Anda di halaman 1dari 2

PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA

LEMBAGA BAHTSUL MASA’IL


JAWA TENGAH
Sekretariat : Jl. Dr. Cipto No. 180 Semarang 50125 Telp/Fax (024)8416076
Email : lbmnu_jateng@yahoo.co.id

MATERI BAHTSUL MASAIL QONUNIYYAH


Senin Pon, 2 Sya’ban 1440H. / 8 April 2019M.
Di Pon. Pes. Al Hikmah 2 Benda, Sirampog, Brebes
1. CCTV Sebagai Alat Bukti Hukum
Rumusan Masalah
Seiring dengan perkembangan teknologi, Polri dalam hal ini Dirlantas berencana menerapkan
peraturan lalu lintas dengan memanfaatkan kamera CCTV (ClosedCircuitTelevision) atau kamera
pemantau dan bukan polisi di lapangan. Penerapan tilang terhadap pengendara jalan raya yang melanggar
lalu lintas dengan mengacu dari alat bukti closedcircuittelevision (CCTV) di kota-kota besar mulai ramai
diperbincangkan.

Menurut Pihak Polri, barang bukti yang didapat dari perangkat elektronik sah dijadikan sebagai dasar
tilang pelanggaran lalu lintas. Kamera pemantau tersebut dapat difungsikan petugas kepolisian untuk
menindak pelanggaran (tilang) secara elektronik terhadap pengendara yang melanggar aturan lalu lintas.
Tidak hanya itu Polri berencana memasang kamera lain untuk upaya represif yustisi seperti tilang dan non
yustisi berupa imbauan atau teguran secara tertulis. Kamera pemantau yang dapat digunakan untuk tilang
elektronik dengan cara mengambil gambar langsung plat nomor kendaraan yang melanggar. Selanjutnya,
petugas kepolisian mendatangi pemilik kendaraan yang melanggar untuk diambil tindakan represif atau
tilang.
Ada dua regulasi yang menjadi pondasi tilang CCTV. Pertama yaitu Undang-Undang (UU) Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 272 isinya mengatur:
(1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat
digunakan peralatan elektronik.
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai
alat bukti di pengadilan.
Kedua, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 28
menetapkan;
(1) Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang didasarkan atas hasil rekaman
peralatan elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c, Petugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
dapat menerbitkan Surat Tilang.
(2) Surat Tilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan bukti rekaman alat
penegakan hukum elektronik.
(3)Surat Tilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pelanggar sebagai
pemberitahuan dan panggilan untuk hadir dalam sidang pengadilan.
(4) Dalam hal pelanggar tidak dapat memenuhi panggilan untuk hadir dalam sidang pengadilan,
pelanggar dapat menitipkan uang denda melalui bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penindakan pelanggaran berdasarkan alat bukti rekaman elektronik
diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pokok-pokok pembahasan :
1. Bagaimana hukum penggunaan peralatan elektronik seperti CCTV atau kamera pemantau sebagai alat
bukti pelanggaran lalu lintas tersebut menurut perspektif fiqh, baik legalitas, kedudukan atau
kekuatan hukum lainnya?.
2. Bagaimana implikasi penerapan penggunaan peralatan elektronik tersebut sebagai alat bukti
pelanggaran lalu lintas?
PENGURUS WILAYAH NAHDLATUL ULAMA
LEMBAGA BAHTSUL MASA’IL
JAWA TENGAH
Sekretariat : Jl. Dr. Cipto No. 180 Semarang 50125 Telp/Fax (024)8416076
Email : lbmnu_jateng@yahoo.co.id

2. UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

Deskripsi masalah
Berkembangnya tekonologi telah banyak sekali memberi manfaat bagi kita. Melalui media elektronik
atau media sosial kita bisa memperoleh berita dan informasi secara jauh lebih cepat dan detail.Kita bisa
memesan barang apa saja yang kita kehendaki tanpa harus keluar rumah.Bila kita hendak bepergian
kemana saja,kita bisa langsung memanggil sarana transportasi dengan harga yang relatif lebih murah.Dan
yang tidak kalah penting adalah terjaganya silaturrahmi antar teman dan sanak saudara.
Akan tetapi seiring berkembangnya teknologi tersebut muncul fenomenadan fakta-fakta negatif,
dintaranya muatan-muatan negatif, baik berupa kekerasan, cabul maupun ujaran kebencian yang
dikonsumsi oleh anak di bawah umur.Akibatnya seperti yang terjadi baru-baru, anak perempuan di bawah
umur yang hamil karena melakukan pergaulan bebas dan demi untuk mendapatkan kuota data seorang
bocah melakukan pencurian, serta contoh-contoh kasus lainnya.
Peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang nomor 23 tahun 2002
tentangPerlindungan Anak, mendefinisikan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Sedangkan UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan “Anak
yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum
berumur 18 (delapan belas tahun) yang diduga melakukan tindak pidana”. Pasal 81 ayat (2) UU ini
menyatakan, “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari
maksimum anaman pidana penjara bagi orang dewasa” Ayat (6) menyatakan, “Jika tindak pidana yang
dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Terhadap Anak yang belum berumur 12 tahun UU ini mengamantkan penyelesaian hukum melalui
Diversi, yaitu “Pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar
peradilan pidana”. Pasal 7 menjelaskan bahwa “Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orangtua/Walinya, korban dan tau orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif”.
Di sisi lain sebagian masyarakat melihat kesan bahwa sanksi hukum yang diterapkan atas anak pelaku
kejahatan masih tidak setimpal dengan apa yang telah dilakukannya. Menurut mereka adalah ironis –
misalnya-- jika seorang anak yang tega membunuh ibu kandungnya, kemudian tidak dijatuhi sanksi
hukuman yang bisa menjadikannya jera.

Pertanyaan:
a) Berapakah batas umur (dalam syari' at) yang menjadikan seseorang bisa melakukan perbuatan-
perbuatan hukum dengan segala hak dan kewajibannya??
b) Berapakah batas umur (dalam syari' at) yang menjadikan seseorang bisa dijatuhi sanksi hukuman
pidana?
c) Bagaimanakah pandangan syari'at atas fenomena yang terkesan membiarkan anak pelaku kriminal
atau kejahatan lainnya tanpa dikenai sanksi hukuman yang bisa memberikan efek jera?
d) Bagaimanakah peran sosial masyarakat dalam pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh
anak?

(LBM PCNU DEMAK)

Anda mungkin juga menyukai