Oleh:
Intan Nurfadilah
NIM: 20200520100031
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan sangat diperlukan lebih-lebih dalam kehidupan manusia saat ini,
pada zaman era globalisasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan yang
serba cepat dan kompleks, baik yang menyangkut perubahan nilai maupun struktur
yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan pendidikan
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat, tanpa pendidikan
sangat mustahil manusia dapat hidup dan berkembang sejalan dengan perubahan
zaman. (Nurdin, 2008: 35).
Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Djumransjah dan Abdul Malik Karim
Amrullah mengutip pendapat Imam al-Ghazali adalah pendidikan yang mempuyai
tujuan pertama, kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah dekat kepada Allah,
kedua, kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat
(Amrullah, dan Djumransjah. 2007: 73). Sementara Muhammad Athiyah alAbrasyi
(seorang ahli pendidikan Mesir) berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
pembentukan akhlaqul karimah adalah tujuan utama pendidikan Islam. Para ulama dan
sarjana muslim dengan penuh perhatian berusaha menanamkan akhlak mulia yang
merupakan fadhilah dalam jiwa anak didik, sehingga mereka terbiasa berpegang pada
moral yang tinggi dan terhindar dari hal-hal yang tercela dan berpikir secara rohaniah
dan jasmaniah (perikemanusiaan), serta menggunakan waktu untuk belajar ilmu
duniawi dan ilmu keagamaan tanpa memperhitungkan keuntungan-keuntungan materi.
(Amrullah, dan Djumransjah, 2007: 74). Selanjutnya Abuddin Nata memberikan
pengertian, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya (Nata, 2001: 20). Tujuan
pendidikan dalam Islam sejalan dengan pendidikan nasional, dimana tujuannya adalah
membentuk manusia seutuhnya, baik dalam segi jasmani maupun rohani, intelektual
maupun spiritual.
Imam al-Ghazali selain sebagai ulama yang ahli dalam bidang agama,
pandangan beliau tentang pendidikan dapat dibilang sangat lengkap, tidak hanya
menitik beratkan pada nilai-nilai agama Islam, tetapi juga profesional dalam hal
keilmuan. Pendapat alGhazali tentang pendidikan tidak menuntut peran anak didik
untuk patuh terhadap guru pada kondisi apapun, tetapi wajib mematuhi selama tidak
bertentangan dengan perintah Allah. Di sisi lain, al-Ghazali juga menuntut guru untuk
profesional dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang dilarang Allah, karena guru
menjadi teladan bagi murid-muridnya Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim
yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam
masalah pendidikan.
tahun 450 H/ 1058 M, di Desa Teberan, Distrik Thus, Propinsi Khurasan, Persia (Iran). 1
Beliau dijuluki sebagai Hujjat al-Islam (Pembela Islam), Zain al-din (hiasan agama),
Sumber lain menyebutkan bahwa Al-Ghazali lahir di kota Ghazala, sebuah kota kecil
dekat Thus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan
dunia Islam.
Menurut Maulana Syibli Nu’mani, nenek moyang Abu Hamid Muhammad bin
oleh kerena itu dia meletakkan nama famnya “Ghazali” (penenun). Setelah ayah Al-
1
Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, Ihya’ ‘Ulumuddin “Pensucian Jiwa”(Jakarta: Iqra
Kurnia Gemilang, 2005), hlm. 9
2
Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, ibid., hlm. 10
Al-Ghazali adalah seorang murid yang cerdas dan selalu rajin mencatat apa yang
dipelajarinya, tetapi malang dalam suatu perjalanan pulang dia terkena musibah
dirampok orang. Karena mengingat pentingnya buku-buku catatan itu, maka Al-
Ghazali memberanikan diri pergi menghadap kepala perampok untuk meminta agar
adalah sebuah pusat pendidikan yang sangat terpandang dan dipimpin oleh seorang
ulama besar yang bernama Imam Al-Haramain. Beliau memiliki 400 (empat ratus)
orang murid. Kemudian tiga orang dari 400 (empat ratus) orang muridnya tersebut
menjadi ulama besar dan terkenal, yaitu Harrasi, Ahmad bin Muhammad dan Al-
Ghazali.4
Nishapur untuk berangkat menuju kota Baghdad, ibu kota kekhalifahan. Di kota
Baghdad, derajat Al-Ghazali naik pesat khususnya di mata para penguasa, para
pikirannya yang cemerlang, pandangan- pandangannya yang cerdas dan tajam. Beliau
diangkat menjadi Rektor Madrasah Nizamiyah oleh Nizamul Mulk, wazir kepala
3
Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, op. cit., hlm. 10
4
Ibid., hlm. 10
penguasa Turki, Malik Shah. Banyak para penguasa dan kepala-kepala suku yang
datang menghadap beliau untuk meminta fatwa dan perkara teologi dan pendapatnya
tentang cara mengurus Negara. Pejabat kekhalifahan, para bangsawan dan para ulama
seringkali mendengarkan perkuliahan yang disampaikan oleh Al- Ghazali, yang isinya
sarat dengan pemikirannya yang tajam dan argumentasi- argumentasi yang kuat.
Sayyid bin Faris dan Ibn Lubban telah mencatat kurang lebih ada 183 (seratus delapan
puluh tiga) makalah perkuliahan. Kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab yang
pemikiran dan hidupnya itu dituangkan ke dalam bukunya yang berjudul Minquidz
Min al-Dhalal (Lepas dari Kesesatan). Ketika berusia muda, beliau adalah salah
seorang pengikut dari Imam Syafi’i, tetapi ketika berada di kota Baghdad, beliau
Pada usia 27 (dua puluh tujuh) tahun, Al-Ghazali ditasbih oleh Pir Abu ‘Ali
Farnadi, seorang guru spiritual, yang juga merupakan guru spritualnya Wazir Nizamul
Mulk. Kemudian beliau pergi ke Yerusalem dan berziarah ke tempat kelahiran Nabi
Isa Alaihi Sallam. Lalu pada tahun 499 Hijriyah, beliau berziarah ke tempat suci Nabi
5
Al-Ghazali, Ibid., hlm. 10-11
6
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin “Pensucian Jiwa”, op.cit., hlm. 11
7
Al-Ghazali, Ibid., hlm. 12
Ketika pulang, salah seorang penguasa meminta beliau untuk menerima
penguasa itu dibunuh, Al-Ghazali melepaskan jabatan tersebut lalu pergi ke Thus lalu
agar bersedia menduduki kembali jabatan Rektor di sana, tetapi beliau menolaknya.
Pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 19
Desember 1111 Masehi, Al-Ghazali menghadap Ilahi Rabb pada usia 55 tahun di desa
Al-Ghazali menulis buku sejak umur 20 (dua puluh) tahun, beliau melakukan
membaca, menulis dan mengamalkan ilmunya lewat pengajaran ilmu agama. Setiap
harinya beliau harus membahas dan menjawab kurang lebih 200 (dua ribu) pucuk surat
yang berasal dari segala pelosok semenanjung Persia, meminta fatwa, nasehat, patuah
dan putusan. Adapun jumlah buku-buku dan risalah-risalahnya tidak terhitung dan
tidak mudah untuk mengetahui judul-judul seluruh tulisannya. Ada yang mengatakan
bahwa, beliau memiliki sekitar 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) buah
tulisan.9 Menurut Dr. Abdurrahman Badawi dalam bukunya yang berjudul “Mua
8
Al-Ghazali, Ibid., hlm. 12-13
9
Ibid., hlm. 13
B. Karya-karya Imam Al-Ghazali
b. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu
Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini,
Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras;
10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005, hal 79
C. Corak Pemikiran Al-Ghazali
Untuk memahami pemikiran Al-Ghazali, kita buka lembaran-lembaran
pemikir, Al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal empat
disiplin ilmu. Hasil kajiannya yang temuat dalam Al- Munqdidz sangat berpengaruh
pada corak pemikiran filsafatnya dalam mencapai kebenaran yang hakiki. Keempat
disiplin ilmu tersebut ialah ; ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu , dan ilmu tasawuf.
a. Ilmu filsafat
Imam Al-Ghazali adalah seorang tokoh yang juga banyak menulis mengenai
filsafat, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah sebagai
salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang di anggap
pengertian yang sebenarnya, bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau adalah
seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat bahwa Al-
Ghazali sama sekali tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan arti filsafat, tetapi
11
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pustaka Setia : Bandung, 2010, hal 259.
Kritik terhadap para filsuf yang dilakukan oleh Al-Ghazali di dasarkan pada
alasan berikut.
sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan pernyatannya dalam Al-
Munqids, “Orang yang tidak menguasai suatu ilmu secara penuh, tidak akan bisa
menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang
menurutnya (bisa) membahayakan Islam. Musuh Al-Ghazali yang lain adalah aliran
kebatinan. Untuk menghadapi mereka, Al-Ghazali menulis lebih dari satu kitab di
Ibnul Jauzi— menggunakan Islam sebagai kedok, padahal keyakinan dan prilaku
12
Ibid., hal 261.
hanya berada di menara gading dan bersifat elitis, aliran kebatinan bisa merasuki
Tuhan, kehendak tertinggi dan obyek cinta tertinggi, ideal bagi diri manusia,
dipahami Al-Ghazali sebagai realitas akhir yang benar-benar mandiri. Tuhan ada
dengan sendirinya dan bebas dari segala sifat antropormorfostik. Tuhan sadar dan
terperinci tentang segala sesuatu yang menjadi atau bisa menjadi. Tuhan bukanlah
sebuah substansi, juga tidak ada substansi-substansi dalam diri Tuhan. Dia adalah
hubungan identitas sejati tetapi dengan perbedaan nyata. Dunia materi berasal dari
Tuhan seperti mengalirnya sungai. Penciptaan disertai obyek dan tujuan yang pasti.
