Anda di halaman 1dari 9

4.

Jinayat
A) Pengertian Jinayat
Jinayat merupakan istilah dalam fiqh yang merujuk kepada hukum
pidana islam. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata
jana. Secara etimologi, jana berarti dosa atau salah. Sedangkan jinayah
dapat diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Seperti dalam
kalimat jana’ala qaumihi jinayatan yang berarti “ia telah melakukan
kesalahan terhadap kaumnya”. Kata jana juga dapat berarti “memetik”
seperti dalam kalimat jana as-tsamarat, artinya “memetik buah dari
pohonnya”. Orang yang berbuat jahat disebut jani sedangkan orang yang
dikenai perbuatan disebut mujna alaih.
Kata jinayah dalam hukum sering disebut sebagai delik, ataupun
tindak pidana. Sementara secara terminology, jinayah memiliki beberapa
pengertian. Menurut Abd al-Qadir Awdah, Jinayah adalah perbuatan yang
dilarang syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau
lainnya. Pengertian yang serupa juka diungkapkan oleh Sayyid Sabiq
bahwa kata jinayah menurut tradisi syariat islam ialah segala Tindakan
yang dilarang oleh hukum syariat. Larangan dalam Islam haruslah
dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap
agama maupun manusia.
Sebagian fuqaha/ ahli fiqh mengartikan kata jinayah sebagai
perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti halnya
membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Hal
ini menyamakan istilah fiqh jinayah dengan hukum pidana. Sedangkan
Sebagian fuqaha yang lain menggunakan istilah jinayah tidak hanya
untuk kejahatan, namun juga untuk jarimah, yang didefinisikan sebagai
larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang pelanggarnya
dikenakan hukum baik berupa hal atau ta’zir.
Mesir memiliki konotasi berbeda terhadap kata Jinayah. Istilah ini
diterapkan untuk kejahatan yang diancam hukuman mati, kerja paksa
seumur hidup atau penjara. Dapat dikatakan, di Mesir, jinayah hanya
digunakan untuk kejahatan berat. Sementara dalam syari’at, setiap
kejahatan adalah jinayah.
B) Unsur-unsur dalam Jinayah
Di dalam hukum Islam, suatu perbuatan tidak boleh dihukum,
kecuali segala unsur-unsurnya terpenuhi, baik yang bersifat umum
maupun khusus. Yang dimaksud dengan unsur umum adalah :
1. Rukun syar’i
Disebut juga unsur formal, yaitu adanya nas Syara’ yang
jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika tetap
dilakukan akan dikenai hukuman. Nas Syara’ ini merupakan
hal yang sangat penting dalam hukum pidana Islam.
Sebagaimana disebut dalam suatu prinsip, la hukma li af’al
al uqala ‘qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi
perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nas)
2. Rukum maddi
Disebut juga unsur material, yaitu adanya perbuatan pidana
yang dilakukan.j
3. Rukun adabi
Disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat
diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil,
orang gila, atau orang terpaksa, tidak dapat dihukum,
Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur tersebut bermacam-
macam serta berbeda antara satu tindak pidanya dengan lainnya.
C) Macam macam jinayah/jarimah dari segi berat ringannya hukuman
Jarimah itu sebenarnya banyak sekali macamnya. Akan tetapi secara
garis besar dapat dikategorikan kedalam beberapa segi. Ditinjau dari segi
berat ringannya hukuman, maka jarimah/jinayah dapat dibagi menjadi
jarimah hudud, jarimah qisas/diyat, dan jarimah ta’zir.
1. Jarimah/Jinayah al-hudud
Jarimah al-Hudud adalah jinayah yang diancam dengan
hukuman had. Pengertia hukuman had adalah hukuman
yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah.
Dengan demikian ciri khas jarimah hudud adalah sebagai
berikut.
a) Hukumannya tertentu dan terbatas
b) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata,
atau kalau ada hak manusia di samping hak Allah,
maka hal Allah lah yang lebih menonjol. Yang
dimaksud dengan hak Allah adalah hukuman tersebut
tidak dapat dihapuskan oleh perseorangan (orang yang
menjadi korban atau keluarganya) atau oleh
masyarakat yang diwakili oleh negara.
Jarimah hudud ini ada 7 macam, antara lain sebagai berikut :
a) Zina
a) Qazaf (menuduh zina)
b) Syurbul khamr (minum minuman keras)
c) Sariqah (pencurian)
d) Hirabah (perampokan)
e) Riddah (keluar dari islam)
f) Al bagyu (Pemberontakan)
Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah,
dan pemberontakan, yang dilanggar hanyalah hak Allah.
Sedangkan pada pencurian dan qazaf, juga menyinggung hak
individu, akan tetapi hak Allah lebih menonjol.
2. Konsep Jinayah Qisas/Diyat
a) Qishas
Dalam al-majmu’ al-Mufahras li alfaz al-Quran al
karim, kata qisas disebutkan dalam dua surat sebanyak
empat ayat yaitu al- Bawarah ayat 178, 179, 194; dan dalam
surat al-maidah ayat 45, 199.
Secara harfiah, kata qisas dalam kamus al-munawwir
diartikan pidana qisas. Pengertian lain menyatakan bahwa
qisas dalam arti bahasa adalah menelusuri jejak. Pengertian
tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang
berhak atas qisas mengikuti dan menelusuri jejak tindak
pidana dari pelaku. Qisas juga diartikan keseimbangan dan
kesepadanan. Dari pengertian kedua inilah kemudian
diambil pengertian menurut istilah. Menurut syara’ adalah
memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan
perbuatannya.
Ada beberapa contoh qisas dalam al-Quran seperti
qisas pembunuh, qisas anggota badan, dan qisas dari luka.

