Anda di halaman 1dari 7

HUKUM KEWARISAN

(Pengertian)

Diajukan Sebagai Tugas


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Pada Mata Hukum Kewarisan
Program Studi Akhwal Syakhsiyyah

Jurusan Syariah

Disusun Oleh :

AAS TRI ARISKA NIM. 520717001

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SORONG

2019

1
BAB I

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kewaisan

Kewarisan berasal dari kata waris, dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan, kata “waris
“berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warsan atau irsan/ turas, yang berarti “mempusakai”,
waris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris,
serta jumlahnya. Istilah waris sama dengan faraid, yang berarti ”kadar” atau “bagian”. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata waris berarti orang yang berhak menerima pusaka
(harta peninggalan) orang yang telah meninggal.1

Di Indonesia ini terdapat 3 hukum yang mengatur tentang kewarisan:

a) Hukum waris Adat, sampai sekarang hukum waris adat pada masing-masing daerah
masih diatur secara berbeda-beda, berbeda suku maka berbeda pula penentuan hukum
waris adatnya, hal ini terjadi turun-temurun dan kemudian menjadi suatu kebiasaan, dari
kebiasaan itulah terkadang masih ada masyarkat yang menggunakan hukum waris adat
untuk mengatur segala permasalahan kewarisan.
b) Hukum waris Islam, bagi mereka yang beragama islam (sebagian penduduk Indonesia
yang beragama islam) hukum waris ini bersumber dari Al-quran sebagai sumber utama,
dan Al-hadist sebagai sumber kedua. Di dalam Al-Qur’an hukum waris ini terdapat
dalam QS. Anissa ayat 11 yang artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh

1
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PT Bale Pustaka. 2006
hal.1363

2
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Hukum waris juga dijelaskan di dalam hadis, seperti hadis “Dari Ibn Abbas nabi
Muhammad SAW bersabda ; berikanlah harta-harta pusaka kepada yang berhak, sesudah
itu kepada orang laki-laki yang lebih utama” (HR. Muslim).2
Hukum waris islam ini diatur juga dalam instruksi Presiden No;1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (Pasal 171-192)
Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah waris telah di atur dalam buku III
tentang Hukum Kewarisan yakni dari pengertian kewarisan yang terdapat dalam pasal
171, tentang ahli waris, besarnya bagian, dan penyelesaian atau auld an radd yang
terdapat dalam pasal 192.
Di dalam KHI pasal 171 yang disebut dengan:
a) Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnyaatau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.
c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d) Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkanoleh pewaris baik yang berupa
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

2
Al-Imam Abu al-Husain bin al-Hajaj Qusyairi an-Naisaburi Muslim, Sahih Muslim,
(Semarang: Usaha Keluarga, t.t), Juz II, hlm. 2.

3
e) Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f) Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g) Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada aorang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h) Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.3

c) Hukum waris Barat, bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat, berlaku
ketentuan dalam KUHPerdata. Hukum waris diatur dalam Buku II KUHPerdata jumlah
pasal yang mengatur tentang hukum waris dimulai dari Pasal 830 Sampai pasal 1065.
Namun di dalam KUHPerdata sendiri tidak ada pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum kewarisan. Hanya pada pasal 830 menyatakan bahhwa: “
pewarisan hanya berlangsungkarena kematian” dan dalam pasal 831 dijelaskan bahwa “
Bila beberapa orang, yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan,
meninggal karena suatu kecelakaan atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui
siapa yang meniggal dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama, dan
terjadi peralihan warisan dari seorang kepada yang lainnya.”4

Sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu
hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian sehingga istilah untuk hukum
waris masih beraneka ragam.
Misalnya, Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengemukakan bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang
mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih
hidup.

3
Kompilasi Hukumm Islam, BUKU II Hukum Kewarisan, Pasal 171.
4
KUHPerdata, pewarisan karena kematian, pasal 830.

4
R. Santoso Pudjosubroto, bahwa yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum
yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta
benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup
Pitlo mengemukakan Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana
berhubungan dengan meninggalnya seseoraang, akibat-akibatnya di dalam kebendaan, diatur,
yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli
waris, baik dalam hubungan antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
jadi jika kita lihat dari pengertian-pengertian hukum waris yang penulis jelaskan diatas,
maka dapat disimpulakan hukum waris yaitu Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur
tentang beralihnya hak dan kewajiban tetang harta benda seseorang waktu ia meninggal
dunia kepada orang lain yang masih hidup (ahli waris) sesuai dengan aturan hukum yang
ditentukan.

5
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata waris berarti orang yang berhak menerima
pusaka (harta peninggalan) orang yang telah meninggal..
2. Di Indonesia ini terdapat 3 hukum yang mengatur tentang kewarisan:
a. Hukum waris Adat
b. Hukum waris Islam diatur dalam instruksi Presiden No;1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (Pasal 171-192)
c. Hukum waris Barat, yang diatur dalam KUHPerdata, Hukum waris diatur dalam
Buku II KUHPerdata jumlah pasal yang mengatur tentang hukum waris dimulai dari
Pasal 830 Sampai pasal 1065

6
DAFTAR PUSTAKA

.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2006 Jakarta, PT Bale


Pustaka.
Al-Imam Abu al-Husain bin al-Hajaj Qusyairi an-Naisaburi Muslim, Sahih
Muslim, Semarang: Usaha Keluarga, t.t

Kompilasi Hukum Islam


Kitab Undang- Undang Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai