Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KELOMPOK 6

SEJARAH KAIDAH FIQH

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqhiyah

Dosen pengampu : Dra. Azizah, M.A.

Di susun oleh :

Zein Miftah Baedlowi Pasha (11170440000109)

Irfan Balligh M (11170440000032)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAMNEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Atas
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan keilmuan dan teknologi seperti sekarang ini.

Makalah ini merupakan salah satu tugas pada mata Qowaid Fiqhiyah yang diampu
oleh bapak Dra. Azizah M.A. dan membahas tentang Sejarah Kaidah Fiqih. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca agar dapat lebih mengetahui apa saja
konsep-konsep penting dalam Qowaid Fiqhiyah.

Dalam penulisan makalah, penulis momeohon maaf bila masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Penulis mencoba mengutip dari berbagai macam buku dan sumber yang
telah penulis baca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat

Tanggerang, 10 April 2019

Penyusun,

Kelompok 6
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................ii

Daftar Isi.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................1

C. Tujuan..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................2

A. Sejarah Kaidah Fiqih Fase Pertama.................................................2

B. Sejarah Kaidah Fiqih Fase Kedua....................................................3

C. Sejarah Kaidah Fiqih Fase Ketiga....................................................4

D. Karya-Karya Kaidah Fiqih...............................................................4

BAB III PENUTUP...................................................................................5

A. Simpulan..........................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA................................................................................6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita


semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti dan
mengetahui sejarah perkembangan kaidah. Maka dari itu, kami selaku penulis
mencoba untuk menerangkan tentang sejarah perkembagan kaidah fiqih, serta
beberapa karya yang di hasilkan selama berkembangnya kaidah fiqih. Karena dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqh serta sejarah perkembangannya kita akan mengetahui
benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus,adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu
juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
A. Mengetahui sejarah perkembangan kaidah fiqih pada fase pertumbuhan dan
pembantukan
B. Mengetahui sejarah perkembangan kaidah fiqih pada fase kodifikasi dan
kematangan
C. Mengetahui sejarah perkembangan kaidah fiqih pada fase pematanangan
D. Mengetahui beberapa karya selama masa perkembangan kaidah fiqih

C. TUJUAN
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
hal-hal yang berhubungan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari awal
pembentukan sampai kepada penyempurnaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kaidah Fiqih Fase Pertama
Fase pertama adalah fase pertumbuhan dan pembentukan. Fase ini,
berlangsung selama 3 abad dari zaman keroshukan hingga abad ke-3 Hijriyah.
Yakni, zaman nabi Muhammad SAW, 22 tahun lebih (610-632 H \ 12 SH – 10 H).
Zaman sahabat dan zaman tabi’in, 250 tahun (724 – 974 M \ 100-351 H.)
Rasulullah tidak meninggalkan umatnya tanpa membangun secara
sempurnaketetapan hukum Islam dengan berlandaskan nash yang sharih, global dan
universal.Pada periode ini, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum di pegang
oleh Nabi.Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan
sempurna olehAl-Quran dan Hadis Nabi.Kehadiran Islam di Makkah adalah untuk
membenahiakidah dan memerangi orang-orang kafir penyembah berhala. Sedangkan
masapenetapan hukum, baru dimulai ketika Nabi berada di Madinah1.
 Pada periode ini, tidak ada spesialisasi ilmu tertentu yang dikaji dari Al-
Quran dan al-Hadis. Semangat sahabat sepenuhnya dicurahkan pada jihad
danmengaplikasikan apa yang telah diperoleh dari Nabi, berupa ajaran al-
Quranmaupun al-Hadis. Ilmu pengetahuan hanya berkisar pada mengaplikasikan
danmengembangkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi ketika
menghadapipersoalan-persoalan baru2.
Pada massa Rasul posisi fiqih lebih berada pada wilayahpraktis ketimbang
teoritis. Para sabahat akan menanyakan langsung persoalan barukepada Nabi setelah
persoalan itu terjadi. Tidak ada usaha untuk membuatkerangkan teori dalam berfikir
untuk ke depan. Sebab pada masa ini Nabi merupakan satu-satunya mujtahid,
sehingga disebut sebagai mujtahid al-awwal .Segala sesuatu yang datang dari Nabi
ini yang dikemudian hari menjadi sunnah(tradisi), yang beberapa dekade kemudian
dikodifikasi menjadi hadist.Disamping itu Nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam
bentuk buku yang siap pakai. Beliah hanya meninggalkan prinsip-prinsip kaidah-
kaidah umum, dan beberapa hukum-hukum parsial tertentu yang telah ditetapkan
dalam al-Quran danal-Hadis. Kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sebagai kerangkah
berfikir untukmemecahkan persoalan-persoalan yang bersifat parsial. Dengan kaidah
itu, fiqihakan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan memiliki cakupan wilaya yang
luas3.
 Sebenarnya al-Qur’an dan al-Hadist banyak mengandung ayat-ayat dan
penjelasan yang artinya sangat umum dan menjadi landasan bagi persoalan-
persoalan yang bersifat parsial, seperti pada Hadist tentang persoalan Niat, kaidah
yang digunakanpada hadist tersebut adalah kaidah fiqih  Al-Amrru bimaqhasidiha.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh,
yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”

1
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‟id Fiqhiyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004),h. 1-2.

