Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH USHUL FIQH

Sejarah dan Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh

Diajukan untuk memenuhi tugas dalam matakuliah Ushul Fiqh

Dosen pengampu:

Dr. Hj. Iffah, M.Ag

Disusun oleh:

M. Alby Muwaffil Hammam (07020322057)

Nur Adela Maharani (07040322122)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan karunianya,
sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabatnya sampai hari kiamat, atas berkat dan rahmatnya, penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Sejarah dan Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh” dengan
baik dan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Ushul Fiqh.

Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat atas terselesaikanya makalah
ini terkhusus kepada Dr. Hj. Iffah, M.Ag yang telah membimbing dan mengarahkan penulis
dalam mengerjakan tugas, tak lupa penulis sampaikan kepada teman seperjuangan yang telah
mendukung serta konsisten dalam menumbuhkan rasa solidaritas antar sesama, sehingga penulis
mendapatkan dorongan dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Dalam penyusunan kami mengambil sumber dari beberapa literatur, terutama buku- buku
pegangan yang biasa di buat rujukan oleh para pengkaji dan berbagai kitab salafy. Pembaca
mungkin akan menemukan beberapa kekurangan dan kesalahan penulisan dalam makalah, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan dan kelancaran
karya ilmiah ini di masa mendatang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
berkah. Sekian yang dapat penulis sampaikan, mohon maaf dan terima kasih atas semuanya.

Surabaya, 28 maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
COVER HALAM………………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB 1.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. Latar belakang masalah...................................................................................................1


B. Rumusan masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan ............................................................................................................................2

BAB 2.........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.........................................................................................................................3

2.1...................................................... Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh


.........................................................................................................................................3
2.2........................................................... Aliran-aliran dalam ushul fiqh serta took-tokonya
.......................................................................................................................................10
2.3...................................................................... Kitab-kitab ushul fiqh dlam berbagai aliran
.......................................................................................................................................14

BAB 3.......................................................................................................................................19

PENUTUP ................................................................................................................................19

3.1........................................................................................................................Kesimpulan
.......................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................20

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan
takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat.
Pada masa Rasulullah SAW, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu
dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung
merujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau
melalui sunnah beliau SAW. Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum
semakin berkembang. Diantara mereka ada yang menempuh metode maslalah
atau metode qiyas disamping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada
masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logisdari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.

Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada
masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh
metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih
dapat dipercaya dari pada hadis ahad. Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa
sejak zaman Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai
suatu disiplin ilmu tersendiri.

1
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah pertumbuhan serta perkembangan ushul fiqh?
2. Sebutkan aliran-aliran dalam ushul fiqh dan took-tokonya
3. Apa saja kitab-kitab ushul fiqh dalam berbagai aliran
C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh
2. Mengetahui aliran aliran serta took-tokonya dalam ushul fiqh
3. .Mengetahui berbagai kitab ushulfiqh dalam berbagai aliran

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh


Pada abad pertama, semua hukum apapun mengacu pada Rasululah SAW, sehingga
tidak membutuhkan dasar (ushul) dan kaidah-kaidahnya, karena itu pasti wahyu dari
Allah SWT. Kemudian sepeninggal Rasulullah, para sahabat merujuk pada al-Quran dan
hadis dalam memutuskan hukum dan membuat fatwa untuk menjawab problematika yang
muncul di sekitarnya, mengingat pemahaman mereka yang masih orisinil.
Pasca-generasi sahabat, wilayah kekuasaan Islam semakin luas. Sehingga pemeluk
Islam semakin banyak dari berbagai bangsa dengan tipikal sosial dan geografis yang
plural (beragam), terjadilah asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain. Akibatnya,
orisinilitas bahasa Arab mulai terancam. Sehingga banyak kerancuan dalam memahami
nash. Hal ini mendorong untuk dibakukannya batasan dan kaidah bahasa demi menjaga
orisinalitas yang telah hilang. Dengan demikian, pemahaman atas nash tetap terkontrol
sebagaimana saat dipahami oleh penerima nash tempo dulu.1
Secara substantif ushul fiqh pada dasarnya telah tumbuh bersamaan dengan
tumbuhnya kegiatan ijtihad, yakni sejak masa sahabat. Hanya saja pada masa sahabat
ushul fiqh masih bersifat praktis-terapan, seperti ketika sahabat akan mengeluarkan fatwa
atau akan mengambil keputusan hukum dalam proses peradilan. Umar bin Khattab, Ali
bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan beberapa sahabat besar lainnya dikenal sebagai fukaha
lantaran produk-produk pemikiran hukumnya selalu menjadi acuan umat Islam saat itu.
Artinya, pada masa sahabat, ushul fiqh sejatinya sudah ada, namun belum berwujud
sebagai sebuah disiplin keilmuan. Pada masa tabi’in kondisinya relatif sama, ushul fiqh
sudah ada dan terus berkembang, namun belum terformulasi secara sistematis.2

1
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul-fiqih-0EbOf
2
DR. Moh Badruddin, M.Ag, Ilmu Ushul Fiqh, Lampung, AURA CV. Anugrah Utama Raharja, cetakan 2019, hal 12

