Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH PERKEMBANGAN QOWA’ID FIQHIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah : Qowa’id Fiqhiyah

Dosen Pengampu :Lisnawati,S.H.,M.H.

Oleh:

AFRITA DINDA 2114140236

ISNAN SAYID MAULANA 2114140254

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMIISLAM

PRODI AKUNTANSI SYARIAH

TAHUN AJARAN 2023M/1444H


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis masih diberikan
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak
lupa solawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
menuju zaman terang benderang.

Ungkapan terimakasih juga penulis haturkan kepada Ibu Lisnawati,


S.H., M.H., selaku dosen pengajar pada mata kuliah Qowa’id Fiqhiyah
yang telah memberikan semangat dan bimbingan kepada penulis, sehingga
penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan judul “SEJARAH
QOWAI’ID FIQHIYYAH”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca yang bersifat persuasif agar ke depannya makalah yang penulis
buat dapat menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membaca.

Palangka Raya, 9 Maret 2023

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................2

DAFTAR ISI........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................6

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................6

BAB II...................................................................................................................8

PEMBAHASAN...................................................................................................8

A. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Qowa’id Fiqhiyyah....................8

B. Perkembangan dan Kodefikasi Qowa’id Fiqhiyyah....................................14

C. Masa Penyempurnaan..................................................................................17

BAB III................................................................................................................20

PENUTUP...........................................................................................................20

A. Kesimpulan..................................................................................................20

B. Saran............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

. Kehadiran agam Islam yang dimulai dari Mekah nampak dengan

jelas mengarah pada dua fokus yaitu untuk membenahi akidah ummat dan

memerangi orang-orang kafir penembah berhala. Sedangkan proses

penerapan hukum Islam baru dimulai ketika Nabi berada di Madinah.

Otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum dipegang

langsung oleh Nabi sehingga seluruh persoalan yang muncul ditengah

masyarakat dapat terjawab dengan jelas dan sempurna oleh wahyu dan

hadist Nabi. Pada masa ini belum nampak spesialisasi bidang ilmu tertentu

yang dikaji dari Alquran dan Hadist karena sepenuhnya semangat sahabat

Nabi terfokus pada jihad dan mempublikasikan pesan yang diperoleh dari

Nabi ketika menghadapi persoalan-persoalan baru. Sebenarnya cikal bakal

Qawaid Fiqhiyyah ini sudah ada sejak zaman Nabi karena banyak kata-

kata Nabi yang mirip dengan Qawaid Fiqhiyyah, misalnya “Al-bayyinah

‘ala al-mudda’i wa al-yamin” saksi itu harus dibebankan terhadap orang

yang tertuduh. Demikian para ulama mujtahid namun munculnya Qawaid

Fiqhiyyah sebagai ilmu yang sistematis baru terjadi pada abad ke-III

hijriyah. Seiring dengan kenyataan bahwa dimasa ini pula telah

berkembang ilmu-ilmu Islam, telah dibukakan kitab-kitab Tafsir, Hadist,

Fiqh dan Ushul Fiqh. ‘

4
Salah satu kekayaan peradaban Islam di dalam bidang hukum yang

masih jarang ditulis adalah Kaidah Fiqih. Adapun yang sudah

diperkenalkan antara lain tafsir, hadis, ushul fiqih dan fiqih, ilmu kalam

dan tasawuf Walaupun dbidang ini masih terus perlu dikoreksi,

dielaborasi, dan dlkembangkan sebagai alat dalam mewujudkan Islam

sebagai rahmatan li al-'alamin. Kaidah-kaidah Fiqih merupakan kaidah

yang menjadi titk temu dari masalah- masalah f iqih. Mengetahui

kaidah - kaidah f iqih akan memberikan kemudahan untuk

menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,

keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih

moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,

budaya dan lebih mudah dalam memberi solusi terhadap problem-problem

yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada

kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam

figih

Mengingat kaidah Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan

dalam Islam yang biasa disebut Ilmu Qawaid Al-Fiqhiyyah atau dalam

terminologi lain dikenal Al-Asybah Wa Al-Nazhair. Ilmu ini juga

memenuhi prasyarat sebagai ilmu yang independen dan memiliki teori-

teori seperti pada khasanah keilmuan pada umumnya serta ruang lingkup

yang sangat luas.

Selain ilmu Ushul Fiqh sebagai metodologi utama dalam

5
memahami dan mendalami hukum syariah, adapula metodologi

pelengkap yang berfungsi untuk mempermudah dalam pemahaman dan

pendalaman hukum Islam yakni Qawaid Fiqhiyyah yang dimaknai

sebagai hukum yang mencakup sebagan besar bagian-bagiannya.

Sehingga dengan mengetahui hukum umum ini akan diketahui pula

hukum bagian-bagiannya. Ia mencakup generalisasi dari hukum-hukum

fiqh yang ada yang berarti ia disusun melalui metode induktif dan

karenanya ia sangat tervariasi sejalan dengan variasi hukum fiqh

menurut para fuqha : telah banyak pula kitab yang ditulis oleh para

tokoh dari berbagai mazhab yang tentulah memiliki sisi

kekuartan/keunggulan dan kelemahan masing-masing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang di atas Penulis mengidentifikasikan menjadi

beberapa topik yang perlu dikaji lebih dalam diantara:

1. Bagaimana Proses Pembentukan dan pembentukan Qowa’id


Fiqhiyyah ?

2. Bagaimana Proses Perkembangan dan kodefikasi Qowa’id Fiqhiyyah


?

3. Bagaimana Proses Penyempurnaan Qowa’id al-Fiqhiyyah ?

6
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Sejarah proses pertumbuhan dan perkembangan

Qawa’id al-Fiqhiyyah.

2. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan dan Kodefikasi Qowa’id

Fiqhiyyah.

3. Untuk mengetahui Proses Penyempurnaan Qowa’id al-Fiqhiyyah.

7
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Qowa’id Fiqhiyyah

Perjalanan sejarah syariat atau tarikh tasyri’ sedikitnya memberikan

kepada kita gambaran bahwa di dalamnya terdapat pula bagaiamana asal

muasal berkembang ilmu qawaid fiqhiyyah ini. Meskipun tidak banyak kitab-

kitab klasik yang membahas perkembangan qawaid fiqhiyyah sendiri secara

detail hingga posisinya dalam hukum Islam, setidaknya dengan adanya kitab

qawaid dari masa ke masa sudah bisa menjadi acuan bagi para ulama era

sekarang untuk mengetahui sejarahnya.

Ali Ahmad an Nadawi menguraikan bahwa setidaknya ada 3

klasifikasi fase perjalanan qawaid fiqhiyyah:

1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan

2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi

3. Fase Pensistematisan/Penyempurnaan

Fase Pertumbuhan dan Perkembangan

Pada fase pertama ini, para ulama mengatakan bahwa embrio ilmu

qawaid sudah ada sejak 3 periode awal Islam, yaitu periode Rasulullah SAW,

Periode sahabat, dan Periode tabi’in serta tabi’u tabi’in.

1. Periode Rasulullah SAW

8
Dalam periode ini diyakini bahwa ternyata benih- benih qawaid al

fiqhiyyah telah ada sejak zaman risalah Nabi Muhammad SAW. Sekalipun

dalam era ini Rasulullah SAW dan para sahabat tidak pernah menakaman hal

tersebut adalah kaidah, namun dari pelafadzannya ditemukan oleh ulama

bahwa Rasulpun mengeluarkan kaidah bahkan dari matan hadist yang beliau

ucapkan.

Imam-imam mujtahid kemudian melakukan pengembangan terhadap

nushus yang bermakna kulliy atau general.

Secara tidak langsung banyak hal diucapkan oleh Rasulullah yang

memiliki esensi qawaid fiqhiyyah, diantaranya adalah :

‫الخراج بالضمان‬

Hak yang menerima hasil karena harus menanggung kerugian

‫إنما األعمال بالنيات‬

Setiap pekerjaan tergantung pada niatnya

‫العجماء جرحها جبار‬

Kerusakan yang dilakukan binatang tidak dikenakan ganti rugi

‫ال ضر وال ضار‬

9
Tidak boleh berbahaya dan tidak membahayakan

Karakter hadist yang dijadikan oleh para ulama sebagai sumber

kaidah dalam qawaid fiqhiyyah adalah yang berlafadz ringkas namun

bermakna luas. Seperti pada karakter hadist-hadist tersebut di atas.

