Anda di halaman 1dari 12

Syarat pemberklakuan Qishas, Tindak Pidana dikenakan sanksi

Hudud, dan Bentuk-bentuk Ta’zir menurut pendapat 4 Mazhab

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 4

DI SUSUN OLEH

FAHRUL WAHIDJI (202032004)

MULIS MA’RUF (202032015)

ADRIAN HADJU (202032002)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO

2022/2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam islam prilaku pembunuhan sangat dilarang dalam agama, dan mendapat sangsiyang sesuai
dengan pembunuhannya dalam islam ada tiga jenis :

1. pembunuhanPembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, yaitu merencanakan pembunuhan


dalamkeadaan jiwa sehat dan penuh kesadaran .
2. .Pembunuhan yang terjadi tanpa sengaja dengan alat yang tidak mematikan
3. .3.Pembunuhan karena kesalahan atau kekhilafan semata-mata tanpa direncanakan dan tidakada
maksud sama sekali, misalnya kecelekaan

.Dalam islam setiap jenis pembunuhan mempunyai sangsi masing-masing, baik dia pembunuhan


sengaja, tidak sengaja , ataupun tersalah.Maka dari itu kami disini akan membahas tentang hukuman
yang diberikan kepada pelaku pembunuhan. Dimana dalam islam hukuman itu terdiri dari qisas,
diyat, dan kafarat Yang dimaksud dengan hukuman yang sama dengan perbuatan kejahatan
yangdilakukan adalah , jika seseorang melakukan pembunuhan dengan sengaja maka pelakunyaharus
dihukum bunuh , jika seseorang melakukan peaniyayaan secara pisik dengan sengajaterhadap orang
lain maka pelakunya harus dikenai hukuman yang sama dengan bentukkejahatan yang dilakukanya 

1.2 RUMUSAN MASALAH

 Syarat wajib Qishosh dalam kitab fathul qorib Mazhab Syafii


 Tindak Pidana Yang dikenakan sanksi Hudud Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanafiyah
 Bentuk-bentuk Hukuman Ta’zir yang dibenarkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah,
Hambaliyah, dan Hanafiyah
BAB 1

PEMBAHASAN

2.1 Syarat Pemberlakuan Qishas Menurut Syafi’iyah Malikiyyah, Hambaliyah dan Hanafiyah

A. Syarat wajib Qishosh dalam kitab fathul qorib Mazhab Syafii

1. .Si pembunuh adalah orang yang sudah dewasa, maka tidak akan terjadi qishash atas anak
kecil, dan seandainya pembunuh itu berkata : "pada waktu itu aku masih anak-anak, maka
(pengakuan) itu dapat dibenarkan dengan tanpa sumpah.
2. Si pembunuh adalag orang yang berakal sehat, maka tertolaklah hukuman qishash atas orang
gila, kecuali bila kegilaannya kumat-kumatan, maka ia harus di qishash pada saat sembuh
kegilaannya.

Sementara itu, wajib adanya hukum qishash atas orang yang hilang akalnya dengan sebab
meminum (minuman) yang memabukan yang melampaui batas.

3. Si pembunuh bukan orang tua yang dibunuh, maka tidak ada qishash itu wajib atas orang tua
sebab membunuh anaknya, meskipun jalur si ank itu terus ke bawah.
4. Orang yang terbunuh tidak lebih kurang dari pembunuh dengan sebab kufur atau sebab
berstatus budak, maka orang islam tidak boleh dibunuh sebab membunuh orang kafir harbi
atau dzimmi atau mu'ahad.

Selain itu juga, tidak boleh dibunuh orang yang merdeka (bukan budak) sebab membunuh budak,
meskipun yang terbunuh itu lebih kurang daripada pembunuh, misal dengan besarnya, kecilnya, tinggi
atau pendeknya, maka tidak ada perhitungan dengan hal-hal tersebut.