Pelaksanaan hukuman qisas adalah sebagai berikut


1) Bagi pembunuhan sengaja maka sanksinya ada
3 yaitu :
 Hukuman pokok (al uqubat al-ashliyyah)
 Hukumam pengganti (al uqubat al-
badliyah)
 Hukuman tambahan (Al-uqubat al-
thaba’iyah)
Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena
3 perkara :
 Dosa besar
 Di qishas
 Terhalang menerima warisan

2) Bagi pembunuhan yang seperti sengaja maka


sanksinya ada 3 yaitu :
 Hukuman pokok (al uqubat al-ashliyyah)
 Hukumam pengganti (al uqubat al-
badliyah)
 Hukuman tambahan (Al-uqubat al-
thaba’iyah)
b) Diyat
Secara etimologi, diyat berasal dari kata wada-yadi-
wadyan-wa’diyatan. Diyatan berarti membayar harta
tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan
sebab tindak pidana penganiayaan (jinayat), harta yang
diberikan sebagai ganti dari jiwa yang terbunuh. Sedangkan
diyat secara terminology, harta yang wajib dibayar dan
diberikan oleh pelaku jinayat kepada korban atau walinya
sebagai ganti rugi, disebabkan jinayat yang dilakukan si
pelaku kepada korban.
Diyat terbagi kedalam dua macam, yaitu :
1) Diyat Mughaladhah
Diyat Mughaladhah adalah denda yang disebabkan
karena membunuh muslim yang merdeka secara sengaja.
Besaran yang harus dibayarkan adalah 100 ekor unta dengan
rincian : 20 ekor unta berumur 2-3 tahun, 20 ekor unta
berumur 3-4 tahun, 20 ekor unta berumur 4-5 tahun, dan 40
ekor unta khalifah (unta yang sedang mengandung).

2) Diyat mukhafafah
Diyat mukhafafah adalah denda yang disebabkan
karena membunuh muslim yang merdeka secara sengaja.
Besaran yang harus dibayarkan adalah 100 ekor unta dengan
rincian : 20 ekor berumur 0-1 tahun, 20 ekor berumur 1-2
tahun, 20 ekor berumur 2-3 tahun, 20 ekor berumur 3-4
tahun, 20 ekor berumur 4-5 tahun.

3. Konsep jinayah ta’zir


Jinayah ta’zir adalah jinayah yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah
ta’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan ar-rad
wa al man’u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi
menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh imam
al-Mawardi
“Ta’zir itu adalah hukuman atas Tindakan
pelanggaran dan kriminalitas yang diatur secara pasti dalam
hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai dengan
perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta’zir ini
sejalan dengan hukum had; yakni ia merupakan Tindakan
yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan
untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan
yang sama seperti itu.”
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir
adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’,
melaikan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya
maupun pelaksanaannya.
Berikut adalah ciri khas dari jarimah ta’zir
a) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas
b) Penetuan hukuman adalah hak penguasa
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah ta’zir dan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-
kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik
baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Ibadah secara etimologis diambil dari kata ‘abada ya’budu


‘abdan fahuwa ‘abid. Berarti hamba atau budak, yakni
seseorang yang tidak memiliki apa apa, harta dirinya sendiri
milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktivitas hamba
hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan
menghindarkan murkanya.
2. Muamalah adalah bagian dari hukum islam yang mengatur
hubungan antara seseorang dan orang lain, baik pribadi
tertentu maupun berbentuk badan hukum seperti perseroan,
firma, Yayasan, dan negara.
3. Munakahat atau pernikahan secara istilah syariat islam
berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki laki
dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga
dengan akad terebut muncul hak dan kewajiban antara kedua
insan
4. Jinayah adalah larangan larangan hukum yang diberikan
Allah yang pelanggarnya dikenankan hukum baik berupa hal
atau ta’zir
5. Jinayah/jarimah dapat dibagi menjadi tida bagian antara
lain : Jarimah hudud, jarimah qisas/diyat, dan jarimah ta’zir.
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Qadir awdah, at-Tasyri’ al-Jinai al-islami, Juz I, Beirut: Dar al


kutub, 1963

Luwis ma’luf, al-munjid, Beirut: Dar al-fikr, 1954

Abdul Qadir Audah, at-tasyri’ Al Jindi al-islam, Beirut: Ar-risalah, 1998

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut ajaran Ahli Sunnah,


Jakarta : Bulan Bintang, 1971

Syeikh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa syariah, alih bahasa,


Fachruddin HS, Akidah dan Syariat Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985

Anda mungkin juga menyukai