll)
2. Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang
menyebabkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya, serta rasa ketakutan
pada seseorang. Kekerasan psikologis memang tidak meninggalkan bekas
seperti kekerasan fisik tetapi kekerasan psikologis dapat meruntuhkan
harga diri, bahkan memicu dendam isteri pada suami.
Kekerasan psikologis diantaranya berupa kata-kata kotor dan
menyakitkan, marah-marah tidak jelas alasannya, pergi berhari-hari dari
rumah tanpa pamit, dan tidak mengacuhkan.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual sampai pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya atau
melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar.

21

Fathul Djannah, Kekerasan terhadap Istri, (Yogyakarta:LKIS, 2003), hlm. 14-15

103

Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang lain yaitu; dilecehkan


setelah melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan isteri dan tidak memenuhi kebutuhan isteri karena suami
punya isteri lain, serta perselingkuhan atau hubungan suami dengan
perempuan yang di luar nikah.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi
seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan
uang dan atau barang atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi;
atau menelantarkan orang yang berada dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan perkawinan, perawatan,
atau pemeliharaan pada orang tersebut (pasal 9 UU No 23 Th. 2004).
Dalam hal ini adalah kelalaian seorang suami untuk memberikan nafkah
lahir pada isterinya.
Sedangkan dalam sudut Islam, kejahatan yang terjadi di dalam
rumah tangga adalah kekerasan dalam rumah tangga. Suatu perbuatan
tidak dianggap kejahatan kecuali jika telah ditetapkan oleh syara bahwa
itu perbuatan tercela. Syara telah menetapkan perbuatan tercela sebagai
dosa (dzunub) yang harus dikenai sanksi. Jadi, dosa itu substansinya
adalah kejahatan.22

22

Abdurrahman Al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam (Bogor: Pustaak Thoriqul Izzah,
2002), hlm. 2.

104

Perbuatan yang dikenai sanksi adalah tindakan meninggalkan


kewajiban (fardhu), mengerjakan perbuatan yang haram, serta menentang
perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh
negara. Ukubat itu ada empat macam yaitu: hudud, jinayat, tazir, dan
mukhalafat. Hudud adalah sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah
ditetapkan kadarnya (dan menjadi) hak Allah. Jinayat disebutkan untuk
penganiayaan atau penyerangan badan, yang mewajibkan qishosh (balasan
setimpal). Penganiayaan itu mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan
anggota tubuh. Adapu tazir adalah sanksi bagi kemaksiatan yang di
dalamnya tidak ada had dan kafarat. Sedangkan mukhalafat adalah ukubat
yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah
penguasa, baik kholifah, atau selain khalifah seperti muawin, para wali,
ummal, dan lain-lain.23

C. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pada umumnya kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak
jangka pendek atau pun jangka panjang. Dampak jangka pendek merupakan
akibat spontan dari kekerasan yang mengenai fisik korban, seperti luka-luka
pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik. Adapun akibat
psikis misalnya marah, merasa bersalah, malu dan merasa terhina. Dampak
tersebut dapat menyebabkan terjadinya insomnia (kesulitan) ataupun lost
appetite (kehilangan nafsu makan). Dampak jangka pendek ini akan

23

Ibid, hlm. 14

105

berkelanjutan jika tidak mendapat bantuan penanganan serius untuk


meringankan penderitaannya. Adapun jangka panjang dapat berupa sikap atau
persepsi negatif terhadap laki-laki atau seks.
Kekerasan suami tehadap isterinya pada umumnya memiliki akibat
yang berkepanjangan dan sering terjadi secara berulang-ulang karena itu
berusaha memendam perasaannya untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga. Pada umumnya isteri tidak suka dengan status janda cerai, karena
mempunyai dampak sosial yang tidak menyenangkan. Karenanya, lebih
banyak yang tetap bertahan dalam ikatan perkawinan, walaupun hidup dalam
kekerasan.
Adanya pergolakan batin antara penderita dengan keinginan untuk
mempertahankan rumah tangga itu menyebabkan timbulnya perasaan rendah
diri dan tidak percaya diri, dan selalu menyalahkan diri sendiri. Lebih khusus
lagi, KDRT merupakan penyebab serius terjadinya berbagai macam gangguan
kesehatan reproduksi perempuan. Gangguan reproduksi perempuan bisa
dalam bentuk siklus haid yang tidak teratur, ataupun haid yang
berkepanjangan. Keguguran juga merupakan problem yang dialami isteri
karena stres psikologis maupun ada insiden fisik akibat KDRT.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga, pada dasarnya
tidak terbatas pada isteri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak
bisa mengalami penganiayaan langsung atau merasakan penderitaan akibat
menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya.

106

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang traumatis bagi


anak-anak. Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu
berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha
menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut
data yang terkumpul dari seluruh dunia ada anak-anak yang sudah besar yang
akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu
ibunya diperlakukan kejam.
D. Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-undang No. 23 Th. 2004 adalah undang-undang yang
mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Terbentuknya UU ini
dilatarbelakangi fakta dalam masyarakat, yakni meningkatnya tingkat
kekerasan, sementara system hukum di Indonesia belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Lahirnya UU
No. 23 Th. 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
(PKDRT) merupakan bukti konkrit sikap formal negara yang menyatakan
kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dari
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi.
Berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi,
pemerintah dirasa perlu melakukan upaya untuk penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga. Hal ini dijelaskan dalam pasal 1 ayat (2) yakni
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,

107

menindak para pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.

107

BAB IV
TINDAKAN KERAS TERHADAP ISTERI NUSYZ
DAN RELEVANSINYA DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga


1. Tinjauan atas Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kata kekerasan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat
(hal tertentu) keras, kegiatan kekerasan, paksaan, kekejangan. 1 Istilah
kekerasan dalam kamus besar bahasa Indonesia juga diartikan sebagai
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain.
Kata kekerasan merupakan padanan kata violence dalam bahasa
Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda. Violence
dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap
fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata
kekerasan

dalam

bahasa

Indonesia

umumnya

dipahami

hanya

menyangkut serangan secara fisik semata.2


Terlepas dari perbedaan pengertian etimologis, kekerasan dan
violence tersebut, saat ini kekerasan tidak hanya diartikan secara fisik,
1

WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),
hlm.489.
2
Mansour Faqih, Perkosaan dan Kekerasan Analisis Gender, dalam Eko Prasetyo dan
Suparman Marzuki (eds.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI, 1997),
hlm.7.

108

namun juga psikis. Sebagaimana yang saat ini dikenal tentang kekerasan
terhadap isteri, anak, pembantu atau antar anggota keluarga dalam rumah
tangga (selanjutnya disingkat KDRT) yakni, dapat berupa kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual serta penelantaran rumah tangga
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 UU. No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT.
Secara tegas, kekerasan dalam rumah tangga, diatur dalam pasal 5
UU. PKDRT yang menyatakan bahwa :
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara ;a)
kekerasan fisik; b) kekerasan psikis; c) kekerasan seksual, atau ; d)
penelantaran rumah tangga .3
Berdasarkan pasal tersebut, bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga

dibagi

menjadi

kekerasan

fisik

(yaitu

perbuatan

yang

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat), kekerasan psikis
(yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang), kekerasan seksual
(yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut, dan pemaksaan
hubungan seksual terhadap seseorang dalam rumah tangga dengan orang
lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu), atau penelantaran rumah
tangga (seperti orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di

UU.PKDRT, hlm.5

109

dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut).4
Sebenarnya

hal

prinsip

yang

menjadi

latar

belakang

diundangkannya UU. No. 23 Th. 2004 ini adalah adanya kesadaran akan
diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan baik dalam
ruang publik maupun dalam rumah tangga, serta adanya pelecehan
terhadap anak di bawah umur dengan menjadi korban pelecehan seksual
dan ekploitasi anak di bawah umur dan sebagainya. UU. Ini merupakan
ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak kekerasan dalam rumah
tangga, prosedur penanganan perkara, perlindungan terhadap korban dan
sanksi bagi para pelakunya.
UU. anti kekerasan dalam rumah tangga ini dilegislasikan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa setiap warga berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan suami.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapuskan.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan
perempuan dan anak-anak, harus mendapatkan perlindungan dari
Negara dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari segala

Ibid, Pasal 6-9 UU. PKDRT, hlm. 5-6

110

bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaaan, atau perlakuan


yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
4. Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga
banyak terjadi, sedangkan sistem hukum Indonesia belum menjamin
akan adanya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga.
2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam.
Konsep kehidupan keluarga dalam Islam menempatkan semua
anggota keluarga dalam porsi dan posisi yang sesuai dengan fitrah masingmasing. Suami sebagai kepala keluarga mempunyai hak yang lebih besar
daripada isteri sesuai dengan kewajibannya yang memang menempati
posisi paling banyak. Demikian juga seorang isteri mempunyai hak dan
kewajiban yang sama sesuai dengan fitrahnya sebagai perempuan. Seorang
anak juga mempunyai hak untuk disayang namun juga mempunyai
kewajiban untuk menghormati orang tua.
Seorang

pembantu

rumah

tangga

mempunyai

hak

untuk

mendapatkan upah yang layak, untuk mengerjakan pekerjaan sesuai


dengan kemampuannya juga wajib mengikuti aturan yang ditetapkan oleh
majikannnya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan
perundang-undangan yang berlaku. Juga berhak mendapat teguran apabila
lalai terhadap tugasnya atau menyebabkan suatu kecelakaan kepada
keluarga tersebut.

