Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DARI MASA KE MASA

Di susun Oleh :
1. Chiki Pramudewi (214110404040)
2. Fatonah Khoerunisa (214110404078)
3. Nia Rostanti (214110404010)

PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada
penulis, sehingga penulis masih berkesempatan menyusun dan menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu dan tanpa halangan yang berarti. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga dan para sahabatnya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dan
sebagai tambahan wawasan keilmuan bagi penulis dan pembaca tentang
Perkembangan Ushul Fiqih dari Masa ke Masa. Terima kasih penulis haturkan
kepada Bapak Ulul Huda., M.Si., selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqih yang telah
memberikan tugas ini untuk menambah pengetahuan penulis.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan bahasa, ataupun teknik penulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, khususnya dari
dosen pengampu mata kuliah ini guna menjadi acuan bagi kami untuk lebih baik lagi
dalam menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya.

Purwokerto, 9 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
BAB I......................................................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
A. Pada Masa Nabi SAW...................................................................................................3
B. Ushul Fiqih Pada Masa Sahabat..................................................................................5
C. Ushul Fiqih Pada Masa Imam Madzhab.....................................................................6
1. Imam Abu Hanifah................................................................................................7
2. Imam Malik............................................................................................................8
3. Imam Syafi’i...........................................................................................................9
4. Imam Hanbali.......................................................................................................10
D. Ahl al-Ra’y dan Ahl al-hadits.....................................................................................12
BAB III.................................................................................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................................15
Kesimpulan.......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqih adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa
yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqih dan
ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat
diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan
menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.

Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas,
nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa
Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum- hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung
merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Alquran,
atau melalui sunnah beliau Saw.

Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di


antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di
samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in
inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama
ketika itu. (Muhammad Abu Zahrah,Tth)

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sejak zaman


Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam
mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran
belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum
terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Berikut pembahasan makalah
ini mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh.
Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Ushul Fiqih pada masa Rasulullah?
2. Bagaimana Perkembangan Ushul Fiqih pada masa Sahabat?
3. Bagaimana Perkembangan Ushul Fiqih pada masa Imam Madzab
4. Bagaimana Proses lahir dan berkembangnya Alh al-Ra’y dan Ahl al-
Hadist

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan Ushul Fiqih pada masa Rasulullah
2. Untuk mengetahui perkembangan Ushul Fiqih pada masa Sahabat
3. Untuk mengetahui perkembangan Ushul Fiqih pada masa Imam
Madzhab
4. Untuk mengetahui proses lahir dan berkembangnya Ahl al-Ra’y dan
Ahl al-Hadist

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pada Masa Nabi SAW


Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah
kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab
memeluk agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam
memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa
yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh,
yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada
sebelum fiqh. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi,
sedangkan fiqh merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena
itulah sudah tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. 1 Kesimpulannya, tentu
harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode
pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas.
Ketika seorang sahabat, misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu
ia mencari ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah saw., Maka
hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya
gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau
bertanya kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian
belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian
adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan
lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada
masa hidup Rasulullah sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam
persoalan-persoalan yang tidak ada pemecahan wahyunya. Ijtihad tersebut
masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit
seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang
sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak
punya air untuk wudhu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci
dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu
shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak.

1
Muhammad Sa'id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi-Ikhtialaf al-Fuqaha (Beirut:
Muassassah al-Risalah, 1994) 122-123.
Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi
sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudhu dan
mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.” (Kisah
di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-
Nasa’I dari Abu Sa‘id al-Khudri)
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan
persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan
tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum
Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa
sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha
dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan
keputusan hukum. Berbagai konsep ushul fiqh dapat ditemukan
penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi konsep
baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis.

