Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah Dosen Pembimbing

Tarikh Tasyri’ Afrizal Ahmad, M.Sy

PERIODISASI TASYRI’ PADA


MASA SAHABAT

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2

1. Fitrah Ramadhan
2. Muhammad Harzian

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau


Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Kelas B
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini yang berjudul “PERIODISASI TASYRI’ PADA MASA SAHABAT”. Penyusunan
makalah ini guna memenuhi salah satu syarat dan tugas akademik dalam mata kuliah “Tarikh
Tasyri’” yang diberikan oleh Bapak Afrizal Ahmad, M.Sy selaku dosen mata kuliah tersebut.

Dalam penyusunan makalah ini kami banyak menemui berbagai hambatan dan
kesulitan, sejak pencarian referensi sampai dengan penyusunan. Namun, berkat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan jadwal yang direncanakan. Oleh karena itu kami merasa berkewajiban untuk
menyampaikan ucapan terimakasih.

Pekanbaru, 15 oktober 2017

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1. Latar Belakang................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
1. Tasyri’ Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin.......................................................................2
2. Sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat................................................................................2
3. Pemegang Wewenang Tasyri’.........................................................................................3
4. Ijtihad Pada Masa Sahabat..............................................................................................4
5. Sebab-Sebab Perbedaan Dalam Fatwa............................................................................6
6. Timbulnya Sekte Politik................................................................................................10
BAB III PENUTUP................................................................................................................12
1. Kesimpulan...................................................................................................................12

Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dari masa ke masa, permasalahan dan persoalan yang dihadapi oleh seseorang akan
semakin berkembang. Begitu pula masalah yang dihadapi oleh seorang muslim tentunya juga
berkembang dan kompleks. Dan masalah terkompleks yang dihadapi oleh muslim adalah
ketika ia menemukan suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Oleh karena
itu penetapan hukum terhadap hal-hal yang belum ada ketetapannya, sangat penting
dilakukan. Adapun untuk menetapkan suatu hukum juga dibutuhkan sumber yang benar-
benar dapat dipertanggungjawabkan.

Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah Al-
Qur'an dan Al-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan
memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat dan Wahyu tidak turun lagi, maka
kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama, beralih ke tangan Khulafa al-Rasyidin
dan pra sahabat yang terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit
dengan tugas yang berat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Tasyri’ Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin

Periode ini dianggap sebagai periode pertama pembentukan fiqh islam. Periode ini
berawal dari zaman wafatnya Rasulullah dan menghadap Allah pada tahun 11 hijriah sampai
akhir zaman khulafa’ ar-rasyidin pada tahun 40 hijriah dengan gaya dan corak tersendiri.
Setelah hukum-hukum syariat sempurna pada masa kerasulan, lalu pindah ke zaman para
sahabat, mereka harus memikul tanggung jawab mencari sumber-sumber syariat yang ada
agar dapat menjawab segala perkembangn dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada
nash-nya dalam Alquran maupun sunnah.1

Menghadapi kenyataan ini, para sahabat dengan kelebihan intelektualitas, kedalaman


tingkat pemahaman dan keluasan analisis terhadap sasaran dan maqshid syariat dalam
menghadapi setiap masalah, mereka adalah orang yang sangat mampu mnjalankan mandate
fiqh ini apalai mereka mempunyai kedudukan yang mulia dalam kaum muslimin yang belum
tentu dimiliki orang-orang selain mereka seperti para tabi’in walaupun mereka juga
mempunyai kemampuan untuk menyelam seperti para sahabat.2

Sahabat adalah sebagai generasi pertama yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan.
Mereka menentukan hukum islam dengan selalu berpegang pada Alquran dan Hadits. Akan
tetapi, jika mereka menemukan sesuatu yang tidak terdapat pada alquran dan hadits mereka
berijtihad dengan tetap bersandar pada kedua hukum tersebut.3

2. Sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat

Sumber pernsyariatan (perundang – undangan) pada masa sahabat ialah:4

1.   Al-Qur’an
2.   As-Sunnah

1
Dr. Rasyad Hasan Kalil., Tarikh tasyri., AMZAH., hlm.57
2
Ibid.
3
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ikhtisar Tarikh Tasyri’., AMZAH., hlm. 45
4
Dr. Rasyad Hasan Kalil., Op.Cit., hlm. 62

