Anda di halaman 1dari 11

1

AL-QAWA<NI<N AL-SYAR‘IYYAH KARYA SAYYID USMAN:


REFERENSI JA<WI< KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

Radinal Mukhtar Harahap


radinalmukhtarhrp@gmail.com
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan

ABSTRAK
Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diketahui secara jamak menjadi pedoman hakim dalam
memutuskan perkara. Perumusannya adalah gagasan membentuk kontruksi hukum Islam yang
selaras dengan kepribadian dan karakteristik Indonesia. Dalam hal itu, sejarah menampilkan al-
Qawa>ni>n al-Syar’iyyah karya Sayyid Usman sebagai rujukan KHI sekaligus referensi Ja>wi>
yang memancarkan citra fikih yang diinginkan. Memperkenalkannya dirasa perlu sebagaimana
perlunya mewujudkan gagasan yang dimaksud. Melalui content-analysis yang didekati lewat
sejarah yang terjadi sekitar abad ke-19 akhir dan awal abad ke-20, uraian tulisan ini diharap mampu
melengkapi diskursus tentang KHI yang cenderung bermotif analisis pasal, tinjauan legalitas atau
sedikit menyinggung fase sejarah perumusan.
Kata Kunci: Al-Qawa>ni>n al-Syar‘iyyah, Hukum Islam, Teks, Sejarah.

A. Pendahuluan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), terlepas dari problematika kedudukan 1 ataupun materinya2,
telah diketahui secara jamak menjadi pedoman yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara
perdata di Peradilan Agama.3 Ia –meminjam bahasa Arifin, adalah fikih dalam bahasa Undang-
Undang.4 Hefni, melalui penelusuran terhadap seluruh kitab referensi yang dirujuk, menamainya
fikih lintas mazhab.5 Baik sebutan pertama maupun kedua, meski secara tidak langsung, telah
mengarah kepada upaya yang pernah dilakukan Hasbi Ash-Shiddieqi atau Hazairin dengan Fikih

1
Yulkarnain Harahap dan Andy Omara, ‚Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-Undangan,‛
Mimbar Hukum 22, no. III (Oktober 2010): 625–44.
2
Muhammad Amin Suma, ‚Studi Evaluatif Terhadap Materi dan Dasar Hukum Pemberlakuan Kompilasi Hukum
Islam,‛ Unisia 26, no. 48 (April 2003): 181–91, https://doi.org/10.20885/unisia.vol26.iss48.art7.
3
Dadang Hermawan dan Sumardjo, ‚Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Materil Pada Peradilan Agama,‛
Yudisia 6, no. 1 (Juni 2015): 24–46.
4
Bustanul Arifin, ‚Kompilasi: Fiqh dalam bahasa Undang-Undang,‛ Journal of Pesantren II, no. 2 (1985): 25–30.
5
Moh Hefni, ‚Fiqh Lintas Madzhab (Menimbang KHI melalui Penelusuran terhadap Kitab-kitab Rujukannya),‛ Al-
Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 1, no. 1 (Juni 2006): 1–10.
Indonesia dan Madzhab Nasional/Indonesia yang bermaksud mengkontruksi hukum Islam agar
sesuai dengan kepribadian dan karakteristik bangsa Indonesia.6
Hal itu dapat juga dilihat dari narasi sejarah perumusan KHI,7 yaitu ketika tim perumus
menggunakan referensi ja>wi> sebagai rujukan. Meski hanya satu dan satu-satunya berbahasa non
arab, referensi itu dijelaskan tidak hanya menukil kitab-kitab otoritatif ( mu’tamad) dalam bidang
fikih melainkan juga memerhatikan adat kebiasaan negeri yang terpuji. 8 Dalam diskursus Hukum
Islam, inkulturasi semacam ini yang terdiri dari aspek doktrinal dan budaya-sosial memang
sebaiknya menjadi perhatian. Tujuannya agar aturan-aturan yang diberlakukan dapat menjadi
solusi sekaligus responsif terhadap permasalahan-permasalahan yang terus bermunculan.9
Referensi ja>wi> yang dimaksud adalah karangan Sayyid Usman, seorang ulama yang berperan
penting membentuk Islam Indonesia dalam tulisan Kaptein.10 Bunyi lengkap judulnya al-Qawa>ni>n
al-Syar’iyyah li Ahli al-Maja>lis al-Hukmiyah wa al-Ifta>iyyah dan pernah dibahasakan Hurgronje
sebagai gids voor de priesterraden (panduan untuk pengadilan agama) di jurnal Verspreide
Geschriften (1924). 11
Dalam tulisan ini, karya tersebut hanya akan ditulis al-Qawa>ni>n al-
Syar’iyyah. Ia terbit setahun sebelum berdirinya peradilan agama 1982.12 Bersama 12 kitab-kitab fiqh
lainnya, yaitu al-Ba>ju>ri>, Fath al-Mu’i>n, Syarqa>wi ‘ala> al-Tahri>r, Qalyu>bi>/Mahalli>, Fath al-
Wahab dengan syarah-nya, Tuhfah, Targi>b al-Musyta>q, Qawa>ni>n al-Syar’iyyah Li al-Sayyid
Suda>qah Dahla>n, Syamsuri> fi> al-Fara>’id, Bughyat al-Mustarsyidi>n, Mughni> al-Muhta>j, ia menjadi

6
Gagasan Ash-Shiddieqi mengenai Fikih Indonesia atau Hazairin mengenai Mazhab Nasional/Indonesia dapat
ditelusuri dari Hasbi Ash-Shiddieqi, Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Zaman (Yogyakarta: IAIN, 1961); Hasbi
Ash-Shiddieqi, ‚Me’moedah’kan Umat,‛ Panji Islam, Maret 1966; Hasbi Ash-Shiddieqi, ‚Tugas Para Ulama dalam
Memelihara dan Mengembangkan Qur’an, Hadits, dan Fiqh dalam Generasi yang Sedang Berkembang,‛ Panji
Masyarakat, Maret 1975; Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tinta Mas, 1982); Hazairin, Tujuh
Serangkai tentang Hukum Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1985); Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat (Jakarta:
Bulan Bintang, 1985).
7
Pernyataan ini tanpa bermaksud mengenyampingkan proses (1) penelitian yurisprudensi, (2) wawancara, (3) studi
perbandingan, (4) Bahtsul masa>’il, (5) Seminar, ataupun (6) Lokakarya. Lihat lebih lanjut dalam Arifin, ‚Kompilasi:
Fiqh dalam bahasa Undang-Undang‛; Ditbinbapera, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Ditbinbapera, 1991); Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997); Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh
Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001).
8
Sayyid Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah (Batavia: Makmur, 1881). Sampul Depan.
9
Ahmad Rajafi, ‚Islam dan Kearifan Lokal: Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia Model Inkulturasi Wahyu dan
Budaya Lokal,‛ Akademika 21, no. 01 (2016): 65–82.
10
Nico JG Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-
1914), trans. oleh M. Yuanda Zara (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017);h.xv. Baca juga dalam Radinal Mukhtar
Harahap, ‚Narasi Pendidikan dari Tanah Betawi: Pemikiran Sayyid Usman tentang Etika Akademik,‛ Journal of
Contemporary Islam and Muslim Societies 2, no. 2 (2019): 174–99 tentang tokoh ini terkait pandangannya di dunia
Pendidikan.
11
Christiaan Snouck Hurgronje, ‚Sajjid Oethman’s Gids Voor de Priesterraden,‛ Verspreide Geschriften 4, no. 1
(1924): 285–303.
12
Muhammad Noupal, ‚Menelusuri Karya Intelektual Sayyid Usman bin Yahya dalam Bidang Fikih,‛ Ijtihad: Jurnal
Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 11, no. 1 (Juni 2011): 61–80.
yurisprudensi hukum Islam dalam lingkup Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, di
zamannya.13
Al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah itu yang akan diperkenalkan dalam tulisan ini dengan
melihat kedudukannya sebagai pedoman para hakim di sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20, dengan menyertakan juga narasi mengenai kandungannya secara umum. Melalui content-
analysis yang didekati lewat sejarah sosial, tulisan ini diharap mampu melengkapi kajian-kajian
terhadap KHI yang dalam penelusuran singkat guna penyusunan artikel ini, masih cenderung
bermotif analisis pasal14, tinjauan legalitas15 atau sedikit menyinggung sejarah perumusan16.

