Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqhiyyah

Dosen pengampu : Dr. Muhammad Harfin Zuhdi, M.A.

Penyusun :
Amanda Siti Rumiati : Nim 220204057

SEMESTER / KELAS : II / D

PRODI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kamu haturkan kehadirat Allah SWT. Karna berkat karunia, Rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini pada waktunya. Penyusunan
makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam materi Kaidah Fiqhiyyah.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khusunya kepada bapak dosen Dr. Muhammad
Harfin Zuhdi, M.A. yang memberikan tugas serta petunjuk kepada kami untuk menyelesaikan
makalah ini.
Dengan penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dari segi
penulisan maupun materi. Untuk itu kami mengharapkan keritik serta saran guna untuk
menyempurnakan makalah ini.

Mataram, 14 Maret 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................................... 2
BAB I..................................................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN................................................................................................................................................................ 3
A. Latar belakang.................................................................................................................................................... 3
B. Rumusan masalah............................................................................................................................................. 3
C. Tujuan.................................................................................................................................................................... 3
BAB II.................................................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN................................................................................................................................................................... 4
A. Periodesasi Sejarah perkembangan kaidah Fiqhiyyah.......................................................................4
B. Proses Pembukuan Qaidah Fiqhiyah...................................................................................................... 10
C. Kitab dan tokoh qawaid fiqhiyyah........................................................................................................... 11
BAB III................................................................................................................................................................................ 19
PENUTUP.......................................................................................................................................................................... 19
A. Kesimpulan........................................................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................................................ 20

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Qawaid fiqhiyah tidaklah dibentuk sekaligus dalam bentuk dan sistematika yang kita
jumpai sekarang. Pembentukan qawaid itu berproses sejalan dengan proses legislasi
dalam Islam. Sejarah pembentukan dan perkembangan qawaid fiqhiyah sejak masa
pembentukan hukum (tasyri’) sampai masa kini dapat dibagi kepada tiga periode
sejarah: yaitu masa tumbuh dan pembentukan qawaid, masa perkembangan dan
penulisan, dan masa pemantapan dan sistematisasi. Tulisan ini akan membahas secara
ringkas sejarah pembentukan dan perkembangan qawaid fiqiyah periode demi
periode.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana periodisasi sejarah dari perkembangan kaidah
Fiqhiyyah ?
2. Bagaimana proses pembukuan kaidah fiqhiyyah ?
3. Bagaimana kitab dari tokoh qawaid fiqhiyyah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana periodesasi sejarah dari perkembangan kaidah
Fiqhiyyah
2. Untuk mengetahui bagaimana proses pembukuan kaidah fiqhiyyah
3. Mengetahui bagaimana kitab dan tokoh dari qawaid fiqhiyyah

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periodesasi Sejarah perkembangan kaidah Fiqhiyyah


Sejarah pembentukan Qaidah Fiqhiyyah berbeda dengan penyusunan ushul fiqh,
karena Qawa'id Fiqhiyyah tidak bersamaan dengan penyusunan kitab ushul fiqh yaitu
pada abad kedua Hijriah, melainkan hanya pada abad keempat atau kelima abad
Hijriah, kitab-kitab Qaidah Fiqhiyyah ini disusun secara terpisah dan dipisahkan dari
kitab Ushul-fiqh. Sejarah pembentukan qaidah-qaidah tersebut dapat digambarkan
periodisasi pembentukannya dalam beberapa masa :
a. Masa Nabi
Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan lahirnya qa'idah fiqh, terlebih
dahulu kita harus mengkaji sejarah perkembangan ilmu fiqh yang menjadi rahim dari
qa'idah fiqhiyyah itu sendiri. Karena Nabi pun tidak meninggalkan umatnya seperti
ini, hingga beliau membangun hukum Islam yang komprehensif dengan teks yang
jelas, global dan universal. Selain itu, Nabi terlebih dahulu menjelaskan dalil-dalil
yang masih bersifat global, mutlak, dan men-takhsis dalil-dalil dan me-nasakh hukum
yang perlu untuk di-nasakh.
Ijtihad para sahabat tidak bisa disebut tasyr (penciptaan hukum Syariah) tetapi
terbatas pada elaborasi dan penjelasan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Nabi.
Selama periode ini, tidak ada spesialisasi khusus dalam ilmu yang dipelajari tentang
Al-Qur'an dan Hadits. Semangat para Sahabat berkomitmen penuh pada Jihad dan
penerapan amalan-amalan yang diterima Nabi berupa ajaran Alquran dan Hadits. Ilmu
pengetahuan hanya berkisar pada masalah membaca dan mendengarkan hadits-hadits
Nabi serta menerapkan dan mengembangkan hukum-hukum yang ditetapkan Nabi
dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Satu hal yang pasti bahwa Nabi bertindak sebagai penceramah atau ekspositor
ketika mengungkapkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung hukum (nash hukum).
Tidak semua ayat hukum memberikan penjelasan yang mudah dipahami kemudian
diterapkan sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, Nabi memberikan