111

Proporsionalitas ini sebagaimana tergambar dari keumuman hadits


muttafaq alaih riwayat ibn Umar berikut ini :






Dari Ibn Umar ra. Dia berkata: saya mendengar Rasulullah saw.
Bersabda : setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggunganjawab tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggunganjawaban tentang rakyatnya,
seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai
tanggung jawab dalam keluarganya, seorang perempuan adalah penjaga
dalam rumah tangga suaminya dan akan dimintai tanggungjawab dalam
penjagaannya, dan seorang pembantu adalah penjaga terhadap harta
tuannya dan akan dimintai tanggungjawab dalam kepenjagaannya itu.
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai tenggung jawab dalam
kepemimpinannya. (HR. Bukhari-Muslim)5
Hadits tersebut di atas, dapat dipahami bahwa setiap anggota
keluarga mempunyai hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama
sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Tidak dibenarkan apabila
meminta perlakuan yang lebih melebihi hak dan kewajibannya tersebut.
Diantara hak seorang suami adalah mendapatkan penghormatan dan
ketaatan secara layak dari anggota keluarga tersebut berkenaan dengan
peran seorang kepala rumah tangga dan harus bertanggung jawab baik
moral, material dan spiritual dalam menegakkan ajaran Allah Swt. Oleh
karena itu kewajiban seorang suami meliputi hal-hal yang bersifat material
duniawi dan spiritual ukhrowi.
5

Abi Zakariya Muhyiddin Yahya al-Nawawi, Riyadus Shalihin. (Surabaya : Darul Ulum, t.t),
hlm. 158.

112

Kewajiban suami yang bersifat material diantaranya adalah


memberikan nafkah yang layak menurut ukuran kemampuannya kepada
anak, isteri dan anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Bukan
layak menurut ukuran masyarakat di mana ia tinggal. Nafkah tersebut
meliputi sandang papan dan pangan. Kewajiban mental spiritualnya adalah
memberikan bimbingan kepada isteri dan anak serta anggota keluarga
yang lain untuk selalu mentaati perintah Allah swt. dan rasul-Nya.
Termasuk kewajiban moral seorang suami adalah memberikan
teguran bahkan hukuman yang layak dan bersifat mendidik bagi anggota
keluarganya yang melanggar aturan Allah Swt. dan rasul-Nya. Ia
berkewajiban memukul isterinya yang nusyz dan anaknya yang
taarikussholah setelah anak tersebut berumur sepuluh tahun dan ia telah
melaksanakan kewajibannya mengajarkan sholat sejak anak tersebut
berumur tujuh tahun.
Seorang isteri berhak mendapatkan nafkah lahir dan bathin dari
suami dan berhak mendapat perlindungan diri dan kehormatan dari suami,
termasuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan suami
apabila ia masih membutuhkan. Sedang kewajibannya adalah mentaati
suami baik dengan kerelaan atau dengan keterpaksaan selama suaminya
tersebut masih berdiri dalam koridor keridlaan Allah swt. Dan seorang
isteri wajib menjadi asisten suami apabila suami sedang tidak ada di rumah
tempat tinggalnya.

113

3. Hukum Islam terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Letak urgensi kajian ini adalah generalisasi kata kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga terkesan dalam rumah tangga tersebut tidak boleh
terjadi kekerasan sama sekali walaupun kekerasan tersebut adalah bentuk
pelaksanaan kewajiban penanggung jawab keluarga tersebut (baca: suami)
dalam menjalankan kewajibannya demi untuk menjaga rel keluarga
tersebut dalam garis keridlaan Allah swt.
Disinilah dibutuhkan analisa yang mendalam tentang kekerasan
dalam rumah tangga, apakah semua jenis kekerasan harus dihapuskan
tanpa adanya garis tegas seorang suami boleh bersikap tegas dan menindak
dengan keras terhadap pelanggaran-pelanggaran syariy yang terjadi dalam
rumah tangga tersebut seuai dengan kewenangan atau kewajibannya.
Sementara hukum Islam disyariatkan bukan dengan hampa muatan,
melainkan penuh dengan hikmah-hikmah disyariatkannya suatu hukum.
Diantara hikmah diperbolehkannya seorang suami memberi pelajaran
kepada isterinya adalah agar supaya semata-mata si isteri tersebut selalu
berada dalam kendali suami dalam rangka taat kepada Allah swt. dan
rasul-Nya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari nusyz dan gejalagejala yang mengarah kepadanya.6
Hukum Islam dalam menyikapi masalah KDRT ini lebih
menitikberatkan kajiannya dalam masalah nusyz diantara suami isteri dan
masalah tarikussholah anak yang berumur 10 tahun setelah diajari sholat
6

Syekh ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri wa Falsafatuhu, (Kairo: Jamiah al-azhar, tt).
Jilid II, hlm.43.

114

oleh walinya sejak ia berumur tujuh tahun. Adapun tindakan keras dari
suami terhadap pembantu misalnya karena tindakan sembrono dari
pembantu tersebut belum didapatkan referensi untuk dianalisa secara
hukum Islam selama ia bukan merupakan pelanggaran kriminal yang
dalam penanganannya dipasrahkan kepada pihak berwenang.
Berkaitan dengan nusyz, al-Quran al-Nisa ayat 34 menyatakan :





Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyz,
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar. (Q.S. An-Nisa: 34)7
Terkait dengan ayat tersebut, Tafsir Jalalain menerangkan bahwa
para laki-laki adalah pemimpin yaitu yang menguasai para perempuan,
memberikan pelajaran dan melindunginya, karena apa yang telah
dilebihkan oleh Allah swt. kepada sebagian mereka atas sebagian yang
7

2004)

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI,

115

lain, seperti kelebihan dalam hal ilmu, akal dan perwalian, dan sebagainya,
dan harta yang mereka nafkahkan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa
perempuan-perempuan yang shalih adalah yang taat kepada suaminya,
menjaga diri dan kehormatannya ketika suaminya tidak ada, karena Allah
swt. telah menjaganya dengan cara mewasiatkannya kepada suaminya.
Adapun bagi perempuan-perempuan yang dikhawatirkan akan berbuat
nusyz yaitu maksiat kepada suaminya dengan membangkang perintahperintahnya, maka nasehatilah mereka agar mereka takut kepada Allah
Swt., dan pisahlah tempat tidur yakni pindahlah ke tempat tidur yang lain
jika mereka masih berbuat nusyz, dan pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukai jika dengan pisah tidur mereka belum kembali berbuat
baik. Jika mereka telah kembali melakukan apa yang suami perintahkan,
maka janganlah mencari cara untuk memukulnya untuk berbuat aniaya.8
Melengkapi penjelasan di atas, al-Jurjawi menegaskan hal-hal sebagai
berikut; kewajiban untuk memberikan pelajaran kepada isteri adalah
apabila ia mulai tidak taat dan menunjukkan gelaja nusyz kepada suami.
Maka suami wajib memberikan pelajaran, akan tetapi pemberian pelajaran
tersebut

dilaksanakan

dengan

urut-urutan,

pertama

suami

wajib

memberikan peringatan kepada isteri dengan lembut dan halus seperti


mengingatkannya untuk takut kepada Allah Swt, apabila si isteri sudah taat
kembali, maka cukup hanya sampai di situ. Apabila masih tetap
membangkang,

maka

tinggalkan

isteri

itu

sendirian,

Jalaluddin al-Sayuthi, Tafsir Jalalain. (Bandung : al-Maarif, t.t.), Jilid I. hlm. 86.

dengan

116

meninggalkannya di tempat tidur, tidak mengumpulinya, lebih-lebih ketika


syahwatnya memuncak. Apabila dia sudah taat, maka cukup sampai di situ
dan kumpulilah isteri tersebut seperti sediakala. Namun apabila tetap,
maka isteri tersebut boleh dipukul dengan catatan tidak terlalu keras dan
tidak membuat cedera.9
Lebih lanjut beliau menjelaskan apabila dengan dipukul si isteri
tersebut masih membangkang juga, maka hal tersebut dilaporkan kepada
pihak yang berwenang, dalam hal ini ke pengadilan agama untuk
menunjuk hakam atau juru damai diantara kedua belah pihak suami isteri
tersebut untuk merukunkan keduanya. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat
syiqaq. Firman Allah swt. surat al-Nisa ayat 35 sebagai berikut ;

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka


kirimlah seorang hakam [juru pendamai] dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (Q.S. An-Nisa:35)10
Menurut al-Jurjawi, demikian hukum Allah swt. yang telah
digariskan dalam masalah nusyz ini.11
Dengan memahami analisa kedua ulama di atas, dapat dipahami
bahwa pemukulan suami terhadap isteri yang nusyz adalah lebih berupa
kewajiban suami untuk mendidik isterinya agar selalu taat kepada Allah
9

Al-Jurjawi, Hikmatut tasyri . Hlm.43.