Dalam ketentuan hukum pidana Islam menurut pendapat jumhur ulama’, bahwa untuk menetapkan
hukuman qishash dapat diberlakukan kepada pelaku, jika pelaku telah memenuhi syarat-syarat yang
berkaitan dengan korban, yaitu

1) Korban (orang yang terbunuh) harus orang yang dilindungi keselamatannya (darahnya) (ma’sum
al-dam) oleh Negara;
2) Korban harus sederajat (keseimbangan) dengan pelaku, baik agama, kemerdekaan maupun jenis
kelamin; dan
3) Korban tidak bagian dari keluarga pelaku pembunuhan. Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut,
khususnya mengenai syarat bahwa korban tidak bagian dari pelaku pembunuhan menurut Imam Malik
tidak sependapat. Imam Malik berpendapat jika orang tua korban dengan sengaja membunuh
anaknya, maka orang tuanya tetap dikenai hukuman qishash. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
menganalisis pendapat Imam Malik dengan rumusan masalah ;

1) Bagaimana pendapat Imam Malik tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan sedarah? dan 2)
bagaimana dasar intimbath hukum Imam Malik tentang hukuman bagi pelaku pembunuhan sedarah?
Maka tujuannya adalah untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang hukuman bagi pelaku
pembunuhan sedarah, dan untuk mengetahui dasar istimbath hukumnya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dimana data yang dipergunakan
diperoleh dari sumber utama (primer) maupun sumber data pelengkap (sekunder). Sumber data primer
kitab al-muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas. Adapun sumber data pelengkap yaitu data yang
digunakan sebagai pendukung dalam penelitian skripsi ini, yaitu kitab-kitab fiqih baik karya ulama
salaf maupun ulama khala,. serta buku-buku yang terkait.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif kualitatif dengan metode analisis content
analisys (analisis isi). Dengan pendekatan sosio-historis yang digunakan untuk pelacakan dan
menganalisis terhadap dasar istimbath hukum Imam Malik dalam menetapkan hukuman bagi pelaku
pembunuhan sedarah dalam hukum pidana Islam.

Hasil temuan dari penelitian ini adalah

1) bahwa Imam Malik tidak sependapat dengan jumhur ulama’; jika orang tua korban dengan sengaja
membunuh anaknya, maka orang tuanya tetap dikenai hukuman qishash, kecuali tidak ada unsur
kesengajaan yang disebabkan sedang melakukan pengajaran kepadanya. Alasannya, berdasarkan
keumuman nash Al-Quran yang berlaku di kalangan kaum muslimin, yaitu berdasarkan Q.S. al-
baqarah : 178 dan al-maidah : 45

2) Dasar istimbath yang dipakai Imam Malik adalah sama dengan dasar yang dipakai oleh jumhur
ulama’ berdasarkan hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW. bersabda; “ Tidak dilaksanakan hukuman
hudud di dalam masjid dan tidak diqishash seorang ayah membunuh anaknya”. Hadits tersebut di atas,
menurut jumhur ulama adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ayah yang dilakukan kepada
anaknya baik disengaja maupun tidak. Alasan jumhur ulama’ adalah hadits riwayat Daud “ kamu dan
hartamu adalah itu adalah milik bapakmu”. Akan tetapi menurut Imam Malik Bahwa hadits tersebut
adalah pembunuhan seorang ayah terhadap anaknya, karena kesalahan bukan karena kesengajaan
untuk membunuhnya.
2.2 Tindak Pidana Yang dikenakan sanksi Hudud Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan
Hanafiyah

Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid menyebutkan lima jenis kejahatan yang dikenai hudud, yaitu:

a. Kejahatan atas badan, jiwa, dan anggota-anggota badan yang disebut dengan pembunuhan (al-
qatl) dan pelukaan (al-jarh).
b. Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).
c. Kejahatan atas harta, meliputi hirabah, yaitu mengambil harta dengan cara memerangi dan
dilakukan tanpa alasan, baghyu (pemberontakan) yaitu mengambil harta dengan
caramemerangi dengan alasan tertentu, sariqah (pencurian) yaitu mengambil harta yang telah
disimpan di tempat yang layak namun pemiliknya lengah, ghasb (perampasan) yaitu
mengambil harta dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki.
d. Kejahatan atas kehormatan yang disebut tuduhan (qadzaf).
e. Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan atau minuman yang dilarang
syara‟, tapi syara‟ hanya menetapkan hukuman bagi minuman, yaitu minuman keras saja.

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah bentuk kejahatan pidana (jinayat) yang dikenai
hudud. Imam Hanafi (salah satu Imam Madzhab besar dalam Islam) hanya menyebut lima, yaitu zina,
menuduh zina (qadzaf), mencuri, memerangi atau merampok (hirâbah), dan minum khamr.