B. Kedudukan al-Qawa>ni>n al-Syar‘iyyah dalam Sejarah Hukum Islam di Indonesia


Perlu diinformasikan terlebih dahulu bahwa jauh sebelum al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah
yang terbit pada periode akhir abad ke-19, terkait tema yurisprudensi karangan Ulama Nusantara,
pada abad ke-16 (1663 M) telah dikenal Mir’at al-Thulla>b fi> Tashil Ma’rifat al-Ahka>m al-
Syar’iyyah li al-Ma>lik al-Wahha>b karangan Abdurrauf bin Ali al-Ja>wi al-Fanshu>ri al-Sinki>li>.
Kitab tersebut, dalam artikel Zionis, disebut telah menjadi rujukan para qa>dhi> di zaman
Kesultanan Aceh sehingga ditenggarai sebagai yurisprudensi pertama yang ditulis Ulama
Nusantara. Memang, bersamaan – bahkan sebelumnya, dikenal juga al-Sira>th al-Mustaqi>m-nya
Syaikh Nuruddin al-Ra>niri> yang juga digunakan sebagai pedoman hakim pada masa Kesultanan
Aceh yang sama. Namun, nama terakhir itu adalah ulama kelahiran India, yang menjadi mufti di
Aceh, untuk kemudian wafat di tanah kelahirannya.17
Selain itu, ada juga Sabi>l al-Muhtadi>n karya Syaikh Arsyad al-Banjari. Kitab berjudul
lengkap Sabi>l al-Muhtadi>n li al-Tafaqquh fi> al-Amri al-Di>n tersebut, dalam sejarahnya, ditulis
atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801 M), atau yang dikenal
sebagai Pangeran Nata Dilaga. Mulai ditulis 1779, ia selesai 1780 (1193-1195 H) untuk kemudian
dicetak

13
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992).h.39-41.
14
Beberapa di antaranya adalah yang dilakukan Lia Murlisa, ‚Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum
Islam Pasal 193 dan Relevansinya dengan Sosial Kemasyarakatan,‛ Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, no. 2 (2015): 281–
97; Abdul Malik Syafe’i, ‚Dekontruksi Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kesaksian Perempuan dalam
Perkawinan,‛ Medina-Te: Jurnal Studi Islam 12, no. 2 (2016): 195–210; Mahmud Huda, ‚Yurisprudensi Isbat Nikah
dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam,‛ Religi: Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2014): 43–71; Syaikhul Hakim,
‚Reaktualisasi Pembagian Harta Bersama Dalam Mazhab Syafii Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,‛
Akademika 9, no. 2 (2015).
15
Beberapa di antaranya adalah Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum
Islam and Legal Practice in The Indonesian Religious Courts, vol. 4 (Amsterdam University Press, 2010); Harahap
dan
Omara, ‚Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-Undangan‛; Hermawan dan Sumardjo,
‚Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Materil Pada Peradilan Agama.‛
16
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta:
Gema Insani, 1996).
17
Zionis Mumazziq Rijal, ‚Al-Sinkili dan Mir’at al-Thullab sebagai Kitab Yurisprudensi Islam Pertama Karya Ulama
Nusantara,‛ Jurnal Pikir: Jurnal Studi Pendidikan dan Hukum Islam 4, no. 1 (2018): 1–15.
1882 (1300 H) di Mekkah, Istanbul dan Kairo secara serentak. 18 Melalui kitab tersebut, dalam
penilaian Halidi, Syaikh al-Banjari telah berhasil melakukan pembinaan terhadap masyarakat
Banjar untuk mengamalkan ajaran Islam yang baru melembaga di masa keberadaannya
mendampingi Sang Sultan.19
Ada garis penghubung antara dua kitab di atas dengan al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah karangan
Sayyid Usman, yaitu, kedudukannya sebagai karya bertulisan ja>wi>; ditulis oleh Ulama Nusantara,
dan berpandangan hukum Islam mazhab Sya>fi’i. Jika Mir’at al-Thulla>b menjadi rintisan
tradisi literasi aksara ja>wi> hingga menjadi lingua franca dan populer di kawasan Nusantara20,
Sabi>l al- Muhtadi>n merupakan yang terluas dan tersistematis di bidang fikih berbahasa Indonesia
(Melayu). 21
Adapun al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah –meminjam ungkapan Noupal adalah
bagian penting dari sejarah hukum Islam, khususnya Peradilan Agama di Indonesia.22
Pernyataan terakhir di atas tentu menarik untuk dicermati. Lebih-lebih jika memerhatikan
bahwa Sayyid Usman adalah adviseur honorair dari Hurgronje yang menjabat sebagai De
Adviseur voor Inlandse (en Arabische) Zaken (Penasihat untuk Urusan Pribumi dan Arab) masa
pemerintahan kolonial.23 Al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah karyanya itu, dalam data sejarah, untuk edisi
yang pertama, terbit setahun sebelum berdirinya Peradilan Agama 1982. Artinya, ada relevansi yang
kuat dari kedudukan Sayyid Usman sebagai penasihat honorer, Al-Qawa>ni>n al-Syar’iyah
sebagai karya fikihnya dan Peradilan Agama sebagai pengguna karyanya. Noupal mengutip
pernyataan Hurgronje bahwa Sayyid Usman memang telah banyak mengetahui penyimpangan
yang dilakukan hakim ataupun penghulu di berbagai daerah dalam memutuskan perkara. Pada
waktu itu, hakim atau penghulu banyak yang mengambil keuntungan untuk pribadinya atau
mengangkat keluarga atau saudara sedaerahnya untuk menjadi hakim.24 Dengan demikian, fakta
sosial tersebut menjadi latar belakang baginya menulis karya ini dengan juga menyertakan
permintaan Hofd Jaksa dan Komandan Mushanif agar diberi penjelasan mengenai aturan-aturan
peradilan agama serta metode pengambilan hukum dari kitab-kitab fikih yang otoritatif
(mu’tamad) yang menjadi latar belakang lahirnya al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah edisi pertama; 58
halaman25 untuk ditulis kembali hingga 128 halaman yang dijadikan objek penelitian tulisan ini.

18
M. Arsyad Al-Banjari, Kitab Sabilal Muhtadin, trans. oleh M. Asywadie Syukur (Surabaya: Bina Ilmu, 1985).h.2.
19
Yusuf Halidi, Syekh Muhammad Al-Banjari: Ulama Besar Kalimantan Selatan: Silsilah Raja-raja yang
Berkuasa Pada Masa al-Banjari dari Lahir Hingga Wafat (Surabaya: Al-Ihsan, 1968).h.25.
20
Rijal, ‚Al-Sinkili dan Mir’at al-Thullab sebagai Kitab Yurisprudensi Islam Pertama Karya Ulama Nusantara.‛h.14.
21
Karel Andrian Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke 19 (Jakarta: Bulan Bintang,
1980).h.4.
22
Noupal, ‚Menelusuri Karya Intelektual Sayyid Usman bin Yahya dalam Bidang Fikih.‛h.70.
23
Francien van Anrooij, De koloniale staat (Negara kolonial) 1854-1942, trans. oleh Nurwahyu W. Santoso dan Susi
Moeimam (Leiden: Nationaal Archief, 2014).h.115.
24
Noupal, ‚Menelusuri Karya Intelektual Sayyid Usman bin Yahya dalam Bidang Fikih.‛
25
Noupal.
Kedudukan lain yang patut untuk dicermati dari karya ini adalah pandangannya yang
bermazhab Sya>fi’i. Pada halaman sampul, Sayyid Usman secara meyakinkan memperkenalkan
dirinya sebagai, “... al-Husaini nasaban wa al-Syafi’i mazhaban.‛26 Kedudukan itu semakin kuat
terasa dengan melihat sumber-sumber rujukan hukum yang dibahasnya, yang bermuara pada
Tuhfah karya Ibnu Hajar, dan Niha>yah karya Al-Ramli; dua ulama Sya>fi’iyyah terkemuka di abad
ke-XVI.27
Bagi Sayyid Usman, bermadzhab –untuk menerjemahkannya sebagai mengikuti perkataan
ulama yang mu’tamad, itu penting dilakukan. Pada fashl pertama karyanya itu, ia menyatakan
bahwa segala nash ulama yang akan dinukilnya adalah berasal dari Alquran, ‚Maka dari itu bahwa
orang yang menurut barang yang ada di dalam ini kitab, maka sesungguhnya ia menurutlah pada
Quran. Ia bukan menurut pada yang mengarang ini kitab sebagaimana sangkanya orang yang bodoh
sebab bahwa yang mengarang ini kitab hakikatnya khadda>m safarah, kuli, yang mengangkat dan
memikul barang yang aneh-aneh buat menyampaikan kepada yang suka menerima padanya.‛28
Sebagai penguat, ia juga menukil pernyataan Imam al-Sya’rani dari kitab Miza>n al-Kubra, yang
menjelaskan perihal keindahan dan kebaikan yang termaktub dalam Alquran ataupun al-Sunnah
29
hanya dapat diperoleh dari penjelasan-penjelasan Imam Mujtahid. Teks lengkap Imam
bermazhab Syafi’i yang hidup di abad ke-9 tersebut diterjemahkan Sayyid Usman sebagai
berikut:30
“Bermula jikalau tiada telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. bagi kita maknanya Alquran
dan Hadis, niscaya tiadalah kita kuasa atas yang demikian itu dan lagi; jikalau tiada telah
dinyatakan bagi kita oleh Rasul saw. dengan segala hadis-hadisnya dalam kelakuan bersuci,
niscaya tiadalah boleh kita dapat kelakuannya itu dari Qur’an. Dan, demikian pula dikata
dalam tiap-tiap yang tersebut di Qur’an yang tiada ketentuan maknanya bagi kita, maka
jikalau tiada hadis-hadis Rasul yang menyatakan maknanya bagi kita niscaya tiadalah kita
dapat mengetahui padanya. Maka; bagi Allah jua rahasia di dalam yang demikian itu yang
tiada dapat diketahui padanya hanya ulama-ulama besar jualah adanya.”
Keterangan mengenai bermazhab ini, besar kemungkinan –meski harus didalami secara
khusus, berhubungan dengan data sejarah yang menyatakan bahwa pada abad ke-19, ide-ide
modernitas (pembaharuan) Islam mulai muncul seiring dengan ekspansi kolonial Eropa. 31 Kaptein
menjelaskan bahwa respon mengenainya digalang oleh reformis Kairo dengan karakteristik utama

26
Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah.
27
Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) .h.111.
28
Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah.h.3.
29
Imam Sya’rani, Al-Mi>za>n al-Kubra al-Sya’ra>niyah: al-Madkhal li Jami>’i Aqwal al-A’immah al-Mujtahidi>n
wa Muqallidihim fi al-Syari>’ah al-Muhammadiyah, ed. oleh Abdul Wa>ris Muhammad Ali, vol. 1 (Libanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 1971).h.47.
30
Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah.h.4.
31
Pada kenyataannya, pembaharuan Islam di Indonesia masuk dalam dua tahap. Tahap pertama adalah masuknya
paham Wahabi yang berasal dari Mekkah dan kemudian bergejolak di Padri-Minangkabau. Tahap kedua adalah ide
pembaharuan yang berasal dari pemikiran Muhammad Abduh melalui majalah al-Manar. Lebih lengkap tentang ini,
baca Afif Azhari dan Mimien Maimunah Zarkasyi, Muhammad Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia (Surabaya: Al-
Ikhlas, 1996).
menyerukan umat agar kembali kepada Islam yang asli sebagaimana dipraktikkan oleh orang-orang
saleh terdahulu (al-Salaf al-Sha>lih). Ide ini dikemudian waktu memunculkan sikap penolakan
terhadap taklid, atau penerimaan buta terhadap otoritas tradisional empat mazhab.32 Di daerah
yang berbeda, di rentang waktu yang tidak terpaut jauh (1921) –di Sumatera Timur; Syaikh Hasan
Maksum juga tercatat menulis Tanqîh az-Zunûn ‘an Masâ’il al-Maimûn, sebagai jawaban atas
problematika munculnya kelompok yang tidak menerima mazhab dan hanya mau berpegang pada
Alquran dan Hadis.33 Bisa jadi, ada semacam tren penolakan mazhab rentang waktu itu di berbagai
daerah di Indonesia.
Terlepas dari itu, keterangan di atas memperkuat anggapan bahwa ada koneksi intelektual
dan jejaring yang kuat antara Ulama Nusantara secara global –dalam mazhab Sya>fi’i. Jika dalam
Jaringan Ulama Azra lebih menekankan kepada aspek tasawuf 34
, maka uraian di atas
membingkainya dalam aspek syariat. Dapat pula disebut bahwa jika Al-Sinkili menempatkan
Mir’at al-Thulla>b-nya di wilayah Kesultanan Aceh, Al-Banjari meletakkan Sabi>l al-Muhtadi>n-nya
bagi masyarakat Banjar, maka Sayyid Usman mempersembahkan al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah pada
persoalan-persoalan hukum Islam yang melembaga di peradilan Agama, di Jawa-Madura maupun
di Luarnya.
Terkait itu, Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai
tindak lanjut dari PP. No. 45 Tahun 1957 memang menyatakan agar para hakim menggunakannya
al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah bersama 12 kitab-kitab fiqh lain, yaitu al-Ba>ju>ri>, Fath al-Mu’i>n,
Syarqa>wi ‘ala> al-Tahri>r, Qalyu>bi>/Mahalli>, Fath al-Wahab dengan syarah-nya, Tuhfah, Targi>b al-
Musyta>q, Qawa>ni>n al-Syar’iyyah Li al-Sayyid Suda>qah Dahla>n, Syamsuri> fi> al-Fara>’id, Bughyat
al-Mustarsyidi>n, dan Mughni> al-Muhta>j, yaitu sebagai pedoman dalam memerika dan memutuskan
perkara pada lingkup Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Hal itu bertujuan agar
didapatkan kesatuan hukum di Pengadilan Agama. Namun, Suma menilai justru penggunaan 13
kitab fikih tersebut –yang di dalamnya termasuk al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah, sebenarnya yang
membelenggu kebebasan para hakim Pengadilan Agama sehingga tidak berani melakukan ijtihad
dan berakibat pada kekurangwibaan Pengadilan Agama saat itu.35 Ia menilai, kekurangwibaan itulah
yang memunculkan gagasan melahirkan KHI.36