4
penjelasan kepada umatnya tentang arti dari setiap ayat hukum, sehingga ayat-ayat
tersebut dapat diamalkan. Hadis-hadis Nabi yang berbicara tentang hukum seringkali
menggunakan pola qa'idah yang bersifat umum, artinya dapat mencakup dan
mencakup semua masalah fikih (jawami’ al-kalim)
‫ال رضر وال رضار‬
Artinya: Tidak boleh berbuat dlarar terhadap diri sendiri dan orang lain"

‫البينة علي المد ِعي َواليَ ِمينُ َعلَى َم ْن َأنكر‬

Artinya: Bukti dibebankan kepada pendakwa sedangkan sumpah dibebankan kepada


terdakwa"

‫والدين مفضي‬

Artinya: "Hutang harus dibayar"

Menurut para ahli fikih, hadits-hadits di atas berbentuk ungkapan dengan pola
qa'idah-fiqh. Meskipun hadits tersebut tidak secara resmi disebut qa'idah, namun
hadits tersebut masih menjadi hadits pada saat itu. Hadis-hadis di atas memiliki
pengertian umum yang mencakup beberapa aspek hukum dan menyangkut hal-hal
yang bersifat sekunder. Jika hadits-hadits di atas dipahami secara menyeluruh, mereka
memiliki sifat yang sama dengan qa'idah Penting untuk fiqh1

b. Masa Khulafa' al-Rasyidin


Pada masa ini, wilayah kekuasaan Islam meluas ke beberapa wilayah di luar Arab,
seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Iran. Dan pada saat yang sama, Islam berkembang
pesat, mengikuti perkembangan wilayah itu sendiri. Selama waktu itu Umat Islam
sudah memiliki referensi lengkap tentang hukum syariat berupa Al-Qur'an dan al-
Hadits. Tidak semua orang dapat memahami dengan baik materi atau qaida hukum
yang terdapat pada kedua sumber tersebut (Al-Qur'an dan Hadits).
Pada masa ini, cara berpikir sang sahabat mulai berubah menjadi ijtihad. Ini lebih
karena masalah baru yang belum pernah terjadi pada masa kemunculan Nabi yang

1
Dr. muhammad harfin zuhdi, MA., Qawa’id Fiqhiyyah (Mataram:CV El hikam press Lombok,2018), hlm 61-
62

5
memaksa mereka melakukan ijtihad. Metode ijtihad mereka saat itu adalah mencari
ilmu terlebih dahulu dari Al-Qur'an. Jika tidak menemukannya, beralihlah ke sunnah
Nabi dengan bermusyawarah dan mengumpulkan para sahabat yang telah mendengar
penjelasan Nabi tentang masalah tersebut. Jika tetap tidak menemukan informasi,
mereka menempuh jalan ra'yu atau ijtihad.
Ada dua hal yang membedakan periode ini dengan periode sebelumnya, yaitu:
Pertama, penggunaan ra’yu dan giyas sangat terlihat dalam mengevaluasi topik-topik
baru, termasuk perbedaan antara Umar dan Ali bin Abi Thalib mengenai wanita yang
menunggu untuk dinikahi. Kedua, munculnya Ijma, seperti yang dilakukan Abu Bakar
dan Umar dalam menghadapi masalah baru, mereka berdua mengumpulkan para
sahabat lain untuk meminta pendapatnya dan apa yang telah disepakati dilaksanakan.
Menganalisis Atsar Para Sahabat, ditemukan pola tuturan yang sama dengan Hadits
Nabi di atas. Seperti yang dikatakan Umar:  
‫مقاطع الحقوق عند الشروط‬
Artinya: Terputusnya (ketetapan) hak tergantung pada syarat

Bila diamati ungkapan Umar di atas, maka ia merupakan ungkapan yang berpola
qa’idah yang menjelaskan tentang bab syarat.2

c. Masa Tabi'in
Bila pada masa Nabi sumber fiqh adalah al-Qur'an, maka masa para sahabat
berkembang di bawah bimbingan Nabi dan ijtihad sebagai sumber penentuan fiqih.
Sejak zaman para sahabat, penentuan fikih tumbuh dan berkembang dengan bantuan
sunnah dan ijtihad. Masa ini disebut juga masa konstruksi dan akuntansi hukum
Islam. Saat ini, fikih Islam berkembang pesat.
Penulisan dan pertimbangan hukum Islam dilakukan secara intensif, dan hadits
Nabi, fatwa para sahabat, tafsir Alquran, kumpulan pendapat para imam, imam fikih,
dan kompilasi usul ilmu fiqih. Selama ini ilmu fikih menjadi cabang ilmu tersendiri
yang tidak dapat dipisahkan dari jasa para tabi'in. Pencapaian besar pada masa itu,
yang juga menjadi tanda kekokohan landasan fikih, adalah keberhasilannya
menangkal fitnah dan kerancuan internal yang secara sadar dihembuskan warisan
epistemologis agama dari penggulingan tentara KhulafaRasidin. Peristiwa ini juga
2
Dr. muhammad harfin zuhdi, MA., Qawa’id Fiqhiyyah (Mataram:CV El hikam press Lombok,2018), hlm 62-
63

