Anda di halaman 1dari 7

FIQH JINAYAH

PRAKATA
Secara garis besar, ajaran agama Islam terdiri atas iman, Islam, dan ihsan; atau akidah, syariah, dan
akhlak. Ketiga kategori pokok ajaran tersebut didasarkan atas hadis shahih yang menyebutkan bahwa
Malaikat Jibril pernah mendatangi Rasulullah  dan para sahabat untuk bertanya tentang iman, Islam,
dan ihsan yang sebenarnya merupakan cara untuk menyampaikan tiga hal tersebut.
Selanjutnya, ulama memilah ketiganya menjadi tiga disiplin ilmu mendasar dalam memahami ajaran
agama Islam. Iman atau akidah dipelajari melalui disiplin ilmu tauhid, Islam atau syariah dipelajari
melalui disiplin ilmu fiqh, dan ihsan atau akhlak dipelajari melalui disiplin ilmu tasawuf.
Jika seorang muslim ingin memahami ajaran agama Islam secara kaffah, maka ketiga disiplin ilmu
tersebut harus dipelajari secara baik.
Mempelajari atau mempraktikkan ajaran Islam secara parsial, yaitu hanya bagian-bagian tertentu saja
akan membawa dampak buruk. Oleh sebab itu, totalitas dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran
Islam diwajibkan oleh Allah.

A. KAJIAN FIQH JINAYAH DALAM LITERATUR FIQH KLASIK

Secara garis besar, pembahasan hukum pidana Islam dapat dibedakan menjadi dua. Ada yang
menyebutnya fiqh jinayah1 dan ada pula yang menjadikan fiqh jinayah sebagai subbagian yang terdapat
di bagian akhir isi sebuah kitab fiqh2 atau kitab hadis yang corak pemaparannya seperti kitab fiqh.
3 Kitab yang secara khusus dinamakan sebagai fiqh jinayah memiliki sistematika pembahasan yang lebih
terperinci, aktual, dan akomodatif.
Al-rukn al-adabî atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan
jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang berada di bawah ancaman.
Itulah objek utama kajian fiqh jinayah jika dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana atau arkân al-
jarîmah. Sementara itu, jika dikaitkan dengan materi pembahasan, di mana hal ini erat hubungannya
dengan unsur materiil atau al-rukn al-mâdî, maka objek utama kajian fiqh jinayah meliputi tiga masalah
pokok, yaitu sebagai berikut,

1. Jarimah qishash yang terdiri atas:


a. Jarimah pembunuhan
b. Jarimah penganiayaan
2. Jarimah hudud yang terdiri atas:
a. Jarimah zina
b. Jarimah qadzf (menuduh muslimah baik-baik berbuat zina)
c. Jarimah syurb al khamr (meminum minuman keras)
d. Jarimah al baghyu (pemberontakan)
e. Jarimah al riddah (murtad)
f. Jarimah al sariqah (pencurian)
g. Jarimah al hirabah (perampokan)
3. Jarimah ta’zir, yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara
tegas diatur oleh al quran atau hadis. Aturan teknis, jenis, dan
pelaksanannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk
jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan dalam diri manusia.

B. PENGERTIAN JARIMAH QISHASH

Secara etimologis qishash berasal dari kata qasa-yaqusu-qasasan yang berarti mengikuti;
menulusuri jejak atau langkah.
Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani, yaitu mengenakan
sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh
pelaku tersebut (terhadap korban).Sementara itu dalam Al-Mu‘jam Al-Wasît, qishash diartikan
dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak
pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.
Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah
menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiayaan boleh dianiaya karena ia pernah
menganiaya korban.

C. MACAM-MACAM QISHASH

Dalam fiqh jinayah, sanksi qishash ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan.
2. Qishash karena melakukan jarimah penganiayaan. Sanksi hukum qishash yang diberlakukan
terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana).
Dengan demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanksi qishash.
Segala sesuatunya harus diteliti secara mendalam mengenai motivasi, cara, faktor pendorong,
dan teknis ketika melakukan jarimah pembunuhan ini. Ulama fiqh membedakan jarimah
pembunuhan menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
1. Pembunuhan sengaja.
2. Pembunuhan semi-sengaja.
3. Pembunuhan tersalah.
Ketiga macam pembunuhan di atas disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam Malik.
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah mengatakan, perbedaan pendapat yang mendasar bahwa
Imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semi-sengaja, karena menurutnya di dalam
Alquran hanya ada jenis pembunuhan sengaja dan tersalah. Barangsiapa menambah satu
macam lagi, berarti ia menambah ketentuan nash. Lebih lanjut mengenai pembunuhan semi-
sengaja dan tersalah, dapat dilihat dalam buku-buku fiqh. Intinya kategori ini didasarkan atas
niat, motivasi, teknis, cara, dan alat yang dipakai. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa
pendapat jumhur ulama lebih kuat daripada pendapat-pendapat lain, sehingga qishash terhadap
anggota badan masih tetap berlaku dengan sanksi-sanksi hukum yang beragam satu sama lain
sesuai dengan jenis, cara, dan di bagian tubuh mana jarimah penganiayaan itu terjadi.

Adapun jenis-jenis jarimah penganiayaan, yaitu sebagai berikut.