B. Pada Masa Sahabat


Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan
adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi
mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat
menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran,
sunnah, dan ra’yu (nalar).
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum,
pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk
berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya
yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan
sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan
hukum, para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah
(maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara
tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.2 Pertama, khalifah biasa melakukan
musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang
hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat
yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum
lahirnya ijma’ sahabat, yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama,
khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang
paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang
berupa qiyas dan mashlahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari
pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru
yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan
mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan
kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar
bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan
penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil
penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam
pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam
satu majlis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman
potong tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj),
pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh
pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang
sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan
hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada
pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran
pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab
permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas

2
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.
kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul,
belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah
metodologi.3
Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna
tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula
sebab-sebab turunnya, serta rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan
mereka pada zaman nabi saw. Karena itu mereka tidak memerlukan peraturan-
peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka tidak menggunakan
pengetahuan Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu
ini telah diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya.4

C. Pada Masa Imam Madzhab


Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami
dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan Ushul fiqh secara
metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum
tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum
dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
1. Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M).
Imam Abu Hanifah memilik nama lengkap Nu’man ibn al-
Tsabit bin Zauthi, beliau lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di
Baghdad pada tahun 150 H, beliau hidup pada masa Dinasti Umayyah
selama 52 tahun dan di masa Dinasti Abbasiyyah selama 18 tahun.
Metode beliau dalam berijtihad yaitu denga mengemukakan urutan
dalil dalam meng-istinbath-kan hukum yaitu dengan al-Qur’an, al-
Sunnah, fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat, fatwa
para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka, qiyas dan istihsan.
Pada masa beliau banyak dipengaruhi oleh kelompok madrasah
Mekkah dan kelompok Madrasah Madinah, yaitu yang
mengedepankan hadis Nabi Saw dibandingkan dengan menggunakan

3
Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasry' al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya al-Kutub al-'Arabbiyah, tt), 144.
4
Mohammad Rifa'i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1973), hlm. 9.
ijtihad, kelompok ini banyak tinggal di Hijaz dan Madinah.
Selanjutnya dalam menetapkan keputusan hukum lebih banyak
menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis Nabi Saw,
meskipun banyak juga hadis yang digunakan, kelompok ini lebih
banyak mengambil tempat di wilayah Irak, khususnya Kuffah dan
Basrah.5
Oleh karena itu beliau disebut ahlu al-Ra’yi, dengan banyak
pengikutnya yang disebut ulama Mazhab Hanafiyyah. Beliau dalam
menjelaskan permasalahan hukum berpijak pada pemahaman dasar
yang terdiri dari 3 (tiga) hal yaitu:
Masail al-Ushul yaitu masail zhahir al-Riwayah, adalah
masalah-masalah hukum Islam yang terdapat pada zahir riwayah yaitu
suatu permasalahan yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah, dan para
sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufr.
Al-Nawadir yaitu masail ghair zhahir al-Riwayah adalah
masalah yang telah diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, selain dari
kitab yang enam, menurut Muhammad bin Hasan yaitu terdapat pada
kitab al-Kisaniyat, al-Haruniyat, dan Al-Raqiyyat. Dengan kata lain
bahwa jalur periwayat tersebut tidak terdapat pada zhahir al-Riwayah
yang kuat dan shahih.
Al-Fatawa yaitu al-Nawazil atau al-Waqi’at adalah masalah-
masalah yang dihasilkan dari keputusan hukum para mujtahid dari
kalangan sahabat saat itu (al-Mutaakhkharun) atau mujtahid dari
kalangan madzhab hanafiyyah, yang belum pernah ditanyakan dan
tidak terdapat riwayat didalamnya pada masa mujtahid yang terdahulu
(al-Mutaqaddimin).

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada group, 2008), cet. Ke-3, hlm. 32.
Pada akhirnya madzhab hanafiyyah menurut Ibnu Nadim, telah
menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh yaitu ditulis oleh Abu Yusuf (murid
Imam Abu Hanifah) akan tetapi kitab itu tidak sampai kepada kita.6
2. Imam Malik (93-179 H/712-795 M).
Imam Malik mempunyai nama lengkap adalah Malik ibn Anas,
beliau adalah hasil tempaan dari madrasah Madinah dan Mekkah ini
muncul seorang mujtahid besar ahli hadis, yaitu Malik bin Anas yang
kemudian diikuti oleh kelompok besar yang disebut Madzhab
Malikiyyah.
Dasar pemikiran dari madzhab Malikiyyah adalah berdasarkan
pada ketentuan adillat al-Syar’iyyah dengan menggunakan 2 (dua)
metode yaitu: berdasarkan pada Kitab al-Muwatha’ dan berdasarkan
Ijtihad para sahabat dari kalangan madzhab Malikiyyah dalam
persoalan-persoalan yang berbeda. Sebagaimana yang dilakukan oleh
para murid Imam malik di Hijaz, Afrika Utara, Andalusi. Mereka
semua melestarikan pendapat Imam Malik melalui penyebaran ajaran
Islam melalui hasil Ijtihad Imam Malik dari fatwa-fatwa beliau secara
tematik.
Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan al-
Mansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika,
Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti
Mazhab Maliki.
Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, paada
dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya
atau madzhabnya menyusun sistematika Imam Malik. Sebagaimana
qadhi’iyyad dalam kitabnya al-Mudharrak, sebagai berikut:
“sesungguhnya manhaj Imam dar al-Hijrah, pertama ia mengambil
kitabullan, jika tidak ditemukan dalam kitabullah, ia mengambil as-

6
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 16.
Sunnah (kategori as-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-
fatwa sahabat), amal ahli al-Madinah, al-Qiyas, al-Mashlahah al-
Mursalah, Sadd adz-Dzara’I, al-‘Urf dan al-‘Adat”
3. Imam Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Al-Imam al-Shafi’I lahir pada masa pemerintahan Abbasiyyah,
tepatnya pada tahun 150 H/767 M di Gazza Palestina dengan nama
kecil Muhammad. Orang tua al-Shafi’I berasal dari Makkah yang
sedang merantau ke Palestina. Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abd
Allah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman bin Shafi’I bin al-
Sa’ib bin Ubayd bin ‘Abd Yazid bin Hashim bin al-Muthallib bin
‘Abd Manaf. Sedangkan nama al-Shafi’I diambil dari nama kakeknya,
Shafi’i.
Mazhab Syafi’i berkembang di khilafah timur atas dukungan
al-Mansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika,
Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti
Mazhab Maliki. Mazhab Syafi’i membesar di Mesir ketika
Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu.
Pola pikir Imam asy-Syafi’I secara garis besar dapat dilihat
dari kitab al-Umm yang menguraikan sebagai berikut: “ilmu itu
bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah al-Qur’an dan as-
Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma’ ketika tidak ada
dalam al-Qur’an an as-Sunnah dan ketiga Sahabat Nabi (fatwa sahabi)
dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara
mereka, keempat ikhtilah sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak
diqiyaskan selain kepada al-Qur’an dan as-Sunnah karena hal itu telah
berada di dalam kedua sumber, sesungghunya mengambil ilmu dari
yang teratas”
Imam Syafi’i membawa perubahan yang signifikan yaitu
dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus pertama kali Imam al-
Syafi’i membukukan Ilmu Ushul Fiqh yang dibarengi dengan dalil-
dalilnya yaitu kitab al-Risalah. Kitab ini berisi kaidah-kaidah ushul
yang telah diterapkan oleh para sahabat, tabi’in, dan imam-imam
madzhab sebelumnya.
Pada perkembangannya kitab al-Risalah, menjadi pembahasan
yang luas oleh para ulama ushul fiqh, diantaranya dalam bentuk syarh
(penjelasan kitab) secara mendalam yang dikemukakan Imam al-
Syafi’I dalam kitabnya, dengan melakukan pembahasan secara analisis
terhadap pendapat dan teori Imam Al-Syafi’I, yaitu dengan
mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam al-
Syafi’I, dan terkadang mengemukakan pendapat yang berlawanan
dengan pendapat Imam Syafi’i. Misalnya ulama ushul dari kalangan
Hanafi, yang mengakui teori-teori ushul fiqh Imam al-Syafi’I, tetapi
mereka menambahkan metode atau teori lain yaitu istihsan dan’urf.
4. Imam Hanbali (164-241 H/780-855 M).
Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abu Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di
Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abu Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di
Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M. dari konsep
pemikiran ushul fiqh Imam Hanbali tidak menyusun kitab yang berdiri
sendiri, akan tetapi berdasarkan pada fatwa, jawaban hukum,
komentar, dan tindakan dari para Imam madzhab sebelumnya.
Mazhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-
Mutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang
qadhi kecuali dengan persetujuan imam Ahmad Ibnu hambal.
Adapun dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Ahmad bin
Hanbal adalah:
1. Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendaparkan nash,
maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan
tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang
menyalahinya.
2. Ahmad bin Hanbal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia
memilih pendapat sahabat yang tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan
yang sudah sepakat.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad bin Hanbal memilih
salah satu pendapat mereka yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah.
4. Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadits Mursal dan Dhaif apabila
tidak ada atsar, qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.
5. Apabila tidak ada dalam nash, as-Sunnah, qaul sahabat, riwayat
masyhur, hadits mursal dan dhaif, Ahmad bin Hanbal
menganalogikan (menggunakan qiyas) dan qiyas baginya adalah
dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.

D. Ahl al-Ra’y dan Ahl al-hadits


Ahl-al-ra’y dan ahl al-Hadis tumbuh dan berkembang pesat
seiring dengan perkembangan dunia islam yang mengalami masa
kemajuannya yang pertama, Khususnya dalam bidang pengetahuan
dan filsafat, tepatnya pada masa kekhalifahan dipegang oleh Dinasti
Abbasiyyah. Di masa inilah mulai timbul usaha menterjemahkan dan
mengembangkan beragamilmu pengetahuan dan falsafah Yunani.
Gerakan tersebut dimulai dari awal pemerintahan „Abasiyyah pasa
masa Khalifah al-Mansyur (w. 775 M.) tetapi mencapai puncaknya
pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (w.809m.) dan al-
Makmun (w. 833 M.).
Usaha penterjemahan terhadap teks-teks filsafat dan ilmu
pengetahuan telah berhasil mendorong kemajuan di segala bidang.
Akibat adanya kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
filsafat yang dialami pada masa pemerintahan Abbasyiyah, telah
berhasil memberikan pengaruh yang besar pula kemajuan-kemajuan
dalam bidang-bidang lain, termasuk di dalamnya bidang pemikiran
Hukum Islam. Kristalisasi yang berkembang saat itu mengambil dua
bentuk mazhab yang paling popular, yaitu mazhab ahl al-Ra’y dan
Mazhab ahl al- Hadis. Mazhab ahl al-hadis tumbuh dan berkembang di
daerah Madina. Al-Syafi‟iy menamakan kedua kelompok tersebut
dengan istilah ahl al-hadits dan ahl al-Qiyas.
Kedua mazhab itu timbul ke permukaan menurut keterangan
Ahmad Amin terjadi pada akir masa kekuasaan Bani Umayyah dan
masuk ke awal pemerintahan Bani Abbas. Mazhab ahl al-Hadis
diproklamirkan oleh orang-orang Hijaz, terutama sekali urang Madina
dengan pemuka pimpinannya orang paling terkenal Malik Ibn Anas
(w. 795 H/179 H. ), sedangkan Mazha Ahl alRa‟yi diperkenalkan leh
orang-orang irak. Mazhab ini secara kusus berkembang pesat di daerah
kufah dengan pemuka pemimpinnya yang paling terkenal Abi Hanifah
(w. 767 M/150 H).
Dari keseluruhan kelompok atau aliran fiqh yang berkembang
hanya aliran ahl al-Madinah dan ahl al-Kufah atau yang kemudian
lazim disebut dengan mazhab ahl al-hadis dan ahl al-ra‟yi yang paling
menonjol. Terfokusnya perhatian kepada kedua wilayah itu dibanding
wilayah lain, sebagaimana tersebut oleh Schacht, disebabkan informasi
perkembangan pemikiran hukum islam dikedua wilayah lebih banyak
diterima oleh para peneliti dibandingkan wilayah atau daerah-daerah
lainnya.7
Pengaruh Ahl Ra‟yi terhadap hukum Islam, dalam hal ini
Ushul fiqih dan fiqih, Misalnya dalam penggunaan istihsan. Abu
Hanifah terlalu maju melangkah ke depan dalam menetapkan suatu
hukum Islam. Contoh kasus seperti dibawah ini.

7
Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law (London: Oxford University press, 1964 M.), h. 28
1) Dalam mazhab Hanafi, bila seseorang yang mewakafkan
sebidang tanah pertanian, maka ia termasuk yang
diwakafkannya itu masuk hak pengairan dan hak membuat
saluran air di atas tanah tersebut. Hal ini ditetapan
berdasarkan Istihsan. Berdasarkan qiyas jali (jelas illat-
nya), hak-hak tersebut tidak diperoleh, karena di-qiyaskan
kepada jual beli.
2) Fuqaha Hanafiyyah menyebutkan, bahwasanya sisa
minuman burung yang buas, seperti burung nasar, burung
gagak, burung elang, burung rajawali, adalah siuci
berdasarkan istihsan, dan najis berdasarkan Qiyas. Segi
peng-qiyasan-nya adalah bahwasanya ia merupakan sisa
minuman binatang yang dagingnya haram untuk dimakan,
sebagaimana sisa minuman binatang buas seperti harimau,
macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan
binatang mengiuti hukum dagingnya. Sedangkan dari segi
istihsan-nya ialah bahwa jenis burung yang buas, meskipun
dagingnya diharaman hanya saja air liurnya yang keluar
dan dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa
minumannya karena ia minum dengan paruhnya padahal, ia
adalah tulang yang suci. Jika binatang buas, maka ia
minum menggunakan dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah, sisa minuman dari
binatang tersebut dihukumi najis sehingga haram dan tidak
boleh untuk dimakan.
Adapun ahlu hadis sangat berpegang pada tradisi
yang ada dan berkembang dalam masyarakat Madinah. Hal
ini tergambar dari sikap yang menolak periwayatan hadis
yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Yang
dinilainya tidaklah sahih, karena bertentangan dengan adat
tradisi masyarakat Madinah.
Perbedaan antara Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis
adalah cara menerima dan menyikapi suatu hadis. Sebagian
ada yang berhujjah dengan suatu hadis, sebagian lagi tidak
melakukan hujja. Sebagian memandang bahwa hadis
tersebut kualitasnya kuat dan dan bagus, sebagian lainnya
menganggapnya lemah. Perbedaan-perbedaan seperti ini
menyebabkan hukum-hukum yang mereka tetapkan juga
berbeda-beda.
Adapun cara ahli fiqih hijaz dalam menetapkan
hukum Islam ialah dengan memahami hadis-hadis sesuai
dengan tekstualnya tanpa menganalisis mengenai illat
hukum dan prinsip-prinsipnya. Kalau mereka mendapati
apa yang mereka pahami dari nash itu tidak sesuai dengan
kehendak akal pikiran, maka mereka tidak memperdulikan
hal tersebut dan mereka mengatakan itu adalah nash.
Mereka tidak memakai analisis rasional kecuali pada waktu
darurat saja. Dengan cara seperti ini mereka telah
mempersempit lapangan Ijtihad dan secara tidak langsung
telah menutup pintu ijtihad dikalangan umat Islam.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Periodisasi perkembangan fikih Islam dimulai pada masa Rasulullah SAW,
sumber hukum Islam hanya ada dua yaitu Al-Quran dan Assunnah. Saat peristiwa itu
terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum peristiwa
itu. Ketika wahyu tidak kunjung datang, Rauslullah SAW mendefinisikan hukum
peristiwa dengan kata-katanya sendiri, yang kemudian disebut hadits atau sunnah.
Memang perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Sahabat telah muncul permasalahan
baru yang memerlukan penetapan hukum. Untuk itu para sahabat ijtihad mencari
fatwa. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunyhasil ijtihad para
sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan
demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Perkembangan Ushul Fiqh pada masa Tabi'in, Imam Madzab, wilayah
kekuasaan Islam meluas ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang bukan
bangsa Arab dan tidak berbicara bahasa Arab, beragam pula situasi dan kondisinya
serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang
tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Alquran dan As-Sunnah. Untuk itu para
ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Tidak semua ulama yang ada di daerah itu setia mendukung
Dua bentuk pemikiran hukum, Ahl al-hadits dan Ahl al-Ra'yi sebenarnya
mampu banyak memberikan kontribusi bagi landasan hukum madzhab terkenal yang
dibangun oleh ulama madzhabnya. Dan sebagian besar perbedaan imam madzhab
dalam menetapkan hukum didasarkan pada perbedaan cara pandang mereka terhadap
dasar hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Afifianto, I. (2013). Sejarah Pekembangan Pemikiran Ushul Fiqh. At-Tahdzib.

Ahmad Farhan Subhi, M. H. (2023). Dinamika Hukum Islam (Studi Pemikiran Ahl Al-Hadis
dan Ahl Al-Ra'yi). Indragiri Penelitian Multidisiplin, 37-43.

Atmaja, F. K. (2017). Perkembangan Ushul Fiqh dari Masa ke Masa. Ilmu Syariah.

Saputra, I. (2018). Perkembangan Ushul Fiqh. Syariah Hukum Islam.

Zulhamdi. (2018). Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh. At-Tafkir, 62-77.

Anda mungkin juga menyukai