Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH DAN ALIRAN-ALIRAN USHUL


FIQIH

Dosen pengampu:

Humaidi Mufa, M.Pd.

Disusun Oleh:

1. Muhamad Hudaifi (202204479)


2. Alfath Hafiz Budiansyah (2022002307)
3. Aydilla Fitri Kamilah (202204477)

Institut Ummul Quro Al-Islami – Qotrun Nada 2023


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
makalah ini untuk memenuhi tugas dari Bapak Humaidi Mufa, M.Pd pada mata kuliah Ushul
Fiqih selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Sejarah
Perkembangan Ushul Fiqih dan Aliran-aliran Ushul Fiqih” bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Humaidi Mufa, M.Pd selaku dosen psikologi
islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni. Dalam penulisan makalah ini penulis
menyadari banyak kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang di miliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat di
harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Depok, 13 Oktober 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................4

A. Latar Belakang..........................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................5

C. Tujuan..........................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................6

A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih............................................................................6

B. Aliran-aliran dalam ushul fiqih...................................................................................9

BAB III PENUTUP................................................................................................................11

1. Kesimpulan....................................................................................................................11

2. Saran.............................................................................................................................12
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagai satu kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu,
ijtihad memerlukan perangkat kaidah atau metode, metode inilah yang kemudian di
kenal dengan Ushul Fiqh. Meskipun Ushul Fiqh sebagai satu disiplin ilmu baru
tersusun secara sistematis pada abad kedua, namun dalam peraktiknya ia telah tumbuh
dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya hukum fiqh sebagai
produk ijtihad. Para Fuqoha kalangan sahabat, seperti ibnu Mashud, ali bin abi thallib,
dan Umar bin khatthab terkenal di antara orang-orang banyak melakukan ijtihad, yang
dapat di pastikandalam ber ijtihad bukanya tanpa kaidah yang mengikat. Pada masa
tabi'in praktik ijtihad menjadi lebihluas dengan bnyaknya para tabi'in yang
mengkhususkan diri untuk bertaqwa, sejalan dengan banyaknya permasalahan yang
harus di jawab. Mereka adalah murid-murid para sahabat dalam ilmu fiqh. Disamping
menyebarkan fatwa-fatwa sahabat panutanya, sesekali mereka yang di kirim ke
berbagai daerah itu juga mengadakan terobosan baru sesuai dengan tuntunan
masyarakat di tempat masing-masing. Penduduk khufah yang sudah banyak mengenal
kebudayaan dan peradaban itu, membuat para ahli fiqhnya sering di hadapkan pada
berbagai kasus yang beraneka ragam.

Untuk menjawab tantangan ini, mereka memperluas dan meningkatkan kegiatan


ijtihad. Itu bukan berarti mereka mengabaikan hadist. Hadist, bahkan hadist Ahad
tetap mereka pegang sebagai sumber hukum meskipun dengan seleksi yang ekstra
ketat.akibatnya jumlah hadist yang mereka anggap valid menjadi lebih terbatas.
Dengan mengecilnya jumlah hadist yang mereka pakai, peranan ijtihad menjadilebih
besar. Beda dengan itu kondisi sosial di hijaz yang belum banyak berhubungan
dengan budaya luar.Untuk menjawab permasalahan yang muncul. Hampir di rasa
cukup dengan merujuk kepada teks-teks Al-qur'an, sunnah dan ijma. Dengan
demikian kebutuhan kepada ijtihad relative lebih kecil di banding di iraq. Dalam
tulisan ini kita tidak bermaksud berbicara panjang lebar tentang bentuk masing-
masing aliran tersebut. Yang hendak kita kemukakkan adalah, bahwa Ushul Fiqh
masing-masing aliran semakin jelas, sejalan dengan perkembangan ijtihad, baik dalam
bentuk memahami sebagian teks-teks ayat dan sunnah yang menurut tabiatnya tidak
cepat dapat di tangkap pengertianya, maupun dalam memecahkan masalah yang
hukumya tidak terdapat dalam teks-teks dua sumber utama tersebut

B. Rumusan Masalah

a.) Bagaimana Sejarah perkembangan ushul fiqih?


b.) Bagaimana ushul fiqih dibukukan?
c.) Apa saja aliran-aliran ushul fiqih?
C. Tujuan

a.) Memberikan informasi tentang sejarah lahirnya ushul fiqih


b.) Memberikan informasi tentang proses pembukuan ushul fiqih
c.) Memberikan informasi tentang macam-macam aliran ushul fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih

1. Ushul Fiqih sebelum dibukukan

a.) Ushul Fiqih Masa Rasulullah SAW


Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan
umat islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama islam.
Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa
perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash,
maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan
ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya :
"dahulu mana ushul Fiqh dan fiqh" tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan
demikian sama dengan pertanyaanmengenai mana yang lebih dahulu ayam atau telor.
Musthafa Said al khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum
fiqh. Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh
merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu ushul
fiqh ada mendahului fiqh. Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya
fiqh.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat
bepergian,kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk
wudlu. Keduanya lalu bertayamum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat.
Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu
mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi rasulullah
saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang, rasulullah
bersabda: "engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi." Kepada orang
yang berwudlu dan mengulang shalatnya, rasulullah saw. menyatakan: "bagimu dua
pahala."
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan
ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayamum. Mereka
berbeda dalam menyikapi persoalandemikian, ada yang mengulang shalat dengan
wudlu dan ada yang tidak. Akhirnya, rasulullah saw.membenarkan hasil ijtihad dua
sahabat tersebut

b.) Ushul Fiqih Masa Sahabat


Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya
bimbingan asulullah saw. Kepada masa asulullah saw. Tidak lagi mendampingi umat
islam. Ketika Rasulullah saw.masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting
dalam pemecahan hukum, yaitu al-qur’an ,sunnah, dan nalar.
Meninggalnya rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat.
Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan
kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal
memiliki kelebihan di bidang hukum, diantaranya ali bin abi thalib, Umar bin khattab,
abdullah ibn Mas'ud, abdullah ibn abbas, dan abdullah bin Umar. Karir mereka
berfatwa sebagian telah dimulai pada masa rasulullah saw sendiri.
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
hakikatnya parasahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya
saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan
belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal
sekarang.
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum,
para sahabat telah mempraktikkan ijma, qiyas dan istishlah (maslahah mursalah)
bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam al-qur'an dan as-
sunnah. Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan
bersama tentang persoalan hukum.Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat
yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh
para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum
lahirnya ijma' sahabat, yang di kemudian hari diakui olehsebagian ulama, khususnya
oleh imam ahmad bin hanbal dan pengikutnya sebagai ijma' yang paling bisa diterima.
kedua sahabat mempergunakan pertimbangan akal ra’yu, yang berupa qiyas
dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan
qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa
rasulullah saw. Qiyas dilakukandengan mencarikan kasus-kasus baru contoh
pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.penggunaan
maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin khattab dikenal sebagai
sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam
pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat
dalam pengumpulan al-qur'an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam
satu majlis dipandangsebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong
tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat
bagi muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang
dimaksud oleh al-qur'an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain
dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam QS. al-baqarah ayat 228:

‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء‬

"Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru"

Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci
dan haid. Abu bakar, Umar bin khattab, ali, Utsman, dan abu Musa al-asy'ari
mengartikan quru’ dalam ayat diatas dengan pengertian haid, sedangkan aisyah, zaid
bin tsabit, dan ibn Umar mengartikannyadengan suci. itu berarti ada perbedaan
mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa rasulullah saw., ushul fiqh pada era
sahabat masih belummenjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda
pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog
semacam itu belum mengarah kepada pembentukansebuah bidang kajian khusus
tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat lebih bersi!at praktis
untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat
masihterbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang
muncul, belum sampaikepada perluasan kajian hukum islam kepada masalah
metodologi.

