Oleh ;
Syahrul Taufik
Kelas :
XII IPA 3
Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji dan Syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan Nikmat
dan Rahmat serta Karunia-Nya sehingga saya dapat membuat makalah ini dengan
baik dan benar. Dalam makalah ini saya akan membahas bagaimana “ fikih di zaman
nabi, sahabat dan para mujtahid”
Makalah ini disusun dengan tujuan dan harapan untuk menambah wawasan
mengenai “fikih di zaman nabi, sahabat dan para mujtahid“ serta dengan tujuan untuk
memenuhi tugas pada bidang studi FIQIH.
Terlepas dari semua itu pemakalah menyadari kenyataan masih ada kesalahan
dalam penyusunan kata dalam makalah ini. Oleh karena itu, pemakalah menerima
segala kritikan dan saran dari pembaca agar pemakalah dapat memperbaiki makalah
ini. Pemakalah berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………….
b. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...
c. Tujuan………………………………………………………………………………..
Bab II : Pembahasan……………………………………………………………………
Kesimpulan …………………………………………………………………………...
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Fikih, sebagai cabang utama dalam ilmu agama Islam yang membahas
tentang hukum-hukum syariat dan tata cara ibadah, memiliki akar sejarah
yang dalam dan kompleks. Kajian fikih mengenai bagaimana umat Islam
harus menjalankan ajaran agama dalam berbagai aspek kehidupan telah
mengalami perkembangan dan transformasi seiring berjalannya waktu. Tiga
periode penting dalam sejarah fikih adalah zaman Nabi Muhammad SAW,
periode sahabat, dan era para mujtahid.
Zaman Nabi Muhammad SAW:
Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad SAW sebagai pewahyu
dan pembawa risalah Ilahi memainkan peran sentral dalam mengajarkan
hukum-hukum Allah kepada umatnya. Dalam periode ini, fikih bersumber
langsung dari ajaran dan tindakan Nabi, baik dalam bentuk kata-kata,
tindakan, maupun persetujuannya terhadap praktek-praktek tertentu. Zaman
ini menjadi dasar utama pembentukan prinsip-prinsip fikih yang membentuk
dasar hukum Islam.
Periode Sahabat:
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat sebagai
generasi pertama umat Islam meneruskan warisan ajaran Islam. Mereka
adalah sumber berharga dalam memahami dan mengimplementasikan fikih.
Sahabat terlibat langsung dalam banyak peristiwa dan pertanyaan hukum yang
muncul setelah Nabi wafat, dan pemahaman mereka tentang ajaran Nabi
menjadi pedoman bagi perkembangan fikih. Periode ini menandai fase awal
pembentukan madzhab-madzhab fikih.
Era Para Mujtahid:
Seiring dengan ekspansi Islam ke berbagai wilayah, situasi sosial,
politik, dan ekonomi umat Islam semakin kompleks. Dalam menghadapi
tantangan baru ini, para mujtahid, yaitu para cendekiawan hukum Islam yang
memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Quran, Hadis, dan prinsip-
prinsip fikih, mulai berperan dalam merumuskan hukum-hukum yang sesuai
dengan konteks zaman mereka. Mereka membentuk berbagai madzhab fikih,
seperti Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali, yang memberikan pandangan
yang beragam namun tetap berakar pada ajaran Islam yang murni.
Dalam makalah ini, saya akan membahas perbandingan antara tiga
periode ini, dengan fokus pada perkembangan fikih, metode interpretasi,
sumber hukum, dan peran para cendekiawan dalam mengembangkan
pemahaman hukum Islam. Saya juga akan menyoroti bagaimana konsep-
konsep fikih dari masa tersebut masih relevan dan dapat diterapkan dalam
konteks masyarakat Muslim modern. Melalui pemahaman yang mendalam
terhadap perjalanan fikih di zaman Nabi, sahabat, dan para mujtahid, kita
dapat mengambil pelajaran berharga untuk menghadapi tantangan sekarang
ini dengan tetap berpegang pada nilai-nilai universal Islam.
2. Rumusan masalah
3. Tujuan
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, fikih berkembang sebagai hasil dari
ajaran langsung yang diberikan oleh beliau melalui wahyu Allah. Sumber utama fikih
pada masa ini adalah Al-Quran dan Hadis. Nabi Muhammad adalah sumber hukum
yang hidup, dan sahabat-sahabatnya mendengarkan dan mengamati beliau secara
langsung, sehingga bisa mengambil contoh dari tindakan dan perkataannya.
Fikih pada masa Nabi sangat berkaitan dengan praktek ibadah dan kehidupan
sehari-hari. Nabi memberikan bimbingan dalam bentuk perintah dan larangan
langsung, dan sahabat-sahabatnya belajar untuk mengaplikasikan ajaran tersebut
dalam situasi konkret. Contohnya adalah ketika Nabi memberikan instruksi terkait
salat, puasa, zakat, dan haji. Beberapa masalah fikih juga diatasi dengan pendekatan
langsung dan interaksi antara Nabi dan para sahabat.
Sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib memiliki peran penting dalam menyusun prinsip-
prinsip hukum yang lebih rinci. Mereka seringkali mengambil keputusan berdasarkan
pengamalan langsung mereka terhadap Nabi atau berdasarkan konsensus di antara
mereka. Sumber-sumber hukum yang digunakan masih Al-Quran dan Hadis, dan di
samping itu, tindakan dan persetujuan sahabat menjadi acuan.
Pada era para mujtahid, yang mencakup periode setelah masa sahabat hingga
sekitar abad ke-10 Masehi, fikih mengalami pengembangan yang lebih sistematis.
Munculnya berbagai masalah hukum baru yang berkaitan dengan perkembangan
masyarakat dan perluasan wilayah Islam mendorong para cendekiawan hukum
(mujtahid) untuk mengembangkan metode interpretasi yang lebih formal.
3. METODE INTERPRETASI
Pada masa Nabi, sumber utama adalah Al-Quran dan Hadis, yang menjadi
acuan dalam menentukan hukum. Para sahabat juga melihat tindakan dan persetujuan
Nabi sebagai sumber hukum. Di era sahabat, sumber tambahan seperti ijma
(kesepakatan ulama) dan qiyas (analogi) mulai digunakan. Pada masa para mujtahid,
sumber-sumber ini diperluas dengan memasukkan istihsan (pemilihan hukum
berdasarkan keadilan) dan maslahah mursalah (kemaslahatan umum) sebagai dasar
interpretasi.
Fleksibilitas dan Kontekstualisasi: Fikih pada masa Nabi, sahabat, dan para
mujtahid telah menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi situasi baru dan
konteks yang berubah. Inspirasi ini mengajarkan bahwa prinsip-prinsip Islam
dapat diaplikasikan dengan mempertimbangkan perubahan sosial dan teknologi,
tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai Islam yang mendasar.
Berpegang pada Prinsip Keadilan: Prinsip keadilan dalam Islam dapat diambil
sebagai pedoman dalam mengatasi isu-isu modern seperti ketidaksetaraan,
diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Inspirasi ini mengajarkan
bahwa setiap hukum atau kebijakan haruslah adil dan merata untuk semua orang.
Penggunaan Ijtihad dengan Bijak: Para mujtahid dalam sejarah Islam telah
mempraktikkan ijtihad untuk menghadapi situasi baru. Inspirasi ini mengajarkan
bahwa ulama dan cendekiawan Islam modern juga harus menerapkan ijtihad
dengan bijak untuk menjawab isu-isu yang belum pernah ada sebelumnya.
Pentingnya Akhlak dan Etika: Prinsip-prinsip akhlak dan etika Islam yang
diajarkan dalam fikih dapat menjadi panduan dalam menghadapi isu-isu moral
dan perilaku dalam masyarakat modern. Inspirasi ini mengajarkan pentingnya
menjaga integritas, kejujuran, dan kasih sayang dalam semua aspek kehidupan.
Peran Sentral Sahabat dan Para Mujtahid: Sahabat Nabi dan para mujtahid
memiliki peran penting dalam mengembangkan dan meneruskan ajaran fikih. Mereka
merumuskan metode interpretasi, mengatasi situasi baru, dan memadukan prinsip-
prinsip Islam dengan realitas sosial yang berkembang. Kontribusi mereka menjadi
dasar bagi pemahaman hukum Islam saat ini.
Ketangguhan dan Fleksibilitas Fikih: Inspirasi dari perjalanan fikih masa lalu
menunjukkan ketangguhan dalam menghadapi tantangan dan fleksibilitas dalam
mengatasi perubahan zaman. Prinsip-prinsip Islam yang mendasar tetap relevan,
sementara aplikasi rinci dapat disesuaikan dengan konteks sosial dan teknologi yang
terus berkembang.
Penggunaan Ijtihad dan Dialog: Penggunaan ijtihad yang bijak dan dialog
yang konstruktif dapat membantu umat Islam dalam menjawab isu-isu baru yang
muncul dalam zaman modern. Pendekatan ini memungkinkan keragaman pandangan
untuk disatukan dalam pencarian solusi yang terbaik.
Integritas dan Etika dalam Konteks Modern: Inspirasi dari fikih masa lalu
mengingatkan bahwa integritas, etika, dan prinsip-prinsip moral Islam tetap relevan
dalam konteks modern. Menjunjung tinggi nilai-nilai ini membantu menjawab
tantangan etika dan moral yang muncul dalam masyarakat modern.
Dengan mengambil inspirasi dari perjalanan fikih masa lalu, umat Islam dapat
melihat bagaimana prinsip-prinsip Islam yang kokoh dapat diterapkan dalam situasi
yang terus berkembang. Dalam menghadapi tantangan dan perubahan zaman modern,
penting bagi umat Islam untuk menjaga akar-akar nilai-nilai Islam yang telah
terbentuk sejak masa Nabi dan sahabat, sambil memahami bagaimana prinsip-prinsip
tersebut dapat diaplikasikan dengan bijak dan relevan dalam realitas masyarakat
modern yang kompleks.
BAB VI PENUTUP
ibn Rushd. (1190). "Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid" (The Distinguished Jurist's
Primer). Terjemahan oleh Imran Ahsan Khan Nyazee.
Al-Qarafi, Shihab al-Din. (2010). "Al-Furuq: A Commentary on the Jurisprudence of Ibn al-
Qayyim." Terjemahan oleh Abdassamad Clarke.
Al-Shafi'i, Muhammad ibn Idris. (n.d.). "Kitab al-Umm." Terjemahan oleh Prof. Ahmad Hasan.
Al-Ghazali, Abu Hamid. (2000). "Ihya Ulum al-Din" (The Revival of Religious Sciences).
Terjemahan oleh Fazl-ul-Karim.
Al-Quran Hadis dari koleksi Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan koleksi hadis lainnya.