Anda di halaman 1dari 24

“TASYRI’ PADA MASA SAHABAT”

(Sumber-sumber dan Karakteristik Tasyri’ pada Masa Sahabat)

Diajukan Sebagai Tugas


Pada Mata Kuliah Tarikh Tasyri’
Jurusan Syariah
Prodi Akhwalul Syakhsiyah Semester III (Tiga)

Dosen Pengampu :
Munawir Haris, M.H.I

Disusun Oleh :
Nuril Fitriani (SYA. 520717004)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SORONG


Tahun Akademik 2018/2019
i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salam tak lupa kami junjungkan kepada nabi besar Muhammad
Saw, yang telah mengantarkan kita menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan.

Makalah yang berjudul “Tasyri’ pada Masa Sahabat” ini dibuat demi
memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’. Dalam menyelesaikan makalah ini
sedikit banyak kami telah belajar mengenai definisi dan keterangan sahabat serta
Tasyri’ pada masa itu. Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat membantu
dalam proses belajar mengajar serta menambah wawasan kita mengenai Tasyri’ pada
masa sahabat.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
serta saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi
acuan dalam menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam
memahami maksud penulis.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sorong, 23 Oktober 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1

Bab II Pembahasan

A. Sumber-sumber Tasyri’ Masa Sahabat ...................................................... 2


B. Ijtihad dan Ifta’ sebagai Lokomotor Tasyri’ .............................................. 12
C. Karakteristik Tasyri’ Masa Sahabat ........................................................... 15

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................................ 18
B. Saran ....................................................................................................... 18

Daftar Pustaka .................................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa dimana wafatnya Rasul, suatu kereta pemerintahan mulai
dikendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah
mengatakan bahwa Rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai
pengganti beliau dalam roda kepemimpinan pemerintah Islam. Akan tetapi,
sumbang kepedulian sahabat pada tatanan Islam yang memang sudah
dibentuk sedemikian rupa oleh Rasulullah, mereka mulai berfikir bagaimana
supaya tatanan Islam yang memang sudah dibentuk tidak pudar dan tetap
langgeng. Dari sinilah, sahabat mulai memilih salah satu sahabat dan Abu
Bakarlah yang pertam terpilih sebagai khalifah pertama disusul kemudian oleh
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali bin Abi
Thalib. Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan
ajaran dan misi kerasulan, dimana dalam menentukan hukum Islam selalu
berpegang pada fatwa Rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula
sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul itu tidak ada, mereka
berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang
disandarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja dan bagaimana sumber-sumber tasyri’ pada masa sahabat?
2. Bagaimana peran Ijtihad dan Ifta sebagai lokomotor proses tasyri’?
3. Bagaimana karakteristik tasyri’ pada masa sahabat?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber-sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat


Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul
beban setelah Rasulullah untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan
mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara
permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan nash-nya dan ada yang
belum disebutkan hukumnya. Oleh sebab itu, para sahabat dituntut untuk
mengeluarkan hukum (istinbat) dengan metode yang jelas sesuai dengan
petunjuk Nabi Muhammad saw. sehingga produk hukum yang ditetapkan
tidak kontradiktif.1 Dalam catatan sejarah, dibawah kendali khilafah dibantu
beberapa sahabat lainnya, aktifitas tasyri’ berkembang dengan sangat
mengagumkan, yang ditandai dengan lahirnya sumber dan metode baru dalam
berijtihad. Sumber tasyri’ pada periode ini selain al-Qur’an dan Sunnah, lahir
ijma’shahabi dan qiyas. Para sahabat mulai giat berijtihad baik dalam bentuk
ijtihad jama’i maupun ijtihad fardli. Ijtihad jama’i dilakukan ketika mereka
masih berada di Madinah sedangkan ijtihad fardli dilakukan ketika mereka
sudah menyebar kedaerah-daerah Islam lainnya. Ketika berhadapan dengan
persoalan baru, para sahabat akan mencari ketetapan hukum yang terkandung
dalam al-Qur’an maupun sunnah, jika tidak mereka temukan, mereka
berkumpul dan bermusyawarah untuk mendapatkan ketetapan hukum dari
persoalan baru yang dimaksud. Bila terjadi kesepakatan barulah diputuskan
ketetapan hukumnya, proses inilah yang dikemudian hari disebut dengan
ijma’ shahabi.