1. Memotong anggota tubuh atau bagian yang semakna dengannya.
2. Menghilangkan fungsi anggota tubuh, walaupun secara fisik anggota tubuh tersebut masih
utuh.
3. Melukai di bagian kepala korban.
4. Melukai di bagian tubuh korban.
5. Melukai bagian-bagian lain yang belum disebutkan di atas.

Pertama, penganiayaan berupa memotong atau merusak anggota tubuh korban, seperti
memotong tangan, kaki, atau jari; mencabut kuku; mematahkan hidung; memotong zakar atau
testis; mengiris telinga; merobek bibir; mencungkil mata; melukai pelupuk dan bagian ujung
mata; merontokkan dan mematahkan gigi; serta menggunduli dan mencabut rambut kepala,
janggut, alis, atau kumis.
Kedua, menghilangkan fungsi anggota tubuh korban, walaupun secara fisik masih utuh.
Misalnya, merusak pendengaran, membutakan mata, menghilangkan fungsi daya penciuman
dan rasa, membuat korban bisu, membuat korban impoten atau mandul, serta membuat korban
tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya (lumpuh).
Ketiga, penganiayaan fisik di bagian kepala dan wajah korban. Dalam bahasa Arab, terdapat
perbedaan istilah antara penganiayaan di bagian kepala dan tubuh. Penganiayaan di bagian
kepala disebut Al-Syajjâj, sedangkan di bagian tubuh disebut Al-Jirâhah.
Dengan memerinci jenis-jenis luka di bagian kepala dan wajah, Abu Hanifah mengemukakan
sebelas istilah yang berbeda satu sama lain, yaitu sebagai berikut.
1. Al-Khârisah, yaitu pelukaan pada bagian permukaan kulit kepala yang tidak sampai
mengeluarkan darah.
2. Al-Dâmi’ah, yaitu pelukaan yang berakibat keluar darah, tetapi hanya menetes seperti dalam
tetesan air mata.
3. Al-Dâmiyyah, yaitu pelukaan yang berakibat darah mengucur keluar cukup deras.
4. Al-Bâdi’ah, yaitu pelukaan yang berakibat terkoyaknya atau terpotongnya daging di bagian
kepala korban.
5. Al-Mutalâhamah, yaitu pelukaan yang berakibat terpotongnya daging bagian kepala lebih
banyak dan lebih parah dibanding pada kasus Al-Bâdi’ah.
6. Al-Samhâq, yaitu pelukaan yang berakibat terpotongnya daging hingga tampak lapisan antara
kulit dan tulang kepala. Istilah ini disebut juga Al-Syajjah.
7. Al-Mudihah, yaitu pelukaan yang lebih parah daripada Al-Samhâq. Tulang korban mengalami
keretakan kecil, seperti goresan jarum.
8. Al-Hasyimah, yaitu pelukaan yang berakibat remuknya tulang korban.
9. Al-Manqalah, yaitu penganiayaan yang mengakibatkan tulang korban menjadi remuk dan
bergeser dari tempatnya semula.
10. Al-Âmah, yaitu penganiayaan yang mengakibatkan tulang menjadi remuk dan bergeser,
sekaligus tampak lapisan tipis antara tulang tengkorak dan otak.
11. Al-Dâmighah, yaitu penganiayaan yang lebih parah daripada Al-Âmah. Lapisan tipis antara
tulang tengkorak dan otak menjadi robek dan menembus otak korban.

D. PENGERTIAN JARIMAH HUDUD

Secara etimologis, hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had yang berarti (larangan,
pencegahan). Adapun secara terminologis, Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah
ditentukan dan yang wajib dilaksanakan secara haq karena Allah. Sementara itu, sebagian ahli
fiqh sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa had ialah sanksi yang
telah ditentukan secara syara’. Dengan demikian, had atau hudud mencakup semua jarimah baik
hudud, qishash, maupun diyat; sebab sanksi keseluruhannya telah ditentukan secara syara’.
Sementara itu dalam kamus Al-Mu‘jam Al-Wasît, tim perumusnya mendefinisikan hudud, yaitu
sanksi yang telah ditentukan dan wajib dibebankan kepada pelaku tindak pidana. Definisi hudud
terakhir dikemukakan oleh Abu Ya’la yang mengutip pendapat Al-Mawardi: Al-Mawardi berkata,
“Hudud ialah ancaman-ancaman yang ditetapkan Allah untuk mencegah seseorang agar tidak
melanggar apa yang dilarang dan tidak meninggalkan apa yang diperintahkan ketika syahwat
membuatnya terlena dari ancaman-ancaman siksa di akhirat lantaran mendahulukan
kenikmatan sesaat.”

E. MACAM-MACAM HUDUD
Ditinjau dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai berikut.
1. Hudud yang termasuk hak Allah.
2. Hudud yang termasuk hak manusia. Menurut Abu Ya’la,
hudud jenis pertama adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia
meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Adapun
hudud dalam kategori yang kedua adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan kepada
seseorang karena ia melanggar larangan Allah seperti berzina, meminum khamar. Hudud jenis
kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, hudud yang merupakan hak Allah, seperti hudud atas
jarimah zina, meminum minuman keras, pencurian, dan pemberontakan. Kedua, hudud yang
merupakan hak manusia, seperti had qadzf dan qishash.

F. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai