Anda di halaman 1dari 13

RINGKASAN BAB JINAYAH DALAM KITAB BIDAYATUL MUJTAHID WA

NIHAYATUL MUQTASHID

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Komprehensif Universitas :


Al Husni, S.Ag, M.HI
Ketua Penguji

Oleh:
TAUFIQ HIDAYATUL MUTTAQIN
SHP.162204

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2020
KITAB JINAYAH

Jinayah atau tindak pidana yang memiliki hukuman (had) di dalam syariat islam
terbagi menjadi 5 (lima), yakni1:
1. Jinayah pada badan, nyawa, dan anggota tubuh, di sebut sebagai pembunuhan dan
pelukaan.
2. jinayah pada kemaluan d sebut sebegai zina dan pelacuran
3. Jinayah pada harta disebut sebagai pemberontakan apabila di lakukan dengan jalan
peperangan jika di lakukan tanpa takwil, jika di lakukan dengan takwil disebut perang.
Ada pula bentuk perampasan harta yang di lakukan dengan memanfaatkan penjaga di
sebut sebagai pencurian, adapula perampasan yang dilakukan dengan memanfaatkan
kekuasaan di sebut dengan “ghasab”.
4. jinayah pada kehormatan disebut sebagai tuduhan (qadzab)
5. jinayah berupa pelanggaran dengan membolehkan apa-apa yang di haramkan oleh syariat
berupa makanan dan minuman. Berkenaan dengan hal ini, di dalam syariat hanya da
hukuman had terhadap minuman keras saja. Ini adalah had yang di sepakati oleh
Rasullulah SAW.
Pembahasan bab Jinayah ini akan di mulai dengan membahas Qishash terhadap
nyawa.
A. Qishash Terhadap Nyawa.
Pembahasan dalam sub-judul ini terbagi menjadi dua, yakni pertama, pembasan mengenai
hal hal yang mewajibkan qishash, dan Kedua, penggantinya jika ada pengganti. Pembahasan
mengenai hal-hal yang mewajibkan qishash merujuk pada pembahasan mengenai sifat
pembunuhan, pelaku pembunuhan, dan korban pembunuhan. Namun terlebih dahulu kita
ketahui dalil tentang Qishash yakni QS Al-Baqarah : 178 :
          
           
           
     
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara

1
Tulisan ini merupakan saduran dari Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid ke-2
karya Ibnu Rusyd.

1
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”2.
Setelah mengetahui dalil tentang di syariatkanya qishash, kemudian akan di
jelaskan mengenai Syarat pembunuhan.
1. Syarat Pelaku Pembunuhan
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid ke-2 karya
Ibnu Rusyd, di tuliskan bahwa para ulama bersepakat bahwa para pelaku harus berakal,
akil baligh, bertindak bebas (tidak di paksa) saat membunuh, dan dilakukan secara
langsung tanpa berkeja sama dengan orang lain.
Para ulama berikhtilaf mengenai orang yang memaksa orang lain (mukrih)
untuk membunuh, dan mengeani pelaku pembunuhan yang di paksa (mukrah). Atau
otak pembunuhan dan orang yang melakukan pembunhan langsung.
Ulama yang beriktilaf dalam hal ini adalah, Imam Malik, Imam Ay-Syafi’i, Ats-
Tsauri, Ahmad, dan abu Tsaur yang berpendapat : Hukuman mati di jatuhkan kepada
pelaku langsung bukan pada pelaku pembunuhan, namun otak pembunuhan tetap di
jatuhi hukuman. Dan sekelompok ulama lainnya menyatakan : bahwa keduanya di
hukum mati, ini termasuk adanya kekuatan dan paksaan dari otak pembunuhan
terhadap pelaku pembunuhan yang di perintanya.
Tetapi jika otak pelaku pembunuhan memiliki kekuatan untuk memaksa, dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat menjadi 3, yakni:
a. Otak pelaku pembunuhan di hukum mati, dan pelaku pembunuhan tidak, namun
tetap dihukum. Ini merupakan pendapat dari Abu Dawud, Abu Hanifah, dan salah
satu pendapat dari Imam Asy-Syafii3.
b. Pelaku pembunuhan di hukum mati, namun si otak pembunhan tidak, namun tetap di
hukum. Ini merupakan pendapat dari Imam Asy-Syafii dari salah satu pendapatnya4.