1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta, Amzah, 2010), hlm. 61.

2
Mustafa al-Khin berpendapat bahwa sumber tasyri’ yang digunakan pada
zaman sahabat adalah (a) al-Qur’an; (b) Sunnah; (c) Ijtihad (ra’yu). Ijtihad
yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam
melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan
hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’. Keempat
sumber dan metode ijtihad dimasa ini dapat diuraikan lebih lanjut
sebagaimana penjelasan berikut;
a. Al-Qur’an
Para Fuqaha dan Ushuliyyin serta para mufassir mendefinisikan bahwa
al-Qur’an adalah lafal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad mulai dari al-Fatihah sampai dengan an-Nas, atau lengkapnya
sebagai berikut; kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril, yang tertulis dalam
mushaf mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-Nas, yang
disampaikan oleh Rasul Allah secara mutawatir, dan membacanya bernilai
ibadah.
Tidak ada keraguan sedikitpun dibenak sahabat dalam menjadikan al-
Qur’an sebagai rujukan utama dalam berijtihad, keyakinan mereka dilatar
belakangi oleh beberapa hal, diantaranya adalah: a). Al-Qur’an sebagai
Wahyu Ilahi yang tak terbantahkan. b). Keyakinan akan kebenaran dan
kejujuran Nabi yang dikenal dengan luqab al-Amin, tidak mungkin
berbohong dengan mengatasnamakan Allah dan al-Qur’an. c). Mematuhi
al-Qur’an seutuhnya. d). Mengikuti metode Nabi dalam menetapkan
hukum.2 Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului a-Qur’an,
karena ia adalah sumber pertama bagi pembentukan akidah Islam, akhlak
yang mulia, dan hukum-hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.3
Pendekatan yang dilakukan para sahabat dalam memahami al-Qur’an,

2
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya, Jenggala Pustaka Utama, 2014), hlm. 63.
3
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta, Amzah, 2010), hlm. 63.

3
maksimal menggunakan dua metode yaitu tekstual dan kontekstual.
Secara sederhana, pendekatan tekstual berbentuk pemahaman atas hukum-
hukum al-Qur’an secara harfiah seperti pemahaman tentang ayat 38 surah
al-Maidah. Sedangkan pendekatan kontekstual adalah pemahaman produk
hukum yang lebih menekankan maqashid (kemaslahatan) yang hendak
dituju oleh Syari’. Para sahabat yang aktif mendampingi Nabi dlam
mengkonstruksi tatanan hukum Syari’at telah merekam dengan baik
peristiwa turunnya wahyu terkait hal yang melatarbelakanginya (asbabun
nuzul). Dalam perjalanannya, pemahaman sahabat tentang asbabun nuzul
memberikan kontribusi penting dalam perkembangan tasyri’ terutama
dalam memahami al-Qur’an. 4
Pada zaman turunnya risalah, al-Qur’an sudah selesai ditulis dan
disusun surah dan ayatnya serta dihafal oleh para sahabat dan setelah
terjadi peristiwa terbunuhnya sebagian sahabat penghafal al-Qur’an dalam
sebuah peperangan yang terjadi setelah Abu Bakar menjadi khalifah,
kaum muslimin menyadari betapa pentingnya menghafal al-Qur’an dan
menjaganya dari kesirnaan. Pada zaman inilah al-Qur’an pertama kali
dibukukan, kemudian dilanjutkan pada zaman Utsman bin Affan untuk
yang kedua kalinya disebabkan oleh perbedaan para penghafal al-Qur’an
terhadap sebagian bacaan sesuai dengan perbedaan logat, kemudian
Utsman ingin menyatukan mereka dengan satu mushaf lalu ditulislah
enam naskah dan salah satunya disimpan oleh beliau dan sisanya
dibagikan keseluruh negeri, mushaf inilah yang kemudian sekarang kita
kenal dengan sebutan mushaf Utsmani.
Adapun manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari al-
Qur’an adalah sebagai berikut. Jika ada masalah yang muncul dan
memang sudah ada hukumnya serta kandungan dalilnya tepat maka

4
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya, Jenggala Pustaka Utama, 2014), hlm. 63.