2
3.   Ijma'
4.   Ra’yi (Logika)

Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-


langkah praktis sebagai berikut :

1. Meneliti dalam kitab Allah swt untuk mengetahui hukumnya.


2. Meneliti dalam Sunnah Rasulullah saw, jika tidak ada nash dalam al-Qur’an.
3. Ijma’ ( konsensus bersama ), yaitu jika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasul atau ditemukan namun bersifat global atau nashnya banyak dan setiap nashnya
memberi hukum yang berbeda atau berupa khabar ahad.
4. Ra’yi yaitu mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan
mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik dalil berupa nash al-Qur’an
atau sunnah atau dalil ‘aqli berupa qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-
dzimmah, dan sadd adz-dzari’ah.

3. Pemegang Wewenang Tasyri’

Wewenang tasyri' pada masa ini dipegang para sahabat senior. Mereka menafsirkan
nash-nash dari Alquran dan Hadits nabi serta memberi fatwa yang kemudian menjadi
pegangan sebagai dasar dalam berijtihad.

Tasyri’ pada masa Rasulullah meninggalkan berbagai perundang-undangan yang


diambil dari nash Alquran dan hadits. Tidak seluruh umat islam pada waktu itu mampu
memahami hukum-hukum yang ada. Hal ini disebabkan factor-faktor berikut:

1. Diantara umat islam ada yang masih awam tidak mampu memahami nash-nash.
2. Materi perundang-undangan dari nash tidak tersebar secara luas di kalangan
kaum muslimin, mengingat Alquran baru ditulis dan dikodifikasikan bertahun-
tahun setelah turunnya. Demikian juga hadits belum dibukukan sama sekali.
3. Banyak permasalahan yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa
Rasulullah.

3
Berdasarkan factor-faktor di atas, para sahabat bangkit memegang wewenang Tasyri’
untuk memberikan penjelasan atau penafsiran kepada kaum muslimin tenang hal-hal yang
terkait.

Para sahabat bertindak sebagai pembuat peraturan (musyarri’); menerangkan


kedudukan nash, menghubungkan satu dengan yang lainnya, serta memberi fatwa tentang
hal-hal yang tidak ada di dalam nash. Mereka bergaul lama dengan Rasulullah,, menyaksikan
sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab datnagnya hadits, dan menjadi anggota
musyawarah ketika beliau masih hidup. Oleh karena itu lahirlah para pakar penafsiran nash
dan berijtihad jika tidak ada nash. Mereka menjadi rujukan kaum muslimin sepanjang masa.

Berikut ini adalah fuqaha mufti dari kalangan sahabat senior.

1. Di Madinah, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Umar Bin Al-Khaththab (w. 23
H), Ustman bin Affan (w. 35 H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Zaid bin Tsabit (w. 45
H), Ubai bin Ka’ab (w. 21 H), Abdullah bin Umar (w. 73 H), dan Aisyah (57 H)
2. Di Mekah yaitu Abdullah bin Abbas (w. 68 H).
3. Di Kuffah yaitu ali bin Abi Thalib (w. 40 H), dan Abdullah bin Mas’ud (w.32 H)
4. Di Basrah, yaitu Anas bin Malik (w. 93 H), dan Abu musa Al-Asy’ary (w. 44 H)
5. Di Syam, yaitu Mu’az bin Jabal (w. 18 H) dan Ubadah bin Shamit (w. 34 H).
6. Di Mesir, yaitu Abdullah bi Amr bin Ash (w. 65 H).

4. Ijtihad Pada Masa Sahabat

Ijtihad secara garis besar dapat dikatakan yaitu kesungguhan para ahli hukum dalam
memutuskan sesuatu secara syara' melalui dalil tafshili. Adapun ijtihad dalam hal keputusan
hakim pengadilan adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang
berkaitan dengan nash maupun dengan istinbath tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.
Secara umum, hukum ijtihad itu wajib bagi mereka yang telah memenuhi syarat
sebagai seorang mujtahid. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali
dan merumuskan hukum di mana syara' sendiri tidak menetapkannya secara jelas. Bagi
mereka yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, wajib ittiba' atau mengikuti
pendapat ahli ijtihad. Berikut ini syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid.
a. Islam, berakal, baligh, dan adil.
b. Menguasai ayat-ayat dan hadis-hadis ahkam. Selain itu, juga mengetahui hadis yang

