Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“ HUKUM FIQH JINAYAH ’’

DISUSUN OLEH :

NAMA : Alfin Alzikri


NIM : 0204193118

Fakultas Syariah Hukum


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah
ini saya buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Fiqh Jinayah, semoga
Makalah ini dapat menambah wawasan dan pengatahuan bagi para pembaca.

Dalam penulisan Makalah ini, saya tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua
saya yang selalu mendoakan serta kepada dosen-dosen pengampu mata kuliah Fiqh Jinayah.

Saya menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saya dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan
mengharapkan kritik serta saran yang membangun perbaikan dan penyempurnaan kedepannya.

Akhir kata kami mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam
bentuk makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para pembaca.

Medan, 11 Februari 2021

Penulis

( Alfin Alzikri )
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................

B. Rumusan Masalah............................................................................

C. Tujuan penulisan .............................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian gabungan hukuman......................................................

B. Dasar hukum ...................................................................................

C. Macam-macam gabungan hukuman ................................................

D. Perbedaan Teori Gabungan Hukuman antara Hukum Pidana,

Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum Pidana Islam ........................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena
adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.1Hukuman disini terbagi kepada dua (2)
kelompok, yaitu hukuman pidana dan hukuman perdata. Hukum pidana dalam Islam dinamakan
Fiqih Jinayah.Pengertian Fiqih Jinayah disini terbagi dalam beberapa pendapat, di antaranya
pendapat para ulama Fiqih adalah Ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah
perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.Dalam Fiqih Jinayah suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindakpidana apabila
unsur-unsurnya telah terpenuhi.Unsur-unsur ini ada yang umum danada yang khusus. Unsur
umum berlaku untuk semua tindak pidana,sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-
masing tindak pidanadan berbeda antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain.
Adapun unsur-unsur umum ada 3 (tiga) macam, yaitu :
a. Unsur formal, yaitu ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya
dengan hukuman.
b. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidanabaik berupa nyata
maupun sikap.
c. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orangyang dapat dimintai
pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya .
Disamping unsur umum itu, harus pula diketahui unsur khusus yakni :
ketentuan-ketentuan yang dilanggar itu khusus memberi ciri khas pada bentuk tindakan jarimah
yang dilakukannya. Di mana setiap jarimah yang dilakukan akan berbeda ciri-cirinya, khususnya
pada pencurian misalnya ciri khususnya adalah mengambil dengan jalan kekerasan, dan
sebagainya. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa: tindakan jarimah, baru dianggap
sempurna apabila telah memenuhi unsur-unsur umum dan unsur-unsur khusus tersebut diatas.
Apabila suatu tindak pidana sudah memenuhi unsurnya, maka akan dikenakan hukuman. Ada
beberapa macam hukuman yang terdapat dalam Fiqih Jinayah, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud, seperti zina,
qadzaf , mencuri, minuman keras dan sebagainya.
b. Hukuman qishas dan diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah jarimahqishas dan
diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishas dan diyat dan
beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah jarimahtakzir.
Agar hukuman itu jelas kedudukannya, maka baru sesuatu tindakan jarimah dianggap terjadi,
apabila memenuhi bentuk ketentuan sebagai berikut:
a. Adanya Nash yang melarang perbuatan dan ancaman hukumannya terhadapnya, hal ini disebut
juga unsur formil.
b. Hukuman harus bersifat pribadi atau perorangan
c. Hukuman harus berlaku untuk umum. Umum disini dimaksudkan berlaku untuk semua orang
tanpa terkecuali, baik orang dewasa maupun di bawah umur.
Sungguhpun demikian dalam Fiqih Jinayah ada ketentuan yang harus diperbaiki lagi, apabila
pelaku jarimah itu yang belum dewasa (baligh), bisa saja tidak dikenakan hukuman pokok, yaitu
diganti dengan hukuman lainnya sebagai ganti hukuman pokok. Untuk menangani perkara
pidana tersangka atau terdakwanya adalah dibawah umur atau disebut juga anak dibawah umur,
maka pada tanggal 03 Januari 1997 pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
telahmengesahkan Undang-Undang No.3 Tahun 199711 tentang Pengadilan Anak dan dimuat
dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3886 sebagai perangkat hukum yang
lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadap anak.Disamping pertimbangan diatas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental
tindak pidana dibawah umur, perlu ditentukan pembedaan perlakuan didalam hukum acara dan
ancaman pidananya. Hal ini dapat dibedakan dalam penerapan sanksi pidananya yang berbeda
dengan sanksi orang dewasa, sebagai suatu perhatian khusus dan dedikasi terhadap tindak pidana
dibawah umur, karena tindak pidana dibawah umur yang melakukan suatu tindak pidana
merupakan pelaku yang memiliki masalah dan harus ada suatu perhatian khusus dalam
pembinaanya. Dalam Fiqih Jinayah pelaku jarimah dibawah umur juga bisa dikenakan, hukuman
atau sebaliknya, namun hukuman yang divonis oleh hakim Pengadilan Negeri terhadap tindak
pidana dibawah umur apakah sama ataukah bisa dibenarkan oleh Fiqih Jinayah? Dari fenomena
tersebut diatas penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut lagi. Maka penulis tuangkan
dalam penelitian ini dengan judul “Hukuman Bagi Pelaku Jarimah Dibawah Umur Ditinjau
Menurut Fiqih Jinayah (Studi Kasus Keputusan Pengadilan Negeri Bangkinang pada Tahun
2012)”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gabungan hukuman?
2. Apa Dasar Hukum Gabungan ?
3. Apa saja yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman?
4. Bagaimana perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum pidana
Indonesia, dan hukum pidana Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan gabungan hukuman
2. Mengetahui Dasar Hukum Gabungan
3. Mengetahui yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman
4. Mengetahui perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum pidana
Indonesia, dan hukum pidana Islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gabungan Hukuman


Samenloop dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga
disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Dalam makalah ini akan digunakan istilah
“gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab disebut Iqab atau `uqubah merupakan bentuk balasan
bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan
Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa indonesia karangan S. Wojo
Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.
Sedangkan Abdul Qadir Audah memberi definisi hukuman sebagai berikut:
‫العقوبة هي الجزاء المقر رالمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع‬
Artinya: “Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk
kemaslahatan masyarakat”. Tujuan hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan
masyarakat serta mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai
dua aspek;perventif (pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan
menghasilkan kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah
mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat
dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang
melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda. Gabungan melakukan tindak pidana dalam
hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua
hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan
pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan
dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.
Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah. Gabungan terjadi apabila
seseorang melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut
belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja, dan
adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu
jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan.

Contohnya, seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang


melaksanakan tugasnya. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan
petugas. Gabungan jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari
pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.
Contohnya seperti tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan
tangannya menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena
melakukan penganiayaan dan pembunuhan.
Dari penjelasan tersebut terlihat jelas perbedaan antara gabungan dengan pengulangan,
sebagaimana telah di uraikan di atas. Letak perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah
pelaku dalam jarimah pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir)
atau belum. Kalau belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk pengulangan.
Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman atas semua jarimah yang
dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut menunjukkan jiwa kejahatannya. Hal ini
karena ketika ia mengulangi suatu perbuatan jarimah, ia belum mendapat hukuman dan
pengajaran dari jarimah sebelumnya. Berbeda dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat
hukuman, dan dengan hukuman itu dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya. Jadi
gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah
nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu
dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan
adanya gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
 Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang
dalam hal penyertaan);
 Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
 Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
B. Dasar Hukum
Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan
hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu
tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku tindak pidana gabungan adalah
berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara sistimatis dapat
diuraikan sebagai berikut:
Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (corcursus idealis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur dalam Pasal 63
dan 64 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Bunyi rumusan Pasal 63 KUHP :
1. jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka
hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan, maka yang
dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
2. Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan
yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.
Dasar Hukum Tindakan berlanjut
Adapun dasar hukum tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64
KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :
1. Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai
satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan
walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya
berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.
2. Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalAkan memalsu
atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau
merusakkan uang
Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379 dan ayat per-tama Pasal
407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas
kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua lebih dari Rp. 25,- maka, masing-
masing dihukum menurut ketentuan dalam pasal 362,372,378 dan 406.
Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (Concursus realis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa tindak pidana diatur dalam Pasal 65
KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:
1. Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang diancam dengan
hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan.
2. Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan
itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan
sepertiganya.
Selanjutnya mengenai tindak pidana gabungan beberapa perbuatan ini juga dirumuskan dalam
Pasal 66 sebagai lanjutan dari Pasal 65 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Adapun bunyi Pasal 66 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan, tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan
hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman itu dijatuhkan, akan tetapi jumlah
hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang terberat sekali ditambah dengan sepertiganya.
2. Hukuman denda dalam hal ini dihitung menurut maksimum hukuman kurungan pengganti
denda, yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Adapun Bunyi Pasal 67 KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
"Jika dijatuhkan hukuman coati atau hukuman penjara seumur hidup, maka beserta itu tidak
boleh dijatuhkan hukuman lain dari pada mencabut hak tertentu, merampas barang yang telah
disita, dan pengumuman keputusan hakim"
Adapun bunyi Pasal 68 KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
1) Dalam hal yang tersebut dalam Pasal 65 dan 66, maka tentang hukuman tambahan berlaku
ketentuan yang berikut di bawah ini:
a. Hukuman-hukuman mencabut hak yang dijadikan satu huk-uman, lamanya sekurang-
kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun lebih dari pada hukuman-hukuman pokok
yang telah dijatauhkan, atau kalau sekiranya tidak ada hukuman pokok lain dari Benda yang
dijatuhkan, dijadikan satu hukuman sekurang-kurangnya dua tahun selama-lamanya lima tahun.
b. Hukuman-hukuman mencabut hak yang berbagai-bagai jenis, dijatuhkan masing-masing bagi
tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;
c. Hukuman-hukuman merampas beberapa barang-barang yang tertentu, begitu juga hukuman
kurungan bila barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan
dengan tidak dikurangi.
C. Macam-macam Gabungan Hukuman
1. Gabungan anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya berbuat satu
jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun
pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah
petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan
melawan petugas.
2. Gabungan nyata (concurcus realis)
Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan jelas atau
berbeda. Contoh: Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah sebelulm dijatuhi hukuman
sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun
jarimah sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum
dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu
perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa
tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu
tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa
yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP adalah tindakan nyata atau
tindakan materiil.
Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih
tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu
sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini,
makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat
dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap
perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus.
Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam
KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana
kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat
dalam pasal 70 .
Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana
pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP
mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok
yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila
seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70
memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan
pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi
masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian
bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran
itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti
denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan
dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan
hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah
semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.

3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)


Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak
pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama
lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini
diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai
perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan
berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing
merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah
digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette
handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam
concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal
65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu
pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang
dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64
KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1. Teori saling memasuki atau melengkapi
Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu
hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu dengan yang
lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangan.
a. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim,
maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman dianggap cukup. Akan
tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh: Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.
b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari bermacam-
macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan
hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh: Ali sobri memakan daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
Teori penyerapan
Yang dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman yang
lain karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh : Syaikhon adim dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap
oleh hukuman mati.
Teori penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan
imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu
adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
Contoh :
· Hak adami seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar
atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
· Hak Allah seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.
Sekalipun dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu yang
dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan
individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada prinsipnya ialah demi
kemaslahatan manusia.
D. Perbedaan Teori Gabungan Hukuman antara Hukum Pidana, Hukum Pidana
Indonesia, dan Hukum Pidana Islam
Dalam hukum positif terdapat tiga teori mengenai gabungan jarimah, yaitu:
1. Teori berganda. (cumulatie)
Menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap
jarimah yang dilakukannya. Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang
dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila digabung-
gabungkan maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.
2. Teori penyerapan. (absorptie)
Menurut teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman
yang lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah kurangnya keseimbangan antara hukuman yang
dijatuhkan dengan banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan hukuman demikian
ringan.
3. Teori campuran.
Teori merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Teori ini dimaksudkan
untuk melemahkan teori yang ada dalam kedua teori tersebut. Menurut teori campuran hukuman-
hukuman biasa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tertenu, sehingga dengan
demikian akan hilanglah kesan berlebihan dalam penjatuhan hukuman.
Dalam hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai gabungan tercantum dalam pasal 63 sampai
dengan 71 KUHP pidana. Dari pasal tersebut dapat diketaui bahwa dalam hukum pidana
Indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini. Teori-teori
tersebut adalah sebagai berikut.