2
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh
mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar.
pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli
waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau
membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia
mendapat siksa yang pedih
3
Dasr alasannya dalah menyamakan antara pelaku pembunuhan seperti alat yang tidak dapat berfikir.
Serta adanya unsur pakasan yang dapat menggugurkan banyak kewajiban syariat.
4
Dasar pendapat ini adalah bahwa setiap manusia memiliki kehendak bebas, baik yang menyuruh
melakukan ataupun yang di suruh untuk melakukan

2
c. Keduanya di Hukum mati. Ini merupakan pendapat dari Imam Maliki5.
Di dalam pembunuhan, terdapat orang yang ikut serta dalam melakukan
pembunuhan, terdapat 2 (dua) kategori, yakni pembunuhan sengaja dan pembunuhan
tidak sengaja. Para ulama beriktilaf mengenai “kesengajaan” dalam pembunuhan dalam
kondisi, yakni:
a. kerja sama pembunuh dengan rang yang tidak sengaja membunuh (mukallaf dan
bukan mukallaf) .
Pada kondisi ini Imam Maliki dan Imam Asy-Syafii mengatakan : si pembunuh di
hukum qishash dan yang tidak snegaja membunuh harus di hukum setengan diyat.
Begitu pun seorang yang merdeka dan seorang budak yang membunuh budak maka
harus di qishash si budak dan orang merdeka tersebut di hukum setengah diyat. Atau
seorang yang memiliki keterikatan dengan seorang kafir dzimmi maka harus di
hukum setengah diyat karena tidak ada qishash pada keduanya menurut Imam Abu
Hanifah6.
b. Kondisi Pembunuhan Mirip Sengaja.
Imam Malik menyatakan bahwa pembunuhan mirip sengaja itu tidak ada. Adapun
yang mengakui keberadaanya adalah Umar bin Al-Khattab, Utsman, Ali, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Mughirah dengan pendapatnya bahawa perbedaan
antara pembunuhan mirip sengaja dan tidak sengaja terletak pada alat yang di
gunakan untuk membunuh dan kondisi yang menyebabkan pembunuhan.
Abu Hanifah menyatakan : semua alat selain besi pemukul dan api atau
sejenisnya, maka itu pembunuhan mirip sengaja. Abu Yusuf dan Muhammad
menytakan bahwa yang dinyatakan pembunuhan tidak sengaja adalah pembunuhan
yang menggunakan alat yang tidak mematikan. Imam Asy-Syafii menyatakan bahwa
Pembunuhan mirip sengaja dalah ketika seorang memukul tapi tidak mematikan.
Para ulama bersepakat bahwa pembunuhan mirip sengaja harus di hukum
qishash. Dan ada sebagian yang menyatakan di hukum diyat sebesar (100) seratus
ekor unta dan 40 (empat puluh) diantaranya dalah unta bunting.
2. Syarat Korban Pembunuhan

5
Dalam hal ini, Ijma yang dilakukan oleh kalangan pengikut Imam Maliki sebagai dasar, dengan
alasan bahwa seseorang yang hampir mati, tidak akan membunuh orang lain untuk memakan dagingnya.
6
Pendapat ini di dasarkan pada Sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

Artinya: Hindarilah hukuman had karena Syubhat.

