Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Imam Al-Ghazali dan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Mata Kuliah


Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Sudirman Tamin, MA

Oleh:
Intan Nurfadilah
NIM: 20200520100031

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pendidikan sangat diperlukan lebih-lebih dalam kehidupan manusia saat ini,
pada zaman era globalisasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan yang
serba cepat dan kompleks, baik yang menyangkut perubahan nilai maupun struktur
yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan pendidikan
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat, tanpa pendidikan
sangat mustahil manusia dapat hidup dan berkembang sejalan dengan perubahan
zaman. (Nurdin, 2008: 35).

Bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu


pengetahuan dari hari ke hari semakin berkembang, akhir-akhir ini kita melihat banyak
generasi Islam yang sudah tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh
terhadap kemajuan dunia pendidikan. Mereka kadang meremehkan dengan
mengatakan, ”Di mana tokoh Islam”. Hal ini terjadi karena mereka kurang mengenal
terhadap beberapa tokoh Islam yang berhasil mencetak generasi yang tidak kalah hebat
dengan tokoh pendidikan non-Muslim dalam mencetak generasi berakhlak alkarimah,
disiplin, terhormat, serta bermanfaat untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa.

Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Djumransjah dan Abdul Malik Karim
Amrullah mengutip pendapat Imam al-Ghazali adalah pendidikan yang mempuyai
tujuan pertama, kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah dekat kepada Allah,
kedua, kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat
(Amrullah, dan Djumransjah. 2007: 73). Sementara Muhammad Athiyah alAbrasyi
(seorang ahli pendidikan Mesir) berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
pembentukan akhlaqul karimah adalah tujuan utama pendidikan Islam. Para ulama dan
sarjana muslim dengan penuh perhatian berusaha menanamkan akhlak mulia yang
merupakan fadhilah dalam jiwa anak didik, sehingga mereka terbiasa berpegang pada
moral yang tinggi dan terhindar dari hal-hal yang tercela dan berpikir secara rohaniah
dan jasmaniah (perikemanusiaan), serta menggunakan waktu untuk belajar ilmu
duniawi dan ilmu keagamaan tanpa memperhitungkan keuntungan-keuntungan materi.
(Amrullah, dan Djumransjah, 2007: 74). Selanjutnya Abuddin Nata memberikan
pengertian, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya (Nata, 2001: 20). Tujuan
pendidikan dalam Islam sejalan dengan pendidikan nasional, dimana tujuannya adalah
membentuk manusia seutuhnya, baik dalam segi jasmani maupun rohani, intelektual
maupun spiritual.

Dengan kompleksnya tujuan pendidikan terebut, maka yang dibutuhkan anak


didik tidak hanya tambahan pengetahuan secara intelektual, tetapi juga nilai-nilai moral
yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Oleh karena itu, kehadiran guru sebagai
pendidik, dalam arti selain sebagai pentrasfer pengetahuan juga merupakan
suritauladan bagi anak-anak didiknya, dan diharapkan suritauladan yang telah
dicontohkan itu mampu tercermin dalam perilaku keseharian anak didik di masyarakat.
dengan melihat betapa besarnya peran pendidikan Islam dalam membentuk
kepribadian anak didik, maka penulis ingin mengkaji pendidikan Islam terutama
pendidikan Islam dalam perspektif al-Ghazali.

Imam al-Ghazali selain sebagai ulama yang ahli dalam bidang agama,
pandangan beliau tentang pendidikan dapat dibilang sangat lengkap, tidak hanya
menitik beratkan pada nilai-nilai agama Islam, tetapi juga profesional dalam hal
keilmuan. Pendapat alGhazali tentang pendidikan tidak menuntut peran anak didik
untuk patuh terhadap guru pada kondisi apapun, tetapi wajib mematuhi selama tidak
bertentangan dengan perintah Allah. Di sisi lain, al-Ghazali juga menuntut guru untuk
profesional dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang dilarang Allah, karena guru
menjadi teladan bagi murid-muridnya Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim
yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam
masalah pendidikan.

Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan


mengutamakan beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena
konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi
Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Dengan memahami
dan menjalankan nilai-nilai pendidikan dalam perspektif Imam al-Ghazali, diharapkan
pendidikan yang selama ini berjalan menjadi lebih bermakna, tidak hanya berorientasi
pada hal-hal yang sifatnya materi saja, tetapi juga harus berorientasi pada kehidupan
akhirat kelak. Berpijak pada pemahaman di atas, diharapakan ilmu apapun yang
dipelajari selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat menjadikan pemiliknya
mejadi lebih baik, dan tentunya diharapkan bisa merubah wajah bangsa Indonesia
menjadi negara yang maju, bebas dari korupsi, tidak ada perselisihan, karena para
warganya percaya, bahwa apa yang dilakukan di dunia akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat kelak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, lahir pada

tahun 450 H/ 1058 M, di Desa Teberan, Distrik Thus, Propinsi Khurasan, Persia (Iran). 1

Beliau dijuluki sebagai Hujjat al-Islam (Pembela Islam), Zain al-din (hiasan agama),

Bahr al-mughriq (bahtera yang menghayutkan), dan beberapa julukan lainnya.

Sumber lain menyebutkan bahwa Al-Ghazali lahir di kota Ghazala, sebuah kota kecil

dekat Thus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan

dunia Islam.

Menurut Maulana Syibli Nu’mani, nenek moyang Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad al-Tusi al-Ghazali adalah pemilik sebuah usaha penenunan (Ghazzal),

oleh kerena itu dia meletakkan nama famnya “Ghazali” (penenun). Setelah ayah Al-

Ghazali meninggal, maka pendidikan kedua anak laki-lakinya, Muhammad dan

Ahmad dipercayakan kepada seorang sahabat ayahnya. Keduanya diberikan

pendidikan dasar lalu dikirim ke maktab swasta. Kemudian mereka dimasukkan ke

sebuah madrasah. Beberapa lama waktu berselang Al-Ghazali meninggalkan desa

kelahirannya untuk menempuh pendidikan tinggi di Zarzan dan belajar di bawah

bimbingan seorang ulama besar, yaitu Imam Abu Nashr Ismail.2

1
Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, Ihya’ ‘Ulumuddin “Pensucian Jiwa”(Jakarta: Iqra
Kurnia Gemilang, 2005), hlm. 9
2
Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, ibid., hlm. 10
Al-Ghazali adalah seorang murid yang cerdas dan selalu rajin mencatat apa yang

dipelajarinya, tetapi malang dalam suatu perjalanan pulang dia terkena musibah

perampokan, buku-buku catatannya beserta barang-barang lain miliknya raib

dirampok orang. Karena mengingat pentingnya buku-buku catatan itu, maka Al-

Ghazali memberanikan diri pergi menghadap kepala perampok untuk meminta agar

buku-buku catatannya dikembalikan. Maka setelah permohonan yang penuh harap

dari Al-Ghazali, kepala perampok itu mengembalikan buku-buku catatannya.3

Kemudian dia memasuki Madrasah Nizamiyah di Nishapur, pada waktu itu

adalah sebuah pusat pendidikan yang sangat terpandang dan dipimpin oleh seorang

ulama besar yang bernama Imam Al-Haramain. Beliau memiliki 400 (empat ratus)

orang murid. Kemudian tiga orang dari 400 (empat ratus) orang muridnya tersebut

menjadi ulama besar dan terkenal, yaitu Harrasi, Ahmad bin Muhammad dan Al-

Ghazali.4

Ketika gurunya wafat, maka dengan berat hati Al-Ghazali meninggalkan

Nishapur untuk berangkat menuju kota Baghdad, ibu kota kekhalifahan. Di kota

Baghdad, derajat Al-Ghazali naik pesat khususnya di mata para penguasa, para

menteri, tokoh-tokoh masyarakat dan para petinggi kekhalifahan, karena buah

pikirannya yang cemerlang, pandangan- pandangannya yang cerdas dan tajam. Beliau

diangkat menjadi Rektor Madrasah Nizamiyah oleh Nizamul Mulk, wazir kepala

3
Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, op. cit., hlm. 10
4
Ibid., hlm. 10
penguasa Turki, Malik Shah. Banyak para penguasa dan kepala-kepala suku yang

datang menghadap beliau untuk meminta fatwa dan perkara teologi dan pendapatnya

tentang cara mengurus Negara. Pejabat kekhalifahan, para bangsawan dan para ulama

seringkali mendengarkan perkuliahan yang disampaikan oleh Al- Ghazali, yang isinya

sarat dengan pemikirannya yang tajam dan argumentasi- argumentasi yang kuat.