3
Ilmu ushul fiqh tumbuh karena adanya suatu problematika yang muncul dan
membawa perdebatan diantara para cendikiawan, terkhusus para ahli ra’yi (rasionalis)
yang menggunakan nalar dalam menetapkan hukum islam dan ahli hadis (tekstualis) yang
membatasi kajianya pada al-Quran dan hadis serta tidak mendukung kajian nalar.
Keduanya bersikukuh untuk membentuk dan mempertahankan kemaslahatan umat.
Pada fase ini tidak hanya muncul dua aliran tersebut. Muncul pula kelompok yang
tidak bertanggung jawab dan melampui batas. Mereka mengutamakan nafsu dalam
menjadikan dalil. Kondisi memprihatinkan ini semakin mendesak untuk segara disusun
batasan dan bahasan dalil-dalil syara’ serta cara menggunakannya. Dari sini lah mulai
terbentuk ilmu ushul fiqih.
Kemunculan ilmu ushul fiqh tidak terlepas dari dinamika pemikiran hukum Islam
abad ke-2 H, khususnya berkenan dengan diskursus metode istinbath hukum Islam.
Sebagian ulama mengkhawatirkan terabaikannya ruh al-tasyri‘ atau maqashid alsyari‘ah,
sementara kelompok ulama yang lain mengandalkan pemahaman literal dalam
memahami nas al-Qur’an dan Sunah. Ada kekhawatiran ijtihad akan berkembang dengan
tingkat kebebasan berpikir yang tak terkontrol, sehingga dinamika ijtihad yang
berkembang saat itu menimbulkan kegalauan lantaran kebebasan berijtihad nyaris tanpa
kendali, mengiringi pesatnya perkembangan zaman dan penyebaran Islam ke wilayah-
wilayah di luar Hijaz (Mekah dan Madinah).3
Ushul fiqh sebenarnya sudah ada sejak fiqh ada. Dimana ada fiqh, maka di sana ada
ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya karena fiqh adalah hakikat yang dicari ushul fiqh.
Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dipisah dan dibeda-
bedakan. Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum fiqh atau
sebelum dibukukan atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang
tetap dalam mencetuskan hukum. Pada umumnya, sesuatu itu ada baru kemudian
dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaannya, bukan munculnya.4
Dari keterangan diatas bisa kita pahami bahwa fiqh dan ushul fiqh selalu berjalan
beriringan, tetapi selanjutnya ushul fiqh menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa yang pertama kali menaruh perhatian penuh dalam hal ini

3
Ibid, hal 12
4
Athief, F. H. N. (2019). Sejarah Munculnya Disiplin Ilmu Dalam Islam. Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(02),
hal 10

4
adalah Imam Syafi’i dengan bukunya yang terkenal, “al-risalah”. Tetapi banyak para
pendukung suatu madzhab yang menyatakan bahwa imamnyalah yang pertama kali
membahas tentang ushul fiqh. Dalam hal ini Dr. Mahmud Abdurrahman ‘Abdul Mun’im
berkata bahwa apa yang dikerjakan oleh imam-imam mereka bukanlah ushul fiqh dalam
artian secara terminologi, melainkan hanya buku yang mengumpulkan pokok-pokok
permasalahan fiqh. Dr. Mahmud menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan jika
banyak ulama lain yang membahas tentang ushul fiqh ini, tetapi belum ada yang
mengumpulkannya dalam satu buku seperti risalah.5
Secara garis besar perkembangan fiqh dan ushul fiqh dapat dibagi menjadi tiga fase
yaitu: fase pembentukan (7-10 M), fase kebekuan hukum (10-20 M), fase perkembangan
hukum islam yang terjadi setelah terbentuknya islam nasional. Sebagian ulama membuat
periodesasi tentang sejarah perkembangan fiqih dan ushul fiqh dengan lebih detail.
Ketiga fase diatas dirici lagi menjadi lima fase yakni fase pertumbuhan (masa rasulullah),
fase perkembangan (masa sahabat), fase kemajuan (masa tabi’in tabi’it). Pembahasan
kelima fase akan dijelaskan dibawah ini yakni6 :
1. Fase pertumbuhan
Fase ini terjadi pada masa nabi, yang dimulai sejak nabi diangkat menjadi rasul
sampai tahun wafatnya, masa ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Makkah dan
Madinah, periode Madinah lebih terlihat jelas dalam indikasi penetapan hukum,
karena ayat-ayatnya mengandung hukum dan pranata sosial daripada periode
Makkah yang membahas tentang ayat-ayat ketauhidan dan akidah.
Sumber hukum pada masa ini hanya wahyu, baik al-Quran maupun sunah. Rasul
juga melakukan ijtihad ketika muncul persoalan dan wahyu belum turun. Hasil ijtihad
rasul inilah yang disebut dengan sunah atau hadis. Namun, ijtihad rasul pada periode
ini tidak dianggap sebagai sumber hukum yang independen, karena validitasnya
tergantung pada wahyu, apakah dikonfirmasi atau dikoreksi.
Contoh aturan dari rasul yang dikoreksi oleh wahyu adalah masalah perceraian
dengan zihar yang dilakukan oleh Aus bin shamith kepadanya istrinya, Khalwah bin
Tsa’labah sebagai bentuk perceraian,. Namun perkataan rasul ini dikoreksi oleh al-