1) Teori penyerapan biasa


Menurut teori ini hanya satu pidana yang diterapkan pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling
berat hukuman pokoknya, apabila suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa aturan
pidana. Contohnya: orang membunuh dengan menembak dibelakang kaca, jadi tindakkanya
adalah membunuh (pasal 339) dan merusak barang (pasal 406) maka yang diterapkan adalah
pasal 339.
2) Teori penyerapan keras
Menurut teori ini dalam hal gabungan perbuatan yang nyata yang diancam dengan hukuman
pokok adalah yang sejenis, hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa
diberatkan dengan sepertiga dari maksimum hukuman yang seberat-bratnya.
3) Teori berganda yang dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori
ini, yang tercantum dalam pasal 65 ayat (2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah
keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat, ditambah dengan sepertiganya.
4) Teori berganda biasa
Menurut teori ini, semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70 ayat (1)
yang berbunyi: “ Jika ada gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara
pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap
pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dalam hukum pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan
fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling
melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu).
Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia dengan hak-
hak Allah, maka hak manusialah yang harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas
mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan
lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya.
Bagi Imam Syafi’i tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus
dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan
hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Allah
yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman mati.
c. Teori Percampuran (al Mukhtalath)
Teori percampuran ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari dua metode
sebelumnya yaitu teori al jabbu (penyerapan) dan teori al tadaahul (saling memasuki), yaitu
dengan cara menggabungkan keduanya dan mencari jalan tengahnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua
teori tersebut tidak secara mutlak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam islam mempunyai berbagai syari’at yang tidak dapat dipisahkan dari diri seorang
muslim, dimanapun ia berada. Salah satunya gabungan hukuman yang artinya serangkai saksi
yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar telah melakukan tidakan pidana secara
berulang-ulang diantara perbuatan perbuatannya tersebut antara yang satu dengan yang lain
belum ada keputusan.
Dalam hukum pidana, hukum pidana indonesia, dan hukum pidana islam memiliki teori yang
berbeda-beda. Seperti dalam teori hukum pidana terdapat tiga teori mengenai gabungan
hukuman, yaitu teori berganda, penyerapan, dan campuran. Dalam hukum pidana Indonesia
terdapat empat teori mengenai gabungan hukuman yaitu, teori penyerapan keras, penyerapan
biasa, berganda yang dikurangi, berganda biasa. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, teori
gabungan hukuman ada tiga, yaitu teori saling melengkapi, teori penyerapan dan pencampuran.
Dalam gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha diantaranya pendapat
imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan apabila gabungan hukuman itu berupa hukuman
mati, maka dengan sendirinya jarimah-jarimah yang telah di lakukannya terhadapus, berbeda
dengan pendapat imam syafi`i yang mengemukakan semua jarimah di hukum satu-persatu, dan
cara pelaksanaan hukumannya didahulukan hak adami kemudian baru hak Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hanafi. 1968. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli. 2007. Fiqih Jarimah. Ed. 2. Cet III. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kanter, E.Y. dan S.R. 2002. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Jakarta: Storia Grafika.
Mahrus Munajad, 2004. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Djogjakarta: Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Cet I. Jakarta: Sinar
Grafik.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pusataka Setia.
R. Soesilo. 1987. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Anda mungkin juga menyukai