6
menyebabkan terkucilnya para ulama yang tergolong takwa tingkat tinggi dari
kehidupan masyarakat. Mengikuti hukum saat ini, mereka terus menyebarkan Hadits.
Sejak berdirinya, ilmu fikih berkembang sangat pesat, terbukti dengan
bermunculannya banyak mazhab dan metode ijtihad, salah satunya adalah mazhab
empat. Perlawanan sengit dari kelompok Ahlu rayu dan Ahlul hadits berakhir dengan
pengakuan metode Ahlul ra'ya sebagai metode legislasi baik dalam hal khusus
maupun fundamental dan umum, namun bersikeras bahwa metode tersebut harus
didasarkan pada nash.
Awal periode Dari sinilah dimulai akuntansi ilmu fiqh dalam bentuk mazhab.
Ulama pertama yang menulis buku dalam format madhab adalah Muhammad bin
Hasan al-Syaibani. Di antara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya
perkembangan fiqh atau ilmu pengetahuan secara umum adalah pada periode ini
adalah sebagai berikut:
1) Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar terhadap ilmu fiqih khususnya,
atau terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya.
2) Adanya kebebesan berpendapat dan berkembangnya diskusi ilmiah di kalangan
ulama.
3) Telah terkodisifikasinya referensi-referensi utama, seperti al- Qur'an pada masa
Khalifah ar-Rasyidin, hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz, tafsir dan ilmu tafsir
yang dirintis oleh Ibnu Abbas dan muridnya Mujahid.

Pada masa ini banyak muncul istilah-istilah hukum yang menjadi ciri kekayaan
bahasa fikih. Istilah ini dibuat dalam berbagai bentuk tergantung pada madzab. Pada
masa ini, teori-teori hukum berkembang pesat. Dengan demikian yurisprudensi
mampu membahas dan mendefinisikan hukum dalam hal-hal yang belum terjadi. Pada
masa fiqh berkembang sangat pesat, banyak lahir qa'idah fiqh dan dlawabid (batasan
fiqh). Seperti lima prinsip dasar. Contoh ungkapan dengan pola Qa'idah yang ada
pada masa Tabi'in sebelum terbentuknya mazhab fikih adalah perkataan al-Qadli
Shuraih bin al-Haris al-Kindi, yaitu:
‫َم ْن َشرط َعلَى نَ ْف ِس ِه طَاِئعًا َغ ْي ُر َم ْكرُو ِه فَه َُو َعلَ ْي ِه‬
Artinya: Bagi yang mensyaratkan untuk mentaati sesuatu alas dirinya sendiri tanpa
paksaan, maka ia wajib baginya."

Qu'idah ini identik dengan qa'idah Umar di atas.


7
ُ‫ض ِمنَ َماالً فَلَهُ َربِّحْ ه‬
َ ‫َم ْن‬

Artinya: Bagi yang menanggung harta maka ia berhak untuk mendapatkan untung
(labanya).

Qa'idah ini semakna dengan qa'idah masyhur

َّ ‫الخراج بِال‬
‫ص َما ِن‬

Artinya: Penghasilan dapat diperoleh dengan jaminan.

Semua atsari di atas merupakan bukti konkrit bahwa ungkapan dengan pola qa'idah
telah ada pada masa Nabi, Sahabat dan Tabi'in. Mereka membuat pernyataan yang
tidak ditujukan kepada semua atsar. Hal di atas adalah bukti nyata bahwa pernyataan
dengan pola qa'idah ada pada masa Nabi, Sahabat dan Tabi'in. Mereka menyajikan
ungkapan yang tidak hanya satu tujuan tetapi beberapa tujuan, bukan hanya satu
hukum tetapi beberapa hukum.
Sejak masa Nabi dan para sahabat hingga masa Aimmatul Fuqaha, ketika fikih
menemukan kesempurnaan dan kematangannya dan sebelum tahun menjadi disiplin
tersendiri, kumpulan qa’idah-qa’idah adalah Qaidah Fiqhyyah. tidak segera dibentuk
dan disusun seperti Kitab Hukum Positif yang terbit bersamaan oleh para ahli hukum,
tetapi dirumuskan sedikit demi sedikit sehingga terkumpul banyak. Rumusan qa'idah
adalah hasil diskusi para ahli hukum besar yang ahli dalam takhrij dan tarjih,
berdasarkan teks-teks Islam seperti kulli, ushul fiqh, illat-illat Hukum dan pemikiran
mereka.
Terbentuknya qa'idah fiqhiyyah, yang jelas bila menelaah kitab-kitab qd'idah
fiqhiyyah dan masa wakafnya, menjadi jelas bahwa qa'idah fiqhiyyah tidak terbentuk
sekaligus, melainkan bertahap dalam sejarah hukum Islam . Barangkali kitab fiqih
pertama yang membahas tentang q'idah adalah kitab al-Kharraj yang disusun oleh
Abu Yusuf Ya'qub bin Ibrahim (113-182 H) dan dipersembahkan kepada Raja Harun
al-Rashid dengan kata-kata:

ٍ ِ‫ْس لِالمام أن يخرج َش ْيًئا ِم ْن يَ ِد َأ َح ٍد ِإال بِ َحق ثَاب‬


ِ ‫ت َم ْعر‬
‫ُوف‬ َ ‫لَي‬
8
Artinya: Tidak ada wewenang bagi Imam untuk mengambil sesuatu dari seseorang
kecuali dengan dasar-dasar hukum yang berlaku."