Depag RI. Terjemahan Al Quran, hlm 109.
11
Al Jurjawi, Hikmatuttasyri , hlm. 44
10

117

swt., bukan merupakan tindakan kekerasan yang harus dihapuskan. Karena


dengan demikian sunnatullah dalam kehidupan berumahtangga sebagai
suami isteri yang diibaratkan bahtera dimana suami sebagai nakhkodanya
dan si isteri sebagai naib-nya untuk membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah warahmah akan tercapai.
Beda halnya dengan kebebasan yang dipropagandakan oleh
kalangan non muslim dimana lebih bertujuan untuk menabrak sunnatullah
tersebut sehingga masyarakat yang dibentuk adalah mayarakat yang bebas
nilai dan berhaluan kebebasan yang sebebas-bebasnya, liberty.
Berkaitan dengan masalah pemukulan seorang bapak atau ayah
atau yang menjadi waliyus shabi karena seorang anak yang tidak mau
melaksanakan sholat padahal ia telah berumur sepuluh tahun dan
sebelumnya sejak berumur tujuh tahun telah diajari sholat oleh walinya,
maka hal ini dapat dianalisa melalui hadits Nabi sebagai berikut:





Dari Amr ibn syuaib dari bapaknya dari kakekknya beliau bersabda ;
Bersabda Rasulullah saw. Perintahkan anak-anak kalian untuk
mengerjakan sholat ketika sudah berumur tujuh tahun dan pukullah
mereka apabila meninggalkan sholat ketika sudah berumur sepuluh tahun.
Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (yang laki-laki dan perempuan).
HR. Abu Daud dengan sanad yang baik.12



12

Abi Zakariya Yahya al-Anshori, Riyadus shalihin..hlm. 158

118



Dari Abi Tsurayyah Sibrah Ibn Mabad al Juhani ra. Beliau bersabda,
Bersabda Rasulullah saw. : Ajarkanlah seorang anak bersholat ketika ia
berumur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan sholat
setelah berumur sepuluh tahun. HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi. Tirmidzi
berkata, Hadits ini adalah hadits hasan. Adapun redaksi Abu Daud
adalah: Perintahkanlah seorang anak dengan sholat ketika ia berumur
tujuh tahun.13
Berdasar kedua hadits di atas kewajiban mengajarkan sholat kepada
anak-anak kaum muslimin dibebankan kepada kedua orang tuanya dimulai
sejak anak tersebut berumur tujuh tahun dan dipantau dalam pelaksanaan
sholat tersebut sehingga apabila ia telah berumur sepuluh tahun, maka
apabila si anak tersebut lalai untuk mengerjakan sholat maka orang tuanya,
dalam hal ini bapaknya wajib memberikan pelajaran kepadanya dengan
memukul yang tidak keras dan tidak menimbulkan bekas, yang
dimaksudkan supaya ia lebih memperhatikan dalam melaksanakan sholat.
Kewajiban memukul ini dimaksudkan sebagai sarana pendidikan
dan tahdzir (menakut-nakuti) agar si anak itu apabila sampai masanya
nanti aqil baligh tidak menjadi orang yang tarikussholah. Dimana derajat
seorang yang meninggalkan sholat lebih hina dari anjing dalam pandangan
syariah. Jadi pada intinya perintah ini adalah untuk berhati-hati agar
sesuatu yang tidak dikehendaki (meninggalkan sholat) terjadi apabila telah
jatuh taklif (perintah mengerjakan syariat) kepada anak tersebut.

13

Ibid, hlm. 159

119

Kedua nash yang memerintahkan untuk memukul, baik pada kasus


isteri yang nusyz atau anak yang tarikussholah padahal ia masih berumur
sepuluh tahun adalah nash-nash yang sharih petunjuknya dan dapat
dikategorikan sebagai nash yang qatiy al-dilalah. Sehingga petunjuk
hukum nash tersebut tidak boleh diinterfensi ulang, melainkan harus
dilaksanakan sebagaimana petunjuknya. Karena dengan sendirinya ia
(nash) tersebut bukan merupakan lapangan aplikasi ijtihad.
Akan tetapi bentuk-bentuk pemukulan itu yang harus diijtihadkan.
Karena kata fadh ribu dalam kedua nash tadi adalah berupa kata umum,
dan oleh karenanya dibutuhkan penjelasan/tawil agar tidak disalahfahami
dalam pelaksanaannnya nanti.
Berkenaan dengan bentuk pemukulan dalam kasus nusyz ada
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Turmidzi ra. sebagai berikut :


: ......... :
.....
.
Dari Amr ibn al- Ahwas, ia mendengar Rasululullah saw., bersabda.
: apabila ia (isteri) tersebut nusyuz maka tinggalkanlah di tempat tidur
dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai, apabila ia sudah taat
kepada kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk aniaya
kepadanya. HR. Turmudzi.14
Dengan takhshis dari hadits ini maka jelaslah bahwa pukulan yang
diperbolehkan dalam kasus nusyz ini adalah pukulan yang tidak sampai
menyebabkan luka dan apalagi cidera. Lain lagi halnya dengan pukulan
14

Abi Zakariaya, Riyadusshalihin, hlm. 150.

120

yang harus dilaksanakan terhadap anak yang berumur sepuluh tahun yang
meninggalkan sholat, maka jelas-jelas hanya pukulan yang bersifat
mendidik dan menakut-nakuti saja, toh pada usia ini apabila ia belum
baligh ia belum dikenai taklif. Sehingga pada masa balighnya nanti ia
menjadi orang yang sangat perhatian terhadap sholat berkat kebiasaan
yang ditanamkan sejak ia baru tamyiz.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan lain yang mungkin terjadi dalam
sebuah keluarga adalah di luar lingkup analisa ini. Dan untuk itu
diperlukan adanya kajian mendalam terhadap UU. No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU. PKDRT)
setelah mengecualikan kedua bentuk kekerasan/pemukulan tadi. Hal ini
perlu ditegaskan kembali agar tidak terjadi kontra produktif antara UU.
No. 23 tersbut dengan pasal 29 ayat 2 Batang Tubuh UUD. 1945, dimana
setiap warga negara dijamin kebebasannya dalam menjalankan ajaran
agamanya. Pasal 29 ayat 2 UUD. 1945 menyatakan:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.15
Menurut hemat penulis, ketegasan seorang suami dalam menindak
isterinya yang nusyz dan anaknya yang tarikussholah adalah salah satu
dari bentuk kebebasan menjalankan ajaran agama yang dijamin oleh pasal
29 ayat 1 Batang Tubuh UUD. 1945.

15

Undang-Undang Dasar RI. UUD45 Yang Sudah Diamandemen, Surabaya : Apollo, t.t.,
hlm. 21.

121

4. Reinterpretasi Fiqh tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga


Salah satu ayat al-Quran yang sering dianggap tidak membela
kaum perempuan adalah ; ayat ke-34 surat an-Nisa, yang menyatakan
bahwa laki-laki adalah pemimpin dari perempuan, dan melegalkan
pemukulan suami ketika isteri berbuat nusyz. Ayat ini sering dijadikan
alasan yang mendukung budaya patriakhri, yaitu bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi perempuan baik dalam masyarakat secara umum maupun
dalam rumah tangga.
Dalam tafsir al-Mizn, dinyatakan bahwa kata rij l dan nis
dalam ayat tersebut tidak bersifat umum yaitu laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi laki-laki dan perempuan dalam hubungannnya dalam rumah
tangga, yaitu suami isteri. Karena dalam ayat tersebut juga dipaparkan
tentang perempuan-perempuan yang sholehah yang menjaga diri ketika
suaminya tidak ada dan seterusnya, serta tindakan laki-laki ketika
perempuan berbuat nusyz, maka laki-laki dan perempuan dalam konteks
ini adalah suami dan isteri dalam rumah tangganya.16
Senada dengan pendapat di atas, Asghar Ali Engineer juga
menyatakan bahwa konteks ayat tersebut dibatasi hanya dalam rumah
tangga. Menurutnya, secara normatif, memang al-Quran menempatkan
laki-laki dalam kedudukan yang lebih superior terhadap perempuan.
Namun, al-Quran tidak menganggap atau menyatakan bahwa struktur
sosial bersifat normatif. Sebuah struktur sosial tidak pasti dan memang
16

Sayyid Muhammad Husain at-TabathaI, Al-Mizan fi al-Tafsir, ( Lebanon : al-Alami, t.t.),


IV : 343-346.

122

selalu berubah, dan jika pada sebuah struktur sosial dimana perempuan
yang menghidupi keluarganya, atau menjadi teman kerja laki-laki, maka
perempuan pasti sejajar atau bahkan superior terhadap laki-laki dan
memainkan peranan yang dominan di dalam keluarganya sebagaimana
yang diperankan laki-laki.17
Adapun tentang diperbolehkannya pemukulan dalam ayat tersebut,
dapat dipahami berdasarkan peristiwa khusus yang menyebabkan turunnya
( asbabun nuzul ) ayat tersebut. Yaitu, ayat tersebut turun setelah adanya
laki-laki

yang

melukai

isterinya,

dan

kemudian

saudaranya

mengadukannya kepada Rasulullah saw., sehingga beliau memerintahkan


untuk melakukan qishas. Dalam riwayat Ibnu Murdawaih disebutkan
bahwa seorang sahabat anshar menempeleng isterinya sampai berbekas,
kemudian si isteri tersebut mengadukan kepada Rasulullah, beliau
bersabda; ia (suami) tidak boleh demikian. Kemudian turunlah ayat 34
surat al-Nisa ini.18
Berdasar asbab al-nuzul di atas, dapat dipahami bahwa ayat
tersebut dalam konteks rumah tangga, dan pemukulan diperbolehkan pada
saat itu untuk membatalkan keputusan Rasulullah saw. tentang qishas.
Namun demikian, pemukulan dalam hal ini hendaknya dimaknai untuk
memberikan pelajaran, bukan untuk menyakiti isteri.

17

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 237.
18
Abu Bakar al-Sayuthi, Lubabun Nuqul fi Asbab al Nuzul, Hamisy Tafsir Jalalain, (Bandung
: Al-Maarif, t.t), I : 92.

123

Berkaitan dengan pemukulan terhadap isteri, terdapat hadits Nabi


yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya diantara
khutbah Beliau pada haji wada, sebagai berikut :

: .....