4
shahih dan yang tidak.
c. Mengetahui nasikh dan mansukh yang ada dalam Al Quran serta hadis.
d. Mengetahui hukum-hukum yang merupakan ijma' ulama.
e. Mengetahui berbagai metode ulama fiqh dalam ber-istidlal, seperti qiyas, ishtishhab,
istihsan, dan mashalih mursalah.
f. Memahami petunjuk-petunjuk redaksi lafal, mana redaksi lafal yang benar dan mana
yang salah.
g. Mengetahui tingkatan dalil dan metode kompromi atau pentarjih ketika, berbeda."
Adapun dalil tentang kewajiban berijtihad bagi yang telah memenuhi persyaratan itu
dapat dipahami dari firman Allah berikut.
   
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai
wawasan. (QS. AI-Hasyr (59): 2)
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangangan (faqih)
untuk mengambil i'tibar (pertimbangan dalam berpikir). Selanjutnya, ada dua bentuk ijitihad
dalam memahami Alquran dan hadis, yaitu sebagai berikut:
1. Mengambil hukum dari zahir nash (tekstual), jika nash tersebut secara tegas
menjelaskan hukum.
2. Mengambil hukum dari batin nash (kontekstual), jika nash menjelaskan `illat hukum.
Istinbath pada masa ini berbentuk fatwa dan dilakukan hanya terbatas ketika persoalan
di tengah-tengah masyarakat.
Menetapkan hukum pada masa ini terbatas pada fatwa-fatwa dari orang yang ditanya
tentang suatu peristiwa. Mereka tidak suka memperluas masalah dan tidak mau berpendapat
tentang sesuatu yang belum terjadi. Jika hal itu terjadi, mereka ber-istinbath. Fatwa-fatwa
yang dinukil dari para sahabat senior tidak banyak. Dalam berfatwa, mereka selalu berpegang
pada dua sember berikut ini:
1. Alquran. Alquran merupakan asas dan tiang agama. Para sahabat memahaminya
dengan jelas karena Alquran diturunkan dengan bahasa mereka. Mereka juga
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
2. Sunnah. Para sahabat sepakat untuk mengikutinya dan memercayai periwayatnya.
Abu Bakar ketika dihadapkan suatu masalah, memutuskannya berdasarkan Alquran.
Jika beliau tidak mendapatkannya dalam Alquran, ia melihat sunnah dan memutuskan
dengannya. Jika ia tidak mendapatkannya dalam sunnah, ia bertanya kepada para sahabat.
Demikian juga Umar ketika tidak mendapatkan jawaban dalam Alquran dan sunnah, ia

5
bertanya kepada Abu Bakar. Hal yang serupa terjadi pada Utsman dan Ali.
Berikut ini adalah contoh ijtihad sahabat senior mengenai sejumlah masalah.
Diantaranya tentang unta yang tidak bertuan. Mengenai hal ini, para sahabat memiliki
pendapat yang beragam.
1. Menurut Abu Bakar dan Umar, unta tersebut dibiarkan saja.
2. Menurut Ali bin Abi Thalib, unta tersebut dibuatkan kandang sampai si pemilik unta
datang dan mengambilnya. Biaya pembuatan kandang diambil dari baitul mal (kas
negara).
3. Menurut Utsman bin Affan, unta tersebut dijual sesuai dengan harga pasarannya lalu
uangnya diberikan kepada si pemilik unta.
ljtihad lainnya adalah tentang talak bain. Umar bin Al-Khaththab berfatwa bahwa
wanita yang ditalak bain mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika berita itu sampai
kepada Fatimah binti Qais, ia berkata bahwasanya Rasulullah tidak memberikan nafkah dan
tempat tinggal setelah ditalak bain. Menanggapi hal ini Umar menjawab, "Kita tidak
meninggalkan kitab Allah dan sunnah Nabi karena perkataan seorang perempuan yang
barangkali ia ingat atau lupa."
Sementara itu mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, para
sahabat berbeda pendapat.
1. Ibnu Abbas memilih masa iddah yang paling lama dari dua iddah yang ada.
2. Sabi'ah Al-Aslamiyyah berpendapat untuk menunggu sampai melahirkan. Setelah itu,
ia baru boleh dinikahi kembali; karena iddah merupakan masa tunggu bagi seorang
wanita untuk bisa menikah lagi.
Berijtihad pada dasarnya berpendapat. Namun, pendapat mereka ini bukan berarti
tanpa ilmu. Mereka mencela pendapat (ra'yu) yang mengikuti haws nafsu dan tidak bersandar
pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa ini ada empat sumber hukum, yaitu
Alquran; sunnah; qiyas (ra'yu) yang merupakan cabang Alquran dan sunnah; serta ijma' yang
dibentuk dengan bersandar pada Alquran, sunnah, dan qiyas.

