Anda di halaman 1dari 20

HAPUSNYA HUKUMAN

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Jinayah dan Siyasah
Semester IV Program Studi Pendidikan Agama Islam)

Disusun Oleh:

Putri Yuliandari Nim: 219.047

Rahma Wita Nim: 219.049

Yuni Aisyi Nim: 219.065

Dosen Pembimbing:

Dr. Erwan, S.HI., MA.

NIDN: 2108088101

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)-(YDI)

LUBUK SIKAPING

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


Hapusnya Hukuman

A. Latar belakang

Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak


untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin
tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat.
Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah
dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,
( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-
bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di
dalam fiqih Jinayah.

Terjadinya suatu tindak pidana tidak selalu menimbulkan sanksi hukuman


pidana dilihat dari jatuhnya hukuman tindakan tersebut terhadap pelakunya, dan
dilihat dari suatu tindakan yang dilarang seseorang akan dipertanggungjawabkan atas
tindakan-tindakan atas tindakan tersebut dan tindakan yangg melawan hukum dan
tidak adanya pemaaf serta pengapunan sehingga bisa terjadi hapusnya hukum pidana
baik menurut hukum Islam (fiqh jinayah) ataupun hukum pidana
Indonesia,Sementara aturan dalam KUHP bahwasanya tindak pidana pembunuhan
dapat diringankan hukumannya yang terkait dengan perbuatan. Dan alasan pemaaf.
Sebagai contoh orang yang menembak mati orang lain, yang dapat disimpulkan
bahwa penembak tentunya telah melakukan suatu tindak pidaana, tetapi dalam kasus
tertentu penembak itu adalah seorang petugas yang memang ditugaskan. Seingga
dalam hal ii ada suatu alasan penghapus piadan atau hapusnya hukum pidana.
B. Pembahasan

1. Pengertian

Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah


tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau
diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan
hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah
lewat.

2. Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan.1

a. Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan

1). Jarimah Hudud.

Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman


hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman
had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak
bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat
yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori
dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri
(sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah),
dan murtad (riddah).2

1
A. Jazuli, 2000, Fiqih Jinayah “Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada), Hal.30

2
Islamul Haq, 2020, Fiqh Jinayah, (Sulawesi Selatan: Nusantara Press), Hal.77
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi
ialah:

a) Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu


berturut-turut tanpa uzur syar’i sesudah dinasihatkan.

b) Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.

c) Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.

d) Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam
sampai mati pada penzina yg sudah kawin.

e) Hukuman rotan 80 kali kepad orang yang menuduh orang berzina


tanpa bukti yang cukup.

f) Rotan 80 kali untuk peminum arak

b. Hukuman yang bisa dihapuskan

1). Jarimah Qishosh Diyat.

Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat.


Baik qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan
batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang
menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa
kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman
diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk
dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:

a) pembunuhan sengaja

b) pembunuhan semi sengaja


c) pembunuhan keliru

d) penganiayaan sengaja

e) penganiayaan

Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah


hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman
baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan
orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang
lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang
mukmin. “Dan barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka
kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (an
nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di
antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku


pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh
keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu
denda senilai 100 onta. Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan
hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan
hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari
keluarganya.

2). Jarimah Ta’zir.

Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi


terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan
hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam
penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus
sesuai dengan prinsip syar’i (nas).3

Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:

a) Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat


atau tidak memenuhi syarat, baik itu shubhat fi al fi’li, fi al fa’il,
maupun fi al mahal, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan
maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap
anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.

b) Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi


sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah
palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari
janji, menghianati amanah, dan menghina agama.

c) Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh


menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat.
Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling
utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup,
lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan


hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum
muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak
melakukan hukman ta’zir adalah pengausa atau imam namun diperkenankan
pula untuk:

3
Islamul Haq, 2020, Fiqh Jinayah, (Sulawesi Selatan: Nusantara Press), hal.121
a) Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada
anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah
baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada
anaknya meskipun anaknya idiot.

b) Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang


berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah.

c) Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya.


Apbila istrinya melakukan nusyuz.

Hukuman hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari


hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi
wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu
hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Hukuman hukuman ta’zir antara lain:

a) Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah


untuk memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan.
Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota
badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’
memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan
dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki
demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan
jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang
membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam
jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.
b) Hukuman Jilid

Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi


hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan
ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena
hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar
berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad
berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39
kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

3). Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian


ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan
terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas
tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas
tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan
pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’ ulama’ lain
menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.

Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa


hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya.
Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau
orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman


kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya.
Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau
orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
4). Hukuman Salib

Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan


(hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman
had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau
didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum
disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang
mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat.
Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.

5). Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat


akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan
ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain
jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.

Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap


sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan
ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai Abu Dzar, Engkau menghina
dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih
dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.”4

Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan


memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini
dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang
berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

4
A. Jazuli, 2000, Fiqih Jinayah “Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada), Hal.73
6). Hukuman Pengucilan (al Hajru)

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang


disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan
hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang
Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin
Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara,
sehingga turunlah firman Allah:

“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit
oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta
mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya,
kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.”

7). Hukuman Denda (tahdid)

Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman.


Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,
hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping
hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah
saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda
sebanyak dua kalinya besrta hukuman.” Hukuman yang sama juga
dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.

3. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman

Dalam kaitan dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman


tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya
karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur. Asbab raf’ al uqubah atau
sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu
diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh
karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman.

a. Paksaan (al ikrah)

Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena


orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna
pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang
memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang
mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya.
Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu
yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang
kerelaannya”. Paksaan atau koersi adalah praktik memaksa pihak lain untuk
berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan
menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari tekanan
atau kekuatan. Dalam hukum, pemaksaan dikodifikasikan sebagai kejahatan
paksaan. Tindakan tersebut digunakan sebagai pengaruh, memaksa korban
untuk bertindak dengan cara yang diinginkan.

Paksaan mungkin melibatkan penderitaan sebenarnya rasa sakit


fisik/cedera atau kerusakan psikologis dalam rangka meningkatkan kredibilitas
ancaman. Ancaman kerusakan lebih lanjut dapat menyebabkan kerja sama atau
kepatuhan dari orang yang dipaksa. Penyiksaan adalah salah satu contoh yang
paling ekstrem dari sakit parah adalah pemaksaan yaitu ditimbulkan sampai
korban memberikan informasi yang dikehendaki.

b. Mabuk (al sukru)

Mabuk dalam pengertian umum, adalah keadaan keracunan karena


konsumsi alkohol sampai kondisi di mana terjadi penurunan kemampuan
mental dan fisik. Gejala umum antara lain bicara tidak jelas, keseimbangan
kacau, koordinasi buruk, muka semburat, mata merah, dan kelakuan-kelakuan
aneh lainnya. Seorang yang terbiasa mabuk kadang disebut sebagai seorang
alkoholik, atau "pemabuk", namun jika dikaji secara mendalam dalam ilmu
filsafat dan agama, mabuk berarti tidak mengerti apa yang dikerjakan namun
dalam keadaan sadar. Pengertian lain yang dimaksud dengan mabuk adalah
hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang
sejenisnya. Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa
orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraannya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”

c. Gila (al jununu)

Secara umum dan luas, gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak
atau lemah”. Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas,
sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit
kejiwaan hyang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir). Beberapa
jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun
sebagiannya. Gila dan keadaan-keadaan lain yang sejenis:

1) Gila terus menerus

Gila terus menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
berpikir sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang
kemudian. Dikalangan fuqaha, gila semacam ini disebut dengan Al-Jununu
Al-Muthbaq.

2) Gila berselang

Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi
tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia
kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah
berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa.
Pertanggungjawaban pidana pada gila terus menerus hilang sama sekali,
sedang pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia
dalam kondisi sehat.

3) Gila sebagian

Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam


perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih
tetap dapat berpikir. Dalam kondisi dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap
dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia
bebas dari pertanggungjawaban pidana.

d. Dungu (Al-‘Ithu)

Menurut para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah


memberikan definisi sebagai berikut:5

Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya


bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau
timbul kemudian karena suatu penyakit. Dapat dipahami bahwa dungu
merupakan tingkatan gila yang paling rendah dan dungu bias dikatakan berbeda
dengan gila, karena hanya mengakibatkan lemahnya berpikir bukan
menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya
kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun
orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berpikirnya dengan
orang biasa (normal)”. Namun secara umum orang dungu tidak dibebani
pertanggungjawaban pidana.

5
Ahmad Hanafi, 1993, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Bulan Bintang), Hal.23
e. Tuli dan Bisu

Tuli adalah kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau


ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara. Bisu adalah
ketidakmampuan seseorang untuk berbicara. Bisu disebabkan oleh gangguan
pada organ-organ seperti tenggorokan, pita suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb.
Bisu umumnya diasosiasikan dengan tuli.

f. Gerakan Tidur

Dimana suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu
terhadap lingkungan menurun atau hilang, dapat di bangunkan kembali dengan
indra atau rancangan yang cukup.

g. Hipnotis

Hipnotis adalah salah satu ilmu yang digunakan untuk bermain dengan
alam bawah sadar manusia, setelah seseorang memasuki alam bawah sadarnya
kita bisa menanamkan sugesti tertentu dalam pikiran mereka dan membuat
mereka melakukan hal-hal yang kita perintahkan.

h. Dibawah umur (shighar assinni)

Menurut syari’at Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkanatas dua


perkara, yakni kekuatan beripikir dan pilihan atau iradah dan ikhtiar. Oleh
karena itu, kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan-perbedaan
masa yang dilalui hidupnya, mulai darikelahiran sampai masa memiliki kedua
perkara tersebut. Hasil penyelidikan para fuqaha’ mengatakan bahwa masa
tersebut ada tiga yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai
dewasa:
1) Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak) (0-2 tahun)

Masa ini dimulai sejak dilahirkan sampai pada usia tujuh tahun. Pada
masa ini seorang anak dianggap tidak mempunyai kemampuan berpikir atau
belum tamyiz. Boleh jadi anak yang belum berusia tujuh tahun menunjukkan
kemampuan berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyiz karena yang
menjadi ukuran kebanyakan orang bukan perseorangan. Jarirmah yang
dilakukan oleh anak di bawah umur tujuh tahun tidak dikenakan hukuman
pidana atau pun sebagai pengajaran.