5
Ibid, hal 11
6
Sodiqin, A. (2012). FIQH, DAN USHUL FIQH Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Hal 20

5
Quran dengan turunya surah al-Mujadalah ayat 1-3 yang mentapkan bahwa dzihar
adalah tidak sah sebagai bentuk perceraian.
Anjuran rasulullah kepada para sahabat dalam berijtihad bisa dilihat dalam
perkataan beliau “bahwa seorang hakim yang berijtihad kemudian benat maka
mendapat dua pahala, jika salah maka mendapat satu pahala“ dalam hal ini tetntunya
harus menggunakan ilmu pengetahuan dalam berijtihad. Kemudian Rasulullah juga
memberi ruang untuk terjadinya perbeadan pendapat. Hal ini terjadi pada saat
peristiwa bani quraidzah yang menjadi bukti bahwa nabi mengabsahkan dua tindakan
yang berbeda dalam situasi yang sama.
Dengan demikian, pada periode nabi ini telah muncul penggunaan ra’y atau
penafsiran pribadi. Penggunaan ra’y inilah yang kemudian disistematiskan menjadi
metode istinbath hukum. Fenomena ini menunjukan adanya pemberian hak penafsiran
bagi sahabat meski tetap dalam bimbingan rasul. Hal inilah yang sangat membantu
para sahabat ketika menghadapi persoalan baru setelah Rasul wafat. Selama periode
ini rasul meletakan fondasi keilmuan fiqih dengan cara mendeduksi hukum dari al-
Quran.

2. Fase perkembangan (632-661M)


Pada masa sahabat frekuensi ijtihad semakin bertambah. Hal ini disebabkan
munculnya permasalahan baru yang menuntut adanya kepastian hukum. Di sisi lain
wahyu sudah terhenti bersama wafatnya Rasulullah. Keadaan ini memaksa para
sahabat, terutama khulafaur ar-Rasyidin melakukan penafsiran, baik secara
musyawarah (ijmak) maupun ijtihad pribadi.
Para sahabat menjadikan rasul sebagai model ideal bagi segala persoalan. Ijtihad
yang terjadi pada masa sahabat menunjukan kreatifitas yang tinggi dalam
mengistinbathkan hukum, semisal ali bin abi thalib menggunakan prinsip qiyas, yaitu
mengqiyaskan hukuman bagi peminum khamar dengan hukuman bagi pelaku qadzaf
(penuduh zina).
Praktek ushul fiqh pada masa sahabat sebagaimana terungkap di atas
mencerminkan penggunaan ra’y yang lebih terarah. Fatwa para sahabat mulai
merujuk pada penggunaan teori istinbath yang tidak menyimpang dari semangat yang

6
diajarkan rasulullah. Meskipun belum sistematis, hasil-hasil ijtihad mereka menjadi
bahan acuan bagi generasi sesudahnya dalam merumuskan teori-teori ijtihad.
Pada masa kini juga muncul fatwa-fatwa bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada
nashnya. Para sahabat menjadi pemegang otoritas fiqh di daerah masing-masing
(Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir). Sumber hukum pada masa ini
adalah al-Quran, sunnah, dan ijtihad sahabat.

3. Fase Formulasi dan Sistematisasi (661-950 M)


Pada masa ini, wilayah islam sudah meluas ke suluruh jazirah Arab, sebagai akibat
ekspansi yang dilakukan sejak masa Khulafaur ar-Rasyidin. Perluasan wilayah
berkonskuensi penyebaran sahabat ke wilayah baru sebagai pemimpin agama dan
intelektual. Pada tahap selanjutnya muncul kota-kota penting dengan ciri masing-
masing. Secara geografis kota-kota tersebut terbagi menjadi tiga yakni Iraq, yang
terdiri dari Kufah dan Basrah, hijaz yang meliputi kota Makkah dan Madinah serta
Syiria. Namun dua kota yang pertama memeliki pengaruh yang kuat dalam
pembentukan fiqh dan ushul fiqh.
Para tabi’in dalam berijtihad disamping melakukan pemikiran sendiri juga
mendasarkan pada salah satu pendapat sahabat, sehingga perbedaan pendapat tetap
terjadi. Disamping itu juga muncul perbedaan pendapat yang didasarkan pada
perbedaan geografis, yakni masuknya unsur-unsur lokal maupun regional yang
mewarnai fatwa-fatwa hukum, praktek atau adat setempat menjadi bahan
pertimbangan dalam keputusan hukum mereka.
Perbedaan tersebut mengerucut pada munculnya dua aliran besar, yaitu madarasah
ahli ra’yi dan madrasa ahli hadis. Madrasah ahli ra’yi berpusat di Kufah dan
mengumpulkan fatwa-fatwa dari Abdullah bin mas’ud. Kelompok ini berasumsi
bahwa nash syari’ah bersifat terbatas sedangkan peristiwa dalam masyarakat selalu
baru. Pada peristiwa yang tidak ada nashnya maka harus harus melakukan ijtihad
dengan ra’yi. Di samping itu hukum syara’ juga terkait dengan illat (sebab) tertentu
dan untuk tujuan tertentu. Tugas ulama adalah menemukan illat tersebut untuk
kemudian diaplikasikan terhadap persoalan yang ada. Diantara para imam madzab,
abu Hanifah termasuk dalam kelompok ini.