3
Adapun syarat pembunuhan adalah sebanding antara pembunuh dan yang di
bunuh. Namun ada kondisi iktilaf pada saaot seorang merdeka membunuh budaknya.
Imam Asy-Syafii, Al-Laits, Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa orang
merdeka yang membunuh budak tidak di kenakan qishash. Lain halnya dengan Abu
Hanifah yang menyatakan bahwa Orang merdeka dapat di kenakan hukuman qishash
karena membunuh budak yang bukan miliknya. Adapun sebahagian lain menyatakan
bahwa baik budak nya atau bukan maka orang merdeka itu di hukum mati.
Adapun dalil yang di gunakan oleh golongan pertama adalah Al-Baqarah : 178.
Adapun golongan kedua bersandar pada hadist yang di riwatkan oleh Hasan dari
Samrah bahwa nabi bersabda,

Artinya : “Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami hukum mati ia karena
itu”.
B. Jirah (Pelukaan)
Jarh yang di jatuhi hukuman harus yang di lakukan dengan sengaja. Terlepas dari
tindakan itu dapat melmenghilangkan anggota badan atau tidak. Berkenaan dengan itu
yang di maksud sengaja adalah perbuatan yang di lakukan dengan keadaan marah atau
mennggunakan alat yang di lakukan secara sengaja.
Adapun luka yang di haruskan di hukum qisash adalah luka yang menghilangkan
anggota badan dan dilakukan dengan sengaja. Tetapi jika tindakan itu di lakukan dengan
maksud tidak untuk menghilangkan anggota tubuh korban maka di hukum diyat dari harta
pelaku. Ini merupaka pendapat dari Imam Malik. Sedangkan Abu Hanifah, Muhammad,
Abu Yusuf berpendapat bahwa tindakan mirip snegaja hanya ada pada perkara nyawa,
tidak pada jirah.
Para ulama menggunakan firman Allah dalam Al-Maidah : 45 sebagai sandaran
terhadap perbuatan yang memungkinkan qishash yang berbunyi:
        
          
            
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara

4
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim”.
Sedangkan pada perbuatan yang tidak di mungkinkan dilakukan qishash, maka di hukum
diyat, sesuai dalil yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah (2637) yang mengatakan:

Artinya: “Bahwa Rasulullah saw, menghilangkan qishash pada ma’mumah (luka yang
mencapai otak), muaqila (luka yang menggeser tulang), ja’ifah (luka yang mencapai
bagian dalam tubuh).
C. Jarimah Zina.
Zina adalah segala bentuk persetubuhan yang terjadi tanpa pernikahan yang sah,
tanpa kondisi syubhat nikah, dan tanpa stastu budak. Zina terbagi kedalam 4 (empat)
bagian, yakni:
1. Muhsan dan Janda/duda
Berkenaan dengan pelaku zina dari kalangan duda/janda merdeka dan muhsan,
kaum muslimin berijma bahwa hukuman mereka adalah rajam. Pendapat ini di
dasarkan pada hadist hadist mengenai rajam dan di takhsiskan kepada An-Nuur : 2
yang berbunyi:
          
            
   
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Para ulama bersepakat bahwa hukuman bag penzina muhsan adalah rajam.
Namun mereka beriktilaf mengenai apa itu muhsan. Imam mali berpendapat bahwa
muhsan adalah akil baligh, islam, merdeka, dan terjadinya persetubuhan dalam akad
yang sah dan dalam keadaan di bolehkannya persetubuhan 7. Lain halnya dengan imam
Abu Hanifah yang bersepakat dengan Imam Malik mengenai syarat pertama, namun
pada persetubuhan di larang, dan mensyratkan status merdeka pada keduanya. Lainya
halnyadengan Imam Asy-Syafii yang tidak memasukan Islam sebagai syarat8.
7
Dalil sandaran Imam Malik dari jalur makna adalah bahwa menurut nya, ihsan merupakan keutamaan,
dan tidak ada keutamaan tanpa ada keislaman. Pendapat ini didirikan diatas persetubuhan diatas pernikahan
yang sah adalah mandub, dan ini merupakan asal muasal hukum janda duda.
8
Hal ini di dasrkan pada riwayat Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, Yaitu sebuah hadis Muttafuqn
Alaih : Bahwa Rasulullah saw merajam seorang wanita yahudi dan lelaki yahudi yang berzina, ketika keduanya
itu diadukan oleh kaum yahudi kepada rasulullah saw. Allah berfirman dalam Al-Maidah: 42 “Dan jika kamu