Sayyid bin Faris dan Ibn Lubban telah mencatat kurang lebih ada 183 (seratus delapan

puluh tiga) makalah perkuliahan. Kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab yang

berjudul Majalis-i Ghazzaliyah.5

Haluan hidup dan pemikiran Al-Ghazali kemudian berubah, beliau lebih

berusaha untuk meraih ketinggian perjalanan spiritual, kondisi perubahan haluan

pemikiran dan hidupnya itu dituangkan ke dalam bukunya yang berjudul Minquidz

Min al-Dhalal (Lepas dari Kesesatan). Ketika berusia muda, beliau adalah salah

seorang pengikut dari Imam Syafi’i, tetapi ketika berada di kota Baghdad, beliau

bergaul dengan banyak orang dari berbagai mazhab fiqh.6

Pada usia 27 (dua puluh tujuh) tahun, Al-Ghazali ditasbih oleh Pir Abu ‘Ali

Farnadi, seorang guru spiritual, yang juga merupakan guru spritualnya Wazir Nizamul

Mulk. Kemudian beliau pergi ke Yerusalem dan berziarah ke tempat kelahiran Nabi

Isa Alaihi Sallam. Lalu pada tahun 499 Hijriyah, beliau berziarah ke tempat suci Nabi

Ibrahim Alaihi Sallam dan disinilah beliau berikrar dan bersumpah.7

5
Al-Ghazali, Ibid., hlm. 10-11
6
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin “Pensucian Jiwa”, op.cit., hlm. 11
7
Al-Ghazali, Ibid., hlm. 12
Ketika pulang, salah seorang penguasa meminta beliau untuk menerima

kedudukan sebagai Rektor di Madrasah Nazamiyah dan beliau menerimanya. Sewaktu

penguasa itu dibunuh, Al-Ghazali melepaskan jabatan tersebut lalu pergi ke Thus lalu

mengucilkan diri di sebuah Khankah. Penguasa yang baru menawarkan kepadanya

agar bersedia menduduki kembali jabatan Rektor di sana, tetapi beliau menolaknya.

Pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 19

Desember 1111 Masehi, Al-Ghazali menghadap Ilahi Rabb pada usia 55 tahun di desa

asalnya, Taberan dan dikuburkan di Thus, Iran.8

Al-Ghazali menulis buku sejak umur 20 (dua puluh) tahun, beliau melakukan

perjalanan dan pengembaraan selama 11 tahun dan menghabiskan waktunya untuk

membaca, menulis dan mengamalkan ilmunya lewat pengajaran ilmu agama. Setiap

harinya beliau harus membahas dan menjawab kurang lebih 200 (dua ribu) pucuk surat

yang berasal dari segala pelosok semenanjung Persia, meminta fatwa, nasehat, patuah

dan putusan. Adapun jumlah buku-buku dan risalah-risalahnya tidak terhitung dan

tidak mudah untuk mengetahui judul-judul seluruh tulisannya. Ada yang mengatakan

bahwa, beliau memiliki sekitar 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) buah

tulisan.9 Menurut Dr. Abdurrahman Badawi dalam bukunya yang berjudul “Mua

‘allafat Al-Ghazali”, menyebutkan, bahwa tulisan-tulisan karya Imam Al-Ghazali

mencapai 457(empat ratus lima puluh tujuh) buah judul.

8
Al-Ghazali, Ibid., hlm. 12-13
9
Ibid., hlm. 13
B. Karya-karya Imam Al-Ghazali

Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, namun disini hanya

sebagian yang dapat di sebutkan yang mana di antaranya adalah:10

a. Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya yang


pertama dan berisi masalah-masalah filsafat;

b. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu
Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini,
Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras;

c. Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu);

d. Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini


merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang
berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat;

e. Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan


sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.

10
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005, hal 79
C. Corak Pemikiran Al-Ghazali
Untuk memahami pemikiran Al-Ghazali, kita buka lembaran-lembaran

karyanya terutama Al-Munqdidz min al-Dhalal. Berkaitan dengan profesinya sebagai

pemikir, Al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal empat

disiplin ilmu. Hasil kajiannya yang temuat dalam Al- Munqdidz sangat berpengaruh

pada corak pemikiran filsafatnya dalam mencapai kebenaran yang hakiki. Keempat

disiplin ilmu tersebut ialah ; ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu , dan ilmu tasawuf.

a. Ilmu filsafat

Imam Al-Ghazali adalah seorang tokoh yang juga banyak menulis mengenai

filsafat, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya Tahafut Falsafah sebagai

salah satu buku yang mengkritik keras terhadap pemikiran para filsuf yang di anggap

menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Namun disisi lain beliau menulis buku

Maqashid Al-Falsafah, yang mana beliau mengemukakan kaidah filsafat untuk

menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika.

Pada prinsipnya, Al-Ghazali tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat dalam

pengertian yang sebenarnya, bukan dalam pengertian awam. Bahkan, beliau adalah

seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat bahwa Al-

Ghazali sama sekali tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan arti filsafat, tetapi

tujuannya hanyalah menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf, dan dalam

bentuknya ditujukan kepada Al-Farabi dan Ibn Sina.11

11
Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pustaka Setia : Bandung, 2010, hal 259.
Kritik terhadap para filsuf yang dilakukan oleh Al-Ghazali di dasarkan pada

alasan berikut.

Pertama. Al-Ghazali tidak memulai serangannya terhadap filsafat, kecuali

setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak disebut

sebagai salah satu filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan pernyatannya dalam Al-

Munqids, “Orang yang tidak menguasai suatu ilmu secara penuh, tidak akan bisa

membongkar kebobrokan ilmu tersebut.” Sebagai bukti penguasaan Al-Ghazali

terhadap filsafat adalah buku Maqashid Al-Falsafah (Maksud-maksud Para Filsuf)

yang oleh Al-Ghazali dimaksudkan sebagai pengantar terhadap Tahafut, di samping

buku-buku yang lain.12

Kedua, beliau mengetahui benar medan yang dihadapinya. Beliau tidak

menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi hanya metafisika yang

menurutnya (bisa) membahayakan Islam. Musuh Al-Ghazali yang lain adalah aliran

kebatinan. Untuk menghadapi mereka, Al-Ghazali menulis lebih dari satu kitab di

antaranya adalah Fadhaih Al-Bathiniyah (Keburukan-keburukan Aliran Kebatinan),

dan Mawahim Al-Bathiniyah (Prasangka-prasangka Kebathinan). Aliran ini lebih

berbahaya daripada filsafat karena mereka – sebagaimana disitir Al-Ghazali dan

Ibnul Jauzi— menggunakan Islam sebagai kedok, padahal keyakinan dan prilaku

mereka yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Kalau filsafat

12
Ibid., hal 261.
hanya berada di menara gading dan bersifat elitis, aliran kebatinan bisa merasuki

masyarakat luas dalam berbagai bentuk sesuai dengan yang dirasukinya.13

Tuhan, kehendak tertinggi dan obyek cinta tertinggi, ideal bagi diri manusia,

dipahami Al-Ghazali sebagai realitas akhir yang benar-benar mandiri. Tuhan ada

dengan sendirinya dan bebas dari segala sifat antropormorfostik. Tuhan sadar dan

memiliki kesadaran dengan sendirinya, dan kesadaran-Nya meliputi pengetahuan

terperinci tentang segala sesuatu yang menjadi atau bisa menjadi. Tuhan bukanlah

sebuah substansi, juga tidak ada substansi-substansi dalam diri Tuhan. Dia adalah

satu-satunya sebab sejati.14

Hubungan antara Tuhan dengan alam semesta dipahami Al-Ghazali sebagai

hubungan identitas sejati tetapi dengan perbedaan nyata. Dunia materi berasal dari

Tuhan seperti mengalirnya sungai. Penciptaan disertai obyek dan tujuan yang pasti.