32
Kaptein, Islam, Kolonialisme dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914) .h.220.
33
Hasanuddin bin Muhammad Maksum, Tanqîh az-Zunûn ‘an Masâ’il al-Maimûn: Pada Menyatakan Wajib
Percaya Dengan Ulama dan Katanya dan Hukum Nikah Tahlil dan Berdiri Barzanji dan Membaca al-Qur’an
Dengan Tiada Tahu Bahasanya dan Mengaji Sifat Dua Puluh dan Talqin dan Melafazkan Niat Pada Sembahyang
(Medan: Syarikat
Tapanuli, 1352).
34
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar
Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004).
35
Suma, ‚Studi Evaluatif Terhadap Materi dan Dasar Hukum Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam.‛h.183.
36
Suma.h.182-183.
Namun demikian, sebagai data perbandingan, ada baiknya dituliskan di sini analisis Noupal
mengenai kedudukan al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah; (1) ia adalah buku pedoman peradilan pertama
di Indonesia, (2) ia menjadi buku pertama yang menyajikan langkah-langkah penetapan hukum
yang sangat diperlukan hakim dan penghulu saat itu. (3) Ia menjadi masukan bagi pemerintah dalam
37
upaya menciptakan hakim, penghulu dan anggota peradilan agama yang baik. Dari tiga
kedudukan tersebut, terlihat bahwa ia memang memiliki posisi istimewa ditambah dengan melihat
dua kedudukan yang telah dibahas di awal, yaitu ia berperan melestarikan tulisan ja>wi> dari
Ulama Nusantara, dan ia meneguhkan mazhab sya>fi’i sebagai mazhab mayoritas masyarakat
Indonesia.

C. Kandungan al-Qawa>ni>n al-Syar‘iyyah


Al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah yang menjadi objek penelitian ini adalah terbitan kantor cetak al-
Ma’mu>r, keramat 46 Batavia Centrum. Ia terdiri dari 128 halaman, 40 fashl, dan tertulis dicetak
oleh anak Sayyid Usman yang bernama Sayyid Hamid bin Usman bin Yahya. Keterangan ini perlu
disampaikan sebagai informasi bahwa pembaca atau peneliti lain bisa jadi menggunakan edisi
pertama atau versi cetakan lainnya yang berbeda dengan data terungkap dalam bagian tulisan ini.38

Buku ini, dalam ungkapan Sayyid Usman, mempunyai empat kegunaan, yaitu (1)
memudahkan pembaca mendapatkan pengertian mengenai aturan-aturan agama, (2) menunjukkan
kebenaran perkara agama dengan rujukan kitab-kitab yang mu’tamad, (3) memotivasi (me-raghib-
kan) pembaca menuruti kewajiban-kewajiban syara’ demi keridhaan Tuhan Azza wa Jalla, dan (4)
mewanti-wanti (menakutkan) orang yang membaca agar tidak melanggar perteguhan syara’ yang
39
dimaksud. Dari keterangan tersebut, memang tidak muncul kegunaannya sebagai pedoman
hakim. Kegunaan itu muncul dari terjemahan penulisnya atas judul lengkap karyanya tersebut yang
berbunyi al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah li Ahli al-Maja>lis al-Hukmiyah wa al-Ifta>iyyah,
“...Artinya ini kitab segala aturan hukum syara’ bagi ahli majelis hukum syara’ dan majelis fatwa
syara’ yaitu yang dikata raad agama.‛40

Meskipun sepintas terbaca sebagai undang-undang (al-qawa>ni>n), Sayyid Usman tidak


membatasi setiap fashl ditulis untuk permasalahan tertentu sebagaimana pasal-pasal yang terdapat
di Undang-Undang secara umum. Setiap fashl-nya bisa mengandung beberapa masalah yang tidak
ditulis terpisah. Fashl kedua misalnya,41 ia membahas tentang derajat ulama besar yang terdiri dari
ahl ijtiha>d al-mutlaq, ahl ijtiha>d al-mazhab, ahl ijtiha>d al-fatwa, dan ahl al-tarji>h dengan uraian di
tengah-tengah mengenai al-Adillah al-Syar’iyah; Alquran, Sunnah, Ijma>’ dan Qiya>s. Dalam hal itu,