.
Menceritakan kepada kami Abu Bakar..dst. sampai sabda Rasulullah
saw. : Takutlah kalian kepada Allah terhadap perempuan karena kamu
sekalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan dihalalkan
bagimu kehormatannya (menggaulinya) dengan kalimah Allah, dan
bagimu agar isteri-isterimu tidak melakukan jimak dengan laki-laki lain
yang tidak mau sukai di ranjangmu, maka pukullah isteri-isterimu itu
dengan pukulan yang tidak menyebabkan luka, dan isteri-istrmu berhak
atas rizki dan pakaian yang baik.19
Berdasarkan hadits di atas, dapat dimengerti bahwa pemukulan
diperbolehkan karena isteri berbuat zina yang keji. Dalam tafsir al-Mizan
juga dijelaskan, berkaitan dengan penjelasan ayat 19 surat al-Nisa tentang
larangan untuk menguasai yaitu menahan, mempersempit gerak langkah
dan mengekang. Larangan tersebut diberi pengecualian yaitu jika mereka
berbuat fahisyah mubayyanah. Kata fahisyah dalam al-Quran biasanya
digunakan untuk menyebut perbuatan zina, sementara mubayyanah dari
kata bayyana cenderung mempunyai arti pembuktian, sehingga perbuatan
keji yang dimaksud adalah perbuatan zina yang terbukti.20
Dengan melihat dlahir hadits ini, nusyz harus dipahami sebagai
suatu fenomena pembangkangan isteri terhadap suami secara lebih frontal
19

Abul Hasan Muslim Ibn al Hajjaj al Naisaburi, Shahih Muslim no.hadits 1218 ,( Kairo: Dar
al Hadits, 1994), Cet.1. Jilid IV, hlm. 432
20
Sayyid Mohammad Husain, Al-Mizan, hlm. 254-255

124

sehingga berani berhubungan dengan lawan jenis di ranjang suaminya.


Maka dengan demikian hubungan antara konteks pemukulan dengan
nusyz menurut pemahaman klasik perlu diinterpretasi kembali dan
dirumuskan kembali dalam kajian fiqh. Sehingga hukum Islam tidak kaku
dan lentur mengarahkan umatnya harmonis mengikuti gerak zaman.
Terdapat sedikit perbedaan persepsi antara nusyz klasik dan
komtemporer. Akan tetapi hakikatnya adalah sama, yaitu pembangkangan
isteri terhadap suami dalam hal-hal yang diperbolehkan atau dianjurkan
syara. Namun demikian keumuman ibarat dalam ayat tentang nusyz
merupakan jawaban atas permasalahan ini baik yang dahulu atau yang
sekarang. Karena sebagaimana diketahui ibarat-ibarat yang berlaku dalam
al-Quran adalah berdasar petunjuk keumumannya, bukan karena sebab
yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Quran tersebut. Al-Shobuni
dalam al-Tibyannya menyatakan bahwa ulama ushul berbeda pendapat
mengenai hal ini. Beliau menyatakan ;


.
Mayoritas ulama ushul memahami bahwa ibarat yang diambil dari nashnah al-Quran adalah dengan keumumam lafadznya, bukan dengan
kekhususan sebab turunnya ayat tersebut. Ini pendapat yang shahih.21
Walaupun tindak pemukulan dibenarkan dalam Islam, ketika isteri
berbuat nusyz namun pemukulan ini bukan berarti tindak kekerasan,
karena tujuan dari pemukulan ini bukanlah untuk menyakiti, melainkan

21

Moh. Ali al-Shobuni, Al-Tibyan fi ulum al-Quran, (Jakarta: Dinamika Berkat Utama,
1985), hlm. 29.

125

untuk memberi pelajaran. Jadi dengan demikian harus dijelaskan bedanya


dengan kekerasan yang menjadi bahasan dalam UU. KDRT. di atas.
Berbeda halnya dengan pemukulan yang sampai mengakibatkan
luka atau cedera, maka dapat dianggap sebagai kekerasan suami terhadap
isteri dan kepadanya dapat diaplikasikan hukuman yang diamanatkan oleh
UU. PKDRT. Karena, walaupun misalnya pemukulan tersebut adalah
tindakan suami karena isrtinya nusyz, akan tetapi karena telah melewati
batas yang diperbolehkan dalam Islam maka bisa dianggap sebagai sebuah
kekerasan.
Di samping ayat tentang nusyz ini, banyak terdapat ayat yang lain
memerintahkan untuk mempergauli isteri dengan makruf dan larangan
menyakiti isteri atau larangan untuk berbuat kemodlaratan terhadap isteri.
Term yang dimaksud dengan maruf adalah sesuatu yang diketahui
dalam masyarakat mengandung kebaikan, tidak ada yang tidak
mengetahuinya atau menyangkalnya. Seperti budi pekerti yang baik,
akhlakul karimah dalam bergaul dengan keluarga, dan dalam masyarakat.
Telah dijelaskan dalam al-Quran pula bahwa semua manusia (baik lakilaki maupun perempuan) merupakan kesatuan kemanusiaan yang berasal
dari asal yang satu. Mereka saling mebutuhkan dan membentuk
masyarakat. Masing-masing mempunyai kekhususan, seperti laki-laki
bersifat kuat dan tegas, sedangkan perempuan bersifat lembut dan penuh
kasih. Akan tetapi masing-masing saling membutuhkan.22

22

S.Mohammad Husain, al-Mizan, hlm 256.

126

Sedangkan anak-anak sebagai objek pendidikan yang paling muda


dalam sebuah rumah tangga harus diperlakukan dengan lembut sesuai
karakter

mereka

sebagai

anak-anak.

Banyak

hadits

Nabi

yang

menganjurkan hal demikian. Akan tetapi berbeda ketika anak-anak


tersebut akan lalai dalam mengerjakan sholat, maka perintah untuk
mengingatkan mereka dan mendidik mereka lebih keras dan lebih
ditegaskan ketimbang perintah yang lain. Hal ini mengingat pentingnya
sholat dalam kepribadian prikehidupan seorang muslim dimana sholat
tersebut adalah jaminan kebaikan dan kejelekannya kelak dihadapan Allah
swt.

B. Kepemimpinan dalam Keluarga


1. Kepemimpinan dalam Keluarga Pendekatan Berbagai Tafsir23
Para Ulama umumnya, baik fuqoha maupun mufassir berpendapat
bahwa suamilah yang bertindak menjadi pemimpin.24 Dalil yang mereka
kemukakaan adalah surat An-Nisa ayat 34. dalam ayat itu dinyatakan
secara eksplisit bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Lengkapnya
ayat itu berbunyi sebagai berikut:


23

Dicuplik dari desetasi penulis Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufasir Indonesia
Modern Hamka dan M. Hasbi ash-Shiddiqi), Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
24
Didin SyafruddinArgumen Supremasi atas Perempuan, Penafsiran Klasik QS. AnNisa34, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, No. 5, Vol. V tahun 1994, hlm. 410.

127




Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(Q.S. An-Nisa:34)
a. Perspektif Para Mufassir
Kalimat Arrijalu qowwamu ala nisa dalam surat An-nisa
ayat 34 oleh ath-Thabari ditafsirkan dengan kaum laki-laki berfungsi
mendidik dan membimbing isteri-isteri mereka dalam melaksanakan
kewajiban terhadap Allah dan para suami.25
Az-Zamakhsyari menafsirkan kalimat itu dengan kaum lakilaki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum
perempuan sebagimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya.
Dengan fungsi itu laki-laki dinamai qawwam.26
Bagi ar-Razi kalimat ini berarti kaum laki-laki berkuasa
untuk mendidik dan membimbing isteri-isteri mereka, seolah-olah Dia

25

Ath-Thabari, Jamial-Bayan an Tawil Al-Quran, juz V (Beirut: Dar al Fikr,1998), hlm.

57
26

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyafan Haqaiq at-Tanzil waUyun al-Aqawil fi Wujuh at-Tawil,


juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr,1977), hlm. 523.

128

yang Maha Tinggi menjadikan suami sebagai amir dan pelaksana


hukum yang menyangkut hak isteri.27
Menurut Ibn Katsir, suami adalah qayyim atas isteri dalam
arti dia adalah pemimpin, pembesar, penguasa, dan pendidiknya jika
sang isteri bengkok.28
Sementara Al-Alusi menafsirkan bahwa tugas kaum lakilaki adalah memimpin kaum perempuan sebagiman pemimpin
memimpin rakyatnya yaitu dengan perintah, larangan dan yang
semacamnya.29
Penafsiran yang sejalan dengan penafsiran para mufassir
klasik di atas dikemukakan oleh Muhammad Abduh. Tetapi beliau
menambahkan, bahwa tugas pemimpin hanyalah mengarahkan, bukan
memaksa sehingga yang dipimpin tetap bertindak berdasarkan
kehendak dan pilihannya sendiri, bukan dalam keadaan terpaksa. AlMaraghi juga mengikuti penafsiran Abduh dengan tambahan bahwa
tugas pemimpin adalah membimbing dan mengawasi pelaksanaan apa
yang telah dibimbingkannya itu.30
Sekalipun dengan ungkapan yang berbeda-beda, dapat
disimpulkan bahwa para mufassir di atas sepakat mengartikan kata
qawwam sebagai pemimpin. Dalam konteks kaliamat itu berarti itu
berarti suami adalah pemimpin atas isterinya. Pertanyaan selanjutnya,
27

