DI SUSUN OLEH:
Dawian Silpa
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
1
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya: Risalah Gusti 1995, hlm.33
2
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.66
1.2. Rumusan Masalah
Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam
makalah ini. Ada pula sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah
ini antara lain:
1.3. Tujuan
Pembuatan makalah ini tentu mempunyai tujuan penulisan, yang dimana tujuan
itu agar kami sebagai pemakalah bisa mengetahui bagaimana hukum Islam pada
periode sahabat, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh fatwa terhadap perkembangan
hukum Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana sumber hukum islam pada periode sahabat.
3. Untuk mengetahui bagaimana sebab ikhtilaf pada periode sahabat.
4. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan fatwa sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
Islam adalah agama yang fleksibel dan luwes dalam menjaga tujuan-tujuan
pensyari’atan (maqasid al-syari’ah). Salah satu elemen fleksibilitas ajaran Islam adalah
fatwa. Fatwa secara bahasa berarti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum, sedangkan menurut para ulama ushul fiqh fatwa diartikan
sebagai pendapat yang dikemukakan yang sifatnya tidak mengikat.3
Setelah Rasulullah SAW, orang-orang yang memberikan fatwa adalah para
generasi awal Islam, penyandang keimanan, prajurit al-Qur’an dan tentara Allah Yang
Maha Pengasih, mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW.4
Kita telah mengetahui bahwa para sahabat tidak mempunyai posisi dan prestasi
yang sama satu sama lain, terutama bila dilihat dari kemampuan bernalar dan berijtihad.
Tentu, hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi bahwa ada sahabat yang sering dijadikan
Rasul sebagai teman diskusi dan bermusyawarah dalam memecahkan persoalan yang
besar, ada pula sahabat yang jarang atau tidak pernah sama sekali berdiskusi dengan
Rasulullah. Menurut Ibn Khaldun, tidak semua sahabat itu mampu berfatwa dan tidak
pula semua mereka dapat diambil dan dijadikan pedoman agama.5
Banyak sahabat yang menjadi mufti dan guru di berbagai daerah di antaranya
adalah: Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi
Thalib.
Pada masa sahabat ini, terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan masyarakat,
karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat. Dari
tuntutan dan komitmen untuk menjalankan ajaran Islam, serta tingginya keimanan dan
kepatuhan kepada Islam, mereka selalu menghubungkan tingkah laku sehari-hari
3
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar baru van hoeve, 1996), hlm.236
4
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, hlm.29
5
Abdurrahamn ibnu Muhammad ibn Muhammad Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, (Mesir: Maktabah al-
Qur’an, 2006), h. 446.
dengan nilai agama. Untuk menemukan jawaban atas persoalan yang timbul maka
berkembanglah ijtihad.
Ada tiga hal pokok yang menjadi asal lahirnya ijtihad tersebut:
1. Munculnya berbagai persoalan baru, yang membutuhkan jawaban hukum yang
secara lahiriah tidak dapat ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an maupun
sunnah.
2. Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuannya dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan
menghendaki pemahaman baru agar selalu relevan dengan perkembagan dan
persolaan yang dihadapi.
3. Dalam al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas dan
terpisah. Bila hal ini berlaku dalam keadaan tertentu, para sahabat akan
menemukan kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada.
Dalam realitanya, pada masa selanjutnya, pasca masa kelesuan berijtihad (jumud)
perkembangan hukum Islam senantiasa menampakkan potret keragaman pemikiran
yang amat varian, baik berkenaan dengan konstruk teori-teori pemikiran Hukum Islam
yang bersifat mendasar maupun beberapa aspek khusus yang bersifat parsial. 6 Dalam
perkembangan hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut terkait dengan
perbedaan dikalangan para ulama’, implikasi dari perbedaan ini terdapat pro dan kontra,
ada pandangan yang beranggapan bahwa perbedaan merupakan biang perpecahan,
namun tidak sedikit yang beranggapan bahwa perbedaan merupakan sebuah hikmah
yang mendorong perkembangan dalam hukum Islam.
6
Roibin, Penetapan hukum Islam dalam Lintasan sejarah, (Malang, UIN Press, 2010), hlm.vii
tidak menemukan hukumnya pada kedua sumber tersebut mereka berkumpul
bermusyawarah guna membicarakan persoalan itu dan bila terjadi kesepakatan barulah
diputuskan persoalan yang mereka hadapi yang kemudian dikenal dengan ijtihad.
Keempat sumber dan metode ijtihad di masa ini dapat dielaborasi lebih lanjut
sebagaimana penjelasan berikut;
1. Al-Qur’an
Para Fuqaha dan ushuliyyin serta para mufassir mendefinisikan bahwa al-Qur’an
adalah lafal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad mulai dari al-
fatihah sampai dengan an-nas, atau kalam Allah yang mu’jiz yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dengan perantara jibril, yang tertulis dalam mushaf mulai dari
surat al-fatihah sampai dengan surat an-Nas, yang disampaikan oleh Rasul Allah secara
mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.8
7
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.62
8
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.62
9
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.64
2. Sunnah
Prinsip para sahabat terhadap sunnah semakin kuat dengan beberapa sabda Nabi.