37
Noupal, ‚Menelusuri Karya Intelektual Sayyid Usman bin Yahya dalam Bidang Fikih.‛h.73.
38
Versi Noupal adalah 182 halaman. Baca dalam artikel Noupal.
39
Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah.sampul depan.
40
Usman.
41
Usman.h.6-8.
pendapat ulama-ulama Sya>fi’iyyah selalu menjadi rujukan. Di beberapa tempat, halaman kitab
dicantumkan. Namun, di tempat lain dinafikan. Penerjemahan atas referensi yang dikutip juga
dilakukan tidak terlalu tekstual dan konsisten karena ada yang ditemukan ringkas sepintas lalu dan
ada pula yang panjang lagi mendetail. Dapat pula kiranya disimpulkan bahwa ia memberi
penjelasan secara teknis karena memang ditujukan agar mempermudah pembaca dalam
memahaminya.
Secara umum, berikut adalah 40 fashl yang terdapat dalam kitab tersebut:
1. Pengetahuan bahwa kitab-kitab mu’tamad asalnya adalah Alquran.
2. Sebutan mengenai segala pangkat ulama yang mengarang kitab-kitab mu’tamad.
3. Sebutan artinya khilaf di antara ulama.
4. Menyatakan mana kitab-kitab yang mu’tamad.
5. Aturan mengenal segala ibarat (istilah) dalam kitab Minha>j dan Tuhfah.
6. Menyatakan bahwa pendapatan ilmu lazimnya dengan belajar.
7. Aturan menukil daripada kitab-kitab.
8. Sebutan perihal Qa>dhi> dan Mufti>
9. Sebutan hal-ahwal Qa>dhi>.
10. Sebutan segala kejahatan yang wajib dijauhkannya.
11. Mengenai tiada harus orang yang jahil atau fasik menjadi Qa>dhi>.
12. Sebutan beberapa maksiat yang sering dapat pada yang berhukum.
13. Artinya I<ma>n
14. Perihal menyatakan sahari bulan.
15. Perkara Hibah.
16. Perkara dakwa harta antara laki-bini.
17. Perkara wasiat dan testamen.
18. Perkara nikah dengan beberapa masalah di dalamnya.
19. Perkara kafa>’ah.
20. Perkara mas kawin.
21. Perkara nafkah dan pakaian dan tempat kediaman.
22. Perkara nusyu>z.
23. Perkara perbantahan antara dua laki-istri.
24. Perkara fasakh nikah dengan segala masalahnya.
25. Perihal ta’li>q talaq.
26. Perihal tala>q tanji>z.
27. Perihal macam-macam talaq.
28. Perihal tala>q khal’i.
29. Perihal dakwa batal nikah karena takut pakai muhallil.
30. Perihal ‘iddah.
31. Perihal Qazaf dan Li’a>n.
32. Perihal Hadha>nah.
33. Perihal aturan majelis hukum syara’.
34. Aturan hukum syarak punya duduk majelis hakim.
35. Hakim syara’ punya muhkamkan dengan aturan syara’.
36. Arti lafazh Arab di perihal dakwa.
37. Syarat-syarat dakwa.
38. Dakwa gha>ib.
39. Segala aturan surat-suratan dan buku-buku hukum.
40. Perihal saksi.
Dari daftar di atas, terlihat bahwa al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah untuk diskursus hukum,
tidak sebatas memberi arahan perihal hukum materil, yaitu mengacu pada pendapat mu’tamad para
Imam bermazhab Sya>fi’i, melainkan juga membahas perihal hukum formil seperti keharusan
berguru untuk mendapatkan ilmu42, memahami cara menukil pendapat dari kitab-kitab mu’tamad,
memahami aturan bermajelis, bahkan –untuk panitera, ada aturan tentang surat-menyurat dan buku-
buku hukum. Kepada pemerintah, Sayyid Usman juga mewanti-wanti agar tidak mengangkat hakim
atau mufti yang bodoh dan fasik dengan mengutip banyak teks suci atau pendapat para ulama yang
memuji hakim adil dan mengecam yang bejat.43
Dibandingkan dengan KHI, fashl-fashl yang dirincikan di atas itu terlihat lebih beragam di
banding tiga buku yang membahas perkawinan (Buku I: 170 pasal); warisan (Buku II: 143 pasal)
dan; perwakafan (Buku III: 14 pasal).44 Tetapi, beragamnya pasal bisa jadi membuat pembahasan
tidak sedetail yang dirancang khusus. Paling tidak, perkawinan tetap menjadi perkara yang
45
mendapat perhatian paling banyak, untuk juga terlihat ada masalah waris namun tidak
ditemukannya ruang khusus untuk perwakafan.
Hal yang menarik kemudian adalah perhatian Sayyid Usman yang tidak hanya terbatas pada
hal kontruksi hukum Islam secara materil-formil, melainkan juga kontruksi bangunan Peradilan
Agama yang dijelaskannya berdasarkan nash tuhfah dan nash Ibn Qasim. Penjelasan darinya
adalah sebagai berikut (fashl 33):46
“Sebutan perihal aturan majelis hukum syarak. Bermula hendaklah bahwa majelis itu luas
lagi yang nyata di tengah-tengah Negeri sehingga boleh dapat dikendalikannya oleh
orang- orang Negeri dengan orang-orang gharib. Dan lagi, bahwa majelis itu terang dan
tiada panas dan tiada dingin dan tiada kena abu atau asap dan tiada bau busuk dan bahwa
majelis itu patut dibuat tempat hukum dari hebatnya dan kehormatannya...”