Ar-razi, Mafatih al-Ghaib, X: hlm. 91


Ibn Katsir, Tafsir Al-quran karim al-Azhim, juz 1 (Dar Alam al-Kutub, 1997), hlm. 601
29
Al-Alusi, Ruhal Ma-ani, Ruh al-mani fiTafsi Al-Quran al-Azhim wa as-Sabi al-Matsan,
juz III (Beirut: Dar al-Fikr,1987), hlm. 23
30
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz V (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 27
28

129

kenapa suami yang di tunjuk oleh Allah sebagai pemimpin dalam


keluarga, bukan isterinya.
Dalam ayat itu sendiri sudah disebutkan oleh Allah swt,
alasannya yaitu karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lakilaki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka laki-laki
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Tetapi dalam ayat itu
tidak dijelaskan apa kelebihan laki-laki atas perempuan. Oleh sebab
itu para mufassir berbeda-beda dalam menjelaskannya.
Menurut Ath-Thabari, kelebihan laki-laki adalah karena dia
telah membayar mahar kepada isterinya.31 Bagi Az-Zamakhsyari,
mengutip pendapat yang pernah beredar sebelumnya, tanpa menyebut
sumbernya, kelebihan laki-laki adalah kelebihan akal, keteguhan hati,
kemauan keras, kekuatan fisik, kemampuan menulis pada umumnya,
naik kuda, memanah, menjadi Nabi , Ulama, kepala negara, imam
shalat, jihad, azan, khutbah, hudud dan qishhash, tambahan bagian dan
mendapatkan sisa daalma pembagian warisan, menjadi wali
pernikahan,

menjatuhkan

talak,

menjatuhkan

rujuk,

boleh

berpoligami, nama-nama anak dinisbahkan kepada mereka.32


Menurut Ar-razi, kelebihan laki-laki atau perempuan ada
yang bersifat ahkam syariyyah. Yang pertama mencakup dua hal,
yaitu ilmu dan kemampuan. Tidak diragukan lagi, bahwa kemampuan
intelektual laki-laki lebih baik dan ilmunya lebih banyak, dan
31
32

Ath-Thabari, Jamiul Bayan (Beirut: Dar al Fikr,1998), hlm. 57


Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf , juz 1 (Beirut : Dar al-Fikr,1977), hlm. 523

130

kemampuannya untuk bekerja juga lebih sempurna. Kemudian ArRazi menyebutkan beberapa profesi laki-laki yang dinilainya sebagai
kelebihan mereka atas perempuan seperti Nabi, ulama, imam besar
dan kecil dan lain-lain sebagainya.33
Menurut Ibn katsir, kelebihan kaum laki-laki adalah karena
hanya merekalah yang diangkat menjadi nabi, dan kepala negara.
Untuk yang terakhir Ibnu katsir mengutip hadits Abu Bakrah yang
menyatakan

bahwa

tidak

akan

sukses

suatu

kaum

apabila

menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.34


Menurut Al-Alusi, kelebihan laki-laki ada dua macam, yaitu
wahbi dan kedua kasbi. Yang pertama artinya kelebihan yang didapat
dengan sendirinya dari Allah, tanpa usaha, sedangkan yang kedua
berarti kelebihan yang diusahakan. Menurut riwayat yang ada, kata
Al-alusi, kaum perempuan memiliki kekurangan akal dan agama,
sedangkan kaum laki-laki sebaliknya.
Oleh sebab itu hanya laki-lakilah yang dapat menjadi Nabi
dan rasul menurut pendapat yang lebih populer dan menjadi kepala
negara serta imam shalat. Hanya laki-lakilah yang boleh mengerjakan
beberapa upacara keagamaan seperti azan, iqamah, khutbah jumat,
takbir, hari tasyriq menurut pendapat imam yang agung kita. Dan lakilaki pulalah yang memiliki hak-hak menjatuhkan talak dan
menikahkan menurut Syafiiyah dan menjadi saksi dalam persoalan33

Ar-razi Mafatih al-Ghaib, X: hlm. 92


Ibn Katsir, Tafsir Al-quran karim al-Azhim, juz 1(Riyadh: Dar Alam al-Kutub,1997),
hlm. 601
34

131

persoalan besar serta mendapatkan tambahan bagian dan sisa warisan


dan kelebihan-kelebihan lainnya. Berbeda dengan Az-Zamakhsyari,
al-alusi tidak memasukkan hal-hal yang bersifat fisik sebagai
kelebihan lakilaki atas perempuan sebagaimana Az-Zamakhsyari
memasukkan jenggot dan sorban.
Menurut

Muhammad

abduh,

kelebihan

laki-laki

atas

perempuan terbagi dua. Pertama fitri dan yang kedua kasbi. Dari segi
fitri, campuran atau adonan penciptanan laki-laki lebih kuat, lebih
sempurna dan lebih indah. Di antara bentuk kesempurnaann dan
keindahan penciptaan laki-laki adalah tumbuhnya jenggot dan kumis.
Oleh sebab itu, kata Abduh lebih lanjut, orang yang tidak memiliki
jenggot

dan

kumis

merasa

belum

sempurna,

sehingga

dia

mengangankannya ada obat yang dapat menumbuhkannya. Kekuatan


majaz diikuti oleh kekuatan akal, seperti ungkapan para dokter dan
ulama akal yang sehat terdapat tubuh yang sehat. seterusnya
kesempurnaan akal diikuti oleh kesempurnaan dalam bekerja mencari
nafkah, sehingga laki-laki lebih mampu mencari nafkah, mencipta dan
bertindak dalam berbagai hal. Hal inilah yang disebut oleh
Muhammad Abduh sebagai kelebihan kasbi.
Dengan kelebihan kasbi inilah laki-laki diberi kewajiban
untuk menanggung belanja kaum perempuan dan melindungi serta
memimpin mereka. Sekalipun demikian menurut Abduh kelebihan
laki-laki atau perempuan ibarat kelebihan kepala atas badan.

132

Bagaimanapun kelebihan sebagian tubuh dari sebagian yang lain


adalah demi kebaikan tubuh secara keseluruhan.35
Bagi al-Maraghi kelebihan laki-laki atas perempuan adalah
kelebihan penciptaan, di mana Allah memberikan kepada laki-laki
kekuatan yang tidak diberikan kepada perempuan, sebagaimana Allah
telah melebihkan laki-laki dalam kemampuan memberi nafkah atas
perempuan. Al-Maraghi tidak merinci lebih lanjut apa kelebihan
kekuatan yang di berikan kepada lakilaki.36
Pandangan lain dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer. Bagi
Asghar, keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional, bukan
keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki
bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah menjalankan tugas
domestik. Karena kesadaran sosial perempuan waktu itu masih
rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai sebuah
keunggulan.37
Pandangan yang berbeda juga dikemukakan oleh Amina
Wadud Muhsin. Menurut feminis muslim ini, keunggulan laki-laki
yang di jamin oleh Al-Quran hanyalah warisan. Laki-laki mendapat
dua bagian perempuan sebagaimana disebutkan dalam surta An-Nisa
ayat 7. apabila laki-laki dapat membuktikan keunggulannya yang di

35

Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, juz V (Beirut : Dar al-Fikr, 1973), hlm. 68-70
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, juz V (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 27
37
Asghar Ali Engineer, Hak Hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan
Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. 62
36

133

jamin Al-Quran yaitu warisan, dan menggunakannya untuk


mendukung perempuan, barulah laki-laki menjadi pemimpin.38

C. Upaya Penyelesaian Dalam Persoalan Nusyz

Al-Quran berbicara tentang hubungan suami-isteri, sebagaimana


hubungan layaknya mitra, bukan seperti antara majikan dan pembantu. Dalam
kehidupan rumah tangga, untuk mencapai tujuan keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah, seseorang harus memahami bagaimana dia berperan
dalam rumah tangga, pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai suamiisteri dalam menjalani kehidupan rumah tangga berdasarkan kebersamaan
yang saling menghormati.
Terhadap persoalan nusyz ini ada beberapa cara mensikapinnya
atau aturan hukumnya. Bila nusyz dari pihak suami, maka isteri bisa
mengambil dua langkah. Pertama, dia berusaha untuk bersikap sabar dan
kedua,

meminta

gugat

cerai

dengan

tebusan

atau

khuluk.

Jadi

penyelesaiannya lebih mengacu pada ketentuan hakim di pengadilan.


Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dinyatakan seorang isteri
mempunyai wewenang jika mengalami nusyz suami yaitu: pertama;
bersabar, jalan lainnya adalah mengajukan khulu dengan kesediaan
membayar ganti rugi kepada suaminya sehingga suaminya mau menjatuhkan
talak.39

38

Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Quran, Terjemahan Yaziar Radianti


(Bandung : Pustaka, 1994), 93-94.
39
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.

134

Suami yang berubah sikapnya terhadap isteri, menurut Quraish


Shihab juga disebut nusyz. Memang secara teks terdapat perbedaan antara
nusyz yang dilakukan oleh suami maupun oleh isteri dalam hal solusinya,
bahkan dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam
tidak menyebutkan secara terperinci hukum tentang nusyz seorang suami.
Hal inilah yang selama ini memberi kesan adanya ketimpangan dan
ketidakadilan gender dalam masalah nusyz. Di satu pihak ketika persoalan
nusyz muncul dari pihak isteri selalu saja direspon sebagai persoalan serius
dan harus segera ditindak. Sedangkan bila hal itu muncul dari pihak suami
maka dianggap sebagai hal wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan, dan
hendaknya isteri barsabar sekaligus berusaha untuk berdamai.
Dalam al-Quran surat an-Nisa Ayat 128 menawarkan solusi bagi
suami yang melakukan nusyz yaitu sebuah perdamaian yang dilakukan oleh
isteri kepada suaminya. Ayat ini, menurut Quraish Shihab, memberi contoh
isteri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada
pasangannya demi menghindari sebuah perceraian.40
Dalam al-Asas fi at-Tafsir, Said Hawa menjelaskan bahwa berdamai
itu lebih baik daripada berpisah, nusyz atau pun setiap jenis permusuhan
adalah salah satu dari kejahatan, sebaliknya berdamai adalah merupakan salah
satu dari kebaikan. Said mengutip Ayat

(perangai kikir).