4
mereka akan mengambil ayat ini tanpa bermusyawarah dengan siapapun
dan tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka. Perbedaan
terkadang muncul dalam beberapa hukum yang diambil dari al-Qur’an
walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya nash yang memiliki makna lebih dari satu, seperti adanya
kata musytarak (beragam makna), yaitu kata yang mengandung dua
makna atau lebih, maupun kata yang bermkana majaz (kiasan). Contoh
kata quru’ dalam al-Qur’an surah al-Baqarah aat 228, kata tersebut adalah
bentuk jamak dari kata tunggal qar’un yang bisa diartikan haidh dan bisa
pula diartikan suci. Termasuk juga dalam hal ini ada dua nash yang
membahas satu masalah tanpa diketahui secara pasti mana yang pertama
kali dari keduanya, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah
ketika menjelaskan masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dan
firman Allah dalam surah ath-Thalaq ketika menjelaskan masa iddah
wanita hamil. Kedua ayat ini menjelaskan tentang masa iddah wanita yang
ditinggal oleh suaminya.5

b. Sunnah
Ketika sahabat tidak meragukan kapasitas al-Qur’an sebagai sumber
hukum, merekapun menegaskan bahwa tidak ada lagi alasan bagi mereka
untuk menolak sunnah sebagai sumber hukum. Bagi para sahabat,
kepatuhan terhadap Rasul, dikaitkan dengan kepatuhan terhadap Allah.
Prinsip para sahabat terhadap sunnah semakin kuat dengan beberapa sabda
Nabi. Keyakinan para sahabat terhadap kebenaran al-Qur’an
mengantarkan mereka untuk menerima Sunnah sebagai sumber rujukan
tasyri’.6 Para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada as-Sunnah
dalam mengistinbat hukum manakala tidak menemukan nash dalam kitab

5
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta, Amzah, 2010), hlm. 64.
6
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya, Jenggala Pustaka Utama, 2014), hlm. 65.

5
Allah, karena as-Sunnah adalah sumber yang kedua bagi perundang-
undangan Islam setelah al-Qur’an.7 Sikap ini ditunjukkan oleh Abu Bakar
ketika hendak memfatwakan hukum yang belum dijelaskan dalam al-
Qur’an, maka Abu Bakar terlebih dahulu menanyakan kepada para
sahabat apakah ada Sunnah Nabi perihal persoalan tersebut. Hal yang
senada juga dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam kasus wanita yang
ditinggal mati suaminya sebelum memberinya mahar. Sikap para sahabat
diatas menunjukkan kuatnya komitmen untuk merujukkan proses tasyri’
pada Sunnah Nabawi.
Sunnah yang secara linguistik, as-Sunnah berarti cara atau jalan yang
terpuji maupun yang tercela. Secara terminologi as-Sunnah diartikan
sebagai berikut:
Menurut Hafizuddin al-Nasafi (w.710) dalam Kasyful Asrar
menjelaskan bahwa sesungguhnya Sunnah adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw baik perbuatan maupun
perkataan. Akan tetapi, dalam ungkapan lain Hafizuddin al-Nasafi
menegaskan bahwa: As-Sunnah ialah berkaitan dengan perkataan Rasul,
perbuatan dan termasuk diamnya dan begitu pula termasuk perkataan para
sahabat dan perbuatan mereka.
Abu Ishak al-Syatibi dalam Muwafaqat menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Sunnah ialah apa-apa yang dinukil dari Nabi saw secara
khusus tentang apa yang tidak dinashkan (disebutkan) kepad Nabi melalui
kitab Al-Qur’an tetapi ia lahir dari Nabi sendiri baik sebagai penjelasan
terhadap al-Kitab atau tidak.
Imam al-Subki, dalam Kitab Matn Jam’i al-Jawami’ menyebutkan
Sunnah ialah berupa ucapan Muhammad saw pebuatannya dan termasuk
pula pengakuannya. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf menegaskan yang

7
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta, Amzah, 2010), hlm. 65.