D. Penutup
Sebagai penutup, membaca versi lengkap al-Qawa>ni>n al-Syar’iyyah tentu lebih
direkomendasikan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenainya. Tulisan ini,
sebagaimana dijelaskan sedari awal; hanya bersifat mengenalkan satu-satunya referensi ja>wi> dan
non-Arab yang digunakan dalam merumuskan KHI. Perkenalan melalui tulisan ini diharap mampu
menjadi pengantar untuk mendalaminya. Satu hal yang dapat disimpulkan dari uraian di atas

42
Tentang ini, dapat juga diperdalam dari karyanya yang lain, yaitu Sayyid Usman, Risâlah Dua Ilmu (Batavia, t.t.).
43
Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah.h.34.
44
‚Kompilasi Hukum Islam‛ (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
45
Permasalahan menyelesaikan waris, dapat dirujuk pada karya Sayyid Usman lainnya yaitu Sayyid Usman,
Kita>b ’Ilm Fara>’idh (Petamburan, 1973).
46
Usman, Al-Qawa>ni>n al-Syari’iyah.h.105.
adalah bahwa sejarah telah menampilkan sosok Sayyid Usman yang –terlepas dari kontroversi
beberapa pendapatnya di artikel-artikel lain, telah berhasil meletakkan dasar Hukum Islam yang
melembaga di Peradilan Agama. Selain itu, ia juga menjadi pelestari tulisan ja>wi>
demi kebermanfaatan yang lebih luas di masyarakat. Tidak juga untuk dilupakan adalah mazhab
Sya>fi’i yang menjadi sumber inspirasi tulisannya; yang membuktikan bahwa jaringan intelektual
Ulama Nusantara tidak hanya sebatas tasawuf, melainkan juga ada dalam lingkup syari’at.

E. Daftar Pustaka
Arifin, Bustanul. ‚Kompilasi: Fiqh dalam bahasa Undang-Undang.‛ Journal of Pesantren II, no. 2
(1985): 25–30.
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan
Prospeknya. Jakarta: Gema Insani, 1996.
Ash-Shiddieqi, Hasbi. ‚Me’moedah’kan Umat.‛ Panji Islam, Maret 1966.
———. Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Zaman. Yogyakarta: IAIN, 1961.
———. ‚Tugas Para Ulama dalam Memelihara dan Mengembangkan Qur’an, Hadits, dan Fiqh
dalam Generasi yang Sedang Berkembang.‛ Panji Masyarakat, Maret 1975.
Hakim, Syaikhul. ‚Reaktualisasi Pembagian Harta Bersama Dalam Mazhab Syafii Dan Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia.‛ Akademika 9, no. 2 (2015).
Harahap, Yulkarnain, dan Andy Omara. ‚Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum
Perundang-Undangan.‛ Mimbar Hukum 22, no. III (Oktober 2010): 625–44.
Hazairin. Hukum Islam dan Masyarakat. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
———. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tinta Mas, 1982.
———. Tujuh Serangkai tentang Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Hefni, Moh. ‚Fiqh Lintas Madzhab (Menimbang KHI melalui Penelusuran terhadap Kitab-kitab
Rujukannya).‛ Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 1, no. 1 (Juni 2006): 1–10.
Hermawan, Dadang, dan Sumardjo. ‚Kompilasi Hukum Islam Sebagai Hukum Materil Pada
Peradilan Agama.‛ Yudisia 6, no. 1 (Juni 2015): 24–46.
Huda, Mahmud. ‚Yurisprudensi Isbat Nikah dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam.‛ Religi:
Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2014): 43–71.
Murlisa, Lia. ‚Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 193 dan
Relevansinya dengan Sosial Kemasyarakatan.‛ Jurnal Ilmiah Islam Futura 14, no. 2
(2015): 281–97.
Nurlaelawati, Euis. Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and
Legal Practice in The Indonesian Religious Courts. Vol. 4. Amsterdam University Press,
2010.
Syafe’i, Abdul Malik. ‚Dekontruksi Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kesaksian
Perempuan dalam Perkawinan.‛ Medina-Te: Jurnal Studi Islam 12, no. 2 (2016): 195–210.

Anda mungkin juga menyukai