2
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‟id Fiqhiyah, h. 3.

3
Musthafa Ahmad Al-Zarqa‘,Al-Madkhal al-Fiqh„Ami, (Beirut: Dar al-Fikri, 1967-1968), Juz I, h. 148-149.
Lihat, Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‟id Fiqhiyah, 3.
 
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh
orang lain)”
Periode Khulafaur Rasyidin
Sepeninggalnya Rasul, tepatnya memasuki masa kepemimpinan khulafa al-
rasyidin, pola pikir para sahabat perlahan mulai memasuki tahap perkembangan
baru. Sebelumnya para sahabat hanya fokus menaruh perhatian terhadap yang apa
yang telah diberikan oleh Rasul. Pada masa ini, penggunaan rasio secara maksimal
dalam memahami hukum masih belum sepenuhnya digunakan bisa dikatakan
tidakbegitu dibutuhkan sebab jika terdapat persoalan maka langsung ditanyakan
kepadaNabi. Akibatnya ijtihad  yang masih berada di antara benar dan salah tidak
diperlukan karena mereka dapat memperoleh kebenaran valid dengan cara
menanyakan langsung persoalan itu pada sumbernya, yaitu nabi.
Namun pasca meninggalnya Nabi, persoalannya menjadi lain. Pola pikir
sahabat mulai mengalami transformasi ke arah ijtihad. Hal ini lebih disebab
kanpersoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi muncul dan memaksa
mereka berijtihad. Metode ijtihad mereka pada saat itu adalah mencari
keteranganterlebih dahulu dalam al-Quran. Jika mereka tidak menemukan maka
pindah ke Sunah nabi, dengan cara memusyawarahkan dan mengumpulkan para
sahabat yang pernah mendengar penjelasan dari Nabi tentang masalah itu. Jika
mereka masih tidak menemukan keterangan, baru mereka mengunakan ra‘yu dan
ijtihad4.
Metode pengkajian hukum Islam pada periode ini sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan masa Nabi, sebab keberadaan fiqih pada massa ini masih cende
rung bersifat praktis. Ini dapat dilihat dari pemecahan persoalan-persoalan baru
dicari hukumnya setelah terjadi, kemudian baru disesuaikan dengan nash al-
Qur‘an dan Sunnah. Meski demikian terdapat dua hal yang membedakan masa ini
dengan masa sebelumnya. Dimana penggunan ra‟yu dan qiyas  mulai tampak nyata
dalam menghukumi
persoalan- persoalan baru. Ra‘yu dan ijtihad pada masa Nabi tidak pernah dipakai
kecuali pada saat- saat tertentu.Munculnya ijma‘, seperti yang pernah dilakukan oleh
Abu Bakar dan Umar ketika menghadapi masalah-masalah baru, keduanya
mengumpulkan para sahabat lain untuk dimintai pendapatnya dan apayang
disepakati itu yang dijalankan. Contoh pola-pola bahasa yang sama dengan kaidah
fiqh yang muncul pada masa khulafaur rasyidin; yakni perkataan Umar: terputusnya
(ketetapan) hak tergantung pada syarat5.
 

 Periode Tabi‟in
 
4
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‟id Fiqhiyah, h. 10.
 

5
Ahmad Sudirman Abbas Sejarah Qawa‟id Fiqhiyah, h. 11.
Pada periode ini dimulailah pendasaran terhadap ilmu fiqh. Sebagaimana yang
telah kita ketahui, bahwa pada awal diangkatnya Khalifah ketiga, yaituUtsman,
banyak para sahabat yang pindah ke daerah lain dan menetap di daerah itu.
Sebelumnya, pada masa Umar, mereka tidak diperkenankan meninggalkan
Madinah,karena masih dibutuhkan untuk dimintai pendapat. Ditempat barunya itu,
mereka mengajarkan Hadis Nabi dan hukum agama, sehingga banyak Tabi‘in yang
bermunculan di beberapa tempat.
Pada periode ini, ilmu fiqh telah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Hal itutidak
lepas dari jasa para Tabi‟in. Prestasi gemilang yang pernah diraih pada periode ini
dan sekaligus menjadi tanda terhadap kokohnya pondasi-pondasi fiqh adalah
keberhasilannya dalam menolak terhadap fitnah dan gejolak-gejolak internal yang
sengaja dihembuskan agar epistemologi yang telah diwarisi dari
Khulafa‟ al – Rasyidun ditinggalkan.
Periode pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk beradapada
wilayah teori. Dengan masuknya fiqh pada wilayah teori, banyak hukum fiqh yang
diproduksi dari hasil penalaran terhadap teori dibanding hukum fiqh yang dihasilakn
dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi lalu disamakan dengan
kasus baru. Periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari sifatnya yang
waqi‟iyyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).
Penggunaan ra‟yu di dalam fiqh, seperti qiyas, istihsan, dan istishlah
untukmenghukumi masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nash
berkembang pesat. Pengambilan hukum seperti ini menimbulkan kekhawatiran
daripada ulama ahli hadis, karena cara tersebut dianggap telah memberikan otoritas
penuh kepada ra‟yu dalam proses pengambilan hukum. Akhirnya persaingan sengit
antara dua kubu (ahlu al-ra‟yi dan ahlu al-hadis) tidak terelakkan lagi.
Pada periode ini juga dimulai pembukuan ilmu fiqh. Pertama kali ulama yang
menulis kitab dalam bentuk mazhabi adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibani,
murid Abu Hanifah, yang berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat Mazhab
gurunya (Imam Abu Hanifa). Selain itu ada kitab Muwatta‘ karya Imam Malik dan
al-Umm karya Imam Syafi‘i.
 Pada periode ini juga ilmu ushul fiqh mulai dibukukan agar menjadi kerangka
berfikir untuk menggali hukum-hukum dari sumbernya. Metode ini meruoakan hasil
refleksi mereka ketika memamahi fiqh. Kitab yang membicarakan ushul fiqh yang
pertama kali ditulis adalah al- Risalah karya Imam Syafi‘i.