2. Periode Sahabat

Para sahabatpun dikenal mempunyai kontribusi nyata dalam

pembentukan qawaid al fiqhiyyah. Lagi- lagi sekalipun mereka tidak

menamakanya sebagai kaidah fiqhiyyah dalam berargumen, namun

ulama dengan ijma’nya sepakat mengkategorikan sejumlah riwayat

para sahabat untuk menjadi landasan sumber kaidah dan dianggap

sebagai embrio munculnya Qawaid Fiqhiyyah.

Di antara yang sangat terkenal dalam kitab al- madkhol fi tasyri’

al Islamiy adalah perkataan Umar bin Khattab radiyallahu anhu.

‫مقاطع الحقوق عند ال رشوط‬

“Penerimaan hak berdasarkan pada syarat- syaratnya” .

Kemudian perkataan Ibnu Abbas Radiyallah anhu :

“Segala sesuatu dalam Al Qur’an yang menggunakan kata “atau, atau”

maka itu adalah berkonotasi pilihan, dan segala ayat dalam quran yang

berkalimat “jika tidak menemukannya” maka itu yang utama dan

paling utama untuk dikerjakan.”

10
Perkataan Ibnu Abbas RA di atas dikategorikan sebagai qaidah

fiqhiyyah dalam bab kaffarah dan pilihan dalam konsekuensi hukum.

Ada juga atsar dari Ali RA yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq

‫ح فال ضمان عليه‬..‫من قاسم الرب‬

“Orang yang membagi keuntungan tidak

menerima kerugian”

3. Periode Tabi’in dan Tabi’u tabi’in

Beberapa ulama dalam lingkup tabi’in dan tabiu tabi’in juga telah

mengeluarkan sejumlah redaksi qawaid al fiqhiyyah, di antaranya

adalah perkataan Qadhi Syuraih bin Haris Al Kindi (76 H):

‫من شط عىل نفسه طائعا غ ري مكره فهو عليه‬

“Barangsiapa yang tanpa paksaan membuat syarat kepada dirinya

sendiri untuk taat, maka ia harus menaatinya”.

‫من ضمن ماال فله ربحه‬

“Barangsiapa mengurus harta maka dia berhak mengambil

keuntungannya”.

11
Imam Muhammad Bin Hasan al-Syaibani (189 H), dari kalangan

pembesar mazhab Hanafi yang juga hidup se-era dengan imam Abu

Hanifah RA juga mengemukakan sebuah pendapat dalam eranya

yaitu :

Apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan

dalam hatinya, apakah ia sudah berhadats hingga menjadikannya batal

atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik

ia mengulangi wudhunya.

Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya

itu, menurut kami (Hanafiyah) boleh, karena ia masih mempunyai

wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal).

Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang

terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah

hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsan, ia tidak boleh

melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu).

Pernyataan imam al-Syaibani tersebut tertuang dalam Kaidah:

‫اليق ر ري ال يزال بالشك‬

“keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan”

Dari ulama di era ini juga, Khair bin Nu’aim (137 H) juga berkata :

‫من أقر عندنا ب ر ئش ألزمناه إياه‬

“Barang siapa mengaku memiliki sesuatu, maka kami bebankan

12
sesuatu itu pada dirinya”.

Yang sangat terkenal adalah kaidah yang dikeluarkan oleh imam

Abu yusuf ya’qub bin Ibrahim (182 H) , dimana beliau menulis kitab

“al Kharraj”.

Dapat disimpulkan bahwa pada fase ini beberapa poin penting yaitu

1. Embrio Kaidah Fiqih sudah ada sejak masa ulama

mutaqaddimin bahkan pada era Rasulullah SAW, sekalipun

tidak dinamakan sebagai Qawaid fiqhiyyah.

2. Pernyataan para ulama di atas dapat dijadikan sumber

perjalanan sejaran qawaid fiqih, karena jelas merekalah

referensi dalam beragama terutama dalam disiplin ilmu ini.

3. Beberapa kaidah sudah menyerupai redaksi kaidah ulama

mutaakhirin.

4. Para ulama mutaakhirin setelah era tabiu tabiin mengambil

rujukan dari ulama mutaqaddimin dalam membentuk

qawaid fiqhiyah.

13
B. Perkembangan dan Kodefikasi Qowa’id Fiqhiyyah.

Diyakini bahwa pada masa inilah dimana qawaid fiqhiyyah

mempunyai posisi tersendiri sebagai disiplin ilmu ke dua setelah ushul

fiqh.