5
2. Jejaka dan Perawan.
Adapun bagi jejaka dan perawan , para ulama bersepakat bahwa hadnya dalah
dera seratus kali berdasarkan pada An-Nuur : 2. Para ulama berikhtilaf pada hukum
pengasingan bersamaan dengan dera.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum pengasingan tidak ada.
Sedangkan menurut imam Asy-Syafii berpendapat bahwa hukuman dera dan
pengasingan di jatuhkan kepada jejaka dan perawan yang berzina. Sedang Imam Malik
berpendapat bahwa pengasingan hanya berlaku bagi laki-laki, sedang perempuan tidak
harus di asingkan.
3. Budak
Berkenaan dengan budak perempuan apabila di atelah menikah dan berzinah
maka hukumannya adalah 50 (lima puluh) kali dera berdasarkan pada firman Allah
SWT dalam An-Nisaa : 25 para ulama berikhtilaf jika si budah perempuan belum
menikah, sebagaian ulama menyatakan bahwa di hukum 50 (lima puluh) kali dera. Dan
sebagian ulama menyatakan tidak ada had baginya karena dirinya belum menikah. Dan
di hukum ta’zir saja.
Dan adapun budak laki-laki hukumannya dalah 50 (lima puluh) kali dera sesuai
atau setengah dari lelaki merdeka, hal ini di dasarkan pada An-Nurur : 2 oleh berbagai
ulama.
D. Jarimah Qadzaf
Dalil di syariatkannya jarimah Qadzaf adalah An-Noor : 4, yang berbunyi:
        
          
Artinya : ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik9 (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik.”
Berkenaan dengan pelaku Qadzaf, para ukama bersepakat bahwa pelaku qadzaf
harus memiliki dua syarat, yakni : Pertama, Baligh dan Kedua, berakal sehat. Baik laki-
laki maupun perempuan, merdeka atau pun budak, baik muslim maupun muslim.
Sedangkan korban Qadzaf, para ulama bersepakat bahwa diantara syartnya adalah ia
harus memiliki lima sifat sekaligus, yaitu : Perama, Baligh, Kedua, Merdeka, Ketiga,

memutuskan perkara mereka, mak putuskan lah diantara mereka dengan adil.
9
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan
muslimah.

6
Terhormat, Keempat, Islam, Kelima, Memiliki alat kelamin zina. Kalau ada satu syart
yang tidak terpenuhi, maka had tidak wajib di jatuhkan.
Berkenaan dengan Qadzaf, yang wajib di jatuhi had, para ulama bersepakat pada dua
sisi: Pertama, Pelaku qadzaf menuduh zina korban qadzaf, Kedua, Menafikan nasabnya
jika ibunya dalah perepuan muslimah dan medeka. Lantas bagaiman jiika ibu nya adalah
seorang udak atau kafir?. Imam malik menyatakan sama saja , antara budak, merdeka,
muslimah. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafii berpendapat bahwa tidak
ada had baginya.
E. Jarimah Khamar
Berkenaan dengan hal hal yang mewajibkan di jatuhkannya Khamar, para ulama
bersepakat bahwa yang di ganjar had adalah tindakan meminum khamar tanpa paksaan,
baik sedikit maupun banyak.
Para ulama Hijaz berpendapat : hukum semua zat memabukan selain khamar adalh
sama dengan khamar, menyangkut pengharamannya, wajibnya had bagi peinumnya, baik
sedikit maupun banyak, baik pminumnya maupun tidak.
Para ulama Irak menyatakan: yang membuat semua itu haram adalah
kemabukannya. Kemabukan itulah yang mewajibkan di jatuhkannya had. Dalil
pensyariatan pelaranagn minuman khamar adalah Al-Maidaah : 90-91, yang berbunyi:
       
         
        
          
Artinya : “(90)Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah 10, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. (91) Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat

10
Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak
panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak.
Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu
dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat
dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci
ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang
tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.

7
Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu).”
D. Jarimah Pencurian (As-Sariqah)
Adapun yang di maksud dengan pencurian adalah pengambilan harta milik orang
lain secara diam-diam tanpa danya amanah untuk mengambilnya 11. Dalil di syariatkannya
pencurian termaktub di dalam Al- Maidaah : 38, yang berbunyi:
          
  
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Pencurian akan di nilai srbagai pencurian jika memenuhi syarat dari objek
pencurian itu (masruq). Para ulama bersepakat bahwa adanya syarat nisab dalam
pewajiban hukum potong tangan, namun mereka beriktilaf dalam penetuan kadar nisab itu
sendiri. Terdapart dua golongan , yakni Pertama, golongan ulama Hijaz, yakni Imam
Maliki dan Imam Asy-Syafii; dan Kedua Golongan Ulama Irak.
Para fuqaha Hijaz mewajibkan potong tangan dengan nisab pencurian sebesar tiga
dirham perak dan seperempat dinar emas. Namun para ulama ini pun beriktilaf pada
perhitunagan berbagai benda selain perak dan emas.
Imam Malik menyatakan dalam pendaoat yang masyhur: Barang objek curian di
ukur nilainya dengan dirham, bukan dengan seperempat dinar. Karena ada perbedaan nilai
antara 3 dirham dan seperemat dinar. Namun berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafii
yang menyatakan bahwa nisab dari pensyariatan potong tangan adalah dua setengah dinar
yang merupakan hukum asal bagi dirham. Hukum potong tangan tidak boleh di jatuhkan
pada seseorang yang mencuri tiga dirham perak.
Dapun dalil sandaran ulama Hijaz ini adalah Hadist yang di riwaytkan oleh Imam
Malik dari mafi’ dari Ibnu Umar;

Artinya: “Bahwa nabi saw menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri
perisai yang harganya tiga dirham”

11
Penjelasan ini di sampaikan karena para ulama berijma bahwa tiada hukuman bagi tindakan
pengkhianatan dan ikhtilash (perampasan atau pengambilan sesuatu barang dengan cara menipu); pendapat ini
kecuali Ilyas bin Muawiyah yang mewajibkan potong tangan pda tindakan ikhtilas.

8
Dan sebuah hadist dari Aisyah yang dinyatakan Mauquf oleh Imam Malik tetapi
dinyatakan Musnad oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dampai Nabi Muhammad Saw
bahwa beliau bersabda :

Artinya: “Hukum potong tangan di jatuhkan karean seperempat dinar atau lebih”
Adapun dalil sandaran ulama Irak adalah hadist Ibnu Umar di atas. Mereka
menyatakan : “tetapi harga perisai itu adalah sepuluh dirham. Mereka menyatakan : Ibnu
Umar memili pendapat yang berbeda mengenai harga perisai itu, karena banyak diantra
sahabat banyak yang berpendapat jatuhnya hukuman potong tangan atas pencurian perisai,
seperti Ibnu Abas dan lainya.
Adapun syarat lainnya yang mewajibkan potong tangan adalah permasalahan hirz
(tempat terjaga). Semua fuqaha bersepakat beahwa syarat di jatuhkannya hukuman had
adalah permasalahan tempat tejaga. Meskipun mereka berikhtilaf apa yang di maskud
dengan tempat terajag itu sendiri.
Pendapat yang paling tepat mengenai definisi tempat terjaga adalah ketiga barang
dijaga agar orang lain sulit mengambilnya, seperti dalam bentuk pimtu tertutup untuk
baranag, kandang untuk hewan ternak dan sebagainya.
Diantera ulama yang berpendaoat seperti ini adakah Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Asy-Syafii, Ats-Tsauri dan para pengikut mereka. Dalil sandaran jumhur
adalah hadist Amru bin Syu’aib dari Ayahnya, dari Kakeknya, dari Nabi Saw behawa ia
berkata:

Artinya: “Tidak ada Had potong tangan pad pencurian buah yang tergantung dan tidak
pula pada kambing di gunung, tetapi jika itu sudah masuk kandang atau
tempat penyimpana, maka had potong tangan di jatuhkan pada pencurian
barang yang nilainya mencapai harga dari sebuah perisai”
Berkaitan dengan jenis objek curian, para ulama bersepakat bahwa segala benda
yang dapat di miliki, tidak berakal, dan dapat di jual/di pertukarkan pencurian atas itu
wajib di hukum had potong tangan, kecuali benda benda basah yang dapat di makandan
barang-barang yang hukum asalny adalah mubah.
E. Jarimah Hirabah

9
Landasan pembahasan hirabah ini adalah Al-Maidaah: 33, yang berbunnyi:
          
          
             
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik 12,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar” (Al-Maidaah: 33)
Menurut jumhur, ayat ini berbicara mengenai para pelaku hirabah. Tetapi sebagian
ulama ada yang menyatakan bahwa ayat ini turun di sebebkan orang orang yang murtad
pada masa Rasulullah dan melakukan perampasan unta. Rasulullah memerintahkan agar
mereka di hukum dengan potong tangan, potong kaki dan congkel mata. Tetapi yang benar
adalah bahwa ayat ini mengenai pelaku hirabah, berdasarkan Al-Maidaah; 34, yang
berbunyi:
             
Artinya: “Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Padahal ketidakmapuan dalam menangkap bukanlah merupakan suatu syarat untuk
tobatnya orang-orang kafir, sehingga jelaslah ayat ini menjelaskan tentang pelaku hirabah.
Untuk penjelasan lebih lanjut akan di bahas apa itu hirabah, siapa pelaku hirabah, hadnya,
keguguran had.
1. Pengertian Hirabah
Para ulama bersepakat bahwa yang di maksud dengan hirabah adalah tindakan
mengangkat senjata merampok di luar kawasan kota. Para ulama berikhtilaf mengenai
orang yang melakukan hirabah di dalam kawasn kota. Imam Malik berpendapat bahwa
di luar maupun di dalam kota itu sama saja. Imam Asy-Syafii mensyaratkan adanaya
kekuatan (syaukah) meski ia tidak mensyaraktkan jumlah. Kekuatan di sini adalah
kekuatan untuk menguasai. Sedangkan Imam abu Hanfah mensyaratkan : Hirabah tidak
terjadi di dalam kota.
2. Pelaku Hirabah

12
Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan
kiri dan kaki kanan.