Maksud yang mendasarinya adalah pengetahuan Tuhan dan cinta Tuhan. Karenanya
Al-Ghazali meyakini kausalitas imanen. Dalam eksistensi fenomena, cara atau sebab
sangat diperlukan, tetapi akhirnya hanya Tuhan-lah satu-satunya sebab sejati bagi
segala akibat. Selain Tuhan, sama sekali tak ada satupun wujud yang memiliki
perbuatan. Dunia dan segala peristiwa di dunia dipandang sebagai mukjizat abadi.
Semua obyek di dunia bukan saja telah diciptakan oleh Tuhan, tetapi dari waktu ke
13
Ibid
14
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam (Pengantar Ke Gerbang Pemikiran), Nuansa : Bandung,
2004, hal 142
eksistensinya melalui perbuatan pribadi Tuhan secara langsung. Maka Tuhan
menciptakan segalanya dalam suatu rangkaian tanpa akhir dengan cepat dan Dia
mencipta, dunia serentak akan lenyap eksistensinya. Dalam realitas, tidak ada sesuatu
pun seperti alam. Esensi benda sesungguhnya ada dalam Wujud tertinggi. Sebab-
akibat adalah ciptaan langsung Tuhan dan perbuatan-Nya. Keterkaitan wajib hanya
berkehendak bahwa kita, diri-diri yang terbatas ini, mesti membayangkan sebuah
b. Tasawuf
Pertama mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mu’amalah dan bagian
Kedua mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu tasawuf
yang mengandung dua bagian ilmu ini secara jelas diuraikan dalam karyanya Ihya’
Ulumuddin. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menyusun menjadi empat bab utama dan
masing-masing bab utama dibagi lagi kedalam sepuluh fasal keempat bab utama itu
adalah pertama tentang ibadah, bab kedua adalah berkenaan dengan adat istiadat, bab
utama ketiga adalah berkenaan dengan hal-hal yang mencelakakan, dan bab utama
15
Ibid.
16
14 Arifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Karya Utama : Surabaya, Tanpa Tahun, hal 183.
Menurut Al-Ghazali perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah
pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus hingga mampu mencapai
pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun
disisi Tuhan.17
beningnya hati itu sendiri. Apabila ia dalam keadaan kotor atau penuh debu dosa maka
Metode pencapaian yang digunakan adalah metode kasyf . Dengan kasyf yaitu
terbukanya dinding yang memisahkan antara hati dengan Tuhan karena begitu bersih
dan beningnya hati tersebut, maka terjadilah musyahadah yang hakiki. Ibarat seorang,
bukan hanya mendengar cerita tentang sebuah rumah, tetapi ia sudah berada dalam
mengartikulasikan konsep tasawuf dan syari’at. Sebab, kalangan muslim sendiri masih
terjadi pertentangan antara kajian yang dilakukan oleh para sufi dan ulama fikih. Kajian
mengenai ilmu bathin sebenarnya pernah dialami AlGhazali dan diungkapkan melalui
17
Ibid., hal 184
18
Ibid
19
Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara ; Surabaya, 2004, hal 194
c. Ilmu Kalam
berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk
berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi. 20
Demikian juga halnya dengan masalah mana yang baik dan mana yang buruk
suatu perbuatan baik kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut
buruk kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Yang dimaksud tujuan di sini adalah
akhirat yang hanya diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya
berbagai macam aliran. Buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu dikajinya
dengan kritis, sehingga jelaslah dasar-dasar akidah yang dijadikan argumen oleh
masing-masing aliran. Tujuan pengkajian ini ialah untuk memelihara akidah umat
dari pengaruh bi’dah yang saat itu telah merajalela. Sebagai contoh, aliran
Mu’tazillah yang ditokohi oleh Wasil bin Atha Abul Huzail. Aliran ini mendapat
pengaruh kuat dari orang- orang Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu tampak dalam
20
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi – Ilmu Kalam), Amzah : Jakarta, 2012, hal 129.
21
Ibid., hal 229.
ajaran- ajarannya seperti keyakinan terhadap kebaruan Al-Qur’an; manusia dengan
akal pemikirannya semata dapat mengetahui adanya Tuhan; cara- cara pembenaran
mengembalikan akidah umat islam pada akidah yang dianut dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
Dan usaha inilah yang disebut sebagai usaha pembaharuan dalam islam, sehingga
tepat kalau Al-Ghazali mendapat gelar sebagai Mujaddidul Khamis ( pembaru kelima
dalam Islam.
d. Moral / Akhlak
berikut, “Akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang mengakar dalam jiwa yang darinya
lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan
pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik
dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. 23
akhlak, yaitu:24
a. Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami cirri
mempelajarinya.
c. Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha
menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus
terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga
24
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005, hal 87
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam (Pengantar Ke Gerbang Pemikiran), Nuansa :
Bandung, 2004
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi – Ilmu Kalam), Amzah : Jakarta, 2012