7
Madrasah ahli hadis bermakas di Hijaz dengan tokohnya Said Musayyab al-
Makhzumi. Para ulama kelompok ini mengumpulkan berbagai fatwa dari sahabat
Abdullah bin Abbas, Abdullah ibn umar, dan Aisyah binti abi Bakr. Pengikut
kelompok ini antara lain Malik ibn Anas, Muhammad bin Idris as-Syafi’i, Ahmad ibn
Hanbal, Daud az-Zahiri, dan sebagainya. Penetapan hukum menurut aliran ini
didasarkan pada sumber pertama, yaitu al-Quran dan sunah, jika tidak ada maka
dicari pendapat para sahabat. Penggunaan ra’yi dilakukan setelah tidak ditemukan
dasar hukumnya pada sumber di atas.
Kemajuan fiqh dan ushul fiqh fase ini ditandai dengan munculnya para ulama
yang berkategori mujtahid muthlaq yakni empat Imam Madzab yang telah masyhur.
Pemikiran-pemikiran mereka dikembangkan dan disebarkan oleh para pengikutnya ke
berbagai belahan dunia. Karya mereka dianggap monumental oleh umat islam hingga
sekarang. Abu hanifah menulis kitab Al-fiqh al-Akbar, malik bin anas menyusun
kitab al-Muwathha, as-syafi’I meninggalkan dua kitab besarnya yakni kitab Al-umm
(kitab fiqh) dan Ar-Risalah (kitab Ushul Fiqh), sedangkan imam Ahmad bin Hanbal
terkenal dengan kitab hadisnya, musnad Ahmad bin Hanbal. Kitab-kitab inilah yang
banyak mewarnai dan mempengaruhi pemikiran fiqh dan ushul fiqh di kalangan umat
islam.

4. Fase Stagnasi (950-akhir abad ke-19M)


Masa ini merupakan periode kemandekan dan kemunduran pemkiran fiqh dan
ushul fiqh. Hampir tidak ada pemikiran baru yang dihasilkan ulama pada masa ini.
Fatwa-fatwa generasi sebelumnya dibukukan dan dijadikan sebagai pegangan. Hadis
juga telah ditulis secara sistematis dan diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya.
Disamping itu, yurisprudensi dan prinsip-prinsip penafsiran juga sudah dirumuskan
secara metedeologis. Berbagai produk warisan tersebut tidak disikapi secara kreatif
dan hanya berpegang pada taklid sehingga menimbulkan stagnasi.
Faktor-faktor lain yang juga berkontribusi terhadap stagnasi ilmu ushul fiqh pada
masa ini adalah sebagai berikut:

8
a. Madzab fiqh telah terbentuk sempurna, dan karya fiqh sebelumnya dianggap
mampu menyelesaikan segala persoalan yang terjadi. Akibatnya tidak lagi ijtihad
dan tiadanya orisinalitas pemikiran.
b. Hilangnya kekuasaan abbasiyah yang memiliki concern dalam pengembangan
fiqh dan ushul fiqh. Akibatnya muncul perselisihan politik yang berimplikasi pada
kurangnya perhatian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
c. Wilayah-wilayah pecahan abbasiyah memilih untuk mengikuti madzab tertentu.
Mesir mengikuti madzab syafi’i, Andalusia (Spanyol) mengikuti madzab maliki,
Turki dan India mengikuti madzab hanafi.

Meski disebut masa stagnasi, namun pada periode ini muncul upaya melakukan
pembaruan. Para pembaharu ini melakukan upaya untuk melawan taklid dan
mengaktifkan ijtihad. Mereka menyeru kepada umat islam untuk kembali pada akar
agama, yaitu al-Quran dan hadis. Diantara ulama pembaharu adalah Ahmad ibn
Taymiyah (1263-1238 M), Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (1703-1762 M) dan
Muhammad ibn Ali Al-Asyaukani (1757-1853 M). diantara mereka yang terkemuka
adalah Ahmad Ibn Taymiyyah.
5. Fase kebangkitan (akhir abad ke-19 sampai sekarang)
Kebangkitan fiqh dan ushul fiqh berkaitan dengan kebangkitan umat islam di
bidang politik. Di beberapa wilayah umat islam mulai berusaha melepaskan diri dari
kolonialisme. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Munculnya kesadaran diri umat islam akan kekalahanya dari Eropa.
b. Keinginan untuk belajar kepada eropa sehingga menimbulkan ide-ide pembaruan.
c. Upaya memurnikan ajaran islam dari pengaruh bid’ah dan khurafat.
d. Ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dari barat menyadarkan umat
Islam untuk menghidupkan semangat ilmu pengetahuan.

Secara umum sikap umat islam terhadap kemajuan barat dapat menjadi dua yakni:
pertama, zealotisme yaitu menutup diri secara fanatik terhadap barat dan ingin
kembali secara introvert kepada praktek Islam masa lalu. Sikap ini menimbulkan
adanya gerakan pemurnian Islam (puritanisme), seperti gerakan wahabiyyah yang

9
dipimpin oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab (1703-1787) di Arabia. Kedua,
herodianisme yaitu membuka pintu secar selektif terhadap pengaruh barat,
mengambil yang baik dan menolak yang buruk. Sikap ini berdampak pada munculnya
gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam.
Gerakan pembaharuan yang muncul pada saat itu adalah:
a. Pan islamisme, dipimpin oleh Jamaluddin al-Afgani (1839-1897) dengan tujuan
menggalang persatuan umat Islam sedunia dan membangkitkan semangat lokal
negeri-negeri Islam untuk melepaskan diri dari penjajah.
b. Nasionalisme, dipimpin oleh al-Tahawi (1801-1873) di Mesir, dengan pemikiran
negera Islam akan maju jika di bawah penguasa sendiri dan bukan dijajah bangsa
asing.
c. Hizbul Wathan, dipimpin oleh Mustafa Kamil di Mesir, gerakan ini
mengakibatkan terjadinya Revolusi Mesir pada 23 juli 1952, dan mengakibatkan
terbentuknya republik Mesir pada 18 juni 1953 dengan presidenya mayor jenderal
Naguih.

Beberapa tokoh yang dianggap sebagai pembaharu yang menjadi tanda awal
kebangkitan islam adalah: Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad Rasyid
Ridha (w. 1935 M), Hasan al-Banna (w.1949), Abul A’la Al-maududi (1903-1979M),
dan lain-lain. Para pembaharu ini berusaha mengembalikan watak asli fiqh dan ushul
fiqh yang dinamis, meskipun tidak sepenuhnya mampu memberantas fanatisme
madzab.

2.2. Aliran-Aliran dalam Ushul Fiqh dan Tokohnya


Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, dengan semakin maraknya kajian-
kajian ilmiyah di bidang fiqh, maka ilmu ushul fiqh menjadi semakin berkembang.
Sejalan dengan itu bibit-bibit perbedaan bermunculan dalam merumuskan kaidah untuk
memahami Qur’an dan sunah pada masa ini tampak ke permukaan. Puncaknya adalah
munculnya perbedaan metode dalam ijtihad khusunya dalam menetapkan suatu hukum.
Ada tiga aliran (thariqah) besar dalam disiplin ilmu ushul fiqh:7
7
Abdurrahman Misno BP, M. E. I., & Nurhadi, S. (2020). ILMU USHUL FIQH: Dari Arabia Hingga Nusantara. Media
Sains Indonesia. Hal 30

10
1. Aliran mutakalimi>n
Aliran jumhur (mayoritas) yang termasuk aliran mayoritas ini adalah malikiyah,
syafii’yah dan hambaliyah. Aliran ini dikenal dengan sebutan mutakalimin, sebab
tokoh-tokohnya ahli ilmu kalam seperti Qodli Abdul Jabar, Imam Al-Juwaini, dan
Imam Ghazali. Aliran ini dikenal dengan syafi’iyah, karena orang pertama yang
mewujudkan cara penulisan ushul seperti ini adalah Imam Syafi’I dan dikembangkan
oleh para muridnya.
Aliran mayoritas ulama ini dalam metode pembahasanya didasari oleh logika yang
bersifat rasional dan pembuktianya oleh kaidah-kaidah yang menjadi fokus perhatian
mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembahasan fiqh aliran jumhur
ini bersifat teoritis tanpa disertai contoh dan bersifat murni karena tidak mengacu
kepada madzab fiqh tertentu yang sudah ada.
Golongan mutakalimin dalam pembahasanya selalu mengikuti cara-cara yang
lazim digunakan dalam ilmu kalam, yakni dengan memakai akal pikiran dan alasan-
alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok (ushul). Beberapa ciri
dari aliran ini adalah bahwa pembahsan uhul fiqh dijelaskan secara rasional, filosofis,
teoritis, tanpa disertai contoh, dan murni tanpa mengacu pada madzab fiqih tertentu
yang sudah ada. Kaidah-kaidah ushul fiqh mereka rumuskan tanpa peduli apakah
mendukung madzab fiqh yang mereka anut atau justru berbeda, bahkan bertujuan
untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran madzab fiqh yang sudah terbentuk. 8 Ada
beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
a. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimi>n membahas kaidah-
kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi
pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan
dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
b. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat
dalam kitab “al-Luma” karya al-Syirazi dan “al-Ihkam” karya al-Amidi. Teori
kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam
pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu
dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika),
8
Muslikatun Nadiyah, dkk, Thariqah Mutakallimin (jumhur), semarang: universitas wahid hasyim, pendidikan pasca
sarjana, hal 20

11
sebagaimana terdapat dalam “al-Mustashfa” karya al-Ghazali, “Rawdlah al-
Nadzir” karya Ibnu Qudamah, dan “Muntaha al-Wushul” (al-Sul) karya Ibnu
Hajib.9
2. Thariqah Ahnaf (Hanafiyah)
Aliran ini dikenal sebagai aliran fuqaha yang dikembangkan oleh ulama hanafiyah
karena dalam penulisanya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh (aliran
hanafiyah). Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh mereka berpedoman kepada
pendapat fiqh abu Hanifah, dan para muridnya serta dilengkapi dengan contoh-
contoh. Penyusunan seperti ini dilakukan oleh kalangan hanafiyah, beliau tidak
meninggalkan ushul fiqh. Maka oleh pengikutnya setiap fatwa diuji kebenaranya
dengan kaidah-kaidah ushul fiqh sebagaimana aliran pertama.
Metode yang digunakan oleh aliran hanafiyah dalam menetapkan kaidah-kaidah
ushul adalah metode induktif atau juga dengan metode istiqrar. Teori-teori aliran ini
dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk. Artinya mujtahid ini mengamati
perilaku orang-orang mukallaf yang ada pada masyarakat, kemudian dia memproduk
fiqh secara induktif. Setelah itu disusunlah ushul fiqh untuk dasar-dasar
pengembanganya, disamping kaidah fiqhnya juga. Karena itu, urf (tradisi), masalihul
mursalah, dan istihsan diambil sebagai dasar hukum fiqh. Aliran ini dipakai oleh
madzab hanafi, madzab maliki, dan mu’tazilah.
Cara yang digunakan aliran ini dengan menggunakan istqra (induksi) terhadap
pendapat imam-imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan
batasan-batasan yang mereka gunakan. Oleh karena itu, mereka banyak menyebutkan
masalah furu’ dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain mereka pun menaruh
perhatian kepada kaidah-kaidah ushuliyyah tentang masalah-masalah yang disepakati.
Jadi, semata-mata perhatian mereka ini tertuju pada masalah ushul fiqh para imamnya
yang diambil dari masalah-masalh furu’ dalam melakukan istinbath.
3. Thariqatul Jam’i (gabungan)
Perkembangan selanjutnya, Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan
kemudian diikuti kalangan Sya>fi’iyyah menurut Muhammad Abu Zahrah yang

9
Suherman, M. (2017). Aliran Ushul Fiqh Dan Maqashid Syari’ah. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata
Sosial, 2(04). Hal 359

12
menggabungkan kedua aliran tersebut, misalnya buku “Badi’ al-Nizam” karya
Muhammad bin Ali al-Sa’ati (w.694H).
Ahli ushul fiqh kalangan hanafiyah, yang menggabungkan dua buah buku “Ushul
al-Badzawi oleh Ali ibnu Muhammad al-Badzawi dari aliran hanafiyah dan “al-
Ahkam fi Ushulil Ahkam oleh al-Amidi dari aliran Asyafi’iyyah, bukunya jam’ul
jawami oleh ibnu al-sibki, dan buku al-Tahrir oleh al-Kamal Ibnu al-Humam ahli
suhul fiqh kalangan hanafiyah.
Pada penghujung abad ke-8 Abu ishak al-Syatibi ahli ushul fiqh dari kalangan
malikiyah mengarang sebuah buku “al-Muwafaqat fi> Ushu>l al-Syari’ah”.
Dibandingkan dengan buku-buku ushul fiqh sebelumnya, kitab muwafaqah banyak
bicara tentang maqasid as-Syari’ah sebagai landasan pembentukan hukum,
sedangkan buku ushul fiqh yang datang kemudian umumnya merupakan nukilan di
atas.

Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang
memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam
ushul fiqh. Aliran takhrij alfuru’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab
yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab “Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul”
karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan “Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul” karya al-Zanjani al-
Hanafi.
Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul
fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana
dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur
dalam Maqashid al-Syariah.10

2.3. Kitab-Kitab Ushul Fiqh dalam Berbagai Aliran


Ustadz Muhammad Syamsuddin pengasuh pondok pesantren hasan jufri serta wakil
sekretaris bidaang maudhiyyah LBM PWNU Jawa Timur mengemukakan bahwa
umumnya para penulis ushul fiqh memulai bahasannya mengenai bahasa hukum dan
premis-premis kebahasaan dalam penalaran hukum, lalu dilanjutkan dengan kajian

10
Ibid, hal 360

13
dila>latu al-ahka>m (dalil-dalil hukum), ikhtila>f dan ittifa>q di dalam hukum, ijtihad
dan mujtahid serta syarat mujtahid, lalu taqlid dan diakhiri dengan metode tarji>ha>t al-
ahka>m. Kitab-kitab tersebut diantaranya:11
1. Aliran Mutakallimi>n
Kitab ushul fiqh standar dalam aliran Sya>fi’iyyah/Mutakallimi>n ini adalah:
a. “Al-Risa>lah” sebagai kitab induk ushul fiqh yang pertama kali masyhur karya
Imam al-Sya>fi’i.
b. Kitab “al-Mu’tamad”, disusun Abu al-Husain Muhammad ibn ‘Alial-Bashri (w.
463 H).
c. Kitab “al-Burha>n fi> Ushu>l al-Fiqh”, disusun Imam al-Harama>in al-
Juwaini> (w.487H).
d. Ktab “al-ikhka>m fi> ushu>l al-Ahka>m” oleh Abu Hasan Ali bin Abi Ali yang
dikenal dengan sebutan Saifuddin al-A<midi> al-Sya>fi’I (w. 631 H).
e. Tiga rangkaian kitab ushul fiqh Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1085-
1111 M), yaitu: “al-Mankhu>l min Ta’liqa>t al Ushu>l”, “Syi>fa al-Ghali>l fi>
Baya>n al-Syabah wa al-Mukhi>l wa Masa>lik al-Ta’li>l” dan “al-Mustashfa>
fi ilm al-Ushu>l”. Sekalipun kitab ushul fiqh dalam aliran
Syafi’iyyah/Mutakallimin cukup banyak, tetapi menjadi sumber danmstandar
dalam aliran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut di atas.

Diantara kitab al-Ghazali dalaam ushul fiqh yang masyhur adalah kitab “al-
Mustasyfa”, sebab banyak dikaji, terkhusus di wilayah Indonesia, terlebih di lingkungan
pesantren, karena kitab ini disusun dengan penggunaan gaya bahasa yang imbang antara
sulit dan mudah. Sistematika penyusunan kitabnya juga unik, karena terkesan rapi dan
penyelidikan isi yang cermat. Isi kitab seolah membawa daya tarik tersendiri kepada
pembacanya untuk terus-menerus membaca, bahkan jauh dari kesan membosankan.
Meskipun uraiannya panjang, pembahasanya pun cukup menarik untuk dicermati dan
cakupanya luas. Pantaslah kiranya kalau al-Juwaini menjuluki imam al-Ghazali sebagai
al-bahru maghru>q (samudera yang menenggelamkan). Pembaca karyanya tidak terasa
seperti terhipnotis atas uraiannya sehingga sulit untuk mencari titik lemahnya. Istilah