‫ص ِّرفُ اإلمام َعلَى َرا ِعيَ ٍة َمنُوطٌ بِال َمصْ لَ َح ِة‬


َ َ‫ت‬

Artinya: Kebijakan imam terhadap rakyatnya harus berlandasan maslahah.

Tetapi apakah Abu Yusuf adalah ulama yang pertama sebagai pencetus qu'idah
fiqh, juga masih belum jelas. Sebab apabila materi q'idah tersebut ditetapkan sebagai
dasar awal penyusunan, maka bagaimana dengan Hadis Nabi di bawah ini, yang juga
merupakan qu'idah fiqh, yaitu:

‫ألضرر وألضرار (رواه ابن ماجه‬

Artinya: Tidak boleh berbuat dlarar terhadap diri sendiri dan orang lain

Salah satu sumber lain yang dapat diakses sampai sekarang adalah kitab
Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Jika kitab-kitabnya difahami dan diteliti, maka
akan ditemukan ungkapan-ungkapan yang berbentuk qa'idah, seperti ungkapan di
bawah ini:

‫الواحد ُح َّجةٌ (إ َذا َكانَ َع ْدال) َما َكانَ ِم ْن َأ ْمر الدين‬


Artinya: Satu orang persoalan agama saksi dapat dijadikan hujjah dalam persoalan
agama

Berdasarkan contoh dan bukti yang ada, dapat disimpulkan bahwa pembentukan
aturan fikih dimulai pada awal abad ketiga. Karena pada saat itu penggunaan qaedah
sudah menyebar dan gagasan qaedah sudah terinternalisasi di benak para ahli hukum,
meskipun penggunaannya belum tersebar luas karena qaedah belum menjadi
keharusan pada saat itu. 3
3
Dr. muhammad harfin zuhdi, MA., Qawa’id Fiqhiyyah (Mataram:CV El hikam press Lombok,2018), hlm 63-
67

9
B. Proses Pembukuan Qaidah Fiqhiyah
A. Masa Perkembangan
Uraian asli metode ini disebut atau dikenal dengan al-Qawaid atau ad-Dhawabid,
al-Faruq, al-Alghaz, Muthorohat al-Afrad, Maarif al-Afrad dan al-Khiya 1.16 Proses
pengembangan dan pembentukan yang panjang. kemudian melahirkan nama baku
untuk kajian ilmiah tersebut, yaitu al-Qawaid al-Fiqhiyyah (aturan-aturan fikih) atau
dengan kata lain dikenal al-Asybah wa al-Nazhair (sejenis dan sebanding). Itu terjadi
selama tab. ketika. Pada periode itu merupakan periode awal perkembangan fiqh,
karena pada periode itulah fondasi ilmu fiqh dimulai.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan periode tahun yang menjadi awal
kecenderungan fiqh ke bidang teori.. Hal ini berbeda dengan zaman khulafa al-
rasyidun yang membuat fiqh dalam bidang amalan sebagaimana yang ada pada zaman
Nabi. Ketika fiqh dibawa ke bawah teori, banyak hukum fiqh yang dibuat dengan
membantah teori,, dibandingkan dengan hukum fiqh yang berasal dari pemahaman
kasus masa lalu disandingkan dengan kasus baru. Dengan demikian, fikih tidak hanya
dapat menjelaskan persoalan waqi'iyyah (yang benar), tetapi lebih dari itu. Selain itu,
periode itu menandai dimulainya transformasi fikih dari sifat waqi'ah (nyata) menjadi
nazariyyah (teori).
Ilmu Fiqh berkembang sangat pesat sejak masa pendiriannya. Hal itu ditandai
dengan lahirnya banyak mazhab, yang di antaranya ada empat mazhab (mazhab
Hanafi, mazhab Malik, mazhab Syafi'i dan mazhab Ahmadiyah) sebagaimana kita
ketahui Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perkembangan yang sangat penting,
tulisan, akuntansi, sampai selesai pada akhir abad ke-13 H.

A. Masa Pembukuan
Sulit untuk mengatakan siapa yang pertama kali menetapkan aturan fikih yang
jelas
mengkaji kitab-kitab kaidah fikih dan periode pembentukannya secara bertahap dalam
proses sejarah hukum Islam. Namun, tercatat di kalangan ulama fikih bahwa Abu
Thahir, ulama berpendapat Hanafi yang hidup pada akhir abad ke-4 dan awal abad ke-
4 Masehi, mengumpulkan 17 prinsip Hanafi. Fakultas Hukum.