Ulama lainnya menambahkan dua macam had, yaitu pemberontak dan murtad.29„Abdul
Qadir Audah menyatakan bahwa hukuman-hukuman tertentu yang masuk dalam kategori Jarâim al-
hudud itu mencakup tujuh jenis tindak pidana:

a. Had zina (hukuman zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
b. Had al-qadzaf (hukuman orang yang menuduh zina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan
dan harga diri.
c. Had al-khamr (hukuman orang yang minum minuman yang memabukkan) untuk menjaga
akal.
d. Had as-sarîqah (hukuman mencuri) untuk menjaga harta.
e. Had al-hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta, dan harga diri atau
kehormatan.
f. Had al-baghyu (hukuman pemberontak) untuk menjaga agama dan jiwa.
g. Had ar-riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama. Hudud atau hukuman
merupakan upaya pencegahan dari terjadinya sesuatu yang merusak. Hudud Allah SWT
adalah perkara yang dicegah oleh Allah atau dengan kata lain diharamkan oleh Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya: “Itu adalah hudud Allah, maka jangan kalian mendekatinya” (QS
al-Baqarah[2]:187).

Secara istilah, tidak setiap hukuman disebut hudud. Sanksi kejahatan pidana (jinayat) dalam Islam
ditetapkan dengan dua cara. Pertama, hudud yaitu sanksi yang telah diatur dalam Al-Qur‟an dan
hadis. Sanksi hukuman jenis ini diyakini berlaku selamanya, tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu.
Penguasa tidak boleh mengubah atau membatalkannya. Kedua ta‟zir yaitu sanksi yang ditetapkan
melalui otoritas penguasa (ulil amri). Sanksi hukuman jenis ini bisa berubah sesuai dengan
kemaslahatan yang dipertimbangkan oleh penguasa. Pencantuman frasa “hak Allah” dalam definisi
hudud ini penting karena inilah yang menjadi pembeda antara qishash dan hudud. Hak artinya, dalam
hudud tidak ada hak bagi kepala Negara, hakim maupun korban untuk mengganti,mengurangi
maupun membatalkan sanksi. Sedangkan dalam qishash justru korban dan keluarganyalah
yangmenjadi penentu apakah pelaku diringankan sanksinya, diganti diyat (dalam kasus pembunuhan
sengaja) atau dihapuskan sanksinya,Selain itu, hudud dianggap sebagai hak Allah SWT karena akibat
dari tindak pidana Bentuk-bentuk Hukuman Ta’zir yang dibenarkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah,
Hambaliyah, dan Hanafiyah Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid menyebutkan lima jenis kejahatan
yang dikenai hudud, yaitu:

a. Kejahatan atas badan, jiwa, dan anggota-anggota badan yang disebut dengan pembunuhan (al-
qatl) dan pelukaan (al-jarh).
b. Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).
c. Kejahatan atas harta, meliputi hirabah, yaitu mengambil harta dengan cara memerangi dan
dilakukan tanpa alasan, baghyu (pemberontakan) yaitu mengambil harta dengan cara
memerangi dengan alasan tertentu, sariqah (pencurian) yaitu mengambil harta yang telah
disimpan di tempat yang layak namun pemiliknya lengah, ghasb (perampasan) yaitu
mengambil harta dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki.
d. Kejahatan atas kehormatan yang disebut tuduhan (qadzaf).
e. Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan atau minuman yang dilarang
syara‟, tapi syara‟ hanya menetapkan hukuman bagi minuman, yaitu minuman keras saja.28

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah bentuk kejahatan pidana (jinayat) yang dikenai
hudud. Imam Hanafi (salah satu Imam Madzhab besar dalam Islam) hanya menyebut lima, yaitu zina,
menuduh zina (qadzaf), mencuri, memerangi atau merampok (hirâbah), dan minum khamr. Ulama
lainnya menambahkan dua macam had, yaitu pemberontak dan murtad.29„Abdul Qadir „Audah
menyatakan bahwa hukuman-hukuman tertentu.

a. Had zina (hukuman zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
b. Had al-qadzaf (hukuman orang yang menuduh zina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan
dan harga diri.
c. Had al-khamr (hukuman orang yang minum minuman yang memabukkan) untuk menjaga
akal.
d. Had as-sarîqah (hukuman mencuri) untuk menjaga harta.
e. Had al-hirâbah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta, dan harga diri atau
kehormatan.
f. Had al-baghyu (hukuman pemberontak) untuk menjaga agama dan jiwa.
g. Had ar-riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama.