6
dimaksud dengan Sunnah ialah apa-apa yang lahir dari Rasulullah saw
baik berupa ucapan, perbuatan, maupun penetapannya.
Dari keempat definisi (pengertian) yang telah dikemukakan diatas,
pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Perbedaan terlihat hanya
pada redaksionalnya saja. Pada hakekatnya apa yang disebut dengan
Sunnah Rasul itu apa-apa yang diriwayatkan, dinukil atau segala sesuatu
yang bersumber dan berasal dari Rasulullah, yang mencakup perbuatan
dan pengakuan beliau. Khusus masalah pengakuan beliau terhadap sesuatu
(taqrir) bisa terjadi melalui dua cara yaitu: Pertama, Rasulullah saw
mendiamkan suatu perkra yang diperbuat oleh sahabat ketika beliau ada.
Kedua, pengakuan terhadap perbuatan sahabat dengan membenarkan apa
yang telah dikerjakan oleh sahabat tersebut setelah dilaporkan kepada
beliau.8
Terhadap Sunnah dengan berbagai definisi diatas, para sahabat tidak
bersifat apriori dalam menerima dan menggunakan Sunnah sebagai
klausul penetapan hukum. Setiap informasi yang mereka dengar tidak
serta merta diterima, namun diseleksi terlebih dahulu, hanya Sunnah yang
diyakini validitasnya saja yang diterima dan dijadikan rujukan dalam
berijtihad.
Dalam mengukur validitas Sunnah, para sahabat tidak mengharuskan
periwayatan yang tawatur (dalam jumlah besar). Standar validitas Sunnah
dalam perspektif Abu Bakar dan Umar dengan menghadirkan dua orang
saksi, sedangkan dalam perspektif Ali bin Abi Thalib cukup dengan
bersumpah atas nama Allah bahwa apa yang diriwayatkannya benar-benar
bersumber dari Nabi. Metode ini kemudian digunakan para aimmah al-
madzhaib (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam mengukur standar
validitas hadits ahad.

8
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ (Surabaya, Jenggala Pustaka Utama, 2014), hlm. 66-67.

7
Para sahabat sangat berhati-hati dalam mericek validitas Sunnah
dengan dua alasan: pertama, menghindari kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam periwayatan, tanpa adanya kecurigaan terjadinya
manipulasi hadits. Kedua, menghindari kemungkinan intervensi yang
sengaja dilakukan oleh orang yang hendak mencederai orisinilitas dan
purifikasi Islam, sebgaimana yang dilakukan Abdullah Ibnu Saba’ yang
mempropagandakan pemikirannya pada masa Utsman dan Ali.
Kehati-hatian para sahabat dapat kita fahami mengingat peran Sunnah
dalam prosesi tasyri’ amatlah vital, mengingat kandungan hukum dlam al-
Qur’an ada yang bersifat qath’i al-dalalah (dhahir, nash, muhkam dan
mufassar) dan dhanni al-dalalah (mujmal, khafi, musykil, dan
mutasyabih). Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dzanni al-dalalah dipicu
oleh keterbatasan pengetahuan mengenai linguistika bahasa Arab dan
asbabun nuzul. Disinilah fungsi Sunnah sebagai tibyan (penjelas)
kesamaran kandungan hukum ayat-ayat al-Qur’an menjadi sesuatu yang
amat vital.9

c. Ijma’ Shahabi dan Ijtihad Kolektif


Salah satu cara sahabat dalam merumuskan hukum (syariah) adalah
dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah menyatukan
pendapat dan mencapai kata sepakat yang dikemudian hari dalam disiplin
ilmu ushul fiqh disebut ijma shohabi (jika terjadi kesepakatan mutlak) atau
qaul shohabi (jika merupakan pendapat minoritas atau individual).10
Menurut Imam Subki dalam kitabnya Matn Jam’i al-Jawami, Ijma
Shahabi adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi

9
Ibid, hlm. 67-68.
10
Ibid, hlm. 68.

8
Muhammad saw terhadap persoalan yang berkaitan dengan hukum
syara’.11
Cara seperti ini banyak digunakan oleh khulafa’ur Rasyidin dalam
menentukan hukum. Suatu ketika khalifah Umar bin Khattab mengirim
surat kepada seorang hakim bernama Syuraih: “Jika kamu temukan dalam
al-Qur’an maka putuskanlah dengannya, jangan menoleh pada yang lain.
Jika kamu berhadapan dengan apa yang tidak ada dalam al-Qur’an,
putuskanlah dengan apa yang menjadi sunnah Nabi. Dan jika dari kedua
warisan itu tidak kamu temukan, maka putuskanlah dengan apa yang telah
menjadi keputusan orang (ijma’). Tetapi, jika tidak ada dalam al-Qur’an
dan Sunnah, dan tidak ada seorang pun yang memutuskan sebelum kamu,
kamu boleh memilih antar berijtihad dengan pendapatmu sendiri atau
menakhirkan keputusanmu (Ibnu Qayyim; 66).12
Bukti autentik berjalannya syura/ijma’ shahabi ini adalah dibentuknya
tim syura oleh Umar bin Khattab untuk membahas beberapa persoalan
keagamaan termasuk dalam memutuskan penggantinya, meskipun
sebelumnya para sahabat mendesaknya untuk segera menunjuk pengganti
mengingat usianya yang sudah tua. Dalam pemikiran Umar metode yang
paling tepat dalam menyelesaikan segala hal adalah musyawarah,
mengingat hal ini telah dilegitimasi oleh firman Allah dalam Qur’an surah
al-Syura ayat 38 dan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi
Thalib.
Ijma’ sebenarnya secara substantif merupakan salah satu metode
dalam merumuskan hukum syariat yang berpedoman pada nash al-Qur’an
maupun Sunnah. Namun nash yang dijadikan pedoman ijma bukanlah
nash yang secara eksplisit, jelas dan terperinsi telah menentukan hukum.

11
Ibid, hlm. 69.
12
Ibid, hlm. 70.

9
Secara umum, pedoman ijma’ adalah dalil-dalil nash yang bersifat dzanni
(asumtif).13

4. Qiyas
Qiyas secara etimologi (lugawi), qiyas diartikan dengan mengkur
sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Dalam buku-buku ushul fiqh, kita
temukan beberapa ungkapan lain seperti mengukur dan mengamalkan,
atau qiyas dapat pula diartikan dengan mengukur sesuatu atas sesuatu
yang lain dan kemudian nmengamalkannya. Secara sederhana ulama ushul
fiqh mendefnisikan qiyas sebagai penganalogian hukum atas
permasalahan yang tidak ditegaskan dalam nash pada persoalan lain yang
hukumnya sudah ditetapkan dalam nash disebabkan adanya persamaan
illat hukum antara keduanya.14 Lalu, qiyas dapat diartikan lagi ialah
menghubungkan atau memberlakukan ketentuan hukum, sesuatu
persoalan yang sudah ada ketetapannya didalam nash kepada persoalan
baru yang tidak disebutkan oleh nash, karena keduanya mempunyai
kesamaan ‘illat.15
Oleh karena itu, apabila nash telah menjelaskan ketentuan hukum
suatu persoalan dan didalamnya ada ‘illat penetapan hukumnya, kemudian
terdapat persoalan lain (peristiwa) yang ‘illatnya sama dengan apa yang
dijelaskan oleh nash, maka keduanya berlaku ketentuan hukum yang
sama. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum yang sama antara persoalan
yang sudah pasti ketetapan hukumnya dapat dilakukan jika terdapat
persamaan ‘illat antara keduanya.
Mayoritas ulama mengakui keberadaan qiyas dalam ijtihad sahabat
melalui penelusuran beberapa pernyataan mereka, diantaranya adalah

13
Ibid, hlm. 72.
14
Ibid, hlm. 72
15
Ibid, hlm. 73

10
Umar ketika mengutus Abu Musa al-Asy’ari ia berpesan “pahamilah,
pahamilah, permasalahan yang engkau hadapi dari beberapa permasalahan
yang tidak ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Kemudian qiyaskanlah antara
beberapa permasalahan itu. Ketahuilah persamaan-persamaan (diantara
pemasalahan-permasalahan tersebut). Ali bin Abi Thalib menambahkan
bahwa bagi orang-orang yang pintar, kebenaran itu dapat diketahui
melalui qiyas. Sedangkan Ibnu Abbas berkata bahwa ia tidak akan menilai
sesuatu kecuali dengan (menganalogikan pada) sesuatu yang
menyamainya.
Bahkan boleh diklaim bahwa aplikasi qiyas mendominasi
dibandingkan metode ijtihad yang lain. Banyak sekali fatwa-fatwa sahabat
yang dirumuskan melalui pendekatan qiyas. Mayoritas sahabatpun
acapkali mengaplikasikan qiyas dalam ijtihad mereka, seperti Abu Bakar,
Umar, Ali, Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, dan lain-lain. contohnya
adalah hukum dera bagi peminum khamr yang digagas oleh Ali bin Abi
Thalib dengan menganalogikan pemabuk pada penuduh zina. Alasan yang
dikemukakannya, bahwa orang yang sedang mabuk maka ucapannya
dapat dipastikan berdusta, dan dusta yang ditetapkan dengan hukuman
dera dalam nash adalah kedustaan dalam menuduh seseorang berzina.
Maka sudah sepantasnya bagi pelaku dusta akibat mabuk sama dengan
dusta tuduhan zina (qadzaf) sebagaimana firman Allah dalam surah an-
Nur ayat 4.16

5. Al-Mashlahah al-Ammah
Para sahabat memegang betul bahwa prinsip dan tujuan utama
penerapan syariah adalah untuk menciptakan kesejahteraan universal bagi
seluruh umat manusia dan menjauhkan mereka dari marahbahaya

16
Ibid, hlm. 74-75.

11
sebagaiman termaktub dalam surah al-Anbiya’ ayat 107. Pembumian
kesejahteraan universal ini kemudian dikemas oleh para sahabat secara
metodologis yang dikenal dengan istilah al-maslahah. Salah satu metode
penerapan konsep al-maslahah adalah meminimalisir faktor kesulitan (al-
haraj), oleh karenanya salah satu proses penetapan hukum syariah
diterapkan secara tadriji (bertahap) semisal pengharaman khamr yang
sebelumnya telah menjadi budaya masyarakat arab.
Metode lainnya adalah dengan mengamandemen (menasakh) hukum-
hukum yang dinilai amat memberatkan, seperti iddah seorang perempuan
yang ditinggal mati suaminya yang semula satu tahun dirubah menjadi
empat bulan sepuluh hari. Amandemen ini merupakan bukti bahwa
syariah Islam sangat peduli dengan kesulitan yang dihadapi umatnya.
Pembumian konsep al-maslahah ini ditunjukkan secara tegas oleh
Umar bin Khattab saat menolak memberikan zakat kepada para muallaf
atau keputusannya ketika menggagalkan eksekusi potong tangan terhadap
budak-budak hathib yang terbukti mencuri. Umar memandang bahwa
kemaslahatan pembagian zakat kepada muallaf sudah hilang, sedangkan
dalam hal pencurian Umar melihat bahwa budak hathib terpaksa mencuri
sekedar menghilangkan rasa lapar.