Keyakinan para sahabat terhadap kebenaran al-Qur’an mengantarkan mereka untuk
menerima Sunnah sebagai sumber rujukan tasyri’.10
Dikutip dari buku Tarikh tasyri’, menurut Abu Thalib (1990) menyatakan bahwa
Sunnah secara linguistik, as-Sunnah berarti cara atau jalan yang terpuji maupun yang
tercela. Secara terminologi menurut Hafizuddin al-Nasafi (w. 710) dalam Kasyful Asrar
(1986:3). Menjelaskan bahwa Sesungguhnya Sunnah adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari Nabi Muhammad saw. baik perbuatan maupun perkataan. Akan tetapi, dalam
ungkapan lain Hafizuddin al-Nasafi menegaskan bahwa: as-Sunnah ialah berkaitan
dengan perkataan Rasul, perbuatan dan termasuk diamnya dan begitu pula termasuk
perkataan para sahabat dan perbuatan mereka.
Salah satu cara sahabat dalam merumuskan hukum (syariah) adalah dengan
mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah menyatukan pendapat dan mencapai
kata sepakat yang di kemudian hari dalam disiplin ilmu ushul fiqh disebut ijma’ shohabi
(jika terjadi kesepakatan mutlak) atau qaul shohabi (jika merupakan pendapat minoritas
atau individual).11
10
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.65
11
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.68
Ijma’ yang berarti secara bahasa, Ijma’ berarti sepakat atau konsensus dari
sejumlah orang terhadap sesuatu. Menurut Imam Subki dalam kitabnya Matn Jam’i al-
Jawami adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
terhadap persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’. Persoalan ijma’ adalah
menyangkut masalah ijtihadiyah dan hal ini berkaitan dengan aktifitas para mujtahid
dalam urusan hukum.
4. Qiyas
Qiyas yang secara etimologi (lugawi), qiyas diartikan dengan mengukur sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Atau qiyas dapat pula diartikan dengan mengukur sesuatu
atas sesuatu yang lain dan kemudian mengamalkannya. Secara sederhana ulama ushul
fiqh mendefinisikan qiyas sebagai penganalogian hukum atas permasalahan yang tidak
ditegaskan dalam nash pada persoalan lain yang hukumnya sudah ditetapkan dalam
nash disebabkan adanya persamaan illat hukum antara keduanya. (al- Khin, 1969; 468)
5. Al-Maslahah al-Ammah
Para sahabat memegang betul bahwa prinsip dan tujuan utama penerapan syariah
adalah untuk menciptakan kesejahteraan universal bagi seluruh umat manusia dan
menjauhkan mereka dari marabahaya sebagaimana termaktub dalam al-anbiya’ 107.
12
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.72
Salah satu metode penerapan konsep al-maslahah adalah meminimalisir faktor kesulitan
(al-haraj), oleh karenanya salah satu proses penetapan hukum syariah diterapkan secara
tadriji (bertahap) semisal pengharaman khamr yang sebelumnya telah menjadi budaya
masyarakat arab.
Perbedaan pendapat telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Sahabat
berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu kasus karena mereka tidak terjaga dari
kekeliruan. Selain itu sebab lain ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi
tiga, antara lain:
Lafadh quru’ memiliki arti mustarak antara makna bersih dan haidh. Maka dari
sini mereka berbeda pendapat tentang masa menunggu iddah wanita yang diceraikan
suaminya antara tiga kali bersih atau tiga kali haidh.
Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah, hal ini
dikarenakan perbedaan masa kebersamaan dengan Nabi.
Riwayat yang telah sampai kepada seorang sahabat belum tentu sampai juga
kepada sahabat lainnya.
Sahabat berbeda pendapat dalam menakwilkan sunnah.
Pada masa itu Belum ada pembukuan terhadap sunnah nabi.
Para sahabat menggunakan ra’yu apabila tidak menemukan nash dalam Al-qur’an
dan As-sunnah. Meskipun dipandang sebagai maslahat dan lebih dekat dengan syari’at
namun perbedaan pola pikir diantara sahabat juga menimbulkan perbedaan dalam
menanggapi suatu masalah.
Selain itu faktor domisili juga ikut mempengaruhi perbedaan dalam menentukan
hukum atas suatu masalah karena kebutuhan atas pemenuhan kemaslahatan umum suatu
negeri berbeda dengan negeri lain.
Salah satu ijtihad Abu Bakar yaitu berkenaan dengan harta peninggalan Nabi
Muhammad saw. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa ahli waris dapat menerima harta
pusaka apabila yang mewariskan (muwarits) meninggalkan harta (Q.S. an-Nisa 4:11).
Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, yang menjadi ahli waris adalah Fatimah.
Kami adalah sekalian para nabi tidak mewariskan harta: harta yang kami
tinggalkan adalah shodaqoh.
Berdasarkan riwayat itu, Abu Bakar berijtihad bahwa surat an-Nisa ayat 11 di-takhsish
oleh hadits tersebut. Karena itu, Fatimah tidak dapat menerima harta pusaka karena
yang ditinggalkan Nabi adalah shadaqah. (Muhammad ibn al-Hasan al-Hujwi, al-
Tsa’alabi al-fasi, 1397 H., I: 230-231)14
Pada Masa Umar bin Khattab, Islam mulai menyebar. Masalah hukum juga
semakin bertambah dan semakin luas pula peranan para gubernur. Oleh karena itu,
Umar bin Khattab memisahkan peradilan (yudikatif) dari pemerintahan (eksekutif), dan
mengangkat beberapa orang sebagai hakim selain gubernur. 16 Pada masa Umar, telah
mengalami pengkhususan dalam bidang hukum. Namun apabila khalifah berpartisipasi
13
Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 56
14
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, SH., M.HI., M.Si., Tarikh Tasyri’, hlm.82-83
15
Dedi Supriyadi, Op.Cit,., h. 70-71
16
Alaiddin Koto, Op.Cit, h. 63
dalam hukum, maka hal tersebut berdasarkan pengetahuan khalifah tentang hukum
bukan berdasarkan jabatan politiknya.
Umar tidak hanya dikenal pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga
memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada, jika hal
tersebut diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam. 17 Contoh ijtihad Umar
adalah menurut Surat Al-Ma’idah ayat 38 orang yang mencuri, diancam dengan
hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam
masyarakat disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri
tersebut tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan
darurat dan kemaslahatan jiwa masyarakat.
17
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 103.
18
Abu Su’ud, Op.Cit., h. 61.
19
Alaiddin Koto, Op.Cit., h. 68.
20
Muhammad Quthb, Op.Cit., h. 145.
4. Masa Ali bin Abi Thalib (35-40 H/ 656- 661 M)
21
MA.A. Shaban, Sejarah Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 104.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab sebelumnya, maka dapat di simpulkan sebagai
berikut:
1. Pada masa sahabat ini, terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan masyarakat,
karena telah meluasnya wilayah Islam dan semakin kompleksnya kehidupan umat.
Dari tuntutan dan komitmen untuk menjalankan ajaran Islam, serta tingginya
keimanan dan kepatuhan kepada Islam, mereka selalu menghubungkan tingkah
laku sehari-hari dengan nilai agama. Untuk menemukan jawaban atas persoalan
yang timbul maka berkembanglah ijtihad.
2. Kondisi pemerintahan pada masa Abu Bakar banyak memerangi nabi palsu,
pembangkangan membayar pajak, dsb. Pada Masa Umar mulai banyaknya
penaklukan ke berbagai daerah. Pada Masa Utsman masih banyak dilakukan
ekspansi-ekspansi ke daerah-daerah lain, namun pada pertengahan
kepemimpinannya, mulai timbuk kekecewaan masyarakat kepada pemerintah.
Pada masa Ali, tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya dapat dikatakan
stabil, banyak terjadi peperangan.
3. Pada masa Abu Bakar dan Umar menetapkan masalah-masalah baru dengan
berijtihad jika tidak terdapat dalam AL-Qur’an dan Sunnah, begitu pula dengan
masa Umar. Namun pada masa umar, mulai dipisahkan antara kekuasaan
yudikatif dan eksekutif. Pada masa Utsman, mulai dibangun peradilan-peradilan,
dan terjadi KKN untuk pertama kalinya. Pada masa Ali merupakan permulaan
timbulnya madzhab-madzhab.
3.2. Saran
Dengan memahami lebih jauh mengenai hukum Islam pada periode Sahabat,
diharapkan dapat mengetahui lebih jauh perkembangan-perkembangan setiap
generasinya mengenai hukum Islam, dan dapat diambil pelajaran mengenai hal-hal yang
dapat diadopsi untuk memperkaya wawasan hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H.A. Hasyim Nawawie, S. M. (2014). TARIKH TASYRI'. (M. Drs. Jamaluddin, Ed.)
Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.
Dr. Yayan Sopyan, S. M. (2018). TARIK TASYRI': SEJARAH PEMBENTUKAN
HUKUM ISLAM. Depok: Rajawali Pers.
Jauziyah, I. Q. (1996). I'lamul Muwaqi'in 'an Rabb al-Alamin. (M. A. Ibrahim, Ed., &
A. S. Sa'diyatulharamain, Trans.) Beirut: Daar al-kutub al-Ilmiyah.
Suhadak, F. (2013). URGENSI FATWA DALAM PERKEMBANGAN HUKUM
ISLAM. de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember
2013, hlm. 189-196 , 5, 189-196.