Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia.
Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain
manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu
oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan
akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara
perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram ). Di
dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya
preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran
dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini
akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Tazir Hukuman-hukuman. Setelah
mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang
maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada
dan dilaksanakan.

B. Batasan Masalah
Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya
batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah
Hapusnya hukuman, hukuman apa saja yang di hapuskan dan sebab-sebab
hapusnya hukuman

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
Mengetahui jenis hukuman, alasan penghapusan hukuman beserta macam dan
hikmahnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa
berasal dari Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaaa Biaqabihi artinya
mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan
mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang
sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Faala artinya membalasnya sesuai dengan
apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut
hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu
dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu
disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang
meyimpang yang telah dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai Siksa atau
Keputusan yang dijatuhkan Hakim. Dalam hukum positif di Indonesia istilah
hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang
dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat
menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman
perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan
oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan syara.

B. Macam-Macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al-
Quran dan al-Hadist. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah.
Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak,
pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
Hukman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan
hukuman tazir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak
melaksanakan amanah, bersaksi palsu.

b. Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang
lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat yaitu:
Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi
suatu kejahatan , seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman
jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang
menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat
dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi pembunuh yang
sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman tazir
apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
Hukuman tambahan (Al-Uqubah Al-Thabaiyah), yaitu: hukuman
yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,
seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari
harta terbunuh.
Hukuman pelengkap (Al-Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang
dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah
dijatuhkan.

Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek


berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan
hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a. Jarimah Hudud,
b. Jarimah Qishash
c. Jarimah Tazir
C. Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah
tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau
diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan
hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah
lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

D. Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa


Dihapuskan.
1. Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan
- Jarimah Hudud.
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya
ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud
tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh
perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).
Para ulama sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh,
yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun
(hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu
berturut-turut tanpa uzur syari sesudah dinasihatkan.
Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai
mati pada penzina yg sudah kawin.
Hukuman rotan 80 kali kepada orang yang menuduh orang berzina tanpa
bukti yang cukup.
Rotan 80 kali untuk peminum arak

2. Hukuman yang bisa dihapuskan


a. Jarimah Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik
qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya,
tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban
dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata.
Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman
qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan
akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara
lain:
pembunuhan sengaja
pembunuhan semi sengaja
pembunuhan keliru
penganiayaan sengaja
penganiayaan
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman
bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah
dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan
syari bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah
kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. Dan barang siapa
membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia
kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan
azab yang besar baginya. (an nisa: 93). Rosulullah SAW juga bersabda,
Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah
darah. (Muttafaqun alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan
sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia
hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (Abdl
Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman
pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli
(uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
b. Jarimah Tazir.
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi
terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup,
lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan
jarimah tazir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan
(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah tazir harus sesuai dengan prinsip
syari (nas).
Abd Qodir Awdah membagi jarimah tazir menjadi tiga, yaitu:
- Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak
memenuhi syarat, baik itu shubhat fi al fili, fi al fail, maupun fi al mahal,
namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian
harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan
harta benda.
- Jarimah tazir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh
syariah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu,
mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan
menghina agama.
- Jarimah tazir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi
wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini
unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran
terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap
pemerintah lainnya.

Dilihat dari haknya hukuman tazir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab
hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab
subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman tazir
adalah pengausa atau imam namun diperkenankan pula untuk:
1) Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman tazir kepada anaknya yang
masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak
berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
2) Majikan; seorang majikan boleh mentazir hambanya baik yang berkaitan
dengan hak dirinya maupun hak Allah.
3) Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan tazir kepada istrinya. Apbila
istrinya melakukan nusyuz.

Hukuman hukuman tazir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman


paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk
memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan
keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman tazir antara lain:

1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syariah Islam, hukuman tazir adalah untuk
memberikan pengajaran (tadib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu,
dalam hukum tazir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan
nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha memberikan pengecualian dari aturan umum
tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum
menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali
dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang
membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah
tazir tidak ada hukuman mati.

2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid
dalam tazir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama Maliki, batas
tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman tazir didasarkan atas
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam
tazir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini
didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas.
Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama
berbeda pendapat. Ulama Syafiiyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun,
karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.
Sementara ulama ulama lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan
maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman
kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung
terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang
dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang
ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman
kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung
terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang
dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang
ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan
(hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had.
Akan tetapi untuk jarimah tazir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului
dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum si terhukum disalib hidup
hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi
dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut
fuqoha tidak lebih dari tiga hari.

5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan


Ancaman juga merupakan salah satu hukuman tazir, dengan syarat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan
dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku
mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap
sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya.
Maka Rosulullah saw berkata, Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan
menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat
masa jahiliyah.
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syariat Islam dengan jalan
memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini
dicantumkan dalam al Quran sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat
dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)


Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman tazir yang
disyariatkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman
pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Kaab bin Malik, Miroroh bin Rubaiah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka
dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah firman
Allah:
Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka
mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian
Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat.

7. Hukuman Denda (tahdid)


Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syariat Islam sebagai hukuman.
Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,
hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping
hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda Rosulullah saw,
Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda sebanyak
dua kalinya besrta hukuman. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap
orang yang menyembunyikan barang hilang.

c. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman


Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan
diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan
perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai
berikut:

1. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang
paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang
karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi
pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang
memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang
mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga
paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi
untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang
pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.

2. Mabuk
Syariat Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan
mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan
delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut
pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak
dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau
secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa
yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
3. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syariat Islam artinya
dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai
kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu
dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut.
Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak
mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut
juga Junun atau Gila.

4. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syariat Islam tentang pertanggung jawab
anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama
usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syariat Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara
yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan
anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu
kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum
positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa
atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah
(kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash
diyat dan tazir.
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam
Hukum Pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi
bukan berarti tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun
terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan
hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan tazir
dalam hal beratnya hukuman. Tazir sendiri merupakan hukuman paling ringan
diantara jnis-jenis hukuman yang lain.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat
dihapuskan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini
adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau
diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan
hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah
lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Jaziri Al- Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arbaah Jilid V, 1989,


Beirut: Dar Al-Fikr Al-Arabi
Bakri M.K, Hukum Pidana Islam, 1989, Solo:Ramadhani
Ceramah Materi Kuliah Fiqh Jinayah, Oleh: Enceng Arif Faizal, S.Ag Uin SGD
Bandung, Smstr III, 2007
Drs. H. A. Hasan Gaos Dan Andewi Suhartini, M.Ag, Dasar-Dasar Fiqh
Jinayah, 2004, Bandung: Tarbiyah PressDr. Jaih Mubarok, M.Ag, Hukum
Islam, 2006, Bandung:Benang Merah.
Dr. Jaih Mubarok Dan Enceng Arif Faizal,S.Ag, Kaidah Fiqh Jinayah, 2004,
Bandung:Pustaka Bani QuraisyIbnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1990,
Semarang:Al-Syifa.
Imam Taqiyyudin Abi Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
T.T, Surabaya:Nuramalyah.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, 1958, Beirut:Dar Al-Fikr Al-Arabi.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid I Dan IV, T.T, Beirut: Dar Al-Qalam Al-
Araby
Prof. Drs. H. A. Djazuli, M. A Fiqh Jinayah, 2000, Bandung:Rajawali Press

Anda mungkin juga menyukai