11
SANUSI, Ahmad. Ushul Fiqh. 2015. Hal 10

14
zaman sekarang adalah “diam-diam menghanyutkan”. Itulah kiranya padanan julukan
dari al-Juwaini ini kepada al-Ghazali.12
2. Aliran Hanafiyah
Ada perbedaan pendapat ulama tentang kitab ushul fiqh pertama yang ditulis
berdasarkan metode aliran Fuqaha’/Hanafiyah. Sebagian ulama berkata bahwa Ushul
Al-Karkhi adalah kitab pertama dalam aliran ini. Namun, ada juga yang mengatakan
bahwa Imam Abu Shalih, Manshur bin Ishaq al-Sijistani telah lebih dulu mengarang
kitab ushul fiqh dalam aliran Fuqaha’ ini. kitab-kitab ushul fiqh yang ditulis
berdasarkan aliran Hanafiyah adalah di antaranya:
a) Kitab Ushul karangan al-Karakhi, Kitab ini sangat masyhur di kalangan aliran
ushul fiqh Hanafiyah. Ditulis oleh Imam Abu Hasan, Ubaidillah bin Husein
Al-Karkhi Al-Mu’tazili (340 H). Tentang penamaan kitab ini sebagai “Ushul
Al-Karkhi” sebenarnya masih dalam perdebatan. Mayoritas ulama
mengatakan bahwa kitab ini sebenarnya sebuah risalah singkat yang ditulis
oleh Imam Al-Karkhi untuk menjelaskan beberapa kaedah yang diambil dari
cabang-cabang hukum dalam mazhab hanafi. Kaedah-kaedah tersebut diawal
dengan perkataan “Al-Ashlu” sehingga dinamai-lah risalah ini dengan Ushul
(bentuk plural dari Al-Ashl). Kitab ini sendiri memberikan pengaruh besar
terhadap ushul fiqh terutama dalam internal aliran hanafiyah.
b) Kitab “al-Ushul” karangan Imam al-Jashas yang merupakan murid dari imam
al-Karakhi. Kitab ini juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam internal
aliran hanafiyah.
c) Kitab “al-Ushul As-Syasi” karya Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Ali,
Ahmad bin Muhammad bin Ishaq Asy-Syaasyi (344 H)[2]. Kitab ini
mempunyai beberapa syarah (penjelasan), diantaranya: Syarah Al-Mawla
Muhammad bin Hasan Al-Khawarizmi (781 H) Hushul Al-Hawasyi ala Ushul
Asy-Syaasyi karangan Abu Hasan Al-Hindi Umdah Al-Hawasyi karangan
Mawla Muhammad Hasan Al-Kankauhi, Tashil Ushul Asy-Syaasyi karangan
Syekh Muhammad Anwar Al-Badakhsyani
d) Kitab “al-Ushul” karangan Al-Dabusi,

12
https://www.nu.or.id/pustaka/mengenal-kitab-ushul-fiqh-al-mustashfa-karya-imam-al-ghazali-uR9kp

15
e) Kitab “Kasyful Asrar” karangan Abdul Aziz bin Ahmad al-Bukhori,
f) “Taqwim Ushul Al-Fiqh wa Tahdid Adillatihi Asy-Syar’iyyah” Ditulis oleh
Qadhi Abu Zaid, Abdullah bin Umar bin Isa Ad-Dabusi Al-Bukhari (430 H),
g) Kitab “Kanzul Wushul fi Ma’rifatil ushul” karya Imam Fakhr Al-Islam, Ali
bin Muhammad bin Husein Al-Bazdawi (482 H). Imam Ali Al-Bazdawi
sendiri digelari dengan Abu Al-Usr karena susah dalam memahami karangan-
karangannya. Dalam kitab ini, beliau lebih berkonsentrasi untuk menjelaskan
mana saja yang merupakan pendapat mazhab hanafi ketika ada khilaf dalam
beberapa masalah. Selain itu, beliau juga menggunakan metode mantiqi/ahli
logika dalam membuat cabang-cabang dan pembagian dari beberapa kaedah
yang diuraikan. Diantara syarah dari kitab ini adalah “Kasyf Al-Asrar an
Ushul Al-Bazdawi” karangan Syekh Alauddin Abdul Aziz Al-Bukhari (730
H), Syarah karangan Hisamuddin As-Saghnaqi, Syarah karangan Akmaluddin
Al-Babirti
h) “Ma’rifatul hujaji as-Asyari’iyyah”, Kitab ini dikarang oleh adik Imam Ali
Al-Bazdawi yang bernama Imam Shadr Al-Islam, Muhammad bin
Muhammad bin Husein Al-Bazdawi (493 H). Kontras dengan kakaknya yang
digelari dengan Abu Al-Usr, beliau sendiri digelari dengan Abu Al-Yusr
karena mudah dalam memahami karangan beliau.
i) “Tamhid Al-Fushul fi Al-Ushul” atau yang lebih dikenal dengan “Ushul As-
Sarkhasi” . Dikarang oleh Imam Abu Bakar, Muhammad bin Ahmad bin Abi
Sahl As-Sarkhasi (483 H). Kitab ini juga merupakan salah satu rujukan utama
dalam ushul Fiqh aliran Fuqaha’.
j) “Al-Muntakhab fi Ushul al-Madzab”, Kitab ini ditulis oleh Imam Al-Hisam
Al-Akhsaykatsi (644 H). Kitab ini dipandang sebagai ringkasan dari kitab-
kitab ushul fiqh hanafiyah sebelumnya. Diantara syarah dari kitab ini adalah
“At-Tahqiq” karangan Imam Alauddin Al-Bukhari dan An-Nami karangan
Abu Muhammad Abdul Haq bin Muhammad Amir.
k) “Al-Mughni fi Ushul fiqh” karya Kitab ini ditulis oleh Imam Jalaluddin, Abu
Muhammad, Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khubazi (691 H). Kelebihan
kitab ini adalah redaksinya yang begitu ringkas dengan lafaz yang sederhana.