Memasuki abad ke 4 Hijriah dan setelahnya, dimana semangat

Ijtihad telah melemah sementara taqlid terus mewabah karena saat itu

mulai banyak timbul perkara-perkara baru dalam kehidupan manusia.

Era ini juga menjadi awal masa di mana bidang fiqh mulai

mengalami dikotomi dalam kemasan azhab. Pembukuan terhadap fiqih

azhab tertentu dirasa cukup menjadi penenang bagi setiap orang saat itu

untuk merujuk kepada bacaan tertentu pada masalah tertentu pula.

Seolah-olah era Ijtihad sudah mati secara total pada masa itu.

Namun, berkembangnya persoalan-persoalan baru ternyata tak

mampu terjawab oleh kitab-kitab azhab.

Ulama-ulama pun bangkit untuk membuat kumpulan kaidah yang

diharapkan dapat menjaga hukum dan fatwa ulama dari teori yang

salah.

Ibnu Khaldun (808H) telah mengisyaratkan bahwa ketika mazhab

14
fiqih setiap imam menjadi disiplin ilmu khusus bagi pengikutnya, dan

para pengikut ini tidak mempunyai kemampuan dan alat untuk

berijtihad dan melakukan qiyas, mereka memandang perlunya melihat

kepada perkara- perkara yang serupa dan memilahnya sebagai

furu’untuk dipantau kepada ushul imam mazhabnya.

Di antara ulama yang memulai kodifikasi terhadap qawaid al

fiqhiyyah adalah :

a) Imam Abu Hasan al Karkhi (340 H) dengan kitab Ushul al

Karakhi

b) Abu Zaid al Dabusi (430 H) menyusun kitab ta’sisun

Nadhar

c) Abu Thahir ad Dibas (Abad ke 4 H) menyusun 17 kaidah

yang disempurnakan Karakhi menjadi 37

d) Imam Abi Laits as-Samarqhandi (373 H) dengan kitab yang

terkenal hingga saat ini yaitu ta’sisu nadhir.

Memasuki abad ke 7 dan 8 Hijriah, terlihat bahwa qawaid al

fiqhiyyah mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan banyak

yang menjulukinya masa keemasan kodifikasi untuk bidang ini.

Semakin deras bermunculan dari setiap azhab yang menyusun dan

mengklasifikasikan qawaidh fiqhiyyah menjadi bab tertentu dalam satu

kitab.

Jika yang memulai kodifikasi di abad ke empat adalah kebanyakan

15
dari ulama Hanafi, maka di abad ini yang lebih pesat menyebarkan

karya ilmu qawaid adalah dari golongan Syafi’iyah. Namun bukan

berarti dari azhab yang lain tidak sama sekali berkontribusi.

Ibnu khaldun. Muqaddimah. Beirut. Darul Fikr. Hal 49

Di antara karangan yang sangat terkenal hingga sekarang adalah :

a) .Zainul Abidin Ibnu Ibrahim (716 H) atau dikenal ibnu

wakil AsySyafi’I menyusun kitab al asybah wa nadzoir

b) Al Maqarri Al Maliki (758 H) menulis kitab Al Qawaid

c) Tajuddin as Subuky (771 H) juga mengarang kitab yang

serupa namanya dengan karya Ibnu Wakil yaitu al asybah

wa nadzoir

d) Az Zarkasyi As Syafi’i (794 H) menulis AlMantsur fil

Qawaid

e) Ibnu rajab al hanbali (795 H) menulis Al- Qawaid fil fiqhi

f) Najmuddin at-Thufy (716 H) menulis al- Qowaid al-kubra

g) Izzuddin bin Abdissalam (660 H) menyusun kitab

Qowaidul Ahkam fi Mashalihil Anam (hingga saat ini, kitab

tersebut menjadi rujukan dan muqorror dalam mata kuliah

qawaid fiqih di sejumlah perguruan tinggi di timur tengah).

Yang lebih mengesankan lagi, ulama di era abad ke sembilan dan

sepuluh mencoba mengklasifikasikan qawaid dengan mengumpulkan

semua karya dari seluruh azhab.

Seperti imam as shuyuthi yang mengumpulkan qawaid penting dari

16
al a’lai, as subuky, dan az- zarkasyi bahkan dengan nama kitab yang

sama, yakni al asybah wan-nadzoir. Di era inilah sangat dikenal sekali

sebagai masa kodifikasi dan penyusunan maqashid al fiqhiyyah.

C. Masa Penyempurnaan
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan

masa kodifikasi akhirnya tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang

dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya. Periode ini ditandai

dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah melalui

pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di

bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan

hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi

Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H.23

Pengkodifikasian Qawa' id Fiqhiyyah mencapai puncaknya

ketikan disusun Majallat al-Ahkam al- `Adliyyah oleh Komite (lajnah)

Fuqaha pada masa Sultan al- Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-

1876 M) pada akhir abad 13 H. Majallat al-Ahkam al-`Adliyyah ini

menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu. Kitab

Majallat al-Ahkam al-`Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah

diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh,

adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indkasi pada

kebangkitan fiqh pada waktu itu.

Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan

17
penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, btu mengkonstruknya dalam

bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat

al-Ahkam al-`Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin

tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses

penalaran hukum fiqh

Telah terkumpul dan terkodifikasi dalam kitab tersendiri untuk

bidang qawaid al fiqhiyyah. Namun bukan berarti qawaid fiqhiyyah telah

dinyatakan sempurna.

Langkah-langkah penyempurnaan dilakukan ketika ketika disusun

Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa

Sultan al- Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir

abad XIII H. Majallat al-Ahkam al- ‘Adliyyah ini menjadi rujukan

lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.

Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan

dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap

kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan

indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab

itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh,

lalu mengkonstruksinya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus

dari sebelumya . Dari era inilah kemudian qawaid al fiqhiyyah tersebar

luas untuk menjadi landasan utama proses pengambilan hukum.

18
19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Sejarah perkembangan Qawa’id Al-fiqihiyyah bermula dari

keadaan dimana Rasulullah harus menjelaskan suatu penyelesaian

permasalahan pada masanya di mana penyelesainnya tidak terdapat

dalam al-Qur’an sehingga harus dengan istinbat Rasulullah Saw.

Setelah Rasul wafat kaidah fiqh (qawa’id al-fiqihiyyah) terus

berkembang hingga saat ini. Pada periode Rasulullah Saw, otoritas

tertinggi dalam pengambilan hukum dipegang oleh Rasulullah Saw.

Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab

dengan sempurna oleh al-Qur’an dan hadis Nabi.

Setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan

banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang diantaranya

adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki,

Madzhab Syafi’i dan Madzhab Ahmad)

B. Saran

Hingga zaman sekarang sudah banyak kaidah fiqh. Kaidah

fiqih ini tumbuh dan berkembang setelah wafatnya Rasulullah

Saw. Jika pada masa Nabi suatu masalah yang terjadi waktu itu,

oleh para sahabat langsung di hadapkan pada beliau akan tetapi

20
setelah beliau wafat, banyak bermunculan persoalan-persoalan baru

yang tidak ada pada masa Nabi. Disinilah mulai muncul

Ijtihad dan penalaran-penalaran para mujtahid dalam

memecahkan persoalan hukum yang tentu dalam metode

pengambilan hukumnya disandarkan kepada al-Qur’an dan Al

Sunnah.

21
DAFTAR PUSTAKA

An-Nadwi, A. A. (1998). al-Qowa’id al-Fiqhiyyah. Damaskus: Dar al-

Qalam.

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.

Hidayatullah, S. (2012). Qowa’id Fiqhiyyah. Depok: Gramata.

Kamaludin, S. H. Sejarah Perumusan dan Perkembangan Qawaid Fiqiyah.

dalam Jurnal Al Muqaranah, 5.

Khalidah, N. (2018). Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah dalam

Transaksi Ekonomi Muamalah. Jurnal Al-Risalah, 14.

Pudjihardjo, N. F. (2019). Kaidah-Kaidah Fikih untuk Ekonomi Islam.

Malang: Universitas Brawijaya Press.

Rohayana, A. D. ( 2008). Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Media Pertama

Rohim, M. (2019). Buku Ajar Qawa’id Fiqhiyyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan

Hukum).

Saragih, S. (2020). MASA PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN QAWAID

FIQHIYYAH. Tazkiya: Jurnal Pendidikan Islam, 9(1).

Suparmin, S. (2013). Al-Qawaid al-fiqhiyah al-khassah fil al-ibadah wa

tatbiqatihah. Al-Irsyad, 3, 79-95.

22

Anda mungkin juga menyukai