Artinya jika kekikiran sudah menjadi tabiat dan sulit dielakkan, namun
keduanya masih tetap mencari solusi untuk mendapatkan kemaslahatan dan

40

Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 579.

135

kemanfaatan, kemudian dengan begitu Tuhan akan meningkatkan kebaikan


dan ketaqwaan. Dalam firman tersebut terdapat anjuran untuk menghindari
tabiat-tabiat yang jelek dan supaya mengikuti anjuran syariat seperti firman
Allah:

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyz dan sikap
tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa: 128)
Maksudnya adalah jika kamu membenci dan tidak mencintainya,
maka bersabarlah atas keadaan demikian. Hal ini didasarkan atas (untuk)
menjaga hak-hak dan menghindari berbuat durhaka, berpaling dari apa-apa
yang akan membawa kepada kehancuran dan permusuhan. Asbab an-Nuzul
dari Ayat ini adalah Said mengutip dalam Sunan Said bin Mansur dari
Uswah: Saudah adalah wanita yang sudah tua, maka Saudah meminta kepada
Rasul (sekalipun berat) untuk memberikan jatah harinya (gilirannya) kepada
Aisyah, karena dia tahu kecintaan Rasul kepada Aisyah, kemudian Rasul
menerimanya.41

41

1195.

Sa'id Hawa, al-Asas fi Tafsir, cet. I, (Beirut: Dar as-Salam, 1405 H/1989 M.), II: 1194-

136

Bila nusyz berasal dari pihak isteri, maka suami bisa mengambil
empat langkah penyelesaian. Pertama, menasehati setelah berintropeksi dan
menasehati diri sendiri. Kedua, pisah ranjang dan tidak saling tegur sapa.
Langkah kedua ini tidak boleh dijalankan lebih dari tiga hari atau maksimal
empat bulan kalau dianologikan dengan hukum illa. Ketiga, memukul. Para
ulama berbeda pendapat mengenai bentuk pemukulan ini. as-Sabuni dan
Wahbah az-Zuhailiy mengatakan tidak boleh memukul muka, perut dan
pukulan yang menetap pada satu bagian sehingga dapat menambah rasa sakit.
Imam Hanafi menetapkan, berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim,
untuk pukulan ini mengunkan tidak lebih dari sepuluh batang lidih.42
Di dalam Minhaj yang dikutip oleh al-Jamal (W.1204) menyebutkan
bila telah muncul tanda-tanda nusyz dari isteri, suami bisa menasehati. Bila
telah jelas-jelas yakin dia nusyz, maka suami bisa memisahi ranjang dan
memukul tanpa menyakitkan.43 Langkah keempat adalah mengadakan
perjanjian damai dengan juru damai. Perdamaian ini bukan lagi kategori
dalam nusyz, tetapi dalam syiqaq, yakni kebencian yang telah mewarnai
kedua belah pihak. Bagi pihak yang secara jelas membedakan nusyz dan
syiqaq.
Sebagai sebuah catatan yang harus selalu diperhatikan adalah bahwa
hak atau kewenangan suami dalam memperlakukan isteri saat nusyz seperti
yang dijelaskan dalam surat an-Nisa: 34, juga haknya untuk melakukan
pencegahan nafkah isteri dan juga hak untuk menjatuhkan talak, semua itu
42

Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355.


Sulaiman bin 'Umar Al-Ajily-Syafi'i al-Jamal, Al-Futuhat Al-Ilahiyat, (Beirut: Dar alKutub al-Alamiyah, 1416 H/1992 M.), hlm. 379.
43

137

diberikan kepada laki-laki bukan dengan tujuan sebagai pihak yang


berwenang menghukum, juga bukan dengan pertimbangan kekuasaan ada
pada dirinya sebagai pemimpin, tetapi hal itu diberikan kepadanya sebatas
sebagai metode edukatif sekaligus solusi dalam menyikapi persolan yang
timbul dalam rumah tangga sesuai dengan fungsinya sebagai pengayom,
pelindung dan pengatur untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqh.44
Penulis beranggapan bahwa ketimpangan menyangkut relasi suamiisteri dalam rumah tangga yang terjadi dalam kehidupan sosial kita adalah
karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kontruksi budaya tentang
anggapan wanita atau isteri merupakan hak sepenuhnya suami, dan isteri
berkewajiban merahasiakan persoalan keluarga kepada orang lain. Banyak
korban yang menderita di dalam rumah tangganya, isteri yang kehilangan
hak-haknya

sebagai

manusia

yang

seharusnya

diperlakukan

secara

manusiawi.
Ketika persoalan nusyz muncul, baik yang dari pihak isteri maupun
dari pihak suami sering kali menggiring mereka dalam situasi genting dan
lepas kontrol dalam bersikap terhadap pasangannya. Hal ini tentu saja lebih
rawan lagi bagi posisi perempuan, baik itu saat mereka yang nusyz atau
ketika ia berhadapan dengan suami yang nusyz. Dalam dua masa transisi
semacam ini kerap kali mereka harus menjadi korban yang sangat tidak
diuntungkan. Artinya, ketika mereka nusyz, maka posisi mereka sangat
44

Abdullah SaId bin Muhammad Ubbadi, Idlahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. III
(Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 62.

138

terancam dengan adanya hak-hak suami yang telah mendapatkan legalitas


hukum untuk menindak mereka, yang selama ini lebih dipahami oleh para
lelaki sebagai hak untuk menghukum. Begitu pula di saat yang nusyz pihak
suami, pihak isteripun yang kerap kali dijadikan alasan sebagai faktor
pemicunya dan sebagai pihak yang patut dipersalahkan, sehingga kerap kali
pihak isteri mendapatkan "getah" yang berupa tindak kekerasan.

D. Sanksi Pidana Terhadap Suami Yang Melampaui Hak-haknya


1. Sanksi menurut hukum positif
Menghadapi persoalan nusyz memang hendaknya hal tersebut
dapat disikapi secara proporsional, artinya sudah semestinya salah satu
diantara suami dan isteri mampu memahami kondisi psikologis pasangan
masing-masing yang sedang nusyz sekaligus melakukan koreksi terhadap
diri sendiri dan berani mengaku salah jika memang adanya demikian.
Dengan istilah lain mereka harus tetap mengupayakan rekonsiliasi dengan
mengedepankan keutuhan rumah tangga dan kepentingan mereka beserta
anak-anak. Namun jika persoalan nusyz tersebut tak kunjung usai dan
terasa semakin memuncak sehingga sudah mengarah pada tingkat syiqaq
atau percekcokan diantara suami-isteri secara timbal balik dan tidak
mungkin lagi untuk diselesaikan dengan jalan damai, maka upaya jalur
hukum yang lain seperti perceraian merupakan jalan yang dapat ditempuh
sebagai solusi akhir. Terlebih lagi ketika percekcokan itu mengakibatkan
timbulnya tindak kekerasan terhadap salah satu pasangan, khususnya isteri.

139

Maka jalur hukum sebagai upaya memberikan jaminan perlindungan


terhadap korban dan pemberian hukuman terhadap pelaku sudah
semestinya ditempuh.
Salah satu aspek hukum dalam upaya membantu korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga adalah perundang-undangan. Sampai saat
ini perundang-undangan yang dipergunakan atau menjadi rujukan penegak
hukum dalam mengenai kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan istilah yang biasa digunakan
dalam kedua Kitab Undang-undang tersebut menyangkut tindak kekerasan
adalah penganiayaan. Sedangkan istilah tindak kekerasan baru digunakan
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang baru saja disahkan oleh
pemerintah.
Kata "aniaya" berarti perbuatan bengis seperti perbuatan
penyiksaan

atau

penindasan;

menganiaya

artinya

memperlakukan

sewenang-wenang dengan mempersakiti, atau menyiksa, dan sebagainya.


Penganiayaan

artinya

perlakuan

yang

sewenang-wenang

dengan

penyiksaan, penindasan dan sebagainya terhadap teraniaya.45


Kasus-kasus yang berhubungan dengan kekerasan terhadap isteri
di dalam rumah tangga dimasukkan dalam jenis perkara penganiayaan
dengan tuntutan hukum penjara berdasarkan Pasal 351 Ayat (1) KUHP
yang berisi mengenai penganiayaan yang diancam dengan pidana penjara
45

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, cet. I
(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2001), hlm. 53.