Hudud atau hukuman merupakan upaya pencegahan dari terjadinya sesuatu yang merusak. Hudud
Allah SWT adalah perkara yang dicegah oleh Allah atau dengan kata lain diharamkan oleh Allah
SWT. Sebagaimana firman-Nya: “Itu adalah hudud Allah, maka jangan kalian mendekatinya” (QS al-
Baqarah[2]:187).

Secara istilah, tidak setiap hukuman disebut hudud. Sanksi kejahatan pidana (jinayat) dalam Islam
ditetapkan dengan dua cara. Pertama, hudud yaitu sanksi yang telah diatur dalam Al-Qur‟an dan
hadis. Sanksi hukuman jenis ini diyakini berlaku selamanya, tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu.
Penguasa tidak boleh mengubah atau membatalkannya. Kedua ta‟zir yaitu sanksi yang ditetapkan
melalui otoritas penguasa (ulil amri). Sanksi hukuman jenis ini bisa berubah sesuai dengan
kemaslahatan yang dipertimbangkan oleh penguasa. Pencantuman frasa “hak Allah” dalam definisi
hudud ini penting karena inilah yang menjadi pembeda antara qishash dan hudud. Hak artinya, dalam
hudud tidak ada hak bagi kepala Negara, hakim maupun korban untuk mengganti, mengurangi
maupun membatalkan sanksi. Sedangkan dalam qishash justru korban dan keluarganyalah yang
menjadi penentu apakah pelaku diringankan sanksinya, diganti diyat (dalam kasus pembunuhan
sengaja) atau dihapuskan sanksinya.32Selain itu, hudud dianggap sebagai hak Allah SWT karena
akibat dari tindak pidana[Hukuman jilid untuk ta’zir bisa diterapkan dalam berbagai jarimah dan
hukuman jilid ta’zir tidak boleh melebihi hukuman jilid dalam hudud.

2.3 Bentuk-bentuk Hukuman ta’zir yang dibenarkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah,


Hambliah, dan Hanafiah

Menurut ulama’ jarimah yang dikenai sanksi ta’zir jilid diantaranya adalah:

1. Pemalsuan stempel baitul mal pada zaman umar ibn khattab

2. Percobaan perzinaan

3. Pencuri yang tidak mencapai nishab

4. Kerusakan akhlak

5. Orang yang membantu perampokan.

2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti hukuman penjara dan
pengasingan.

penjara menurut ulama’ dibedakan menjadi dua yaitu:

 Penjara yang dibatasi waktunya


Penjara yang dibatasi waktunya contohnya hukuman penjara bagi pelaku penghinaan,
pemakan riba, dan lain-lain. Adapun mengenai lamanya penjara tidak ada kesepakatan.
Sebagian ulama’, seperti dikemukakan oleh Imam Az-Zaili yang dikutip oleh abdul Aziz
Amir,berpendapat bahwa lamanya penjara adalah dua bulan, atau tiga bulan,atau kurang, atau
lebih. Sebagian lain berpendapat bahwa penentuan tersebut diserahkan kepada hakim.
Menurut Al-Mawardi hukuman penjara dalam ta’zir berbeda-beda, tergantung pada pelaku
dan jenis jarimahnya. Diantara pelaku ada yang dipenjara selama satu hari dan ada pula yang
lebih lama.Mengenai batas maksimal hukuman tidak ada kesepakatan dikalangan fuqaha.
Menurut Syafi’iyah, batas maksimalnya adalah satu tahun. Mereka mengqiyaskan pada
hukuman pengasingan had zina yang lamanya satu tahun dan hukuman ta’zir tidak boleh
melebihi hukuman had. Akan tetapi, tidak semua ulama’ syafi’iyah menyepakati pendapat
tersebut. Adapun menurut pendapat yang dinukil dari Abdullah Al-Zubairi, masa hukuman
penjara adalah satu bulan atau enam bulan. Demikian pula Imam Ibnu Al-Majasyum dari
ulama’ Malikiyah menetapkan lamanya hukuman adalah setengah bulan, dua bulan, atau
empat bulan, tergantung harta yang ditahannya.28
 Penjara yang tidak dibatasi waktunya
Penjara yang tidak dibatasi waktunya adalah penjara yang berlangsung terus sampai si
terhukum meninggal dunia. Contohnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh
oleh orang ketiga atau orang yang mengikat orang lain kemudian melemparkannya kedepan
seekor harimau.