5. Sebab-Sebab Perbedaan Dalam Fatwa

Setelah Nabi wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas
kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum.
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukumhukum
Tuhan dan menjelaskan makna Alquran setelah Nabi wafat dipegang oleh ahlul bait.

6
Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok Syiah. Sementara itu menurut kelompok yang
kedua; sebelum meninggal, Nabi tidak menunjuk penggantinya yang dapat menetapkan
perintah Allah. Alquran dan sunnah adalah sumber hukum yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Mereka ini dikenal sebagai kelompok
Ahlussunnah atau Sunni.
Ada tiga hal yang menyebabkan timbulnya ikhtilaf dalam menetapkan hukum pada
zaman sahabat senior ini. Berikut penjelasannya.
1. Penyebab Perbedaan dalam Alquran
Sebab-sebab perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Alquran, di antaranya sebagai
berikut.
a. Adanya lafal isytirak
Dalam Alquran terdapat kata zhanni al-dilalah (ada kemungkinan makna lain) tidak
qath'i al-dilalah (tidak pasti maknanya), seperti lafal yang bermakna ganda (isytirak);
sementara lafal umum ada kemungkinan takhsis atau lafal mutlak yang kemungkinan
taqyid." Umpamanya firman Allah berikut ini.
      
Wanita-wanita yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu dirinya tiga kali
quru. (QS. At-Baqarah (2): 228)
Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa quru' berarti masa suci, sementara Umar bin Al-
Khaththab memahaminya sebagai masa haid.
b. Adanya dua hukum yang berbeda pada seseorang
Hukum yang ditentukan Alquran masing-masing "berdiri sendiri" tanpa
mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus.
Misalnya, dalam Alquran terdapat ketentuan bahwa iddah bagi wanita yang dicerai
karena suaminya meninggal dunia adalah empat bulan sepulul, hari.
       
           
       

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan mininggalkan istri-istrin


(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh,
hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa baginya, (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah (2): 234)

7
Sementara itu, iddah bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil adalah hingga
melahirkan.

      


Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai
mereka melahirkan kandungannya. (QS. Al-Thalaq (65): 4)
Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita hamil
yang ditinggal mati suaminya.
2. Penyebab Perbedaan pada Sunnah
Sunnah adakalanya dilakukan secara terang-terangan oleh Nabi di hadapan para
sahabat. Misalnya, Nabi shalat di masjid untuk memperlihatkan tata caranya dan jumlah
rakaatnya. Hal yang serupa juga terjadi pada haji. Sementara itu, ada pula sunnah yang
disampaikan kepada beberapa orang sahabat saja. Sunnah yang semacam ini pada
umumnya sunnah gauliyyah yang menjadi sumber perbedaan. Berikut ini beberapa
penyebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan sunnah.
a. Sunnah belum dibukukan," sementara tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang
sama terhadap sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaannya cukup luas dan ada
yang tidak. Hal itu terjadi karena intensitas kebersamaan mereka dengan Nabi
berbeda-beda. Begitu pula dengan proses masuk Islam, ada yang masuk lebih awal
dan ada yang masuk belakangan. Mengenai penerimaan periwayatan hadis, Umar
mensyaratkan adanya saksi, sedangkan Ali mensyaratkan periwayatnya untuk
bersumpah.
b. Kadang-kadang riwayat sampai kepada seorang sahabat, tetapi belum atau tidak
sampai kepada sahabat yang lain; sehingga di antara mereka ada yang mengamalkan
ra'yu karena ketidaktahuan mengenai sunnah. Umpamanya Abu Hurairah berpendapat
bahwa orang yang masih junub pada waktu shubuh, tidak dihitung berpuasa
Ramadhan. Kemudian pendapat ini didengar oleh Aisyah yang berpendapat
sebaliknya. Aisyah menjadikan peristiwa yang terjadi dengan Nabi sebagai alasan.
Oleh sebab itu, Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.

c. Sahabat berbeda pendapat dalam menakwilkan sunnah. Mereka terkadang mengambil


keumuman dalam ayat Alquran dan ditakhsis dengan sunnah. Umpamanya sebagian
besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf adalah sunnah, sedangkan
Ibnu Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf tidak sunnah.