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga
dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui
diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode
pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai
perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam
sub-tahapan:

a) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam


minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.

b) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai
empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-
kebiasaan.

c) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat


sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi
antara penglihatan dan pemaknaan.

d) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia


sembilan sampai dua belas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk
melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda
kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas
sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan
cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

f) Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan


tahapan awal kreativitas.

2) Masa kemampuan berpikir yang lemah (2-11 tahun)

Masa kemapuan berpikir lemah dimulai sejak usia 7 (tujuh) tahun


sampai mencapai usia baligh, dan kebanyakan para ulama membatasinya
dengan usia 15 (lima belas) tahun. Pada masa tersebut, seorang anak tidak
dikenakan pertanggung jawaban pidana akan tetapi ia bisa dijatuhi
pengajaran.Anak-anak belajar berfikir menggunakan simbol-simbol, dan
pencitraan batiniah. namun pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak
logis. pikiran di titik ini sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa untuk
dapat memahami suatu permasalahan sangatlah sulit, karena di masa ini anak
masih ingin memahami kepribadiannya. Maka dari itu pada masa ini harus
lah peran orang tua untuk membentuk sifat perilaku si anak tersebut
sehingga ketika usia nya sudah dewasa maka pemikiran nya juga layak untuk
di pergunakan.

3) Masa kemampuan berpikir penuh (11- tahun sampai dewasa)

Masa ini dimulai sejak anak mencapai usia kecerdikan (sinnur rusdy),
dengan perkataan lain anak tersebut telah mencapai usia 15 (lima belas)
tahun atau 18 (delapan belas) tahun. Pada masa ini seorang anak sudah dapat
dikenakan pertanggungjawaban pidana atas semua Jarimah-Jarimah yang
telah diperbuatnya. Tahap operasional formal adalah periode terakhir
perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak
dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa.
Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi
yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti
cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam
bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat
dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara
fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai
perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan
berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari
tahap operasional konkrit.

4. Syarat-syarat hapusnya hukuman dan permasalahannya

Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan


pengdilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri
terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu
hukuman. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan
pembatalan hukuman. Pada terhapusnya hukuman, tidak terdapat pertanggung
jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses sehingga tidak ada keputusan
hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung jawaban pidana itu ada
dan telah diproses di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun
karena sebab-sebab seperti tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat
dilaksakan kepada terhukum.Berikut ini, beberapa hal atau perbuatan yang
menyebabkan terjadinya gugurnya hukuman:6

a. Meninggalnya si pembuat Jarimah.


6
Ahmad Hanafi, 1993, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 50.
Hukuman mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal
pelaksanaannya bila si pelakunya meninggal. Namun, hukuman yang berupa
harta seperti denda, diyat. Diyat adalah sejumlah harta yang wajib di berikan
kepada pihak yang terbunuh. Diyat berlaku atas perbuatan pembunuhan atau
melukai atau menghilangkan manfaat anggota badan, Diyat di syari'atkan
dengan maksud mencegah perampasan jiwa atau penganiayaan terhadap
manusia yang harus di pelihara keselamatan jiwanya. Dan perampasan harta
dapat terus dilaksanakan.

b. Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman.

Dalam kasus Jarimah qisas (Al-Jurnani adalah yang mengenakan sebuah


tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan
oleh pelaku tersebut (terhadap korban).hukuman berpindah kepada hukuman
diyat.

c. Bertobat

Menurut para ulama tobat ini hanya ada pada Jarimah hirabah (Hirabah
berasal dari kata Harb yang artinya perang. Hirabah adalah keluarnya
gerombolan bersenjata didaerah Islam untuk mengadakan kekacauan,
penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak
tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang baik
gerombolan tersebut dari orang Islam sendiri maupun kafir Dzimmi atau kafir.
Namun mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulilamri untuk memberikan
sanksi ta’zir demi kemaslahatan umum.

C. Penutup
1. Kesimpulan

Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah


tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau
diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan
hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah
lewat. Dalam kaitan dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman
tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya
karena gila, dipaksa, mabuk, atau masih dibawah umur. Asbab raf’ al uqubah atau
sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu
diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh
karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman.

Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah


tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau
diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan
hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah
lewat. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah: Meninggalnya pelaku,
hilangnya anggota badan yang akan diqishas, tobatnya pelaku, perdamaian dan
pengampunan.
2. Saran

Kami dari pihak penulis memohon maaf mungkin dari pihak pembaca
sedikit banyaknya menemukan kekurangan, karna kami masih dalam proses tahap
belajar, dan kami sangatlah mengharapkan masukan dari para pembaca yang dapat
memberikan masukan supaya kami bisa membuat makalah yang baik dan benar
untuk kedepannya.
D. Daftar Pustaka

Islamul Haq. Fiqh Jinayah. Sulawesi Selatan: Nusantara Press. 2020.

A. Jazuli. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam). Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada. 2000.

Ahmad Hanafi. Azaz-azaz Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.

Anda mungkin juga menyukai