140

paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi mengenai penganiayaan yang
mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku diancam pidana penjara paling
lama lima tahun dan satu kasus dengan junto Pasal 356 untuk
penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat dihukum berdasarkan Pasal
356 (penganiayaan dengan pemberatan pidana) karena penganiayaan itu
dilakukan terhadap isteri, suami, ayah, ibu dan anaknya. Perbuatan
penganiayaan dalam KUHP dibedakan atas:46
a. Penganiayaan ringan, apabila penganiayaan itu tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian, yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Hukuman ini dapat
bertambah sepertiga bagi pelaku yang menganiaya orang yang bekerja
padanya atau sebagai bawahanya (Pasal 352 KUHP)
b. Penganiayaan

dengan

rencana,

apabila

sebelum

perbuatannya

dilaksanakan telah direncanakan atau disiapkan lebih dahulu untuk


pelaksanaanya. Penganianyaan dengan rencana diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun, jika teraniaya menderita luka berat
pelakunya dipidana penjara paling lama tujuh tahun, jika teraniaya itu
mati maka pelakunya dipidana paling lama sembilan tahun (Pasal 353
KUHP)

46

Erina Pane dan Siti Zulaikha, Perlindungan., hlm. 30.

141

c. Penganiayaan berat, apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja


untuk melukai orang lain. Pelakunya diancam penjara paling lama
delapan tahun, jika teraniaya sampai mati maka pelakunya dipidana
penjara paling lama sepuluh tahun (Pasal 154 KUHP)
Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selain
melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa juga melindungi hakhak asasi orang yang menjadi korban tindak pidana (victim crime), serta
pihak lain yang dirugikan dalam kasus pidana. Hal ini diatur dalam
KUHAP Bab XIII tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian,
yaitu dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101.47
Penganiayaan ini juga dapat dijadikan alasan bagi isteri untuk
mengajukan gugatan perceraian berdasarkan Pasal 19 PP nomor 9 tahun
1975 dan dapat menyebabkan jatuhnya talak menurut sighat taklik talak
yang diucapkan suami saat akad dilangsungkan. Masalahnya, dalam
prakteknya perlindungan hukum yang ada ini tidak efektif karena berbagai
faktor. Salah satunya adalah karena kurang sensitifnya para penegak
hukum terhadap kepentingan dan hak-hak perempuan. Demikian pula sifat
masyarakat kita yang cenderung menyalahkan perempuan dalam banyak
hal

telah

menghambat

kaum

perempuan

untuk

memperkarakan

persoalannya secara hukum. Dengan kata lain jika kita berbicara pada
tingkat perlindungan kepada korban-korban kekerasan, dapat dikatakan

47

Ibid., hlm. 42.

142

keadilan masih jauh dari jangkauan kaum perempuan. Hal ini terjadi
karena masih adanya asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai patriarkhi baik
dalam substansi hukumnya sendiri (legal substance), struktur hukumnya
(legal structure) maupun dalam sikap masyarakat termasuk sikap kaum
perempuan sendiri.48
Setelah disahkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 pada tanggal 22 bulan
September tahun 2004 yang lalu, upaya penghapusan tindak kekerasan
dalam rumah tangga khususnya terhadap kaum perempuan kiranya telah
mendapatkan pijakan yuridis yang kokoh. Walaupun di dalam upaya
sosialisasi dan implementasinya masih belum maksimal, namun setidaknya
Indonesia sekarang telah memiliki perangkat hukum yang jelas dan secara
khusus mengatur tentang perlindungan korban kekerasan dalam rumah
tangga sekaligus ketentuan pidana bagi pelaku tindak kekerasan tersebut.
Dengan itu diharapkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
khususnya terhadap perempuan bagaimanapun bentuknya dan apa pun
alasan yang melatarbelakanginya dapat diproses secara hukum sehingga
rasa keadilan dapat diperoleh oleh pihak yang dirugikan.
Terdapat hal yang menarik ketika mencoba membawa persoalan
hukum nusyz dalam Islam ke dalam konteks hukum ke-Indonesiaan, hal
ini berkaitan dengan adanya kenyataan, pertama, bahwa mayoritas
penduduknya adalah beragama Islam. Kedua, hukum perdata keluarga
48

Atho Mundzar, Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press,
2000), hlm. 137.

143

yang dipakai juga hukum Islam yang juga di dalamnya memuat ketentuan
tentang nusyz. Ketiga, masih kuatnya dominasi laki-laki terhadap
perempuan dalam segala sektor karena kokohnya budaya patriakhi dalam
realitas sosialnya.
Maksud pengkorelasian beberapa fakta tersebut adalah untuk
mengambarkan bahwa dalam kenyaataan masyarakat kita persoalan nusyz
yang merupakan hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan rumah tangga,
dan akan sangat mungkin sekali menjadi pemicu terjadinya tindak
kekerasan terutama terhadap pihak perempuan oleh suami karena adanya
hak

dan

kewenangan

yang

dimilikinya

dalam

menyikapi

atau

menanggulangi sikap nusyznya isteri. Dan dalam persoalan ini, bagi


pihak isteri telah tersedia sebuah jalur hukum untuk membela diri dan hakhaknya di depan hukum. Sebagaimana telah diketahui bahwa hak atau
kewenangan suami terhadap isteri nusyz, seperti haknya untuk menjauhi
isteri, memukulnya, dan mencegah hak nafkahnya dalam ketentuan hukum
di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23
tahun 2004, semua itu merupakan sebagian dari tindak kekerasan terhadap
isteri yang dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana.
Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, bahwa kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga

144

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau


perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.49
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian lingkup rumah
tangga dalam Undang-Undang ini adalah sebagaimana yang dijelaskan di
dalamnya bahwa lingkup rumah tangga di sini meliputi:50
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang

mempunyai

hubungan

keluarga

dengan

orang

sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,


perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan.
Mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang masuk dalam kategori
dan klasifikasi Undang-undang ini sendiri dijelaskan bahwa, setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara:51
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis

49

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 1 Ayat (1).
50
Ibid., Pasal 2 Ayat (1) dan (2).
51
Ibid., Pasal 5.

145

c. Kekerasan seksual, atau


d. Penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Sedangkan mengenai kekerasan psikis yang dimaksud dalam huruf b
adalah perbuatan yang yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual
sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c meliputi:52
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
Dan yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga dalam
Undang-Undang

ini

adalah

bahwasanya

setiap

orang

dilarang

menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut


hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

52

Ibid., Pasal 6, 7 dan 8.

146

membatasi dan atau melarang untuk bekerja secara layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.53
Sedangkan ganjaran bagi pelaku tindak kekerasan dalam rumah
tangga hal itu diatur secara jelas dalam bab VIII tentang ketentuan pidana
dengan penjelasan yang terinci sebagai berikut;
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan korban mendapat
jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud Ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.

53

Ibid., Pasal 9 Ayat (1) dan (2)

147

5.000.000,00 (lima juta rupiah).54 Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana
disebut dalam Pasal 51 merupakan delik aduan.
Begitu pula setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).55 Dan jenis tindak pidana ini sebagaimana disebut dalam Pasal 52
merupakan delik aduan.
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta).56 Dan jenis tindak pidana ini
sebagaimana disebut dalam Pasal 53 merupakan delik aduan. Begitu pula
setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
54

Ibid., Pasal 44 Ayat (1), (2), (3) dan (4).


Ibid., Pasal 45 Ayat (1) dan (2).
56
Ibid., Pasal 46.
55

148

Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).57
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan
Pasal 47 di atas mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus
atau (satu) tahun berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.
25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00).58
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap
orang yang:59
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat
(2).
Selain pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini hakim
dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa:60

57

Ibid., Pasal 47.


Ibid., Pasal 48.
59
Ibid., Pasal 49.
60
Ibid., Pasal 50.
58

149

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku


dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hakhak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan
lembaga tertentu.
2. Sanksi Menurut Hukum Islam
Suatu perbuatan tidak dianggap sebagai kejahatan kecuali jika
ditetapkan oleh syara bahwa perbuatan itu tercela.61 Ketika syara telah
menetapkan hal tersebut tercela maka sudah pasti perbuatan itu disebut
kejahatan, tanpa memandang lagi tingkat tercelanya, dan kejahatan ini akan
dijatuhi sanksi.
Kejahatan juga bukanlah suatu yang fitri pada diri manusia. Kejahatan
bukan pula "profesi" yang diusahakan oleh manusia. Juga bukan penyakit
yang menimpa manusia. Kejahatan adalah tindakan melanggar aturan, baik
aturan dengan Rabbnya, dirinya, dan dengan manusia lainnya. Sehingga
dalam Islam Homoseksual atau masokhisme adalah kejahatan, bukan penyakit
mental apalagi pembawaan manusia yang tidak biasa ditolak.
Lebih rinci, berdasarkan Syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan
yang bisa menimpa wanita:

a. Qadzaf yakni menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan


bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80
kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: "Dan orang-orang
yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan

61

Rukmini. Op. Cit,.

150

mereka tidak mendatangkan empat saksi maka deralah 80 kali" (Q.S

An-Nur: 4-5)
b. Membunuh: Hal ini bisa menimpa wanita atau laki-laki. Dalam hal ini
sanksi bagi pelakunya adalah qishas. Berdasarkan firman Allah SWT:
"Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh" (QS Al baqarah: 179)
c. Mendatangi wanita pada duburnya hukumnya adalah haram. Dari Ibnu
Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak akan melihat
seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki dan mendatangi isterinya
pada duburnya" Sanksi hukum adalah Ta'zir dengan bentuk hukuman yang
diserahkan pada pengadilan.
d. Bentuk kekerasan lain yang menimpa wanita (termasuk juga laki-laki)
adalah

penyerangan

terhadap

anggota

tubuh.