Menurut Imam Abu Yusuf, apabila orang tersebut mati dimakan harimau itu, si pelaku
dikenakan hukuman penjara seumur hidup ( sampai ia meninggal di penjara). Hukuman penjara dapat
merupakan hukuman pokok dan bisa juga sebagai hukuman tambahan dalam ta’zir apabila hukuman
pokok yang berupa jilid tidak membawa dampak bagi terhukum.30 Hukuman pengasinganmerupakan
hukuman had, namun dalam praktik hukuman diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Diantara
jarimah ta’zir yang dikenai hukuman pengasingan adalah orang yang beprilaku waria yang pernah
dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar madinah. Demikian pula tindakan umar
yang mengasingkan Nashr bin Hajjaj karena banyak wanita yang tergoda olehnya, karena ia berwajah
sangat tampan dan menarik, walaupun sebenarnya ia tidak melakukan jarimah. Selain itu, umar juga
menjatuhi hukuman pengasingan dan cambuk terhadap mu’an bin Zaidah karena telah memalsukan
stempel baitul mal. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan
dapat memberikan pengaruh buruk terhadap masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku, mereka akan
terhindar dari pengaruh tersebut. Adapun mengenai tempat pengasingan, fuqaha berpendapat sebagai
berikut:

1. Menurut Imam Malik bin Anas, pengasingan artinya menjauhkan (membuang) pelaku dari
negeri Islam ke negeri non Islam.
2. Menurut Umar bin Abdul aziz dan said bin jubayyir, pengasingan Artinya dibuang dari satu kota
ke kota lain.

Menurut Imam Al- Syafi’i, jarak antara kota asal dan kota pengasingan sama seperti jarak perjalanan
shalat qashar. Sebab, apabila pelaku diasingkan didaerah sendiri, pengasingan itu untuk
menjauhkannya dari keluarga dan tempat tinggal.

3. Menurut Imam Abu Hanifah dan satu pendapat dari Imam Malik, pengasingan artinya
dipenjarakan.Mengenai lamanya masa pengasingan, tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha.
Namun demikian, mereka berpendapat sebagai berikut :
 Menurut Syafi’iyah dan hanabilah, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun agar
tidak melebihi masa pengasingan jarimah zina yang merupakan hukuman had. Apabila
pengasingan dalam ta’zir lebih dari satu tahun, berarti bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah Saw
bersabda :Barang siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah
hudud maka ia termasuk orang yang melampaui batas.
 Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa saja lebih dari satu tahun, sebab
merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam
Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas waktunya dan menyerahkan hal itu
kepada pertimbangan penguasa
 Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta yakni perampasan harta atau penyitaan harta
(denda).Fuqaha berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara
mengambil harta. Menurut Imam Abu hanifah dan diikuti oleh muridnya Muhammad bin
Hasan, hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan. Akan tetapi menurut
Imam malik, Imam Al-Syafi’i, Imam ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Yusuf
membolehkannya apabila membawa maslahat.Hukuman ta’zir dengan mengambil harta
bukan berarti mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas Negara, melainkan
menahannya untuk sementara waktu. Adapun jika pelaku tidak diharapkan untukbertaubat,
hakim dapat menyerahkan harta tersebut untuk kepentinganyang mengandung maslahat.Ibnu
Al-Qayyim menjelaskan ada dua macam denda yakni denda yangdipastikan
kesempurnaannya dan denda yang tidak dipastikankesempurnaannya. Denda yang
disempurnakan kesempurnaannya ialah denda yang mengharuskan lenyapnya harta karena
berhubungan dengan hakAllah. Misalnya pelanggaran sewaktu ihram dengan membunuh
binatangburuan. Pelakunya didenda dengan memotong hewan kurban, bersenggamapada
siang hari dibulan Ramadhan. Pelakunya didenda dengan memberikanmakanan untuk 60
orang miskin, hukuman bagi wanita yang nusyuz kepada suaminya adalah gugur nafkah
baginya dan tidak mendapat pakaian darisuaminya. Sedangkan denda yang tidak pasti
kesempurnaannya ialah dendayang tidak ditetapkan melalui ijtihad hakim dan disesuaikan
denganpelanggaran yang dilakukan.Sanksi ta’zir lainnyaHukuman ta’zir lain diantaranya
ialah :