B. Ijtihad dan Ifta’ sebagai Lokomotor Proses Tasyri’


Jika ditilik secara histori, dapat dilihat bahwa tradisi ijtihad sahabat
telah dimulai sejak masa Nabi, tepatnya ketika daerah kekuasaan Islam mulai
meluas menuju wilayah diluar hijaz, seperti Yaman dan Syam. Menyebarnya
para sahabat untuk menjadi Qadli di beberapa wilayah, membuka ruang bagi
mereka untuk berijtihad. Namun ijtihad sahabat kala itu belum begitu
signifikan mengingat problematika umat Islam belum serumit sepeninggal
Nabi.
Ijtihad sahabat pada masa khulafa’ur rasyidin

12
Para sahabat tidak menyikapi syariah secara kaku yang terlepas dari
konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka untuk
mencari jawaban-jawaban ideal syariah terhadap berbagai persoalan yang
berkembang. Interpretasi terhadap nash seperti penggunaan teori illat yang
telah dilakukan oleh Utsman adalah contoh nyata beberapa para sahabat
secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri (tujuan-tujuan
hukum) dari setiap penerapan hukum. Utsman, misalna, berkesimpulan bahwa
dibiarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi karena kondisi saat itu
aman. Jadi kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut
adanya “situasi aman” sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai
pemiliknya. Jika “situasi aman” itu tidak ada, maka nash hadits tersebut tidak
tepat menghilangkan kemaslahatan. Kerangka teori ini kemudian
dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli metodologi syariah (ushuliyyin)
dengan kaidah “al-hukmu yaduuru maa illatihi wujudan au adaman” (hukum
itu berlaku sesuai dengan “illah”nya, ada atau tidak). Bahkan pengamatan
yang kebih mendalam akan membuktikan bahwa metodologi penetapan
hukum para mujtahidin pada abad ketiga dan keempat mengacu pada
kerangka dan ruang ijtihad para sahabat. Qiyas, maslahah mursalah, istihsan
dan metode ijtihad lainnya seakan mendapat justifikasi dari ijtihad sahabat. Ini
semakin membuktikan bahwa proses tasyri sejak periode awal memberikan
ruang gerak dinamis bagi perkembangan dan pembaharuan kehidupan.
Selanjutnya, pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum dapat dilihat dari
persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat, dalam menghadapi
keadaan atau persoalan tersebut, mereka menentukan langkah-langkah dalam
berijtihad. Diantara sahabat yang menentukan thuruq al-istinbath adalah Abu
Bakar dan Umar bin Khattab.17

17
Ibid, hlm. 75-76.

13
Adapun langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam istinbath
al-ahkam adalah sebagai berikut:
a. Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan
berdasarkan ketetapan yang ada dalam al-Qur’an.
b. Apabila tidak menemukannya dalam al-Qur’an, ia mencari ketentuan
hukum dalam Sunnah; apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan
yang ada dalam Sunnah.
c. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat
lain apakah Rasul Allah telah memutuskan persoalan yang sama pada
zamannya, jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut
berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa
syarat.
d. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan
para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan diantara mereka, ia
menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.
Umar melakukan hal yang sama dengan Abu Bakar. Sebelum
mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah, ia bertanya kepada sahabat
lain: “Apakah kalian mengetahui bahwa Abu Bakar telah memutuskan kasus
yang sama?” jika pernah, ia mengikuti keputusan itu. Jika tidak ada, ia
mengumpulkan sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikannya.
Dibawah ini adalah salah satu wasiat Umar r.a kepada seorang qadli (hakim)
pada zamannya, yaitu Syuraih :
a. Berpegang teguhlah kepada al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus.
b. Apabila tidak ditentukan dalam al-Qur’an, hendaklah engkau berpegang
kepada Sunnah.
c. Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam Sunnah, berijtihadlah.
Dari beberapa temuan diatas, dapat dipengaruhi bahwa pengaruh fatwa
terhadap perkembangan hukum Islam adalah sebagai berikut:

14
1. Sahabat melakukan penalahan terhadap al-Qur’an dan sunnah
dalam menyelesaikan suatu kasus. Apabila tidak didapatkan dalam
al-Qur’an dan Sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam
menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang
muncul karena adanya peristiwa yang terjadi.
2. Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan
kasus yang dihadapi. Thuruq al-istinbath tersebut digunakan dalam
rangka menyelesaikan kasus yang dihadapi.18