Siapapun

yang

melakukannya walaupun oleh suaminya sendiri adalah kewajiban


membayar diyat/tebusan (100 ekor unta) jika terbunuh. Jika organ tubuh
yang disakiti maka diyatnya adalah: untuk 1 biji mata diyat (50 ekor
unta), setiap jari kaki dan tangan, 10 ekor unta; luka sampai selaput batok
kepala, 1/3 diyat; luka dalam, 1/3 diyat; luka sampai ke tulang dan
mematahkannya, diyat 15 ekor unta; setiap gigi, 5 ekor unta; luka sampai
ke tulang hingga kelihatan, diyat 5 ekor unta.
e. Perbuatan-Perbuatan Cabul seperti berusaha melakukan zina dengan
perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi
penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran.

151

Dari penjelasan di atas, tindakan KDRT sebagai kejahatan adalah


apabila masuk dalam kategori-kategori di atas. Memukul; isteri/anak sampai
melukai berarti masuk dalam point 4 sampai terbunuh berarti dikenakan
sanksi qishas.
Islam menjatuhkan sanksi atau menetapkan berbagai aturan untuk
laki-laki dan perempuan bukan melihat dari aspek jenis kelamin, tidak
mengukur jahat dan tidaknya dari korban atau pelakunya, apakah laki-laki
atau perempuan. Sehingga tidak akan ada pembelaan terhadap pelacuran,
profesi wanita yang sarat pornografi dan pornoaksi karena mereka adalah
wanita, tapi ketika berbicara masalah poligami, hak menjadi wali pernikahan,
hak memberi kesaksian dengan syarat yang berat, pembatasan aktivitas di luar
rumah, nusyz, maka dianggap wanita telah menjadi korbannya.
Dalam Islam yang diprioritaskan adalah tidak memukul isteri,
kalaupun harus memukul maka tidak boleh memukul pada satu bagian dari
badannya dan hendaklah dia menghindari muka, karena muka adalah tanda
kehormatan dan kecantikan. Pukulan juga tidak boleh lebih dari 10 pukulan.
Ada yang berpendapat pukulan harus menggunakan sapu tangan atau tangan
dan tidak boleh memukul dengan cambuk atau tongkat. Secara umum,
pukulan yang ringan adalah lebih baik dalam hal ini.62

62

Shiddiq Khan, As-Sayyid M. Al-Qur'an dan As-Sunnah bicara Wanita, hlm. 71

152

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kosep nusyz dalam perspektif hukum perkawinan Islam ditegaskan
dalam Q.S An-Nisa ayat 34 dan 128 serta beberapa hadits. Konsep nusyz
tidak hanya berlaku bagi pihak isteri semata akan tetapi juga bagi pihak
suami, dengan solusi apabila salah satu pihak suami maupun isteri telah
nusyz disarankan untuk melakukan perdamaian atau ishlah. Walaupun
ada beberapa ahli fikih yang tidak memberlakukan istilah nusyz kepada
suami artinya hanya mengakui nusyz dari pihak isteri saja sedangkan
pihak suami tidak. Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit juga tidak
memberlakukan istilah nusyz pada suami.
2. Konsep kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga menurut
Undang-undang No. 23 tahun 2004 adalah segala bentuk tindakan
kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan
mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara
fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan,
paksaan, baik yang terjadi di area publik atau domestik, yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.

153

3. Kekerasan terhadap isteri di dalam rumah tangga dimasukkan dalam jenis


perkara penganiayaan dengan tuntutan hukum penjara berdasarkan Pasal
351 Ayat (1) KUHP yang berisi mengenai penganiayaan yang diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah. Dan Pasal 351 Ayat (2) yang berisi
mengenai penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat, dan pelaku
diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan satu kasus dengan
junto Pasal 356 untuk penganiayaan terhadap isteri pelakunya dapat
dihukum berdasarkan Pasal 356 (penganiayaan dengan pemberatan
pidana) karena penganiayaan itu dilakukan terhadap isteri, suami, ayah,
ibu dan anaknya. Hanya saja dalam Undang-undang sudah jelas mengenai
ketentuan pidananya, sedangkan dalam hukum Islam tidak didapatkan
ketentuan pidana bagi mereka yang melakukan kekerasan terhadap isteri
dalam rumah tangga, akan tetapi kembali pada tujuan perkawinan yaitu
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Dari sini jelaslah
bahwa kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga menurut UU PKDRT
dan hukum Islam tidak diperbolehkan.

B. Saran-Saran
1. Siapa pun yang akan melangsungkan pernikahan hendaknya terlebih dahulu
memahami makna berkeluarga. Memahami konsepsi Islam yang mengatur
hak dan kewajiban suami isteri. Saling pengertian dan bersabar dalam

154

menghadapi keburukan akhlak pasangannya. Menjadikan Al-Quran dan


As-Sunnah sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan.
2. Negara yang menerapkan secara apa yang telah dituntunkan dalam Quran
dan Sunnah secara utuh. Sebab, jika ada individu atau masyarakat yang
bertakwa dan kontrol individu atau masyarakat, tetapi tidak ada negara
yang menerapkan hukum Islam, mustahil hukum Islam tersebut bisa
diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh Muhammad dan Rasyid Ridha, Tafsr al-Man r, Beirut: Dar al-Makrifah,
1975 M./1393 H.
Alusi, Shihab ad-Din mahmud Al-, Ruh al- Maan, 15 Jilid, Beirut : Dar al-Fikr,
t.t.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthaf, Tafsi al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Abdurrahman, Muhammad, bin, Rahmat al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah,
Surabaya: al-Hidayah, t.t.
Rahman, Asmuni, Qaidah-qaidah Usul Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Balawi, Abdurrahman, Buhyah al- Mustarsyidin, Bandung: Al- Maruf, t.t.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Perpustakaan
Fakultas Hukum UII, 1995.
Bisri, Cik Hasan (Penyuting), Kompilasi Hukum Islam Dan Peredilan Agama
Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Dimasqi, Abi Al-Fida Al-Hafidz Ibn Kasir Ad-, Tafsir Al-Quran Al- Adzim, 4
Jilid, Beirut: An-Nur al-Ilmiah, t.t.
Djannah, Fathul, Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS, 2003
Darnela Lindra, Studi Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Nafkah Isteri
Nusyuz, Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga,
2000.
Djannah, Fathul dkk., Kekerasan Terhadap Isteri, cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Elmina Marta, Aroma, Perempuan Kkerasan Dan Hukum, cet. I, Yogyakarta: UII
Press, 2003.
Engineer, Asghar Ali, Matinya Perempuan; Menyingkap Megaskandal Doktrin
dan Laki-laki, alih bahasa Ahmad Affandi, cet. I, Yogyakarta: ERCiSod,
2003.
Fakih, Mansur, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
Hasyim,Syafiq, Menakar Harga Perempuan. Bandung: Mizan, 1999

Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam Jakarta: Lembaga


Kajian Agama dan Gender, 1999
Mudzhar, Atho, Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses pemberdayaan dan
Kesempatan, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001.
Fahruddin ar-Razi, Tafsir Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, Beirut: Dar alFikr 1995 M./1415 H.
Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Quran, terjemahan Yaziar Radianti,
Bandung : Pustaka, 1994
Khawa, Said al-, al-Asas fi Tafsir, cet. I, Beirut: Dar as-Salam, 1405 H.
Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufasir Indonesia Modern ( Hamka dan M.
Hasbi ash-Shiddiqi), Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004
Ibn Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Hafizh Imad ad-Din Abu al-Fad,Ismail,
Tafsir Al-Quran al-Azhim, Riyadh :Dar Alam al-Kutub, 1997
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan
Kontemporer, ce. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Ismail Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
cet. I, Yogyakarta: LKiS, 2003.
Jamal, Sulaiman bin Umar al- Ajily as-Syafii AL-, al- Futuhat al-ilahiyat, Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1416 H./1992 M.
Jassas, Abi Bakr Ahmad Ibn Ali Razi al-, Ahkam Al-Quran, 3 Jilid, Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, 1993 M/1415 H.
Qurtubi Al-, Jami al- Ahkam al- Quran, 10 Jilid, Mesir : Dar al Kitab al-Arab,
1967.
Rofik, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet. III, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998.
Rusdy, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, alih bahasa cet. I, Jakarta: Pustaka Amani,
1995.
Sabiq, as-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, al-Qahirah: Fath al-Ilmi al-Arabi, 1995
M./1410 H., 3 Jilid.
Saldani, Saleh bin- Ganim as-, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi al-Qadrani, cet. III,
Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, cet. XII, Bandung: Mizan, 2001.


Syahir, Muh. Yusuf Asy-, Tafsir al- Bahr al-muhit, 8 Jilid, Beirut: Dar al-Kutub
al-Alamiyah, 1993 M/1413 H.
Samil, Jamil Kekerasan Dan Kapitalisme. Jakarta: Pustaka Belajar, 1993
Sukri, Sri Suhandjati, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta:
PT. Gema Media Dan Lembaga Kajian Perempuan dan Agama LKPA,
2004
Schrijvers, Joke. Kekerasan "Pembangunan": Pilihan untuk Kaum Intelektual.
Yogyakarta: Kalyanamitra, 2000
Tabari, at-, Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M.
Tatapangarsa, Humaidi, Hak dan Kewajiban Suami-Isteri Menurut Hukum Islam,
Jakarta : Kalam Mulla, 1993.
Undang-Undang, Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bandung: Citra Umbara, 2004.
Undang-Undang Nomor I Tahun 1964 Tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, cet. VII, Jakarta: PT. Renika Cipta, 2000.
Zamakhsari Az-, Al-Kasyaf an- Haqaiq at-tanzil wauyun al- Aqawil, Taheran:
Istisyarat Aftab, t.t.
Syarbini, Muhammad Katib As-, Mughni al-Muhtaj, Kairo: Maktabah alIstiqamah, 1995, 4 Jilid.

Anda mungkin juga menyukai