1.Nasihat

Sanksi nasihat dalam arti yang dijatuhkan oleh Ulil Amri adalah seperti yang diceritakan dalam suatu
hadis bahwa Rasulullah mengutus ubadah sebagai pemungut zakat dan menasehatinya dengan kata-
kata: ‚Takwalah kepada Allah, wahai Abu Walid, karena barang siapa memakan harta zakat bukan
haknya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan memanggul keledai berseringai atau
menggendong sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik‛. Sedangkan yang dimaksud
nasihat sebagai sanksi ta’zir sebagaimana dikatakan oleh Ibn Abidin adalah memperingatkan si pelaku
bila ia lupa atau tergelincir kepada suatu kesalahan yang bukan kebiasaannya Para ulama’
mendasarkan pemberian sanksi ta’zir yang berupa celaan ini kepada sunnah nabi yang menceritakan
bahwa Abu Dzar pernah menghina seseorang yang telah menghina ibunya. Maka Rasulullah berkata :
‚Wahai Abu Dzar kau telah menghinanya dengan menghina ibunya ? sesungguhnya perbuatanmu itu
adalah perbuatan jahiliyah‛. (HR. Muslim dan Abu Dzar). Menurut Al-Mawardi celaan dilakukan
dengan cara memalingkan muka menunjukkanketidaksenangan atau menurut ulama’ lain juga bisa
dengan memandangnya dengan muka masam dan senyum sinis.

2. Sanksi

sanksi celaan ini pada umumnya dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan maksiat karena
kekurangmampuannya mengendalikan diri, bukan karena kebiasaannnya melakukan kejahatan.

4. Pengucilan

Pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarang masyarakat
berhubungan dengannya. Sanksi ta’zir yang berupa pengucilan ini diberlakukan bila membawa
kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu.

4. Pemecatan

Pemecatan adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu, menurunkan atau
memberhentikan dari suatu tugas atau jabatan tertentu. Sanksi ta’zir yang berupa pemberhentian tugas
ini biasanya

diberlakukan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah, seperti para pegawai yang
menghianati tugas yang dibebankan kepadanya. Contohnya menerima suap, korupsi, menerima
pegawai yang tidak memenuhi persyaratan tapi semata-mata karena ikatan primordial, melakukan
kezaliman terhadap bawahannya, melarikan diri dari medan perang bagi seorang tentara, mengambil
harta terdakwa dengan maksud untuk membebaskannya, hakim tidak mau memutuskan perkara atau
melakukan jarimah hudud, dipecat (sebagai hukuman tambahan).Pada prinsipnya hukuman
pemecatandapat diterapkan dalam segala kasus kejahatan. Baik sebagai hukuman pokok, pengganti,
maupun sebagai hukuman tambahan sebagai akibat seorang pegawai yang tidak dapat dipercaya untuk
memegang suatu tugas tertentu. pengumuman kesalahan secara terbuka seperti diberitakan di media
cetak atau elektronik.Pemaafan adalah salah satu sebab hapusnya sanksi ta’zir meskipun tidak
menghapuskan seluruhnya. Para fuqaha membolehkan dalil tentang kebolehan pemaafan dalam kasus
ta’zir . Rasulullah Saw bersabda:

Terimahlah kebaikannya dan maafkanlah kejelekannya‛ (HR.Muslim)Al- Mawardi berpendapat


pemaafan adalah sebagai berikut:36

1. Bila pemaafan hak adami diberikan sebelum pengajuan gugatan kepada hakim, maka
Ulil Amri bisa memilih antara menjatuhkan sanksi ta’zir dan memaafkannya.
2. Bila pemaafan diberikan sesudah pengajuan gugatan kepada hakim oleh korban,
maka fuqaha berbeda pendapat tentang hapusnya hak Ulil Amri untuk menjatuhkan
hukuman yang berkaitan dengan hak masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa Ulil
Amri itu menjadi hapus dengan pengajuan gugatan oleh korban. pendapat ini
dipegang oleh Abu Abdillah Al-Zubair.Demikian pula pendapat Ahmad Ibn Hanbal.
Sedangkan menurut pendapat ulama’ lain hak Ulil Amri untuk menjatuhkan
hukumanyang berkaitan dengan hak jama’ah, baik sebelum maupun sesudah gugatan
oleh korban maka tidak dapat dihapus.

c. Taubat

Taubat bisa menghapuskan sanksi ta’zir apabila jarimah yang dilakukan oleh si pelaku adalah jarimah
yang berhubungan dengan hak Allah / hak jama’ah. Jumhur ulama’ sepakat bahwa taubat dapat
menghapuskan hukuman bila jarimahnya adalah jarimah hirabah.37

d. Kadaluwarsa

Kadaluwarsa dalam fiqih jinayah adalah lewatnya waktu tertentu setelah terjadinya kejahatan atau
setelah dijatuhkannya keputusan pengadilan tanpa dilaksanakan hukuman. untuk kepastian hukum
Ulil Amri harus menetapkan batas waktu kadaluwarsa dalam kasus ta’zir yang panjang pendeknya
disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan dan sanksinya.
KESIMPULAN

- Syarat wajib Qishosh dalam kitab fathul qorib Mazhab Syafii


1. .Si pembunuh adalah orang yang sudah dewasa, maka tidak akan terjadi qishash atas anak
kecil, dan seandainya pembunuh itu berkata : "pada waktu itu aku masih anak-anak, maka
(pengakuan) itu dapat dibenarkan dengan tanpa sumpah.
2. Si pembunuh adalag orang yang berakal sehat, maka tertolaklah hukuman qishash atas orang
gila, kecuali bila kegilaannya kumat-kumatan, maka ia harus di qishash pada saat sembuh
kegilaannya.

Sementara itu, wajib adanya hukum qishash atas orang yang hilang akalnya dengan sebab
meminum (minuman) yang memabukan yang melampaui batas.

3. Si pembunuh bukan orang tua yang dibunuh, maka tidak ada qishash itu wajib atas orang tua
sebab membunuh anaknya, meskipun jalur si ank itu terus ke bawah.
4. Orang yang terbunuh tidak lebih kurang dari pembunuh dengan sebab kufur atau sebab
berstatus budak, maka orang islam tidak boleh dibunuh sebab membunuh orang kafir harbi
atau dzimmi atau mu'ahad.
- Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid menyebutkan lima jenis kejahatan yang dikenai hudud,
yaitu:
a. Kejahatan atas badan, jiwa, dan anggota-anggota badan yang disebut dengan pembunuhan (al-
qatl) dan pelukaan (al-jarh).
b. Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah).
c. Kejahatan atas harta, meliputi hirabah, yaitu mengambil harta dengan cara memerangi dan
dilakukan tanpa alasan, baghyu (pemberontakan) yaitu mengambil harta dengan
caramemerangi dengan alasan tertentu, sariqah (pencurian) yaitu mengambil harta yang telah
disimpan di tempat yang layak namun pemiliknya lengah, ghasb (perampasan) yaitu
mengambil harta dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki.
d. Kejahatan atas kehormatan yang disebut tuduhan (qadzaf).
e. Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan atau minuman yang dilarang
syara‟, tapi syara‟ hanya menetapkan hukuman bagi minuman, yaitu minuman keras saja.

- Menurut ulama’ jarimah yang dikenai sanksi ta’zir jilid diantaranya adalah:

1. Pemalsuan stempel baitul mal pada zaman umar ibn khattab


2. Percobaan perzinaan
3. Pencuri yang tidak mencapai nishab
4. Kerusakan akhlak
5. Orang yang membantu perampokan

DAFTAR PUSTAKA
Abidi, A.Z dan Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT Yasrif Watampone,2010.

Abidin Farid Andi, Zainal. Hukum Pidana I. Jakarta : Sinar Grafika,1995.

Al-Maliki, Abdurrahman. Nidzam al-‘Uqubat (Sistem Sanksi dalam Islam),

terjemah oleh Syamsuddin Ramadlan. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.

Ali, Muhammad. Sejarah Fikih Islam. Jakarta : PT. Al-Kausar, 2003.

Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum.

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Bahreisj, Hussein. Terjemah Hadits Shahih Muslim 3. Jakarta: Widjaya 1983.

Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatib. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996.

Bariah, Chairul Mozasa. Aturan-aturan Hukum Trafficking (Perdagangan

Perempuan dan Anak. Medan: USU Press, 2005.

Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya : Mekar Surabaya, 2004.

Djazuli, A. Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam).

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Anda mungkin juga menyukai