8
3. Penyebab Perbedaan dalam Ra'yu (Intervensi Akal)
Adanya perbedaan dalam ra'yu dikalangan sahabat disebabkan lingkungan yang
berbeda. Hal itu menyebabkan maslahat dan kebutuhan tasyri' yang berbeda pula.
Abdullah bin Umar yang tinggal di Madinah tidak menghadapi permasalahan yang sama
dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan yang tinggal di Syam atau dengan Abdullah bin
Mas'ud yang tinggal di Kufah." Misalnya, pendapat Umar dan Ali tentang perempuan
yang akan menikah tetapi menanti iddah dalam waktu tunggunya:
a. Umar berpendapat, perempuan yang akan menikah tetapi tengah menanti iddah; harus
dipisah, apabila belum bergaul. Sementara itu apabila sudah bergaul, tetap harus
pisah dan si perempuan menyelesaikan dua iddah yaitu iddah dari suami yang
pertama dan iddah dari suami berikutnya.
b. Menurut Ali, perempuan itu harus menyelesaikan iddah yang pertama Ali berpegang
pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegangan pada tujuan hukum, yaitu agar
orang tidak melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan
adanya beberapa faktor. Berikut ini pemaparannya.
a. Adanya perbedaan dalam memahami nash Alquran dan hadis. Perbedaan ini biasanya
disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan adanya perbedaan
persepsi di kalangan sahabat, seperti persoalan quru' dalam QS. Al-Baqarah (2): 228.
Ayat tersebut merupakan ayat ahkam yang musytarak atau belum pasti pengertiannya.
b. Adanya dua nash yang saling berlawanan. Para sahabat sepakat bahwa masalah
seperti ini harus melewati tiga tahapan, yaitu mencari titik temu, mencari dalil-dalil
yang menguatkan salah satu nash, dan menerapkan teori nash.
c. Sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa
berdasarkan sunnah, sementara yang lain menganggapnya tidak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai hadis shahih. pada masa ini terjadi seleksi yang sangat
ketat terhadap periwayatan hadis. Beberapa hadis yang dijadikan sebagai sumber
hukum oleh sebagian fuqaha ditolak oleh fuqaha lain karena berbagai alasan.
Selektifnya penerimaan periwayatan hadis ini diatur oleh satu pihak dan
kecenderungan untuk mengamalkan hadis dilakukan oleh lain pihak, terutama di
kalangan ulania Madinah.
d. Adanya perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari
perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat
dalam suatu persoalan yang sama. Hal ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh
9
Islam.
e. Adanya kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Khulafaur Rasyidin dalam
melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan
kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat
pada periode ini.
f. Adanya perbedaan mereka dalam menerima hadis dari Rasulullah. Sebagian sahabat
ada yang menerima hadis dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya
menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka.
Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis saja mereka banyak menerima hadis,
demikian sebaliknya.

6. Timbulnya Sekte Politik

Terpecahnya golongan politik pada mulanya lantaran urusan pemimpin umat semata.
Akan tetapi, lambat laun pergolakan politik tersebut merembet ke persoalan agama yang
mempunyai pengaruh berbahaya dalam jalannya perundang-undangan Islam. Hal ini terjadi
sesudah terbunuhnya Utsman hin Affan dan dilantiknya Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
Kekhafihan Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan yang hebat dari Mu'awiyah bin Abu
Sufyan. Dua kubu lalu bertemu dalam Perang Shifin. Selang beberapa Waktu, pertempuran-
pertempuran berakhir dengan perdamaian. Akan tetapi, sebagian pendukung Ali memilih
keluar dari barisan dan membuat kelompok sendiri yang disebut dengan Khawarij. Ali lalu
dibunuh oleh seorang Khawarij dan sebagian besar kaum muslimin di bawah kepemimpinan
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa itu membuat umat Islam terpecah menjadi tiga
golongan.
1. Golongan Syiah
Golongan ini yang sangat mencintai sahabat Ali bin Abi Thalib beserta
keturunannya dengan cara yang berlebihan. Golongan ini berpendapat bahwa Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya adalah pihak yang paling berhak untuk memangku
jabatan khalifah, sebab hanya ia yang mendapat pesan dari Rasulullah untuk
memangku jabatan khalifah setelah beliau wafat.
2. Golongan Khawarij
Khawarij golongan orang-orang yang dendam atas Utsman, Ali, dan
Muawiyah. Mereka menolak tahkim antara pendukung Ali dan Mu'awiyah, karena
penurunan Ali dari takhta kekhalifahan dianggap menyalahi hukum Ahli