Maksud yang mendasarinya adalah pengetahuan Tuhan dan cinta Tuhan. Karenanya

Al-Ghazali meyakini kausalitas imanen. Dalam eksistensi fenomena, cara atau sebab

sangat diperlukan, tetapi akhirnya hanya Tuhan-lah satu-satunya sebab sejati bagi

segala akibat. Selain Tuhan, sama sekali tak ada satupun wujud yang memiliki

perbuatan. Dunia dan segala peristiwa di dunia dipandang sebagai mukjizat abadi.

Semua obyek di dunia bukan saja telah diciptakan oleh Tuhan, tetapi dari waktu ke

waktu selama obyek-obyek itu ada, semuanya diciptakan atau dipertahankan

13
Ibid
14
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam (Pengantar Ke Gerbang Pemikiran), Nuansa : Bandung,
2004, hal 142
eksistensinya melalui perbuatan pribadi Tuhan secara langsung. Maka Tuhan

menciptakan segalanya dalam suatu rangkaian tanpa akhir dengan cepat dan Dia

menciptakan setiap kondisi dan situasi baru yang dibutuhkan oleh

perubahanperubahan di dunia ini. Andaikan Tuhan menghentikan aktivitas-Nya

mencipta, dunia serentak akan lenyap eksistensinya. Dalam realitas, tidak ada sesuatu

pun seperti alam. Esensi benda sesungguhnya ada dalam Wujud tertinggi. Sebab-

akibat adalah ciptaan langsung Tuhan dan perbuatan-Nya. Keterkaitan wajib hanya

bisa dipahami sebagai sesuatu bergantung kepada kehendak Tuhan. Tuhan

berkehendak bahwa kita, diri-diri yang terbatas ini, mesti membayangkan sebuah

hubungan antara dua peristiwa. Di luar ini, kausalitas tidak berarti.15

b. Tasawuf

Dalam pandangan Al-Ghazali, ilmu tasawuf mengandung dua bagian penting,

Pertama mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mu’amalah dan bagian

Kedua mengandung bahasa hal-hal yang menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu tasawuf

yang mengandung dua bagian ilmu ini secara jelas diuraikan dalam karyanya Ihya’

Ulumuddin. Dalam kitab ini, Al-Ghazali menyusun menjadi empat bab utama dan

masing-masing bab utama dibagi lagi kedalam sepuluh fasal keempat bab utama itu

adalah pertama tentang ibadah, bab kedua adalah berkenaan dengan adat istiadat, bab

utama ketiga adalah berkenaan dengan hal-hal yang mencelakakan, dan bab utama

keempat berkenaan dengan maqamat dan ahwal.16

15
Ibid.
16
14 Arifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Karya Utama : Surabaya, Tanpa Tahun, hal 183.
Menurut Al-Ghazali perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah

pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus hingga mampu mencapai

musyahadah. Oleh karena itulah, maka Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya

pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun

disisi Tuhan.17

Menurut Al-Ghazali, hati (qalbu) ibarat cermin yang mampu menangkap

ma’rifat keTuhanan. Kemampuan hati tersebut tergantung pada bersihnya dan

beningnya hati itu sendiri. Apabila ia dalam keadaan kotor atau penuh debu dosa maka

ia tidak akan bisa menangkap ma’rifat itu.18

Metode pencapaian yang digunakan adalah metode kasyf . Dengan kasyf yaitu

terbukanya dinding yang memisahkan antara hati dengan Tuhan karena begitu bersih

dan beningnya hati tersebut, maka terjadilah musyahadah yang hakiki. Ibarat seorang,

bukan hanya mendengar cerita tentang sebuah rumah, tetapi ia sudah berada dalam

rumah itu menyaksikan dan merasakannya.