10
Kemudian Abu Saad Al-Harawi, seorang ulama pemikiran Syafi'i, mengunjungi
Abu Thahir dan menuliskan aturan-aturan fiqh yang telah dihafalkan Abu Thahir.
Sekitar seratus tahun kemudian datanglah ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi
yang kemudian menambahkan kaidah fikih Abu Thahir ke dalam kaidah tersebu
menjadi 37 kaidah
Informasi di atas menjelaskan bahwa prinsip-prinsip fikih sudah ada sejak akhir
abad ke-3 Hijriah. Saat itu, ketika wilayah Islam meluas, tantangan dan pemecahan
masalah semakin meningkat. Maka para ulama membutuhkan cara yang sederhana
untuk memecahkan masalah tersebut, maka muncullah kaidah-kaidah fikih.4

B. Fase Penyempurnaan
Disusun dan dikodifikasikan dalam buku terpisah untuk wilayah Qawaid al
Fiqhiyyah. Namun, bukan berarti qawaid fiqhiyyah dinyatakan sepenuhnya Perbaikan
dilakukan ketika Komisi Fuqaha (Lajnah) menyusun Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah
di bawah Sultan alGhazi Abdul Azis Khan al-Utsman (1861-1876 M) pada akhir abad
ke-13. Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah menjadi acuan lembaga hukum pada masa itu.
Buku Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah, yang ditulis dan diterbitkan setelah
pengumpulan dan pemilihan buku-buku Fiqh, merupakan pencapaian besar dan
indikasi kebangkitan Fiqh pada masa itu. Tim yang menyusun kitab tersebut
sebelumnya memilih kitab-kitab fikih kemudian menulisnya dengan bahasa hukum
yang lebih baik dari sebelumnya. Dari periode ini, Qawaid al Fiqhiyyah menjadi basis
utama dari proses legislasi yang meluas.5

C. Kitab dan tokoh qawaid fiqhiyyah


Perjalanan sejarah qawaid fiqhiyyah akan lebih terang jika kita menelusuri lebih
dalam tentang tokoh dan kitab-kitab dari masing-masing ulama mazhab. Berikut akan
kami coba paparkan detail tentang kitab dan tokohnya.
1. Mazhab Hanafi
a. Ushul al-Karkhi
Penulisnya adalah ulama terkenal dari kalangan Hanafiyah yaitu imam Ubaidillah
bin al Hasan bin Dallal yang terkenal dengan nama Abu Hasan Al Karkhi (340 H),
nisbat dari nama daerah Karkhjuddan di Iraq. Beliau belajar Ilmu fiqih kepada imam

4
Djazuli, kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah masalah yang praktis, hlm 12
5
Firman Arifandi, sejarah qawaid fiqhiyah, hlm 15

11
Abu Bakar Al jasshsas (370 H) pengarang kitab Ahkamul Qaur’an. Kitab Ushul al
Karkhi sendiri dianggap sebagai kitab perdana dalam konsentrasi ilmu qawaid
fiqhiyyah. Jumlahnya ada 36 kaidah, dan karakter penulisan redaksi qawaid dalam
kitab ini selalu memulai dengan kata "‫ "األصل‬Misalnya:
Contoh dari kaidah ini, misalkan seseorang menitipkan barang kepada orang lain,
kemudian orang yang dititipi justru menyerahkan barang tersebut kepada orang lain
yang berada di bawah tanggung jawabnya, lalu kemudian dia rusak, maka tidak ada
tanggung jawab bagi orang yang dititipi tadi untuk ganti rugi karena sejatinya dia
tidak mungkin menjaganya sendirian siang dan malam.
‫األصل أن من ساعده الظاهر فالقول قوله والبينة عىل من يع خالف الظاهر يد‬
Yang menjadi patokan asal, orang yang dibantu oleh hal-hal yang dzohir maka yang
dianggap adalah perkataannya, dan butuh pembuktian bagi penggugat yang berbeda
dengan yang dzohir.
Maksudnya adalah hukum asal setiap orang itu bebas dari tanggung jawab, maka
bila ada seseorang yang menuduh orang lain telah mempunyai hutang kepadanya,
wajib bagi penuduh ini untuk menghadirkan bukti, terlebih bila yang tertuduh
menolak gugatannya.
Maka selama belum ada bukti dari penuduh,yang dianggap benar adalah perkataan
yang tertuduh Karena prinsipnya setiap orang bebas dari gugatan apapun. Kaidah ini
juga bisa berlaku untuk segala hal yang berkaitan dengan jinayat atau perkara
kriminalitas dalam Islam.
b. Ta’sis an Nadhar
Kitab ini disusun oleh imam Ubaidillah bin Umar bin Isa Al Qadhi Abu Zaid al
Dabusi, nisbat kepada daerah dabusiyah di Bukhara, Samarqand. Beliau terkenal
sebagai ulama mazhab Hanafi yang ulung dalam berargumen dengan logika dalil.
Dalam muqaddimah kitab ini Ad Dabusi mengatakan bahwa di penulisannya kita
akan dihadapkan dengan latar belakang perbedaan pendapat para ulama. Dari sini
sebenarnya bisa kita simpulkan bahwa maksud dari penulisan kitab ini adalah untuk
menjelaskan perbedaan pendapat bukan qawaid fiqhiyyah. Namun ternyata beliau
dominan menyebutkan qawaid yang menjadi sebab perbedaan antar ulama.
Uniknya kitab ini adalah adanya klasifikasi kaidah yang dibagi ke dalam delapan
bagian, yang apabila dihimpun semuanya ada 86 kaidah. Kedelapan klasifikasi
tersebut adalah:

12
1. Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dengan Muhammad bin Hasan As
Syaibani dan Abu Yusuf
2. Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Abu Yusuf dengan Muhammad bin
Hasan
3. Perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan dengan Abu
Yusuf
4. Perbedaan pendapat antara Muhammad bin Hasan dengan Abu Yusuf
5. Perbedaan pendapat antara Muhammad bin Hasan, Hasan bin Ziyad dan Zufar
6. Perbedaan pendapat antara para imam mazhab Hanafi dengan imam Malik bin
Anas 7. Perbedaan antara Muhammad bin Hasan, Hasan bin Ziyad, dan Zufar dengan
Ibnu Abi Laila
8. Perbedaan pendapat antara ketiga ulama Hanafiyah dengan imam Al Syafi’i.

Sebagai contoh kami akan sebutkan sejumlah kaidah dalam kitab tersebut yang
kemudian dimunculkan perbedaan konsekuensi hukumnya dengan yang lain.
1. Menurut Abu Hanifah, yang menjadi patokan adalah izin mutlak yang bebas
dari unsur kecurigaan dan pengkhianatan tidak dapat dijadikan pengkhususan
oleh tradisi, sementara menurut keduanya (Abu Yusuf dan Muhammad),
dikhususkan oleh tradisi.
Contohnya, orang yang dipercaya menjadi wakil dalam jual beli apabila
menjual barangnya dengan sesuatu yang lebih rendah atau lebih besar, dan
dengan harga berapapun, tanpa ikut aturan urf di pasaran menurut Abu
Hanifah, namun berbeda dengan Abu Yusuf dan Muhammad, hal itu tidak
boleh dan harus ikut urf yang berlaku sesuai pasaran.
2. Menurut Muhammad bin Hasan As Syaibani yang menjadi patokan adalah
bahwa sesuatu yang Halaman 21 dari 29 muka | daftar isi sedang eksis
dihukumi hukum semula. Namun menurut Abu Yusuf sesuatu yang sedang
eksis tidak dikenakan hukum semula dalam sejumlah permasalahan.
Sebagai contoh dari kaidah ini, apabila seseorang pakai minyak wangi
sebelum niat ihram, lalu harumnya masih bertahan sampai dia menjalankan
ihram, maka menurut kaidah Muhammad bin Hasan hal tersebut masih boleh
dengan status makruh, tapi tidak menurut Abu Yusuf, beliau mengatakan hal
itu merusak ihram.
c. Al Asybah Wan Nadhair Karya Ibnu Nujaim
13
Beliau adalah Zainuddin bin Ibrahim bin Muhammad yang populer dengan nama
Ibnu Nujaim Al Hanafi (970 H). Beliau berada di deretan pembesar mazhab Hanafi
yang berada di Mesir. Kitab beliau sebanding popularitasnya dengan Asybah Wan
Nadhair imam As Suyuthi (911 H). Terdapat dua puluh lima kaidah yang terhimpun
dalam kitab ini dan terbagi kepada 6 kaidah pokok, dan 19 kaidah umum. Sebagai
contoh redaksi kaidah yang ada di dalam buku ini adalah:
“Tindakan imam terhadap masyarakat harus sesuai dengan kemaslahatan”
“Bila halal dan haram berkumpul, maka yang haram menguasai yang halal “

Selain dari kitab-kitab dan ulama yang kami sebutkan di atas masih banyak lagi yang
lain yang tidak bisa diulas detail, seperti :
d. Khatimah Majamiul Haqaiq, Karya Abu Said Al Khadimi (1176 H)
e. Al Faraidul Bahiyyah fil qawaid wal fawaid al fiqhiyyah karya Ibnu Hamzah al
Husaini (1305 H)
f. Qawaidul fiqhi karya Allamah Sayyid Muhammad Amim Al Ihsan Al Mujaddidi

3. Mazhab Maliki
a. Ushul Al Fataya fil Fiqhi ‘ala Mazhabil Imam Al Malik Karya Al Khasyani (361 H)
Imam Muhammad bin Harist bin Asad al Khasani adalah ahli fiqih dari mazhab
Maliki di Cordoba dan kitab yang dikarangnya adalah kitab perdana yang mencakup
ushul mazhab tersebut. Konten dalam kitab ini masih menggabungkan antara qawaid
dan dhawabit al fiqhiyyah. Sebagai contoh dari qawaid yang ada di dalamnya adalah
sebagai berikut
“Setiap transaksi yang menggabungkan perkara halal dan haram adalah haram
keseluruhannya. Dengan demikian secara khusus jual beli perkara halal yang dibuat
oleh transaksi tersebut menjadi tidak sah.”

b. Al Furuq Karya Al Qarrafi (684 H)