c.) Ushul Fiqih Masa Tabi”in


Tabi'in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan
belajar kepadasahabat. Pada masa tabi’in metode istinbath menjadi semakin jelas dan
meluas disebabkan bertambah luasnya daerah islam, sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang
mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antaralain Sa'id ibn al-Musayyab
di Madinah dan Alqamah ibn al-qays serta ibrahim al-Nakha'i di irak.
Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode
istinbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fnomena
penting,yaitu:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok irak (ahl
al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas
disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum fuqaha berdasarkan wilayah geografis.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi
tabi'in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para
pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk al-quran dan sunnah,
mereka telah memiliki tambahanrujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi,
ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah
dihasilkan oleh generasi sahabat.
Masa tabi'in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang
dan akhirnya juga mempengaruhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya
ulama fiqh irak lebih dikenal dengan penggunaan ar- ra’yu,dalam setiap kasus yang
dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat ini mereka dapat menyamakan
hukum kasus yang dihadapi dengan kasusyang sudah ada nash nya. Adapun para ulama
Madinah banyak menggunakan hadits-hadits rasulullah SAW, karena mereka dengan
mudah melacak sunnah rasulullah di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam
mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh Akibatnya,muncul tiga kelompok
ulama, yaitu Madrasah al-iraq, madrasah Al-Kufah, madrasah Al- Madinah. Pada
perkembangan selanjutnya madrasah al-iraq dan madrasah al-kufah dikenal dengan
sebutan madrasah al-ra’yi, sedangkan madrasah al-madinah dikenal dengan sebutan
madrasah al- hadits".
d.) Ushul Fiqih Masa Imam-Imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Imam abu hanifah an-Numan, pendiri madzhab hanafi menjelaskan dasar-
dasar
istinbathnya yaitu, berpegang kepada kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia
berpegang pada Sunnah rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang
kepada pendapat yang disepakati parasahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan
memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dantidak akan mengeluarkan fatwa
yang menyalahi pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, abu hanifah terkenal
banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula imam Malik bin anas, pendiri madzhab Maliki, dalam
berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya
dalam mempertahankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum.
Imam Malik dan orang-orang Madinah sangat menghargai amal orang-orang
Madinah. Ketika ada hadits rasulullah saw. diriwayatkan secara ahad (diriwayatkan
oleh satu atau beberapa orang tapi tidak mencapai derajat pasti/mutawatir)
bertentangan dengan amal ahli Madinah, amal ahli Madinah lah yang dipergunakan.
Alasannya adalah bahwa amalan orang Madinah adalah peninggalan para sahabat
yang hidup di Madinah dan mendapatkan petunjuk dari rasulullah saw. Amalan orang
Madinah telah dilakukan oleh banyak sekali sahabat yang tidak mungkin menyalahi
ajaran rasulullah saw. yang selama sepuluh tahun hidup di Madinah.
Oleh karena itu, imam Malik pernah berkirim surat kepada imam al-Iaits,
imam orang Mesir,yang isinya mengajak imam Iaits untuk mempergunakan amalan
orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut ditolak oleh imam Iaits karena ia lebih
setuju mengutamakan hadits, meskipun hadits itu ahad.
Orang irak, khususnya imam abu hanifah mempergunakan istihsan apabila
hasil qiyas,meskipun benar secara metode, dirasa tidak sesuai dengan nilai dasar
hukum islam. Penggunaan istihsan oleh imam abu hanifah tersebut ditentang ulama
lain dan dipandang sebagai pemecahan hukum berdasarkan hawa nafsu. rang-orang
irak juga dikritik karena mempergunakan ra’yu secara berlebihan. Sementara itu, bagi
orang Irak mempergunakan petunjuk umum ayat dan ra’yu lebih dirasa memadai
dibandingkan mempergunakan riwayat dari rasulullah saw. tetapi riwayat tersebut
tidak meyakinkan kesahihannya.

2. Pembukuan Ushul Fiqih


Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, imam Muhammad bin
idris al-Syafi'I (150 H- 204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan
membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi'i banyak mengetahui tentang metodologi
istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti imam abu hanifah, imam Malik,
dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui dimana kelemahan dan
keunggulannya.
Imam Syafi'i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan
kemudian dikenal dengan sebutan al-risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal
demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang
dikirimkan kepada abdurrahman al-Mahdi (w.198 H) seorang pembesar dan ahli
hadits ketika itu. Munculnya buku al-risalah merupakan fase awal dari perkembangan
ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa sesudah imam Syafi'i menjadi bahan
pembahasan paraulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang
berbentuk mensyarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan oleh imam
Syafi'i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangidari isi kitabnya itu. Juga
ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat danteori imam
Syafi'i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori imam
Syafi'i dan terkadang mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan imam
Syafi'i. Misalnya, ulama Ushul fiqh dari kalangan hanafi yang mengakui teori-teori
imam Syafi'i akan tetapi mereka menambahkan metode atau teori lainnya yaitu
istihsan dan 'urf dalam mengistinbathkan hukum Disamping itu, ulama ushul fiqh
malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu Ijma’ Ahlul madinah (kesepakatan
penduduk madinah).