Di bidang tasawuf, Al-Ghazali dianggap sebagai penengah dalam

mengartikulasikan konsep tasawuf dan syari’at. Sebab, kalangan muslim sendiri masih

terjadi pertentangan antara kajian yang dilakukan oleh para sufi dan ulama fikih. Kajian

mengenai ilmu bathin sebenarnya pernah dialami AlGhazali dan diungkapkan melalui

ritual ibadah yang dilakukannya.19

17
Ibid., hal 184
18
Ibid
19
Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara ; Surabaya, 2004, hal 194
c. Ilmu Kalam

Sebagai salah satu tokoh Al-Asy’ariyah pada generasi kelima, AlGhazali

berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk

berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi. 20

Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-

kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu.

Demikian juga halnya dengan masalah mana yang baik dan mana yang buruk

menurut Al-Ghazali akal tidak dapat mengetahuinya. Selanjutnya dikatakan bahwa

suatu perbuatan baik kalau perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut

buruk kalau tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Yang dimaksud tujuan di sini adalah

akhirat yang hanya diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya

diketahui melalui wahyu.21

Mula-mula Al-Ghazali mendalami pemikiran kaum Mutakallimin dari

berbagai macam aliran. Buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu dikajinya

dengan kritis, sehingga jelaslah dasar-dasar akidah yang dijadikan argumen oleh

masing-masing aliran. Tujuan pengkajian ini ialah untuk memelihara akidah umat

dari pengaruh bi’dah yang saat itu telah merajalela. Sebagai contoh, aliran

Mu’tazillah yang ditokohi oleh Wasil bin Atha Abul Huzail. Aliran ini mendapat

pengaruh kuat dari orang- orang Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu tampak dalam

20
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi – Ilmu Kalam), Amzah : Jakarta, 2012, hal 129.
21
Ibid., hal 229.
ajaran- ajarannya seperti keyakinan terhadap kebaruan Al-Qur’an; manusia dengan

akal pemikirannya semata dapat mengetahui adanya Tuhan; cara- cara pembenaran

agama dengan alasan-alasan pikiran; al-manzili baina al- manzilatain (tempat

diantara dua tempat), dan lain-lain. Untuk mempertahankan pendapat –pendapat


22
mereka para tokoh aliran ini tekun mempelajari filsafat Yunani. Inilah yang

dikoreksi, dikritik, dan kemudian ditentang Al-Ghazali. Beliau berusaha

mengembalikan akidah umat islam pada akidah yang dianut dan diajarkan oleh Nabi

Muhammad SAW.

Dan usaha inilah yang disebut sebagai usaha pembaharuan dalam islam, sehingga

tepat kalau Al-Ghazali mendapat gelar sebagai Mujaddidul Khamis ( pembaru kelima

dalam Islam.

d. Moral / Akhlak

Al-Ghazali memberikan sebuah definisi terhadap akhlak / moral sebagaimana

berikut, “Akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang mengakar dalam jiwa yang darinya

lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan

pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik

dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. 23

22 Ahmad Hanafi, Theologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1974, Hal 41-4


23 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang ; Jakarta, 1989, hal 124
Al-Ghazali membagai dalam sebuah tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari

akhlak, yaitu:24

a. Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami cirri

kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi prilaku orang yang

mempelajarinya.

b. Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan prilaku seharihari.

c. Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha

menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus

terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga

akhlak menjadi subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri

24
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005, hal 87
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara ; Surabaya, 2004

Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang ; Jakarta, 1989

Ahmad Hanafi, Theologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1974

Al-Ghazali dikutip oleh Muhammad Ereska, Ihya’ ‘Ulumuddin “Pensucian Jiwa”Jakarta:

Iqra Kurnia Gemilang, 2005

Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam (Pengantar Ke Gerbang Pemikiran), Nuansa :

Bandung, 2004

Arifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Karya Utama : Surabaya, Tanpa Tahun

Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Pustaka Setia : Bandung, 2010

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta, 2005

M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam (Teologi – Ilmu Kalam), Amzah : Jakarta, 2012

Anda mungkin juga menyukai