Nama Al Qarrafi adalah nisbat untuk daerah bernama Qarrafah , nama asli beliau
adalah Imam Abu Al Abbas Ahmad bin Al Alai bin Abdurrahman As Shanhaji.
Beliau terkenal sebagai ulama ushul fiqih di kalangan mazhab Maliki.
Ada sejumlah karya beliau yang terkenal, di antaranya adalah : kitab Al Furuq, Al
Ihkam fi tamyizil fatawa anil ahkam wa tasharrufatul qadhi wal imam, dan kitab Adz
Dzakhirah fil fiqh yang sangat terkenal. Kitab Al furuq sendiri merangkum 548
14
kaidah yang tergabung dengan dhawabit. Sebagai contoh redaksi kaidah di dalamnya
adalah:
‫الوسائل تتبع المقاصد في أحكامها‬
Hukum wasilah/perantara mengikuti hukum tujuannya

c. Al Qawaid Karya al Maqarri (758 H)


Penyusun kitab ini adalah allamah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al
Maqarri, Maqarrah adalah nama sebuah kampung di Afrika. Ada murid dari imam Al
Maqarri yang juga sangat terkenal dalam bidang Ushul dan Fiqih yaitu imam Abu
Ishak As Syatibhi (790 H) penyusun kitab al muwafaqat yang digadang sebagai kitab
maqashid syariah oleh para ulama. Kitab Al Qawaid imam al Maqarri sendiri
dianggap sebagai kitab terbaik yang mewakili qawaid versi mazhab maliki, dimana di
dalamnya beliau melakukan komparasi dengan pandangan mazhab yang lain.
Namun yang disayangkan adalah tak banyak dari kaidah yang ada di dalamnya
dijelaskan rinci oleh beliau. Sebagai contoh dari qawaid yang ada di dalamnya
adalah :
‫يجب الرجوع إىل العوائد فيما كان خلقة كالحيض والبلوغ إن اختلف فإىل الغالب‬

Untuk perihal yang sifatnya khilqah/bawaan maka wajib dikembalikan kepada


kebiasaan yang berlaku, apabila terjadi perbedaan pendapat maka dikembalikan
kepada keumumannya. Seperti haid dan baligh.
‫مراعاة المقاصد مقدمة عىل رعاية الوسائل أبدا‬

Memelihara maqashid lebih utama dibandingkan menjaga wasilah.


Misalnya, orang shalat dengan status tayammum yang kemudian mendengar hujan
saat shalat berlangsung.
Maka menurut Maliki dan Syafii agar melanjutkan shalatnya sementara menurut
Hanafi agar membatalkannya lalu berwudhu dan mengulangi shalatnya. Selain kitab-
kitab yang disebutkan tadi, ada banyak lagi kitab lain dari mazhab Maliki yang juga
konsen terhadap qawaid fiqhiyyah, diantaranya adalah:
d. Idhahul Masalik ila Qawaidil Imam Malik karya Al winsyari (914 H)
e. Syarhul manhaj al muntakhab karya Ahmad Ali al-Fasi (995 H)

4. Mazhab Syafi’i
15
a. Qawaidul Ahkam fi Masholihil anam Karya Izzuddin bin Abdissalam (660 H)
Imam Izzuddin bin Abdissalam lahir di Damaskus Suriah dan kemudian menetap di
Mesir, beliau diberi gelar sulthanul ulama oleh Ibnu Daqiq (702 H) karena keluasan
ilmunya dan kemuliaan akhlaqnya. Objek kajian kitab yang beliau tulis ini adalah
berkisar kepada kaidah syariat yang pokok, yaitu :
‫جلب المصالح و درء المفاسد‬
Menarik kemaslahatan dan menolak mafsadah Maka di antara qaidah fiqhiyyah yang
ada dalam kitab ini, di antaranya adalah:
‫األصل أن تزول األحكام بزوال عللها‬

yang menjadi kaidah adalah hukum dapat hilang bila illatnya hilang.

b. Al Asybah Wan Nadhoir Karya Ibnu Wakil As Syafi’I (716 H)


Para ulama di eranya termasuk Ibnu Taimiyah memberikannya julukan Shadru-ddin,
lahir di Mesir dan besar di Damaskus. Kitab yang beliau tulis ini juga menjadi
perhatian serius di kalangan ulama se-eranya. Di antara kaidah yang penting di
dalamnya adalah:
‫األصل في اإلطالق الحقيقة‬

Yang menjadi asal dari kata-kata yang mutlaq adalah arti sebenarnya.
‫ما أوجب أعظم األمرين بخصوصه ال يوجب أهونهما لعمومها‬

Sesuatu yang mengharuskan perkara yang lebih besar beserta kekhususannya tidak
perlu mengharuskan yang paling ringan, hal ini karena keumuman pada sesuatu
tersebut.
Misalnya, perbuatan zina mengharuskan adanya hukuman hadd sementara
meraba-raba mengharuskan hukuman ta’zir. Apabila seseorang melakukan zina
disertai meraba-raba tidak perlu dinyatakan dia terkena hukuman hadd dan zina,
karena dalam hal ini ta’zir telah tercangkup oleh hukuman hadd.

c. Al Asybah Wan Nadhoir Karya Tajuddin As Subki (771 H)


