Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH DI NUSANTARA


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh

Dosen : Yahya, S. pd., LC, M.P.I.

Di Dusun Oleh :

Rina Agustina (632022006)

Ahmad Sazili (612022016)

Eip Syaipudin (612022021)

HUKUM KELUARGA & KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hikmah,
hidayah, pengetahuan, kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah ini yang
berjudul "SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH DI NUSANTARA". dapat kami selesaikan.
Kami sangat berterimakasih kepada Bapak Dosen Yahya yang telah memberikan tugas
makalah ini untuk pembelajaran mata kuliah Ushul Fiqh.

Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah dan perkembangan ushul
fiqh. Ushul fiqh sendiri adalah alat atau sarana yang dapat digunakan untuk memahami nash-
nash Al-Qur`an dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hukum-hukum syara`. Dengan
kata lain, ushul fiqh adalah menyangkut metodoligi atau teori yang bukan saja digunakan
untuk memahami hukum-hukum syara`, melainkan juga berfungsi untuk menetapkan dan
menghasilkan hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah. Maka ushul fiqh itu sangatlah
penting dikehidupan sehari-hari, oleh karena itu kita wajib mengetahui sejarah dan
perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi`in dan Imam Madzhab,
karena dengan kita mengetahui sejarah tersebut kita akan dapat membedakan bagaimana
ushul fiqh dari masa ke masa dan kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan di
kehidupan sehari-hari. Dan bukan hanya itu kita juga harus mengetahui bagaimana pengaruh
Manthiq Aristo dalam ushul fiqh, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh islam dan
yang paling terpenting adalah mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh dan masih banyak
lagi materi yang kita harus ketahui dalam mempelajari ushul fiqh, dengan mengetahui aliran-
aliran dalam ushul fiqh kita dapat meningkatkan sikap toleransi karena apa? kita mengetahui
bahwa hukum-hukum islam itu bermacam-macam dan kita dapat menyikapi perbedaan itu
secara bijaksana dengan kita mengetahui ilmu atau materi yang akan dibahas dalam mata
kuliah ushul fiqh ini.

Kami sadar sepenuhnya, jika dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun menuju
kesempurnaan dari pembaca untuk kesempurnaan makalah kami yang akan datang.

Palembang, 28 Maret 2023

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ................................................................................ 1


B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................ 1
C. TUJUAN PENULISAN .............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh ...................................................... 2


B. Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqh........................ 7
C. Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh Islam ................................ 11
D. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh................................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN .......................................................................................... 16
B. SARAN ...................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ushul fiqh sendiri adalah alat atau sarana yang dapat digunakan untuk
memahami nash-nash Al-Qur`an dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hukum-
hukum syara`. Dengan kata lain, ushul fiqh adalah menyangkut metodoligi atau teori
yang bukan saja digunakan untuk memahami hukum-hukum syara`, melainkan juga
berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara` yang bersifat
furu`iyah. Maka ushul fiqh itu sangatlah penting dikehidupan sehari-hari, oleh karena
itu kita wajib mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah
Saw, Sahabat, Tabi`in dan Imam Madzhab, karena dengan kita mengetahui sejarah
tersebut kita akan dapat membedakan bagaimana ushul fiqh dari masa ke masa dan
kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari.
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pengaruh Manthiq Aristo dalam
ushul fiqh, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh islam dan yang paling
terpenting adalah mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh dan masih banyak lagi
materi yang kita harus ketahui dalam mempelajari ushul fiqh, dengan mengetahui
aliran-aliran dalam ushul fiqh kita dapat meningkatkan sikap toleransi karena apa?
kita mengetahui bahwa hukum-hukum islam itu bermacam-macam dan kita dapat
menyikapi perbedaan itu secara bijaksana dengan kita mengetahui ilmu atau materi
yang akan dibahas dalam mata kuliah ushul fiqh ini. Dengan adanya makalah ini kita
sebagai mahasiswa dapat terjun pada masyarakat dan memberikan pengertian bahwa
sebenarnya semua hukum itu tidaklah satu namun banyak karena kita terdapat aliran
yang berbeda-beda dan aliran tersebut sudah di ijtihadkan oleh para sahabat, tabi`in
dan imam madzhab. Maka timbullah rasa toleransi dan saling menghargai di setiap
perbedaan dan tidak ada lagi perpecahan diantara umat Rasulullah Saw.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw,
Sahabat, Tabi`in, dan Imam Madzhab?
2. Bagaimana pengaruh Manthiq Aristo dalam perkembangan ushul fiqh?
3. Bagaimana peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqih islam?
4. Apa saja aliran-aliran dalam ushul fiqh?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah
Saw, Sahabat, Tabi`in, dan Imam Madzhab,
2. Untuk mengetahui pengaruh Manthiq Aristo dslsm prerkembngan ushul fiqh,

1
3. Untuk mengetahui peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqih islam, dan
4. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh


1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a. Masa Rasulullah SAW

2
Periode Mekkah ini istilah fiqh sebelum dikenal, tetapi banyak menekankan
pada keyakinan akidah Islam yang berbentuk kepercayaan kepada keesaan Allah
SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, serta qada dan qadar
sehingga nyaris tidak berbicara mengenai aturan-aturan hukum beribadah. Hal ini
dikarenakan pembentukan keimanan merupakan modal yang sangat kuat dan penting
dalam upaya penerimaan segala tindak laku ibadah yang akan ditawarkan saat itu
untuk periode selanjutnya.
Pada masa ini Nabi Muhammad SAW menginformasikan dirinya sebagai
utusan Allah (Rasulullah), sedangkan aturan-aturan akhlak belum dijadikan institusi
keagamaan. Adapun akhlaknya yang baik, jujur sering bersemedi (tahannus) dan
pekerja keras hanyalah merupakan temperamen dirinya secara pribadi dan belum
menjadi kewajiban umat untuk mengikutinya. Saat ini belum ada perangkat aturan
yang baku dalam menentukan bentuk, waktu, serta luasna kegiatan yng dianggap
ibadah tersebut. Demikian juga batas-batas komunitas para penganut belum
ditegaskan secara jelas. Aturan hukum ini baru dimulai ketika perintah untuk pertama
sekali melakukan hijrah ke Madinah sebagai upaya tindakan penyelamatan diri dari
penyiksaan kaum kafir Quraisy.

b. Masa Sahabat
Wafatnya Rasulullah SAW menggores catatan baru dalam penetapan hukum.
Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan permasalahan baru yang
tidak ada pada zaman Nabi terkait dengan metode penetapan hukum. Untuk
menetapkan hukum baru maka diantara sahabat berijtihad dengan bersumber pada Al-
Qur`an dan Hadis. Maka pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi hanya Al-
Qur`an dan Hadis tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.
Menurut Abu Zahra munculnya ilmu ushul fiqh bersamaan dengan ilmu fiqh,
meskipun ilmu fiqh lebih dahulu dibukukan sebelumnya. karena menurutnya fiqh
sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa adanya metodologi istinbat. Dan
metode istinbat ini sendiri adalah inti dari bagian ushul fiqh.
Di antara sahabat yang telah melakukan istinbath hukum adalah Ibnu Mas`ud,
Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab, mereka tidak mungkin mengeluarkan
hukum (istinbath) tanpa mengetahui dasar-dasar dan batasan-batasan ushul fiqh,
meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali
terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia meminumia akan mabuk dan jika
ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar, maka kepadanya
diberikan sanksi tuduhan berbuat zina (qadzaf)”. Dari pernyataan Ali itu, akan
diketahui, bahwa Aliternyata menggunakan kaidah menutup pntu kejahatan yang
timbul atau “sad az-zari`ah”.
Abdullah bin Mas`ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita
hamil yang kematian suami iddahnya adalah melahirkan anak, ia mengemukakan
argumennya berdasarkan firman Allah dalam surat At-Thalaq (65): 4:

3
َّٰٓ َّٰٓ َٰ
‫ٱرتَ ْبت ُ ْم فَ ِٔعدَّت ُ ُه َّن ثَ َٰلَثَةُ أَ ْش ُه ٍر َو َٰٱلَّـِٔى لَ ْم‬
ْ ‫سآَّٰئِٔ ُك ْم ِٔإ ِٔن‬ ِٔ ‫َوٱلَّـِٔى َيئِٔسْنَ ِٔمنَ ْٱل َم ِٔح‬
َ ِٔ‫يض ِٔمن ن‬
‫ٱَّلل َي ْج َعل لَّ ۥهُ ِٔم ْن أَ ْم ِٔرِٔۦه‬
َ َّ ‫ق‬ ِٔ َّ‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن ۚ َو َمن َيت‬ َ َ‫َي ِٔحضْنَ ۚ َوأ ُ ۟و َٰلَتُ ْٱل َ ْح َما ِٔل أ َ َجلُ ُه َّن أَن ي‬
‫يُس ًْرا‬
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah
mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Meskipun juga ada firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 234 yang
menjelaskan bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari.
ۖ ‫صنَ بِٔأَنفُ ِٔس ِٔه َّن أَ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو َع ْش ًرا‬ ْ َّ‫َوٱلَّذِٔينَ يُتَ َوفَّ ْونَ ِٔمن ُك ْم َويَذَ ُرونَ أَ ْز َٰ َو ًجا يَتَ َرب‬
َ‫ٱَّللُ ِٔب َما تَ ْع َملُون‬ ِٔ ‫علَ ْي ُك ْم فِٔي َما فَ َع ْلنَ فِٔ َّٰٓى أَنفُ ِٔس ِٔه َّن ِٔب ْٱل َم ْع ُر‬
َّ ‫وف ۗ َو‬ َ ‫فَإِٔذَا بَلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح‬
‫َخ ِٔبير‬

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 urah At-
Thalaq datang sesudah ayat 234 surah Al-Baqarah (2)
Dari tindakan Ibnu Mas`ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan
fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul fiqh naskh mansukh, yaitu bahwa dalil
yang datang kemudian menghapus dalil yang datang terdahulu. Dengan demikian,
jelaslah bahwa cara-cara penetapan hukum tersebut menunjukkan adanya metode
ushul fiqh. Artinya kita harus meyakini bahwa ijtihad para sahabat semuanya
berdasarkan metodologi, meskipun mereka tidak selalu menjelaskan hal tersebut.
Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat. Dalam
melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah ushul
fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum dibukukan sebagai sebuah disiplin
ilmu. Kemahiran mereka dalam ijtihad di samping dari pengaruh bimbingan Rasul
juga penguasan mereka terhadap bahasa Arab yang sangat baik. Mereka yang
kemudian dikenal banyak melakukan ijtihad adalah yang mengikuti langsung praktik
tasyri` dari Rasulullah SAW. mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, selalu
menyertainya dan menyaksikan langsung praktik ijtihad Rasul, sehingga mereka
sangat memahami bagaimana cara memahami ayat dan menangkap tujuan
pembentukan hukumnya.

4
Imam Khudari Bek memberikan komentar yang positif terhadap praktik ijtihad
para sahabat “setelah Rasul wafat mereka sudah siap menghadapi perkembangan
sosial yang menghendaki pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad meskipun
kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang dilakukan oleh sahabat
dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abd Wahhab Abu Sulaiman, guru besar
Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Makkah seperti dikutip oleh Satria Efendi,
langkah pertama yang mereka tempuh adalah mempelajari teks Al-Qur`an dan
kemudian sunnah Nabi. Jika tidak ditemukan pada kedua sumber buku ini maka
mereka melakukan ijtihad, baik secara perorangan atau mengumpulkan sahabat untuk
bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka disebut dengan ijma` sahabat. Selain
menggunakan qiyas,mereka juga menggunakan istislah yang didasari oleh maslahah
mursalah seperti megumpulkan Al-Qur`an dalam satu mushaf.
Dapat disimpulkan bahwa para sahabat telah menggunakan ijma`, qiyas dan
istislah (maslahah mursalah) jika hukum sesuatu tidak ditemukan dalam Al-Qur`an
dan sunnah. Dengan demikian prakarsa ijtihad yang dilakukan oleh sahabat setelah
wafat Rasulullah telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat ketika itu. Menurut
Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian mewariskan metodologi yang dijadikan
dasar dalam merumuskan ushul fiqh.

c. Masa Tabi`in
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya, yaitu masa
tabi`in, tabi` al-tabi`in serta imam-imam mujtahid sekitar abad kedua dan ketiga
hijriah. Pada masa ini Daulah Islamiyyah sudah semakin berkembang dan bak muncul
kejadian baru. Berbagai kesulitan, perselisihan dan pandangan serta pembangunan
material dan spiritual satu per satu bermunculan. Semua persoalan ini menambah
beban kepada imam mujtahid untuk membuka cakrawala yang lebih luas terhadap
lapangan ijtihad yang membawa konsekuensi semakin meluasnya lapangan hukum
syariat islam (hukum fiqh) dan hukum beberapa peristiwa yang masih bersifat
kemungkinan (prediksi). Sumber yang mereka gunakan pada periode ini adalah
sumber hukum pada dua periode sebelumnya (periode Nabi dan Sahabat). Jadi sumber
ushul fiqh pada masa periode ini terdiri dari hukum Allah (Al-Qur`an), Rasul-Nya
(Hadis), fatwa dan keputusan sahabat Rasul serta fatwa mujtahidin.
Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyimpulkan bahwa ada masa tabiin
ini, metode istinbat sudah mengalami perluasan yang pesat dikarenakan banyaknya
kejadian yang muncul akibat bertambah luasnya wilayah kekuasaan islam. Fenomena
ini membawa konsekuensi kepada munculnya permasalahan baru yang memerlukan
pemecahan hukumnya. Diantara tabiin yang memiliki kemampuan tinggi untuk
berfatwa adalah Said bin al-Musayyab (15 H-94 H) di Madinah, Al-Qamaah ibn Qays
(w. 62 H), Ibrahim al-Nakha`i (w. 96 H). Prestasi tiga tabiin ini tidak lepas dari
sentuhan pendidikan yang diberikan oleh para sahabat. Sumber istinbat hukum pada
masa tabiin meruju` kepada Al-Qur`an, sunnah Rasullullah, fatwa sahabat, ijma`,
qiyas, dan maslahah mursalah jika tidak didapati hukumnya dalam nas.

d. Mujtahid Sebelum Imam Syafi`i

5
Pada masa imam mujtahid sebelum Imama Syafi`i dikenal dua tokoh besar, yaitu
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Kedua tokoh mujtahid ini telah
memperlihatkan penggunaan metode yang lebih jelas.
Imam Abu Hanifah al-Nu`man (w. 150 H), pendiri mazhab Hanafi menggunakan
dasar istinbatnya secara berurutan yaitu al-Qur`an, sunnah dan fatwa sahabat dan jika
tidak terdapat pada tiga sumber hukum di atas maka ia berpegang kepada pendapat
yang disepakati oleh para sahabat. Imam Abu Hanifah jika dihadapkan oleh beberapa
pendapat yang berbeda, maka ia memilih salah satu pendapat dan tidak akan
mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah tidak berpegang pada pendabat
tabiin karena sejajar dengan mereka. Dalam melakukan jtihad, Imam Abu Hanifah
dikenal sebagai mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan. Imam Abu
Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.
Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya juga memiliki metode yang cukup jelas,
seperti terlihat pada sikapnya dalam mempertahankan praktik ahli Madinah sebagai
sumber hukum. Satu hal penting yang perku dicatat bahwa sampai pada masa Imam
Malik sendiri tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh tumbuh pada abad kedua hijrah. Pada abad pertama hijriah
ilmu ini belum tumbuh, karena belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW berfatwa
dengan menjatuhkan keputusan (hukum) berdasarkan Al-Qur`an dan Hadis, dan
berdasar naluriah yang bersih tanpa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan
sebagai sumber istinbat hukum. Adapun sahabat Nabi membuat keputusan hukum
berdasarkan dalil nas yang dapat mereka pahami dari aspek kebahsaan smampu
mereka, dan untuk memahaminya secara baik diperlukan kaidah bahasa.di samping
itu, mereka juga melakukan istinbat hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nas
berdasarkan kemampuan mereka, berdasarkan ilmu tentang hukum islam yang telah
mereka kuasai disebabkan banyaknya pergaulan mereka bersama Nabi serta
menyaksikan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al-Qur`an) dan asbabun
wurud (sebab-sebab turunnya hadis). Jadi, para sahabat ketika itu sudah benar-benr
memahami tujuan-tujuan hukum syariat serta dasar-dasar pembentukannya.
Setelah kekuasaan Islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab sudah
memperluas pergaulannya dengan bangsa lain baik bentuk lisan ataupun tulisan.
Sehingga terjadilah penyerapan bahasa asing dalam bentuk mufradat dan tata bahasa
ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan kesamaran-kesamaran dan kemungkinan
lain dalam rangka memahami nas. Dari latar belakang itulah, maka perlu disusun
batasan-batasan dan kaidah bahasa, yang dengan kaidah itu nas dapat dipahami
sebagaimana orang Arab memahaminya.
Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum Islam sudah semakin
meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjailah perdebatan
sengit antara ahlul hadis dan ahlul al-ra`yi. Dipihak lain semakin berani juga orang-
orang yang tidak ahli agama (ahlul ahwa), menjadikan sesuatu sebagai hujah padahal
sesuatu itu bukan hujah dan sebalknya mereka mengingkari sesuatu yang justru hal itu
adalah hujah. Semua ini merupakan dorongan yang kuat untuk menyusun batasan-
batasan tentang dalil syariat, syarat-syarat serta cara menggunakan dalil. Semua

6
pembahasan yang berhubungan dengan dalil-dalil serta batasan-batasan atau kaidah-
kaidah bahasa itulah yang kemudian menjelma menjadi ilmu ushul fiqh.
Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijriah muncul ulama bernama
Muhammad bin Idris al-Syafi`i (150 H-204 H) yan menggagas, meramu,
mensistematiskan dan membukukan ilmu ushul fiqh.
Sebelum Imam Syafi`i, tercatat orang yang pertama kali menghimpun kaidah
yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah Imam Abu Yusuf seorang pengikut
Imam Abu Hanifah.tetapi kumpulan ini tidak sampai pada kita. Adapun orang yang
pertama kali melakukan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan dalam ilmu
ushul fiqh secara sistematis dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan
uraian yang mendalam dialah Imam Muhammad bun Idris al-Syafi`i yang meninggal
pada tahun 204 H. Kemudian hasil pentadwinan (kodifikasi) itu diberinama kitab al-
Risalah , yang merupakan kitab pertama dalam ilmu ushul fiqh dan wujud kitabnya
sampai dihadapan kita sekarang. Dengan demikian, populerlah dikalangan ilmu ushul
bahwa orang yang pertama kali menyusul ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi`i.
Dijelaskan oleh Satria Effendi bahwa kitab al-Risalah yang berarti sepucuk
surat pada mulanya adalah lembaran-lembaran surat yang dikirimkan oleh Imam
Syafi`i kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), eorang ulama ahli hadis ketika itu.
Munculna kitab al-Risalah adalah fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai sebuah
disiplin ilmu. Secara umum kitab ini membahas tentang landasan-landasan
pembentukan fiqh, yaitu al-Qur`an, sunnah, ijma`, fatwa sahabat, dan qiyas.
Masa pembukuan ushul fiqh yang dilakukan oleh Imam Syafi`i,seperti
dijelaskan di atas bersamaan dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan
keislaman yang disebut sebagai masa keemasan Islam yang dimulai dari masa Harun
al-Rasyid (145 H-193 H) khalifak kelima dinasti Abbasiyah dan kemudian dilanjutkan
lagi oleh putranya bernama al-Ma`mum (170H-218 H). Salah satu indikator kemajuan
ilmu di kota Baghdad sehingga Baghdad pada saat itu menjadi mencusuar ilmu yang
didatangi oleh orang dari berbagai wilayah Islam.
Setelah Imam Syafi`i menyusun kitabnya yang monumental itu, kemudian
berbondong-bondonglah ulama menyusun ilmu ushul fiqh baik dalam bentuk panjang
lebar (ishab) ataupun ringkas (`ijaz). Tak ketinggalan ulama ilmu kalam (ahli teologi),
menyusun ilmu ini dengan caranya sendiri begitu juga ulama Hanafiyah juga
menyusun imu ushul fiqh dengan menggunakan caranya sendiri.
Karya Ilmiah di bidang ilmu ushul fiqh setelah Imam Syafi`i yang tercatat
pada abad ke-3 hijriah antara lain: al-Khabar al-Wahid, karya Isa Ibn Abban Ibn
Sedekah (w.220 H) dari kalangan Hanafiyah, al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad
bin Hambal (w. 164 H-241 H), pendiri mazhab Hambali dan kitab Ibtal al-Qiyas oleh
Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri mazhab Zahiri.
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Khulasat Tarikh al-Tasri al-
Islami,pada pertengahan abad ke-4 H., terjadi kemunduran dalam kegiatan ijtihad di
bidang fiqh, dalam pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri untuk
membentuk mazhab baru. Namun pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang
ushul fiqh berkembang pesat. Ushul fiqh tetap berperan sebagai alat pengukur
kebenaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk sebelumnya.

7
Berdasarkan penelitian Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpulkan bahwa
ilmu ushul fiqh tidaklah langsung menjadi ilmu yang besar. Akan tetapi, sedikit demi
sedikit terus berkembang menjadi besar. Tercatat dalam sejarah, setelah mencapai
perjalanan 200 tahun barulah ilmu ushul fiqh tumbuh dengan subur, tersebar dan
terpencar disela-sela hukum fiqh.

B. Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqh


Kehidupan manusia pada dasarnya merupakan proses berkelanjutan.
Kebudayaan yang ada ditengah-tengahmasyarakat tidak dapat dipisahkan dari pengaru
budaya masa lampau, demikian juga perkembangan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya
perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses reformulasi dan rekonstruksi
terhadap tatanan pengetahuan dimasa lampau. Ushul fiqh sebagai ilmu yang
berkembang dikalangan ulama muslim pada dasarnya juga tidak bisa delepaskan dari
pengaruh peradaban yang ada pada masa sebelumnya. Sebagai salah satu faktor
ekstern, di samping faktor intern yang ada didunia dilihat islam sendiri.
Salah satu faktor intern yang “mengubah” kuat memberikan konstribusi yang
cukup besar terhadap perkembangan ushul fiqh adalah filsafat Aristoteles yang lebih
besar masuk ke dalam dunia pemikiran islam melalui proyek penerjemahan buku-
buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Contoh pengaruh dan konstitusi filsafat
Aristoteles dalam penyusunan dan pengembangan ushul fiqh di dunia islam.
1. Konsep Qiyas
Imam Syafi`i mewakili orang yang dinggap sebagai peletak dasar ushul fiqh.
Hal ini karena Imam Syafi`i-lah yang pertama kali menjelaskan konsep ushul fiqh
secara lengkap dalam kitab al-Risalah.
Dalam kitabnya, al-Risalah, memang al-Syafi`i tidak secara eksplisit mengutip
atau membahas filsafat dan logika Aristoteles, akan tetapi metode yang digunakan
dalam penyusunan al-Risalah yang menunjukkan keterwakilan komunikasi
Aristoteles. Menurut Mustafa Basya, tidak-tidak logis yang tampak pada kitab al-
Risalah adalah penggunaanistilah-term yang domian untuk klasifikas. Penggunaan
istilah-istilah yang berkaitan dengan kebijakan ini memperbaiki kebiasaan ahli logika
pada masa itu. Lebih jauh, al-Syafi`i juga menggunakan metode diskusi dalam
menjelaskan suatu masalah, sehinggaseakan-akan ada dua orang yang berdebatdalam
masalah hukum tersebut. Metode diskusi dalam al-Risalah ini banyak sekali disetujui
oleh bentu-bentuk logika seperti ada perbedaa, genus dan spesies.
Teori qiyas yang digagas oleh al-Syafi`i juga “mengubah” mendapat pengaruh
dari konsep Aristoteles. Konsep qiyas yang dimunculkan oleh al-Syafi`i ini
merupakan teori yang baru yaitu tata cara menggambil hukum berdasarkan beberapa
persyaratan ketat yang disandarkan pada nash. Pembakuan qiyas ini menjadikan sifat
qiyas berbeda dari sebelumnya, yang dipahami sebagai lasan hukum yang fleksibel
dan dinamis. Dalam pembakuan teori qiyas ini al-Syafi`i memang tidak pernah
membahas persyaratan khususuntuk qiyas, namun berdasarkan contoh-contoh yang
diberikan, harus memenuhi persyaratan empat bagi yang dikemukakan oleh ulama
munculnya seperti ashl, far’. Hukum al-Ashl dan ‘Illat qiyas yang dicontohkan oleh
Imam al-Syafi`i ternyata memiliki substansi yang sama dengan premis-premis dalam

8
silogisme logika Aristotele, pertama, menggunakan premis mayor, premis minor, dan
mengambil konklusi. Kedua, mesing-masing fungsi premis dalam qiyas dan logis itu
sma, yaitu mencari kesimpulan yang logis dan benar.
Pengaruh filsafat Aristoteles dalam qiyas al-Syafi`i juga bisa dilacak dari
genealogi keilmuan yang didukung oleh al-Syafi`i. Berdasarkan guru-guru yang lebih
keilmuannya, maka konsep qiyas al-Syafi`i terlacak bersumber dari metode tasybih
dalam ilmu balaghah. Metode pertama kali dikenalkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-
Faramdi (w. 170 H) yang dilanjutkan oleh muridnya Sibawayhi (w. 180 H). Mereka
berdua adalah diantara para guru al-Syafi`i yang ditawarkan dalam bidang gramatikal
bahasa. Sementara, menurut al-Jabiri, al-Khalil bin Ahmad dan Sibawayhi banyak
mengilhami ilmu-ilmu Yunani termasuk logika Aristoteles dalam menyusun
gramatika bahasa Arab secara umum.
Pasca al-Syafi`i, Aristoteles, semakin pintar pengaruhnya terhadap
perkembangan ushul fiqh. Terutama setelah al-Ghazali secara terang-terangan
menfatwakan logika Arisstoteles sebagai salah satu syarat ijtihad. Berkaitan dengan
peran dalam agama, Imam al-Ghazali menyatakan: “logika adalah dasar ilmu
pengetahuan, lebih dari biasanya pendahuluan atau cabag ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, siap yang tidak mengerti logika, maka ilmunya tidak dipercaya”.
Berdasarkan fenomena diatas dapat diajukan bahwa konsep qiyas ushul fiqh
semenjak masa al-Syafi`i sudah mengandung tidak-tidak, logika Aristoteles dan
semakin banyak teradopsi pada masa setelah Imam al-Ghazali. Namun, masuknya
silogisme logika Aristotelis kedalam qiyas semenjak al-Syafi`i, ternyata mmbuat
qiyas kurang berkembangdan kurang dinamis, liberal dan akomodatif dalam
menyikapi perkembanga hukum di masyarakat. Salah satu alasannya adalah adanya
pengadopsianyang persial terhadap filsafat Aristotelis, yaitu metode deduktif-silogitik
an sich dan menggunakan metode induktif-empirik sehingga terjadi pengaduan yan
sudah ada tanpa melibatkan peran untuk melakukan inovasi dalam rangka
menemukan ide-ide baru yang orisinil.
2. Konsep Maqasid al-Syari`ah
Ibnu Rusyd, salah seorang fuqaha pengagum Aristoteles pernah menyatakan
agama dan filsafat tidak akan pernah membantah.
“Filsafat merupakan sahabat karib syari`ah dan teman sesusuannya”
Singkatnya, filsafat tidak bertenangan dengan agam. Jika di permukaan
tampak perbedaan atau pertentangan, maka hal itu lebih karena faktor kekeliruan atau
kekurang-pahaman dalam menunjangnya karena target atau sasaran yang terkait
dengan umat manusia, baik dari kalangan awam maupun tokoh-tokoh terpelajarnya.
Maka sarana yang dipakai sesuai dengan ukuran pemahaman kaum awam yaitu
metode retorika (kitabiyah), metode dialektika (jadaliyah) dan metode persuasif
(iqna`iyah). Meskipun demikian, agama melepaskan menafikan metode rasionalisme
(burhani), bahkan menganjurkannya agar menjadi sarana yang efektif untuk kalangan
ulama atau kaum rasionalis (ashab al-burhan) untuk mengevaluasi agama misalnya
dengan metode ta`wil atau penafsiran rasional.
Prinsip dasar yang harus dipatuhi oelh bentuk penafsiran rasional adalah
“maqashid al-syar`i” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuar syari`at). Prinsip

9
dasar dalam disiplin dalam filosofi “kausalitas”. Prinsip “maqashid al-syar`i” juga
tergolong dalam kategori al-sabab al-gha`iy (sebab akhir, sebab terakhir) yang
disebut Aristoteles.
Jadi jika dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas maka dimensi kausalitas agama
dibangun atas prinsip “maqashid al-syar`i”. Proyekyang diangkat oleh Ibnu Rusyd
ini, khusus tentang hubungan antara agama dan filsafat satu sama lain orisinil dan
rasional. Dalam arti mampu memahami dimensi realitas dalam agama juga dalam
filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas dasar keteraturan dan keajegan alam ini
juga pada prinsip prinsipalitas kausalitas, sedangkan rasionalitas agama dibangun
diatas landasan dan tujuan sang pembuat syari`at yang bermuara pada penggerak
untuk manusia untuk nilai-nilai kebajikan yang kemudian dirumuskan dalam bentuk
konsep “maqasid al-syar`i”. Disinilah kita melihat konstribusi filsafat Aristoteles
terhadap konsep awal maqasid al-syar`i.
Pandangan sistematik-aksiomatik dan berpegang teguh pada “maqasid”
sebagai landasan membangun rasionalisme ini kemudian dimulai oleh al-Syatibi
dalam upaya mengembangkan proyek pembaharuan dan koordinasi ushul fiqh. Dalam
proyek pengembangan disiplin ushul fiqh ini, al-Syatibi, menerima Ibnu Rusyd,
banyak terinspirasi oleh filsafat Aaristoteles.
Persoalan yang muncul adalah, bagaimana mungkin membangun dimensi
rasionalitas dalam agama atas dasar prinsip ‘al-qathi’ (kepastian) yang sebanding
dengan prinsip ‘al-yaqin’ dalam filsafat, sedangkan dalam agama hukuman
menghadapi masalah ini, al-Syatibi kemudian mengatakan bahwa semua bisa terjadi
pada metode rasionalisme agar disiplin ushul fiqhpun berdasarkan pada prinsip
‘kulliyyah al-syari`at’ (prinsip-prinsip agam universal) dan prinsip “maqasid al-
syari”. Prinsip “kulliyyah al-syari`ah” memiliki posisi yang sama dengan “al-
kulliyyah al-aqliyyah” (prinsip-prinsip universal) dalam filsafat, sedangkan “maqasid
al-syari” mirip dengan posisi “al-sabab al-qhat`i” (penyebab terakhir) yang
digunakan sebagai pembentuk non-penalaran rasional.
Metode yang digunakan untuk mencapai “kulliyyah al-syari`ah” adalah
metode induksi (istiqra`iyah) yaitu dengan membandingkan pelaporan kasus masalah
spsifik atau juz`iyyah dalam masalah-masalah agama, masalah-masalah permintaan
transaksi dan kesulitan dari sana. Kemudian ditarik beberapa prinsip universalitas
yang sifatnya universalitas kuantitatif, namun tetap mengandung makna pasti (qath`i),
karena ditarik dari sesuatu yang qath`i pula.
Universalitas syari`at ini tetap mengandung arti pasti dan pasti (al-qath`i)
karena metode induksi yang dibangun diatas dasar yang ditambahkan dengan prinsip-
prinsip dasar yang berlaku dalam tradisi ilmu-ilmu rasional.
Menurut al-Syatibi, lebih dari tiga prinsip dasar yang membuat universalitas
syari`at mengandung arti pasti dan pasti, yaitu:
1) Prinsip keumuman dan keterjangkaun.
Hukum-hukum agama umum, luas dan semua objektif taklif, dan tidak berlaku
khusus untuk satu waktu dan tempat tertentu saja.
2) Prinsip kepastia dan ketidak berubahan

10
Hukum-hukum adama demikian juga, yang wajib tetap, yang haram tetap haram.
Apa yang menjadi sebab, akan tetap menjadi sebab, demikian juga syari`at akan
tetap menjadi syari`at.
3) Prinsip legalitas
Yaitu yang menentukan disiplin keilmuan ini menjadi penentu bukan sebaliknya
didikte atau ditentukan oleh selainnya. Sisiplin syari`at terdiri atas perintah-
perintah dan larangan-larangan yang tidak mungkin ada yang mengatasinya, jadi,
sesuai syarat, harus diselesaikan dalam disiplin ilmu.
Ini adalah konsep universalitas syari`at atau premis-premis rasional dalam
disiplin ushul fiqh. Selanjutnya tentang “maqasid al-syari`ah”, al-Syatibi mengatakan
bahwa al-syari`ah terdiri dari empat unsur pokok yaitu:
1) Syari`at agama diturunkan dalam rangka kemaslahatan umat manusia.
Kemaslahatan manusia ini terbagi dalam tiga tingkatan:
a. Dlaruriyah (kepentingan primer)
Kepentingan primer merupakan kepentingan yang harus selalu
diselesaikan dalam kehidupan manusia yang meliputi lima kepentingan
dasar (al-dlaruriyah al-khams) yaitu menyelamatkan agama (hifdh al-din),
mningkatkan jiwa (hifdh al-nafs), butuh akal (hifdh al-aql), hijrah al-nasl,
hijrah al-hijrah.
b. Hajjiyah (kepentingan sekunder)
Hajjiyah atau kepentingan sekunder mencangkup umlah tidak terbatas,
seperti kebutuhan sandang, papan, dsb.
c. Tahsiniyah (kepentingan tersier/pelengkap)
Kebutuhan rekreasi.
2) Syari`at islam di berlakukan untuk diterjemahkan dan dihayati oleh umat
manusia, karena islam diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam lingkungan
sosial masyarakat Arab, maka untuk memahaminya perlu diperbaiki untuk apa
yang dikenal oleh bangsa Arab baik untuk bahasa yang terkait dengan sosial
mereka.
3) Tidak dari maqasid al-syari`ah adalah taklif yaitu pembebanan hukum-hukum
agama kepada manusia . rumusannya adalah “setiap hukum yang berada di
luar kesanggupan mukallaf, secara penuh tidak akan disetujui, disetujui oleh
akal” karena Allah SWT tidak akan membebani seseorang diluar kemampuan
dang kesanggupannya.
4) Bukan merupakan tahap pertama atau terakhir dari maqasid al-syari`ah adalah
“melepaskan mukallaf dari belenggu mendoronh hawa nafsunya sehingga ia
akan menjadi hamba Allah dengan kodrati”.
Demikian keempat, maqasid al-syari`ah yang digagas al-Syatibi. Hal
yang perlu dipertimbangkan adalah tentang pentingnya kehadiran konsep
maqasid al-syari`ah dengan konsep kausalitas Aristoteles yang juga terdiri
dari empat orang.
1. Antara “sebab efesien (penyebab efesien)” dengan “pelepassan mukallaf
dari belenggu hawa nafsu”.
2. Antara “sebab akhir” dengan “kemaslahatan umat manusia”.

11
3. Antara “sebab material” material “dengan kemampuan mukallaf”.
4. Antara “sebab formal” dengan “kondisi sosio-histori masyarakat Arab”.
Adanya kemiripan di atas memperlihatkan satu bukti tentang
konstribusi filsafat Aristoteles dalam mengemban konsep maqasid al-syari`ah
dalam disiplin ilmu fiqh.

C. Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh Islam


Kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqh merupakan salah satu upaya
dalam menjaga keasrian hukum syara` kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga
hijriah. Ushul fiqh itu terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya
pada abad kelima dan awal abad keenam hijriah. Pada abad tersebut merupakan abad
keemasan penulisan ushul fiqh karena banyak ulama memusatkan perhatiannya pada
ilmu tersebut. Pda abad inilah muncul kitab-kitab ushul fiqh yang menjadi standar dan
rujukan untuk perkembangan ushul fiqh selanjutnya.
Target yang hendak dicapai oleh ushul fiqh ialah tercapainya kemampuan
seseorang untuk mengetahui hukum syara` yang bersifat furu` dan kemampuannya
untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang
benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari
keekliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul
fiqh berarti, sesorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada kaidah-kaidah
yang benar.
Target studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath hukum
yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi non mujtahid yang
mempelajari fiqih islam, target ushul fiqh itu ialah agar ia dapat mengetahui metode
ijtihad imam madzhab dalam mengistinbath hukum sehingga ia dapat mentarjih dan
mentakhrij pendapat madzhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan
benar, kecuali dengan diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode
istinbath.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa motif dirintitasnya, dikodifikasikannya,
dan ditetapkan kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid kaidah itu untuk
keperluan istinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi`in. Ketika para
ulama melihat orang-orang yang bukan ahli ijtihad tetap berijtihad, sehingga hasil
ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu
yang kebih ringan mudharatnya, yakni menutup pintu ijtihad. Mereka mengatakan
bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa
nafsu pula untuk main-main dalam hukum syara` dapat dihindari.
Tujuan yang hendak dicapai dari ushul fiqh adalah untuk menerapkan kaidah-
kaidah terhadap dalil-dalil syara` yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum
syara` yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara` dan hukum yang terkandung di
dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqh sebagaimana telah
ijelaskan diatas, sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar sepuluh abad yang

12
lalu, dan manusia sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh
pada hukum-hukum fiqih yang tertulis dalam kitab-kitab madzhab fiqih, hal ini berarti
dari ilmu ushul fiqh tidak tercapai.
Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu
adalah berdasar dalil syara`. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena
pertimbangan-pertimbangan yang telah ditemukan diatas. Dengan demikian, bagi
seseorang yang memenuhi syarat ijtihad, tidak ada halangan baginya untuk
melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa isjtihad itu
mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya
sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa
ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan
bisa kembali lagi sebagaimana dimasa Aminat Al-Mujtahidin selama ada orang yang
ahli dalam berijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad.
Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada
ilmu ushul fiqh selalu ada. Hal ini karena mujtadid madzhab yang tidak samapai
ketingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul
fiqh. Dan bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan iman madzhabnya
tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh
dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula ulama hendak mentajrih pendapat imam
madzhabnya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqh sebab tanpa mengetahui ilmu
tersebut, ia tidak mungkin dapat mentajrih dengan baik dan benar.
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga
terlihat jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam
mengistinbathkan hukum dari Al-Qur`an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah
mengemukakan urutan dalil dalam mengistinbathkan hukum sebagai berikut:
1. Al-Qur`an,
2. Hadits,
3. Fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat,
4. Fatwa para tabi`in yang sejalan dengan pemikiran mereka,
5. Qiyas dan
6. Istishan.
Sedangakan Imam Malik, berpegang pada Al-Qur`an, Sunnah, juga banyak
mengistinbathkan hukum berdasarkan amalam penduduk Madinah (`amal ahlul
Madinah).
Selanjutnya Imam Syafi`i dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus buat
pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh yang bersamaan dengan dalil-dalilnya.
Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Imam Syafi`i berupaya mempelajari
secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahlul hadits yang bermarkas di
Madinah dengan ahlul ro`yi di Irak. Dalam kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi`i
berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih,
setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.
Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat
menjadikan patokan umum dalam mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya
sampai generasi selanjutnya.

13
Para Imam Madzhab dari keempat madzhab tersebut sepakat dengan dalil
yang masing-masing madzhab menambahkan metode istimbat hukum lainnya.
Misalnya, ulama` ushul fiqh dari kalangan Hanafiah mengakui teori-teori ushul fiqh
Imam Syafi`i, tetapi mereka menambah metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan
`uruf dalam mengistimbathkan hukum. Ulama` ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan
hal yang sama yaitu dengan menambah ijma` ahlul Madinah karena status ijma` ahlul
Madinah merupakan sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman
Rasulullah SAW sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama` Malikiyyah
menambahkan metode Mashlahatul Mursalah dan Saad al-Zari`ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam Madzhab empat tersebut,
tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa
pada masa keempat madzhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang
sempurna, sehingga generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan
metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamanny masing-masing.
Dengan demikian, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh Islam dapat
dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum sayara` dari
dalil-dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan
sebagai pengembangan pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-
pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu Khaldun dan kitabnya
Muqaddamah berkata, “sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari`ah yang
termuliaa, tertinggi nilainya, dan terbanyak kaidahnya”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama` memandang ilmu ushul fiqh
sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang
sebagai ilmu syari`ah yang terpenting dan tertinggi nilainya.
Perlu diingat pula bahwa ushul fiqh merupakan suatu usaha ulama terdahulu
dalam rangka menjaga keutuhan dadalah lafadz yang terdapat dalam nash syara`
terurama dalam Al-Qur`an.

D. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh


Marak nya kajian ushul fiqh setelah Imam Syafi`i sebagai penemu ushul fiqh
terus berkembang yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda salah
merumuskan kaidah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah yang memang sudah
jauh terjadi sebelumnya, namun pada masa itu tampak jelas aliran ushul fiqh
mengkristal menjadi tiga aliran:

1. Jumhur Ulama Ushul Fiqh

Disebut aliran jumhul ulama, karena aliran ini dianut oleh mayoritas ulama
yang terdiri dari kalangan ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hambalilah. Disebut juga
aliran Syafi`iyh, karena orang yang pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul
fiqh seperti ini adalah Imam Syafi`i. Disebut juga aliran mutakallimin karena para
pakar di bidang ini sebelum Imam Syafi`i adalah dari kalangan mutakallimin (para

14
ahli ilmu kalam) seperti Imam al-Juwaeni, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam al-
Ghazali.
Aliran jumhul ulama ini dalam metode pembahasan didasari oleh logika yang
bersifat rasional dan pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada. Fokus perhatian
mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap hukum yang telah
ditetapkan oleh imam mujtahid atau hubungan kaidah dengan masalah furu` (masalah
khilafiah). Tetapi apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka
itulah sumber pokok hukum syariat islam baik sesuai dengan masalah furu` dalam
berbagai madzhab atau menyalahinya. Diantara ulama kalam yang ahli dalam bidang
ushul fiqh adalah ulama Syafi`iyah dan ulama malikiyah. Adapun kitab-kitab terkenal
yang disusun dengan metode logika ini adalah:
 kitab al-Musytasyfa karangan Abu Hamid al-Ghazaly, wafat 505 H,
 kitab al-Ahkam karangan abu Hasan al-Amidi, wafat 613 H, dan
 kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi`i wafat 685 H.
Adapun diantara kitab syarah (komentar dan analisis) yang terbaik adalah kitab syarah
al-Asnawi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembahasan ushul fiqh aliran
jumhur ini bersifat teoretis tanpa disertai contoh dan bersifat murni karena tidak
mengacu kepada madzhab fiqih tertentu yang sudah ada.

2. Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha

Metode Ahnaf dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikembangkan oleh
ulama Hanafiyah. Aliran ini juga disebut dengan aliran fuqaha (ahli fiqih), karena
sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih. Dalam merumuskan
kaidah ushul fiqh, mereka berpendoman kepada pendapat fiqih Abu Hanifah dan
pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Cara yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqra` (induksi),
terhadap pendpat-pendapat imam sebelumnya dan pengumpulkan pengertian makna
dan batasan-batasan yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi
darinya. Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah,
ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah menyandarkan
ijtihadnya kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah tersebut. Jadi,
mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliah sebagai cabang dari kaidah itu.
Adapun yang mendorong mereka atau membuktikan kaidah-kaidah itu adalah
beberapa hukum yang telah diistinbatkan oleh para imamnya dengan bersandar
kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang bersifat teoritis. Oleh karena itu, mereka
banyak menyebutkan masalah furu` dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain
mereka menaruh perhatian serius terhadap kaidah-kaidah ushuliyah tentang masalah-
masalah yang telah disepakati dan juga kepada masalah furu`. Jadi, semata-mata
perhtian mereka ini tertuju kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil
dari masalah-masalah furu` dalam melakukan istinbat. Adapun kitab-kitab ang
terkenal dalam aliran ini yaitu:

15
a. Kitab Taqwin al-Adillah, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H),
b. Kitab Ushul, karangan Fahrul Islam (w. 430 H),
c. Kitab al-Manar, karangan al-Hafidh an-Nasafi (w. 790 H),
d. Al-Fushul fi al-Ushul, karangan Abu Bakar al-Hashash,
e. Kitab Ushul, karangan al-Khurkhi (w. 340 H),
f. Kitab Ushul, karangan al-Jashshas (w. 370 H),
g. Ta`sis al-Nazhar, karangan al-Dabusi (w.430 H),
h. Kitab Ushul al-Bazdawi, karangan al-Bazdawi (w. 483 H) dan
i. Al-Mabsuth, karangan al-Sharkhasi.

3. Metode Campuran

Merupakan metode gabungan antara metode Mutakallimin dan metode


Hanafiyah. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasikan kedua aliran
terdahulu yang telah dijelaskan diatas. Mereka memerhatikan kaidah-kaidah
ushuliyah dam mengemukakan dalil-dalil atas kaidah itu, juga memperhatikan
penerapannya terhadap masalah fiqh far`iyah dan relevansinya dengan kaidah-kaidah
itu. Kitab-kitab yang termasuk ke dalam aliran campuran ini antara lain:
a. Kitab al-Nizham, karangan al-Bazdawi,
b. Al-ahkam, karangan Mudhoffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi 694 H,
c. Al-Taudhih, karangan Shadrus Syariah,
d. At-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hammam,
e. Jam`u al-Jawami`, karngan Ibnu Subki,
f. Irsyad al-Fukhul litahqiqi al-Haqqi min al-ilmi al-Ushul, karangan al-Saukani,
w.1250 H,
g. Kitab Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek, w. 1927 dan
h. Taushil al-Wushul ila Ilmi al-Wushul, karangan Syekh Muhammad Abdurrahman
`Aid al-Mihlawi, w.1920.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebenarnya Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat.
Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah
ushul fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum dibukukan sebagai sebuah

16
disiplin ilmu dan seiring berkembangnya zaman maka ilmu ushul fiqh dibukukan.
Dibukukannya ilmu ushul fiqh karena para ulama` memandang ilmu ushul fiqh
sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang
sebagai ilmu syari`ah yang terpenting dan tertinggi nilainya. Pelopor pertama
pembukuan ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi`i dengan metode-metode ijtihad dan
sekaligus untuk pertama kalinya membukukan ilmu ushul fiqh yang bersamaan
dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Marak nya kajian
ushul fiqh setelah Imam Syafi`i sebagai penemu ushul fiqh terus berkembang yang
diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda salah merumuskan kaidah dalam
memahami al-Qur`an dan sunnah yang memang sudah jauh terjadi sebelumnya,
namun pada masa itu tampak jelas aliran ushul fiqh mengkristal menjadi tiga aliran:
1. Jumhur ulama ushul fiqh,
2. Aliran hanafiyah (ahnaf) atau fuqaha, dan
3. Metode campuran.

B. Saran

Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini akan tetapi
pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan
masih minimnya pengetahuan kami. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca sangat kami harapkan sebagaIi bahan evaluasi untuk kedepannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an al-Karim.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. 2010. Jakarta: Amzah.
Abd. Wahhab, Tajuddin bin Ali al-Subki. Jam,u al-Jawami`i fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar
Al-Kutub al-ilmiyah, 2002, Cet. Ke-2.
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut: Daar Al-Fikr al-Araby, 1958.
Effendi, Satria M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offeset, 2009, Cet. Ke-3.
Goldzuher, Iqnaz. 1991. Pengantar Teologi dan Hukum Islam. Jakarta: INIS.
https://boediz22.wordpress.com/2012/03/21/filsafat-aristoteles-dalam-ushul-fiqh-ditulis-
taufiqurrahman-m-ag/amp/.
https://www.sinizam.com/2016/01/perananushul-fiqih-dalam-pengembangan.html?m=1.
Mardani. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nurhayati, dan Ali Imran. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Syaifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syaikh Hudari Biek, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1988 M).
Wael B Hallaq,A History of Islamic Legal Theories, Sejarah Teori Hukum Islam,
Penerjemah: E Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid (Jakarta: Rajawali Press,
2001, Cet. Ke-2).

18

Anda mungkin juga menyukai