10
Para ulama bersepakat bahwa pelaku hirabah adalah setiap orang yang
darahnya di lindungi sebelum iad melakukan hirabah. Yaitu, mulim atau kafir dzimmi.
3. Hukuman yang di jatuhkan untuk pelaku Hirabah.
Berkenaan dengan hukuman pelaku hirabah, para uama bersepakat bahwa
terhadp mereka harus di jatuhkan hak-hak Allah swt dan hak manusia. Adalah berupa
hukuman mati, hukuman potong tnagna, potong kaki dan tangan secara silang dan
pengasingan. Namun para ulama berikhtilaf berbagai bentuk hukuman ini, apakah
hukuman ini termasuk kedalam pilihan atau hukuman itu sesuasi dengan kadar jinayah
yang di lakukan.
Imam Malik menyatakan bahwa jika pelaku hirabah membunuh, maka ia harus
di hukum mati. Imam malik tidak memberi pilihan terhadapnya, tetapi di bagi menjadi
dua, di salib atau di hukum mati. Jika pelaku hirabah merampas harta tanpa membunuh,
maka hukumannya hanyalah hukuman mati, potong tangan, potong kaki secara
bersilang. Jika pelaku hirabah hanya membuat onar di jalanan maka hukumamnya
boleh memilih atanta hukuman mati, di salib, potong tangan maupun potng kaki secar
abesilang atau pengasingan. Dasar hukuman terhadap pelaku hirabah in merupakan
ijtihad imam. Dengan beberapa kriteria, yakni:
a) Jika pelaku pintar dan cakap memimpin, maka hukumannya adalah hukuman mati;
b) Jika pelaku adalah orang yang memiliki kekuatan besar, maka hukumannya adalh
potong tanga atau potong silang pun hukuman mati.
c) Jika pelaku tidak memiliki keduanya, maka hukumannya dalah yang paling ringan
yakni hukuman dera atau pengasingan.
Imam Asy-Syafii, Imam Abu Hanidah dan sekelompok ulam berpendapat
bahwa berbahao hukuman susai dengan Jinayah yang di ketahui dari syariat. Jadi
pelaku hirabah tidak ada yang di hukum mati kecuali membunuh, tidak ada yang di
potoong kecuali mengambil harta orang lain, tidak ada yang di asingkan kecuali hanya
yang tidak merampok harta dan tidak membunuh.
4. Gugurnya Had dengan Tobat.
Berkenaan dengan gugurnya had yang wajib atas pelaku hirabah landansannya
adalah Al-Maidaah: 34. Adapun mengenai sifat taubat yang menggugurkan had, para
ulama berikhtilaf mengenai hal itu pada tiga pendapat:
1. Tobatnya harus meliputi dua aspek, yakni : Pertama, Ia harus meninggalkan
perbuatannya, mesko dia tidak mendatangi Imam; Kedua, Ia harus meletakan

11
senjatanya dan mendatangai Imam untuk Menyatakan tunduk. Ini adalah pendapat
Ibnu Qasim.
2. Tobatnya di lakukan dengan meninggalkan perbuatanya, duduk di tempatnya dan
menampakan diri kepada para tetangganya. Jika Imam datang sebelum sebelum ia
menunjukan tobat, maka had harus d jatuhkan padanya. Pendapatn Ibnu Majusyiun
3. Tobat adalah dengan mendatangi Imam. Karena rindakannya meninggalkan
perbuatannya tidak dapat menggugurkan hukum yang di jatuhkan kepadnya, jika dia
di tangkap sebelum mendatangi Imam.
F. Hukum Orang Murtad.
Hukum orang murtad, jika ia di tanggkap sebelum memerangi, para sahabat
bersepakat ia harus di hukum mati. Dasarnya adah sabda Rasulullah saw:

Artinya: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka hukum mati lah dia”
Para ulama berikhtilaf mengeani hukuman mati terhadap wanita, apakah iya di
mijnta bertaubat dulu, sebelum di hukum mati. Jumhur ulama berpendapat wanita itu
harus di hukum mati. Imam Abu Hanifah menyatakan : Wanita itu tidak boleh do hukum
mati. Ia menyatakan wanita murtad sam dengan wanita kafir. Umhur bersandar pada
pendaoat syadz, yaitu : Wanita itu harus di hukum mari, meski ia masuk islam lagi.
Berkenaan dengan itu, Imam Malik mensyaratkan itu adalah hukuman mati, seperti
yang di riwayatkan darri umar. Sekelompok ulama menyatakan : tobatnya tidak di terima,
jika orang murtad dan melakukan hrabah, kemudain tertangkap lagi. Maka dia harus di
hukum mati karena perbuatan hirabah itu. Baik di negeri sendiri ataupun di negeri musuh,
terkecuali jika dia kembali masuk islam.

12

Anda mungkin juga menyukai