C. Karakteristik Tasyri’ pada Masa Sahabat


Tasyri’ (perundang-undangan) pada masa sahabat memiliki
karakteristik dan keistimewaan sebagai berikut:
1. Fiqh pada zaman ini sangat sejalan dan serasi dengan segala permasalahan
yang muncul, tidak hanya terbatas pada apa yang pernah ada pada masa
kerasulan. Selain itu juga yang memegang kendali fatwa dan qadha’ dalam
berbagai permasalahan penting adalah para khilafah. Namun, karena
kesibukan mereka terkait masalah politik dan pengelolaan negara,
membuat mereka tidak dapat lagi menjalankan tugas ini dengan baik
sehingga akhirnya diserahkan kepada sahabat yang lain.
2. Pada zaman ini al-Qur’an telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan
yang dengannya kaum muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber
utama bagi syariat Islam yang sebelumnya mereka terpecah kepada
beberapa kelompok.
3. Pada zaman ini hadits belum driwayatkan seperti sekarang, kecuali jika
ada keperluan mendesak seperti ingin mengetahui tentang hukum satu
masalah, periwayatan tidak begitu digemari kecuali pada akhir-akhir
zaman ini ketika para sahabat terpencar diberbagai pelosok negeri yang

18
Ibid, hlm. 76-79.

15
baru ditaklukkan. Jadi, sunnah pada zaman ini masih terjaga
kemurniannya dan tidak terkontaminasi dengan kebohongan atau
penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan Rasulullah dan
karena para penukilnya adalah para sahabat Rasulullah saw yang lebih
mencintai baginda Rasulullah daripada diri mereka sendiri.
4. Pada zaman ini muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam,
yaitu ijma’ dan itu sering terjadi karena memang mudah untuk dilkukan
dan semua sebabnya memadai.
5. Pada zaman ini banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada
pemahaman tentang illat hukum baik ada atau tidaknya. Hal tersebut
sudah tentu memberikan pengaruh dimana sebagian hukum yang pernah
diamalkan di zaman Rasulullah tidak digunakan lag di zaman khulafa’ ar-
rasyidin, seperti mereka sepakat menggugurkan hak seorang muallaf dari
zakat pada zaman Abu Bakar. Padahal hal tersebut ditetapkan oleh Allah
swt dalam al-Qur’an dan sunnah karena illat yang tidak sesuai lagi, yaitu
untuk mengangkat derajat wibawa kaum pusat kekuasaan kaum muslimin
karena mereka sudah banyak berperand dan menang sehingga tidak perlu
lagi untuk melembutkan hati mereka sesuai dengan pendapat Umar bin
Khattab.
6. Para sahabat tidak mewariskan fiqh yang tertulis dapat dirujuk namun
mereka hanya mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpan dalam dada
para sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.
7. Dari paparan penjelasan tentang ra’yi (ijtihad) terlihat bahwa sebagian
sahabat ada yang agak longgar dalam memakai pendapat pribadi yang
dimotori oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin
Mas’ud. Akan tetapi, sebagian lagi ada yang sangat berhati-hati untuk

16
mengambil pendapat pribadi, khawatir berdusta kepada Allah swt yang
dimotori oleh Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit.19

19
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta, Amzah, 2010), hlm. 75-
77.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Khulafaur Rasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah
wafatnya Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat
berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbath suatu hukum yang tentunya
dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak
sebagai Musyawirin Rasul. Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang
digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad (ra’yu).
Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul
dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut
Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka
tetap terjadi khilafiah dalam istinbath hukum. Faktor yang mempengaruhi
adalah sifat al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan ra’yu, disamping
sosiokutur yang jelas sangat mempengaruhi. Perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaur Rasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai
muncul meskipun lebih kecil dibanding masa-masa berikutnya. Para sahabat
khulafaur rasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang
lepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka
untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai
problematika yang bermunculan.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penyusun banyak
berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada

18
penyusun demi sempurnanya makalah ini dan penyusunan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi
penyusun pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Nawawie, Hasyim. 2014. Tarikh Tasyri’. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.


Khalil, Rasyad Hasan. 2010. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta:
Amzah.

20

Anda mungkin juga menyukai