Sejumlah ulama seperti Az Zahabi memberinya gelar Tajuddin, karena
ketegasannya dan wawasannya. Dalam kitab qawaid yang beliau tulis ini, beliau
menguraikan lima kaidah pokok disertakan dengan kaidah-kaidah lain yang
16
mempunyai korelasi dengannya. Dan beliau juga menyertakan dhawabit fiqhiyyah
serta qawaid ushuliyah di dalamnya.

d. Al Asybah wan Nadhoir Karya As Suyuthi (911 H)


Imam as Suyuthi membuat banyak karya tulis, konon diceritakan bahwa karyanya
mencapai enam ratus kitab. Dalam kitab qawaid ini ada 7 kajian dalam kitab imam
Suyuthi:
1. Tentang al Qawaid Asasiyah Al khams
2. Tentang empat puluh kaidah kulliyah dengan cakupan hukum furu’ yang tak
terhingga
3. Tentang kaidah-kaidah yang diperselisihkan
4. Tentang hukum yang banyak beredar yang wajib diketahui ahli fiqih
5. Tentang permasalahan-permasalahan yang serupa yang bisa masuk ke dalam bab
yang sama
6. Tentang permasalahan-permasalahan yang serupa dan titik illat perbedaannya
7. Tentang masalah umum yang beraneka ragam dalam fiqih.

Selain kitab-kitab ini, ada lagi kitab lain dalam mazhab syafii seperti :
e. Al Mantsur fi Tartibil qawaidil fiqhiyyah Karya Zarkasyi (794 H)
f. Al Asybah Wan Nadhair Karya Ibnu Al Mulaqqin (804 H)
g. Al istighna’ fi al farq wal istitsna’ karya Badruddin Al Bakri (871 H)

5. Mazhab Hanbali
a. Al Qawaid An Nuraniyyah Karya Ibnu Taimiyyah (728 H)
Beliau dikenal sebagai ahli hadist dan mufassir, para ulama di masanya memuji
keluasan ilmu dan logika berfiqihnya. Di antara kaidah yang ada dalam kitab beliau
adalah :
‫إذا تعذر جمع الواجبين قدم أرجحهما وسقط اآلخر بالوجه‬
‫الشرعي‬

Apabila karena udzur dua kewajiban berkumpul, maka diutamakan yang paling
unggul berdasarkan syara’, sementara yang lainnya gugur

b. Al Qawaid al fiqhiyyah karya Ibnu Qadhi Al jabal (771 H)


17
Nama aslinya adalah Ahmad bin al hasan bin Abdullah, mempunyai gelar
Syarafuddin. Terkenal sebagai ahli nahwu, hadist dan pandai berlogika seputar dalil.
Di antara qawaid al fiqhiyyah yang ada dalam kitab beliau adalah:
‫العمل بالظن هو في أكثر الشرعيات والعرفية‬

Mengamalkan dengan dugaan kuat biasanya banyak berlaku dalam masalah hukum
syara’ dan hukum adat
‫الممنوع رشعاكالممنوع حسا‬

Halangan syara’ seperti halangan indrawi


Misalnya orang yang meragukan dua bejana, mana di antara keduanya yang suci dan
yang najis. Menurut beliau syariat menentukan bahwa hal itu terlarang untuk diteliti,
malah justru wajib tayammum jika tak ada yang lain selain dari dua bejana ini.

Selain dua kitab ini ada kitab lain dalam mazhab hanbali seperti :
c. Taqrirul qawaid wa tahrirul fawaid, karya Ibnu Rajab Al Hanbali (795 H)
d. Al qawaid al kulliyyah wad dhawabit al fiqhiyyah , karya Ibnu abdil Hadi (909 H6

6
Firman Arifandi, sejarah qawaid fiqhiyah, hlm 16-29

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan Qawa' id Al- fiqihiyyah bermula dari keadaan dimana Rasulullah
harus menjelaskan suatu penyelesaian permasalahan pada masanya di mana penyelesainnya
tidak terdapat dalam al- Qur'an sehingga hams dengan istinbat Rasulullah Saw. Setelah Rasul
wafat kaidah fiqh (qawa' id al- fiqihiyyah) terus berkembang hingga saat ini. Pada masa
Rasulullah Saw, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum dipegang oleh Rasulullah Saw.
Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh al-
Qur'an dan hadis Nabi

Setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang diantaranya
adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi' i dan
Madzhab Ahmad) sebagaimana yang telah kita ketahui Perkembangan berikutnya mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis, pembukuan, hingga penyempurnaannya
pada akhir abad ke-13 H. Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi
oleh ummat Islam maka yang ditempuh oleh pars ulama untuk menetapkannya adalah dengan
melihatnya dalam al-Qura"an, Sunnah kemudian jika tidak ada keduanya maka bisa dari
qiyas ijma athar atau pun ijtihat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. S. (2004). Sejarah qawa'id fiqhiyyah. Jakarta: Radar jakarta.


Djazuli. (n.d.). Kaidah- kaidah Fiqqih islam dalam menyelesaikan masalah- masalah yang
praktis.
Dr. Muhammad Harfin Zuhdi, M. (2018). Qawa'id Fiqhiyyah. Mataram: CV Elhikam press
lombok.
Firman Arifandi, L. L. (2018). Sejarah Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Rumah fiqih publishing.

20

Anda mungkin juga menyukai