10
Konsekuensinya mereka menolak semua hadis, fatwa, dan pendapat sahabat yang
terlibat dalam tahkim. Mereka hanya menerima hadis yang diriwayatkan, ulama
tertentu. Tidak hanya itu, mereka mempunyai pedoman fiqh yang berbeda."
3. Golongan Ahlussunnah (Sunni)
Mereka adalah golongan mayoritas umat Islam yang mendukung kekhalifahan
Mu'awiyah. Golongan ini tidak mengikuti pendirian golongan Khawarij dan Syiah.
Golongan ini tidak berpendapat bahwa jabatan khalifah itu merupakan wasiat yang
diberikan kepada seseorang. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah
itu dipilih dari suku Quraisy yang cakap, jika ada. Mereka menakwilkan
persengketaan yang terjadi di kalangan sahabat adalah persoalan ijtihad dalam politik
yang tidak ada sangkut pautnya dengan status kafir atau mukmin.

11
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Khulafaur Rasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah


A. Setelah beliau wafat, para sahabat berkedudukan sebagai pembuat syariat (musyarri')
dalam ber-istinbath dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasulullah.
Sumber hukum yang digunakan pada zaman sahabat adalah Alquran, sunnah, qiyas
(ra'yu), dan ijma'. Alquran pada masa ini telah dibukukan. Latar belakang pembukuan antara
dua Khalifah berbeda. Usul mengenai pembukuan Alquran telah muncul pada masa Abu
Bakar. Ketika itu ada kekhawatiran hilangnya Alquran dari ingatan kaum muslimin karena
para I hanyak yang gugur akibat perang melawan pembangkang. Sementara masa Utsman,
dilatarbelakangi adanya perbedaan bacaan Alquran.
Ijtihad yang dilakukan pada masa itu berbentuk kolektif. Para sahabat berkumpul dan
memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah itu disebut ijma'. Walaupun para
sahabat melakukan musyawarah, diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam ber-istinbath.
Faktor yang menyebabkan perbedaan itu adalah karena sifat Alquran dan sunnah serta
perbedaan ra'yu. Di samping itu, perbedaan sosiokultural juga jelas berpengaruh. Pemegang
wewenang tasyri adalah para sahabat senior, seperti Khulafaur Rasyidin
Sementara itu penyebab perbedaan pendapat dalam memahami Alquran ada dua, yaitu
adanya lafal isytirak dan adanya dua hukum yang berbeda pada seseorang. Adapun penyebab
perbedaan pendapat dalam sunnah, yaitu sunnah belum dibukukan, adanya sunnah yang
hanya sampai kepada sebagian sahabat, dan sahabat berbeda pendapat dalam mentakwilkan
sunnah. Selanjutnya beberapa penyebab ikhtilaf pada periode ini, yaitu adanya perbedaan
dalam memahami Alquran dan hadis, adanya dua nash saling berlawanan, adanya perbedaan
dalam menilai kualitas sunnah, perbedaan kaidah dan metode ijtihad yang.digunakan para
sahabat, kebebasan dan kesungguhan para sahabat dalam melakukan ijtihad, serta perbedaan
mereka dalam menerima hadis dari Rasulullah perbedaan tersebut ternyata merambah ke
bidang politik sehingga timbul tiga sekte politik, yaitu Syiah, Khawarij, dan Ahlussunnah
(Sunni).

12
Daftar Pustaka

Dr. Rasyad Hasan Kalil, Tarikh tasyri, AMZAH.


Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ikhtisar Tarikh Tasyri’, AMZAH.

13

Anda mungkin juga menyukai