16
Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab “Ushul As-Sarkhasi” dan "Ushul Al-
Bazdawi”. Diantara Syarah kitab ini adalah Syarah yang ditulis oleh
pengarang sendiri Al-Muhni karangan ibn Siraj al-Dimasyqi, Syarah
Sirajuddin al-Hindi. Dan masih banyak lagi kitab dari aliran fuqaha’ ini.13

3. Aliran Gabungan (Syafi’iyyah dan Hanafiyyah)


Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang menggabungkan teori Syafi’iyyah atau Jumhur
Mutakallimin dengan teori fuqaha, di antaranya adalah:
a. “Tanqih al-Ushul”, yang disusun Shadr al-Syariah (w. 747 H). Kitab ini
merupakan rangkuman dari tiga buku ushul fiqh, yaitu “Kasyf al-Asrar” karya
Imam al-Bazdawi al-Hanafi, “al-Manshul” karya Fakh al-Din al-Razi al-
Syafi’i, dan “Mukhtasar ibn al-Hajib” karya Ibn al-Hajib al-Maliki.
b. “Al-Tahrir”, disusun Kamal al-Din Ibn al-Human al-Hanafi (w. 861 H).
c. “Jam’u al-Jawami”, disusun Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab al-Subki al-Syafi’I
(w.771 H).
d. “Musallam al-Tsubut”, disusun Muhibullah ibn ‘Abd al-Syakur (w. 1119.H).

Pada abad ke-8 Hijriah muncul Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w.790 H) dengan
bukunya al-Muwafaqat fi al-Ushul al-Syariah, pembahasan ushul fiqh yang
dikemukakan Imam al-Syathibi dalam kitabnya ini, di samping menguraikan berbagai
kaidah yang berkaitan dengan aspek-aspek keabsahan, ia juga mengemukakan
maqashid al-Syariah (tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum), yang selama
ini kurang diperhatikan oleh ulama ushul fiqh. Setiap permasalahan dan kaidah fiqh
mempunyai keabsahan yang ia kemukakan dikaitkan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam al-Syathibi memberikan warna baru di
bidang ushul fiqh dan kitabnya al-Muwafaqat fi al-Ushul al-Syariah, yang oleh para
ahli ushul fiqh kontemporer dianggap sebagai buku ushul fiqh yang komprehensif dan
akomodatif untuk zaman sekarang.

13
http://zamzamisaleh.blogspot.com/2013/02/kitab-ushul-fiqh-aliran-fuqaha-hanafiyah.html

17
18
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Ushul fiqh tumbuh dan berekmbang atas bentuk fiqh yang juga muncul, sehingga
mulai dari zaman nabi sampai sekarang terdapat hukum fiqh yang bermunculan
dengan berbagai ragam menurut situasi dan kondisi yang mempengaruhinya.
Perbedaan pendapat dalam menaggapi suatu problem baru yang tidak disebutkan
dalam dalil yang muttafaq menuai suatu perdebatan yang mengakibatkan muncul
berbagai aliran, mengingat perkembangan zaman dapat memunculkan suatu
permasalahan modern. Dari aliran tersebut memunculkan berbagai ahli ushul yang
berperan dalam memajukan peradaban ilmu penegtahuan islam melalui karya-
karyanya yang telah masyhur dan tersebar di berbagai wilayah, sehingga islam
banyak dikenal di berbagai penjuru dunia. Oleh karena itu, hukum islam ini atas
usaha proses ushul fiqh banyak dipelajari dan diterapkan hingga zaman sekarang ini,
baik itu menggunakan sistem naql (riwayat belajar dari guru) ataupun muthala’ah
( belajar dari karya-karya ulama ushul fiqh).

19
DAFTAR PUSTAKA

Athief, F. H. N. (2019). Sejarah Munculnya Disiplin Ilmu Dalam Islam. Islamika: Jurnal Ilmu-
Ilmu Keislaman, 19(02).

Badruddin Muhammad , M.Ag, Ilmu Ushul Fiqh, Lampung, AURA CV. Anugrah Utama
Raharja, cetakan 2019.

Misno Abdurrahman BP, M. E. I., & Nurhadi, S. (2020). ILMU USHUL FIQH: Dari Arabia
Hingga Nusantara. Media Sains Indonesia

Nadiyah Muslikatun, dkk, Thariqah Mutakallimin (jumhur), semarang: universitas wahid


hasyim, pendidikan pasca sarjana

Sodiqin, A. (2012). FIQH, DAN USHUL FIQH Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia

SANUSI, Ahmad. Ushul Fiqh. 2015.

Suherman, M. (2017). Aliran Ushul Fiqh Dan Maqashid Syari’ah. Al-Mashlahah Jurnal Hukum
Islam Dan Pranata Sosial, 2(04).

https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul-fiqih-0EbOf

https://www.nu.or.id/pustaka/mengenal-kitab-ushul-fiqh-al-mustashfa-karya-imam-al-ghazali-
uR9kp

http://zamzamisaleh.blogspot.com/2013/02/kitab-ushul-fiqh-aliran-fuqaha-hanafiyah.html

20

Anda mungkin juga menyukai