B. Sejarah Kaidah Fiqih Fase Ketiga


Fase ketiga di kenal dengan fase perkembangan dan kodifikasi. Dalam sejarah
hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian
besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya
masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-
kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah
fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah
fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
a) Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
b) Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
c) Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W.
761 H)
d) Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

C. Sejarah Kaidah Fiqih Fase Ketiga

Sejarah perkembangan kaidah fiqih pada fase ketiga ini juga di sebut sebagai
fase penyempurnaan. Fase ini dimulai atau di tandai dengan munculnya karya
“Majallah al – Hakam al – Adliyyah” salah satu litelatur kaidah – kaidah fiqih yang
telah di kodifikasi melalui pemyeleksian dari kitab – kitab fiqih yang kemudian
digunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum beberapa mahkamah pada
pemerintah Sultan al – Ghazi Abdul Aziz Khan al – Utsmani pada akhir abad ke – 13
H. Namun pada fase ini bukan berarti tidak lagi dilakukan perbaikan – perbaikan pada
zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang di sempurnakan di abad ke – 13 H ini
adalah “Seseorang tidak boleh mengelola harta orang lain, kecuali ada izin
pemiliknya” kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata – kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqih tersebut adalah : “seseorang tidak di
perbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

Ketiga fase diatas memiliki peran serta ulama – ulama yang hidup di
zamannya masing – masing. Karena sebagaimana yang kita ketahui secara umum,
penulisan kaidah Fiqih pun terus mengalami perkembangan. Misalnya, di era
moderen, penulisan kaidah fiqih lebih bersifat tematis. Penulisan kaidah fiqih secara
tematis ini akan memberikan warna tersendiri dalam dinamika perkembangan gaya
nalar pemikiran fiqih islam.

D. Karya-Karya Kaidah Fiqih


Fase Kematangan Keilmuan Islammelahirkan banyak karya, khususnya di
bidang fiqih. Sehingga tidak heran di bidangbkaidah fiqih pun mengalamipuncak
kematangan dengan munculnya beberapa kaidah fiqih dari berbagai mazhab fiqih.
Mazhab Maliki, melahirkan karya : “Ta’si an – Nadhar” karya ad-Dabusi
Idhah al-Qaidah karya As-Samarkandi, dll. Mazhab Syafi’i, melahirkan karya :
“Qoqaid al-Ahkam Fi mashalih al-Anam” karya Izzudin bin Abdi Salam.
Adapum karya-karya di bidang fiqih di era kontemporer yang di tulis oleh
ulama kontemporer diantaranya : Al-Qowaid al-fiqhiyah karya Ali Ahmad al-Nadwi,
Syarh al-Qowaid al-Foqhiyah karya syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqo dll.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Ketiga fase diatas memiliki peran serta ulama – ulama yang hidup di zamannya
masing – masing. Karena sebagaimana yang kita ketahui secara umum, penulisan kaidah
Fiqih pun terus mengalami perkembangan. Misalnya, di era moderen, penulisan kaidah fiqih
lebih bersifat tematis. Penulisan kaidah fiqih secara tematis ini akan memberikan warna
tersendiri dalam dinamika perkembangan gaya nalar pemikiran fiqih islam.

DAFTAR PUSTAKA
Mufid, Moh, Kaidah Fiqh Ekonomi Syari’ah Makasar 2015
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‟id Fiqhiyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004
Musthafa Ahmad Al-Zarqa‘,Al-Madkhal al-Fiqh„Ami, (Beirut: Dar al-Fikri, 1967-1968)

Anda mungkin juga menyukai