B. Aliran-aliran dalam ushul fiqih

Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak


berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode
penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal.Secara umum, para ahli membagi aliran
penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu aliran mutakallimin (Syafi'iyyah) dan aliran
fuqaha Aliran hanafiyah. Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran
utama tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Aliran mutakallimin
Aliran mutakallimin Disebut juga dengan aliran Syafi'iyyah. Alasan penamaan
tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak
lahir dari kalangan Syafi'iyyah. Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni
tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam
menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasanyang kuat, baik dari dalil naqli,
tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut
sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.dalam aliran ini, mereka
mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu yang terlepas dari pengaruh
madzhab atau furu’ Faktornya karena:

•Imam Syafi'i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’ Itu memang terlepas
dari pengaruh furu’.
•Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar
yang kuat,tanpa terikat dengan Furu’ atau madzhab.
•Mereka membuat penguat kaidah(kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan
berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat
madzhab atau melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut,yakni:
•Analisis kasus(kasus
•Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa'id)
•aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
•Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat dengan fakta hukum
yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab fiqh yang ada.

2. Aliran fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para
ulama madzhab hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya
banyak diwarnai oleh contoh- contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh,
mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh abu hanifah dan pendapat-pendapat
para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.

3. Aliran gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh
aliran mutakallimin dan hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah kedalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan
hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi
sandarannya
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat
dibagi secara umum menjadi dua yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan
pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan dimulai dari masa rasulullah
SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi tabi'in, generasi imammujtahid sebelum
imam Syafi'i.
Pada Masa rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah terbukti dengan peristiwa yang
dialami oleh duasahabat sedang bepergian lalu tiba waktu shalat, lalu mereka hendak
mengerjakan shalat akan tetapi tidak ada air. Keduanya lalu bertayammum dengan
debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada
waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak.
Keduanya lalu mendatangi rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang, rasulullah bersabda : "engkau telah memenuhi sunnah
dan shalatmu mencukupi" kepadaorang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
rasulullah saw. menyatakan : "bagimu dua pahala"
Pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang
sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum.
Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang
kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yangdilakukan sahabat lebih
bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang dilakukan
sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan
yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum islam kepada masalah
metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi'in jugamenempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan
para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk al-qur'an dan
sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-
shahabi, ijma’ ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas,dan maslahah mursalah yang
telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Selanjutnya, pada masa imam Mujtahid sebelum imam Syafi'i adalah seperti
pada masa imam Malik dengan alirannya (malikiyyah), dan imam hanafi dengan
alirannya (hanafiyyah). Imam malikibmempunyai metode ijtihad yang cukup jelas,
seperti mempertahankan praktih penduduk madinah sebagaisumber hukum.
Sedangkan imam hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yakni berpegang kepada
kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah rasulullah.
Jika tidak didapati didalamnya ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para
sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu dari pendapat-
pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat.
Dalam melakukan ijtihad, abu hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua
dan awal abad ketiga, imam Muhammad bin idris al-Syafi'i (150 H - 204 H) tampil
berperan dalam meramu, mensistematisasi,dan membukukan Ushul Fiqh. Imam
Syafi'i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid
sebelumnya, seperti imam abu hanifah, imam Malik, dan metode istinbath para
sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni aliran mutakallimin
(Syafi'iyyah), aliran fuqaha (hanafiyyah), dan aliran gabungan.

Aliran Mutakallimin aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni
tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam
menetapkan kaidah, aliran ini menggunakanalasan yang kuat, baik dari dalil naqli,
tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut
sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para
ulama madzhab hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya
banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh,
mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh abu hanifah dan pendapat-pendapat
para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh
aliran mutakallimin dan hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan
adalah dengan membumikan kaidah ke dalamrealitas persoalan-persoalan fiqh.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah
yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.

2. Saran

Demikianlah makalah tentang rukun dan Syarat sah pernikahan yang telah
kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik
yang membangun dari pembaca sangat kamiharapkan untuk perbaikan makalah ini.
Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai