Anda di halaman 1dari 17

TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)

Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI

Fajri Syahrusyam
Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Al-Hikam Malang, Indonesia
Email: Fsyahrusyam@gmail.com

Abstract
Abstraksi: The purpose of this article is to analyze the conception of Islamic Education from Al-
Ghazali's perspective. This article uses library research to review Al-Ghazali's Thoughts and
Conceptions about Islamic Education. The results show that Al-Ghazali has a deep understanding
of Islamic Education. He also expressed his thoughts and understanding of education
management, managing students, educators, methods in educating, managing curriculum and
evaluation in education. This paper concludes that Education according to Al-Ghazali is a process
of humanizing human beings At the end of their lives, they approach themselves to God so that
they get happiness in the world and the hereafter.

Keywords: Islamic Education, Al-Ghazali’s Thought, Perspective

Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan satu dari banyak ilmu yang perlu diutamakan. Beragam
jenis kitab fiqh, tauhid, tafsir, hadith, ilmu-ilmu ‘ulum, sirah nabawi, akhlak, balaghah dan
bahasa Arab telah ditulis oleh para ulama. Diantara tokoh-tokoh ilmu Pendidikan Islam ialah
Ibnu Maskawaih, al-Qabisi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Shahnun, Al-Ghazali dan banyak
lagi tokoh yang tidak bias disebutkan satu-persatu. Dalam tulisan ini hanya membahas secara
singkat model pemikiran pendidikan Islam menurut pemikiran Al-Ghazali.
Bersamaan dengan dunia yang terus berkembang ini, modernisasi dan pengembangan
ilmu pengetahuan dari hari ke hari semakin maju, akhir-akhir ini kita dapat melihat bahwa
banyak generasi Islam yang sudah tidak mengenali para tokoh Islam yang sangat berperan
penting terhadap kemajuan dunia pendidikan. Mereka sering meremehkan dengan mengatakan,
”Dimana tokoh Islam?” Hal ini bias terjadi karena mereka yang kurang mengenal pada beberapa
tokoh Islam yang berhasil mencetak generasi yang tidak kalah hebatnya dengan tokoh
pendidikan non-Muslim dalam mencetak generasi berakhlak al-karimah, disiplin, terhormat,
serta bermanfaat untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa.
Terkait pandangan pada beberapa hal tersebut, mengenal para tokoh pendidikan Islam
merupakan salah satu langkah yang harusnya dilakukan, dimiliki, dihayati dan wajib menjadi
kebanggaan untuk selalu mengangkat harkat dan martabatnya serta mensosialisasikan
dikalangan umum. Dengan begitu, generasi muda penerus Islam bisa bangga bahwa mereka
mempuyai tokoh yang pantas untuk dijunjung tinggi martabatnya sebagai pelita penerang yang
melahirkan konsep, teori, dan fatwa yang dijadiakn referensi generasi berikutnya dalam
kehidupan berbangsa dan beragama.
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pandangan dan pemikirannya
1
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

sangat luas juga mendalam pada berbagai aspek diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada
hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa aspek
terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu, karena konsep pendidikan yang
dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip
pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui
konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini, pembahasan di dalamnya akan membahas
siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya.
Al-Ghazali merupakan tokoh filosof Islam yang begitu terkenal, bukan hanya dalam
kalangan umat Islam, bahkan juga terkenal dikalangan orang non Islam. Kehebatan al-Ghazali
telah memberi kesan yang mendalam di jiwa umat Islam dari segi pemikiran, budi pekerti, dan
pendidikan. Keilmuannya begitu meluas dalam berbagai bidang ilmu terutama dalam bidang
falsafah, akidah, fiqh, ilmu kalam, tasawuf, pendidikan, politik dan sebagainya. Serta dengan
berbagai karya tulis ilmiah yang dikarangnya.
Artikel ini akan membahas mulai dari biografi al-Ghazali, latar belakang pendidikan,
karya-karya yang dikarang oleh beliau dan model pemikiran pendidikan menurut beliau. Dalam
kurikulum Pendidikan Islam pula menyentuh tujuan pendidikan, tugas dan tanggung jawab guru
dan pelajar, metode yang disarankan dan digunakan oleh al-Ghazali.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka (library
research) dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penulis dalam hal ini berupaya
mengumpulkan data-data kepustakaan terkait konsep pemikiran Al-Ghazali terkait pendidikan
islam yang meliputi manajemen pendidikan, mengelola peserta didik, pendidik, metode dalam
mendidik, mengelola kurikulum dan evaluasi dalam pendidikan baik melalui buku-buku ataupun
sumber lain seperti artikel atau penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan topic
tersebut. Kumpulan konsep pendidikan islam Al-Ghazali kemudian dianalisis isinya untuk
kemudian menentukan tema-tema yang terkait dengan konsep pendidikan islam dalam
perspektif A-Ghazali.

Pembahasan
Sekilas Biografi Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Beliau dilahirkan di Thus, sebuah Kota di
Khurasan Persia pada tahun 450 H. atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wol. Imam Al-
Ghazali mempunyai 1 orang saudara, ketika akan meninggal ayahnya berwasiat kepada sahabat
setia agar kedua putranya ini diasuh dan disempurnakan pendidikannya. Sahabat tersebut
kemudian segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali dengan mendidik dan menyekolahkan
keduanya. Setelah harta pusaka yang ditinggalkan ayahnya habis, sahabat ayahnya berpesan agar
meneruskan mencari ilmu semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak
pencinta ilmu pengetahuan dan pencari kebenaran yang hakiki, walaupun diterpa duka cita,

2
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

dilanda berbagai macam nestapa dan sengsara. Pada masa kanak-kanaknya, Imam Al-Ghazali
belajar kepada Imam Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus, lalu belajar kepada Abi Nasr
Al-Ismaili di Jurjani dan pada akhirnya ia kembali ke Thus.1
Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama
kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain. Dari beliau-lah Imam
Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam Al-Ghazali terkenal
sebagai seorang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan logika
dan penalaran yang jernih, sehingga Imam Juwaini memberi predikat sebagai orang yang
memiliki ilmu sangat luas bagaikan “laut dalam nan menenggelamkan”.2
Pada saat Al-Ghazali ikut dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual
di hadapan Nidzam Al-Mulk, hal tersebut membawa keuntungan besar baginya. Nidzam Al-
Mulk berjanji akan mengangkat Al-Ghazali sebagai guru besar pada Universitas yang
didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. Setelah empat tahun ia mengajar di
universitas tersebut, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalkan Baghdad.
Setelah itu ia pergi ke Syam, hidup dalam Jami Umawi dengan kehidupan total yang penuh
dengan ibadah kepada Allah, dilanjutkan ke padang pasir untuk meninggalkan mewahnya
kehidupan dunia dan mendalami agama.
Setelah itu, iapun kembali ke Baghdad dan kembali mengajar disana. Selain mengajar, ia
juga suka menulis buku atau kitab. Kitab pertama yang dikarangnya adalah ”Al-Munqidz min al-
Dhalal”. Setelah sepuluh tahun di Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan sibuk mengajar di sana.
Dalam waktu yang singkat setelah itu, beliau meninggal di Thus kota kelahiranya pada hari
Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau 1111 M.
Al-Ghazali banyak mengarang berbagai kitab dalam disiplin ilmu. Karangan-
karangannya meliputi Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Teologi Kaum Salaf, bantahan terhadap
kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan khususnya yang menjelaskan tentang maksud filsafat
serta bantahan terhadap kaum filosof, logika, tasawuf, akhlak dan psikologi. Kitab terbesar karya
Imam Al-Ghazali yaitu Ihya ‘Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), karangannya ini
menjadi pembicaraan yang hangat pada beberapa tahun, dan banyak dipelajari secara seksama di
Negara-negara besar seperti Syam, Yerussalem, Hajaz, dan Thus. Karyanya berisi paduan yang
sangat indah antara fikih, tasawuf dan filsafat; bukan hanya terkenal di kalangan kaum Muslimin
tetapi juga di kalangan dunia Barat. Bukunya yang lain yaitu Al-Munqidz min al-Dhalal
(Penyelamat dari Kesesatan) berisikan sejarah perkembangan alam pikiran dan mencerminkan
sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan yang
Esa. Banyak penulis modern yang mengikuti jejak Al-Ghazali dalam menuliskan
autobiografinya. Adapun berbagai karya Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut3:
a. Di Bidang Filsafat
– Maqasid al-Falasifah
– Tafahut al-Falasifah
1
Abu Hamid Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin (Bandung: Penerbit Mizan, 2001).
2
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali (Jakarta: Guna Aksara, 1986).
3
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (Yogyakarta: Islamika, 2003).
3
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

– Al-Ma’rif al-‘Aqliyah
b. Di Bidang Agama
– Ihya ‘Ulumuddin
– Al-Munqidz min al-Dhalal
– Minhaj al-Abidin
c. Di Bidang Akhlak-Tasawuf
– Mizan al-Amal
– Kitab al-Arbain
– Mishkat al-anwar
– Al-Adab fi al-Din
– Ar-Risalah al-Laduniyah
d. Di Bidang Kenegaraan
– Mustazhiri
– Sirr al-Alamin
– Nasihat al-Muluk
– Suluk al-Sulthanah

Pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali


Tujuan Pendidikan
Imam Al-Ghazali menitik beratkan tugas pendidikan itu mengarah pada realisasi tujuan
keagamaan dan akhlak, yang mana taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting
dalam pendidikan. Menurutnya pula manusia dapat mencapai kesempurnaan bilamana ia mau
berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkannya melalui ilmu pengetahuan yang ia
pelajari. Fadhilah ini selanjutnya dapat membawanya untuk lebih dekat kepada Allah dan
akhirnya membahagiakan dikehidupan di dunia dan di akhirat.4
Menurut Imam Al-Ghazali tujuan utama dari pendidikan Islam ialah ber-taqarrub
kepada Allah Sang Khaliq, dan manusia yang paling sempurna dalam pandangannya adalah
manusia yang selalu mendekatkan dirinya kepada Allah. Agar system pendidikan itu tercapai,
dua faktor asasi berikut ini mutlak adanya: Pertama, berbagai aspek ilmu pengetahuan yang
harus dibekalkan pada murid atau dalam artian ialah kurikulum pelajaran yang harus dicapai
oleh murid. Kedua, metode yang telah digunakan untuk menyampaikan berbagai ilmu atau
kurikulum kepada murid, sehingga ia benar-benar menaruh perhatiannya kepada kurikulum dan
dapat menyerap faidahnya. Dengan ini, murid akan sampai kepada tujuan pendidikan dan
pengajaran yang dicari.5
Dari hasil penelitian terhadap pemikiran Al-Ghazali, dapat dipahami dengan jelas, bahwa
tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua, yaitu tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena itu ia berkeinginan untuk
4
Hamdani Ihsan and Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
5
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pikiran Al Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu (Bandung: Penerbit Diponegoro,
1986).
4
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dari
maksud pendidikan itu. Tujuan itu terlihat religious dan moral, tanpa mengabaikan masalah
duniawi.6
Berdasarkan uraian tersebut, dapat kita pahami bahwa Al-Ghazali sangat menekankan
tujuan pendidikannya pada pembentukan agama dan akhlak seseorang dimana taqarrub kepada
Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan untuk menjadikan seseorang
menjadi insan paripurna yang nantinya akan membuatnya hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
Pendidikan adalah aspek yang amat penting bagi kehidupan manusia. Tujuan pendidikan
Islam ialah menciptakan peserta didik yang berkompeten dari aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik berdasarkan nilai-nilai Islam. Lembaga pendidikan Islam adalah wadah dan sistem
dalam memproses peserta didik sebagai pribadi yang unggul. Pengelola lembaga merupakan
factor utama yang melakukan usaha dalam memperbaiki mutu pendidikan di lembaganya7.
Al-Ghazali terus menyandarkan semua pendapat dan gagasannya dengan dasar Al-Qur’an
dan hadist. Kemudian terkadang juga dikuatkan dengan pendapat/hadis sahabat. Salah satu
contoh yang disandarkan pada hadis yaitu tentang wajibnya mencari ilmu, Al-Ghazali dalam
kitab Ihya‟ Ulum al Din merujuk pada hadis Nabi saw. Mencari ilmu wajib atas setiap muslim.
Karena dengan ilmulah orang biasa dapat memahami tentang rukun Islam dan bagaimana cara
mengamalkannya, tanpa ilmu juga orang tidak mungkin tahu tata cara mengerjakan sesuatu yang
diperintahkan seperti ibadah8. Al-Ghazali memandang manusia sebagai mahluk teosentris.
Sehingga dia menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan bukan hanya sekedar mencedaskan
pikiran saja, melainkan juga berusaha untuk membimbing, mengarahkan, meningkatkan dan
mensucikan hati untuk menghadap kepada Allah.
Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulum al Din dan Bidayat al- Hidayah memosisikan
ilmu itu pada posisi yang pertama disebutkan bahwa sebaiknya dalam melakukan sesuatu itu
didasari oleh ilmu, ini menandakan bahwa ilmu itu adalah hal yang penting dan harus dilalui
dulu. Karena menurutnya petunjuk itu datang melalui ilmu terlebih dahulu. Hal ini berarti bahwa
manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid9. Menurut Al-Ghazali mencari ilmu itu harus
bersih hatinya dari sifat yang tercela, agar dalam proses belajarnya pencari ilmu itu tenang
sehingga ilmu yang ia pelajari mudah untuk diterima. Ditinjau dari niatnya dalam mencari ilmu,
Imam Al- Ghazali mengategorikan orang mencari ilmu itu menjadi tiga:
a. Orang yang mencari ilmu untuk bekal di akhirat. Dalam hal ini pencari ilmu tidak
pernah mempunyai niat untuk yang lain, ia semata-mata hanya mencari
keridhoan Allah serta mencari kebahagiaan akhirat. Maka baginya termasuk
golongan orang-orang yang beruntung.
b. Orang yang mencari ilmu agar dengan ilmu itu ia mendapatkan derajat,
pangkat, dan harta. Orang yang mencari ilmu dengan niat yang seperti

6
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
7
Wahyudi & Rouf, 2012
8
Tafsir, 1992, p. 78
9
Nisa’, 2016
5
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

itu maka ia termasuk apes karena niatnya yang salah, dan dikhawatirkan ia
termasuk su’ul khotimah, karena niat yang salah itu bisa merusak amalnya.
c. Orang yang mencari ilmu namun ia terkalahkan dengan hawa nafsunya. Ilmunya
digunakan untuk hal-hal duniawi, memperbanyak harta, menyombongkan diri,
mencari jabatan, dan kemuliaan, Golongan ini termasuk dalam golongan orang yang rugi.
Ketika asas-asas yang digunakan itu berasal dari bidang-bidang ilmu lain yang diadopsi
sesuai dengan pandangan Al-Qur’an dan hadist, maka hasilnya juga tidak boleh bertentangan
dengan apa yang seharusnya diajarkan oleh ajaran agama. Dalam proses mensosialisasikan nilai-
nilai Islam dalam praktik pendidikan menurut Al-Ghazali tidak harus melalui suatu institusi,
karena menurut Al-Ghazali guru bisa dengan siapa dan dimana saja, menurutnya bertanya
kepada sesorang tentang suatu hal yang berhubungan dengan ilmu, itu juga termasuk guru. Al-
Ghazali termasuk orang yang banyak mencurahkan pemikirannya terhadap bidang pengajaran
dan pendidikan. Oleh karena itu menurutnya ilmu itu adalah keutamaan yang melebihi apapun.
Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya merupakan tujuan pendidikan dengan melihat nilai serta
kandungnya dan karena ilmu itu adalah jalan yang akan mengantarkan seseorang kepada
kebahagiaan di akhirat juga sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah10.
Oleh karenanya ia menyimpulkan bahwa pendidikan ialah proses memanusiakan manusia
sejak lahirnya didunia hingga akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan melalui bentuk pengajaran secara bertahap pada proses pengajaran itu menjadi
tanggung jawab orang tua dan masyarakat disekitarnya.
Maka sistem pendidikan itu haruslah mengacu kepada tujuan yang jelas. Tujuan dari
mencari ilmu menurut Al-Ghazali tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah, dan
termasuk dari metode penyampaian ilmu adalah pengajaran. Pendidikan adalah satu-satunya
keutamaan, menyangkut harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Ia
menyatakan bahwa kemajuan suatu masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada pendidikan.
Dalam pandangannya ilmu adalah rangking pertama dalam ibadah. Di samping itu, terkesan kuat
bahwa manusia, menurut Al-Ghazali dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling
terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit11.

Kurikulum Pendidikan
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-
ilmu agama yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Al-Ghazali agaknya
menginginkan bahwa umat Islam memiliki gambaran yang makro, dan utuh tentang agama, yang
diyakininya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan landasan yang dipahami dengan sungguh-
sungguh yang pada kenyataannya kemudian menjadi cara berpikir yang penting dalam
memberikan kerangka bangunan ilmu pengetahuan.12

10
Nizar, 2002, p. 47
11
Abdullah, 2002, pp. 9–19
12
Amie Primarni and Khairunnas, Pendidikan Holistik: Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter
Paripurna (Jakarta: AMD Press, 2016).
6
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

Beliau telah membagi ilmu pengetahuan yang terlarang dipelajari atau wajib dipelajari
oleh anak didik menjadi tiga kelompok ilmu, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tak ada manfaatnya bagi manusiadi dunia
ataupun di akhirat, misalnya ilmu sihir, nujum, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini
dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan kebenaran adanya Allah.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit, misalnya ilmu tauhid, ilmu agama. Ilmu ini jika
dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang bersih dari kerendahan dan keburukan
serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, ang tidak boleh didalami, karena ilmu ini dapat
membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad, misalnya ilmu filsafat.13
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok
dilihat dari kepentingannya, yaitu:
1) Ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain yang wajib dipelajari oleh semua orang Islam meliputi
ilmuilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan hadits.
2) Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim. Ilmu ini adalah ilmu
yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, misalnya ilmu hitung
(matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.
Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah
sebagai berikut:
a) Ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fikih, hadits dan tafsir.
b) Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafaz-lafaznya, karena ilmu ini berfungsi
membantu agama.
c) Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, dan teknologiyang
beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
d) Ilmu kebudayaan seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Dalam membuat sebuah kurikulum pendidikan, Al-Ghazali memiliki dua kecenderungan
sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan terhadap agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-
Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk
menyucikan dan membersihkan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Kecenderungan ini
membuat Al-Ghazali lebih mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini
berkaitan erat dengan ilmu agama.
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulis Al-
Ghazali. Dia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang
tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam
bentuk amaliyah. Setiap amaliah yang disertai ilmu harus pula disertai dengan kesungguhan dan
niat yang tulus ikhlas.14

13
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).
14
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.
7
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam penyusunan
kurikulum pendidikan, Al-Ghazali memberikan perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama, karena
dengan bermodalkan ilmu-ilmu agama tersebut, seseorang dapat beramal dengannya dan meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Pendidik
Menurut Al-Ghazali pendidik merupakan muslihul kabir. Bahkan dapat dikatakan pula,
pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan kedua orang tuanya. Itu lantaran kedua orang
tuanya menyelamatkan anaknya dari sengatan api dunia, sedangkan para pendidik
menyelamatkannya dari sengatan api neraka.15 Al-Ghazali seorang pendidik Islam memandang
bahwa seorang pendidik mempunyai kedudukan utama dan sangat penting. Beliau
mengemukakan tentang mulianya pekerjaan mengajar dengan perkataannya:
“Seorang alim yang mau mengamalkan apa yang telah diketahuinya, dinamakan seorang
besar di semua kerajaan langit. Dia seperti matahari yang menerangi alam-alam yang lain,
dia mempunyai cahaya dalam dirinya, dan dia seperti minyak wangi yang mewangikan
orang lain, karena ia memang wangi. Barang siapa yang memiliki pekerjaan mengajar, ia
telah memiliki pekerjaan yang besar dan penting. Maka dari itu, hendaklah ia mengajar
tingkah lakunya dan kewajiban-kewajibannya.”16
Dari kata-kata beliau di atas dapat kita lihat seberapa tingginya penghargaan beliau
terhadap seorang guru. Hingga beliau mengumpamakan seorang guru itu seperti matahari yang
menerangi dunia dan seperti minyak wangi yang memberikan keharuman bagi orang lain.
Al-Ghazali mengibaratkan guru sebagai seorang penjaga dan pengaman ilmu. Diantara
kewajibannya ialah tidak kikir dengan ilmunya kepada muridnya dan tidak pula berlebihan
memberikannya, baik murid itu pandai ataupun bodoh. Menurut Al-Ghazali, terdapat beberapa
sifat penting yang harus dimiliki oleh guru sebagai orang yang diteladani, yaitu: (1) Amanah dan
tekun bekerja; (2) Bersifat lemah lembut dan kasih sayang terhadap murid; (3) Dapat memahami
dan berlapang dada dalam ilmu serta orang-orang yang mengajarkannya; (4) Tidak rakus pada
materi; (5) Berpengetahuan luas; serta (6) Istiqamah dan memegang teguh prinsip.
Al-Ghazali menguraikan sejumlah tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang pendidik
yang dijelaskannya sebagai berikut:
1) Hendaknya seorang guru mencintai muridnya bagaikan mencintai anaknya sendiri.
Pengarahan akan kasih sayang kepada murid mengandung makna dan tujuan
memperbaiki hubungan pergaulan dengan anak didiknya, dan mendorong mereka untuk
selalu mencintai pelajaran, guru, dan sekolah dengan tanpa berlaku kasar terhadap
mereka. Dengan dasar inilah maka hubungan pergaulan antara seorang guru dan
muridnya akan menjadi baik dan intim yang didasari atas rasa kasih sayang dan cinta
serta kehalusan budi.

15
Ramayulis.
16
Ihsan and Ihsan.
8
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

2) Guru tidak usah mengharapkan adanya gaji dari tugas pekerjaannya, karena mendidik
atau mengajar merupakan tugas pekerjaan mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.
Nilainya lebih tinggi dari ukuran harta atau uang. Mendidik adalah usaha untuk
menunjukkan manusia ke arah yang hak dan kebaikan serta ilmu. Upahnya terletak pada
diri anak didik yang setelah dewasa menjadi orang yang mengamalkan apa yang ia
didikan atau ajarkan.
3) Guru hendaknya menasehati siswanya agar tidak menyibukkan diri dengan ilmu yang
abstrak dan yang gaib-gaib. Sebelum ia telah selesai pelajaran atau pengertiannya dalam
ilmu yang jelas, kongkret dan ilmu yang pokok-pokok.17
4) Terangkanlah bahwa niat belajar itu supaya dapat mendekatkan diri kepada Allah, bukan
untuk bermegah-megahan dengan ilmu pengetahuan itu.
5) Guru wajib memberikan nasehat kepada murid-muridnya agar menuntut ilmu yang
bermanfaat tersebut yang nantinya akan membawa kepada kebahagiaan hidup akhirat,
yaitu ilmu agama.
6) Menasehati para murid dan melarang mereka agar tidak memiliki akhlak yang tercela,
yaitu melalui sindiran tanpa menjatuhkan harga diri mereka. Guru harus terlebih dahulu
beristiqamah. Setelah itu, dia meminta murid untuk beristiqamah. Apabila hal itu tidak
dilakukan, nasehat tidak akan bermanfaat.
7) Guru hendaknya menyalurkan serta mencukupkan ilmu bagi murid tersebut menurut
kadar pemahamannya. Maka ia tidak menyampaikan kepada murid sesuatu yang tidak
terjangkau oleh akalnya.
8) Guru hendaknya harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual yang ada pada
anak (murid) tersebut. Pandangan Al-Ghazali mengandung himbauan agar guru
memahami benar tentang prinsip-prinsip tentang perbedaan individual dikalangan anak
didik serta tahapan perkembangan akal pikirannya, sehingga dengan pemahaman itu guru
bisa mengajarkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka, dan berusaha
sejalan dengan dengan tingkat kemampuan berpikir anak didiknya.
9) Guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya. Menurut kebiasaan bahwa seorang guru
adalah sebagai panutan, dan para siswa mengikuti apa yang ditujukkan oleh gurunya.
Perumpamaan seorang guru yang baik dan benar adalah seperti benih yang ditanam di
tanah dan bayangan dari tiang, maka bagaimana tanah itu tumbuh tanpa benih, dan mana
mungkin bayangan itu bengkok sedangkan tiangnya lurus.18
10) Mempelajari hidup psikologis murid-muridnya. Guru harus dapat memahami jiwa anak
didiknya. Dengan pengetahuan tentang anak didik, ia dapat menjalin hubungan yang
akrab antara dirinya dengan anak didiknya. Secara praktis, guru harus mendidik mereka
berdasarkan ilmu jiwa.

17
Zulkifli Agus, ‘Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Ghazali’, Raudhah Proud To Be Professionals : Jurnal
Tarbiyah Islamiyah, 3.2 (2018), 21–38 <https://doi.org/10.48094/raudhah.v3i2.28>.
18
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
9
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan karena ia memilki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan. Itulah sebabnya
Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu dan bertugas sebagai
pendidik.

Peserta Didik
Menurut Al-Ghazali, anak adalah amanah Allah dan harus dijaga dan dididik untuk
mencapai semua keutamaan dalam hidup dan mendekatkan diri kepada Allah. Semua bayi yang
dilahirkan ke dunia ini, bagaikan sebuah mutiara yang belum diukur dan belum berbentuk, tetapi
amat bernilai tinggi. Maka kedua orang tuanya-lah yang akan mengukir dan membentuknya
menjadi mutiara yang berkualitas tinggi dan disenangi semua orang. Maka ketergantungan anak
kepada pendidiknya termasuk kepada kedua orang tuanya, hendaknya dikurangi secara
bertahap.19
Peserta didik menurut Al-Ghazali adalah manusia yang fitrah20. Beliau menguraikan hal-
hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
a. Belajar merupakan proses jiwa.
Pada hakikatnya, yang wajib belajar adalah murid sedangkan guru bertugas
membimbingnya, berperan sebagai penunujuk jalan dalam belajar. Seorang murid yang
belajar tanpa bimbingan atau arahan guru, apa lagi yang dipelajari adalah berbagai
disiplin ilmu, bisa jadi ia tidak akan memperoleh ilmu itu, mengingat psikisnya terutama
yang menyangkut intelektualnya harus sesuai dengan materi keilmuan yang hendak
dikuasai. Kalaupun ia dapat memperoleh ilmu itu, kemungkinan kurang bermanfaat bagi
dirinya. Bagaimanapun juga, guru sangat besar peranannya dalam proses pendidikan.
Seperti yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa sarat keberhasilan seorang siswa
dalam belajar adalah adanya petunjuk dari seorang guru.
b. Belajar menuntut konsentrasi.
Sesuai dengan pandangan Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri
pada Allah, dan itu tidak akan terwujud kecuali dengan mensucikan jiwa serta
melaksanakan ibadah kepada- Nya. Beliau menyarankan agar murid memusatkan
konsentrasinya terhadap ilmu yang sedang dikaji, ia harus mengurangi
ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’.
Berkaitan dengan tugas murid dalam kegiatan belajar mengajar, Al-Ghazali
menasehatkan agar murid mempunyai sikap tawadhu’ dan merendahkan diri terhadap
ilmu dan guru, sebagai perantara diterimanya ilmu itu.
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
Al-Ghazali menasihatkan kepada murid agar tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau
diskusi tentang segala ilmu pengetahuan baik yang bersifat keduniaan maupun

19
Ihsan and Ihsan.
20
Arista, 2019
10
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkokoh pandangan dasar ilmu-
ilmu itu. Disinilah tampak pentingnya seorang guru untuk menunujukan cara belajar bagi
murid. Guru yang tidak dapat dipegangi pendapatnya, apalagi hanya menebak pendapat-
pendapat orang lain tanpa mengemukakan kelebihan dan kekurangannya masing- masing,
ia tidak patut dijadikan pembimbing dan penasihat. Jika murid tidak mengetahui
pengetahuan dasar tentang segala perdebatan maka ia akan jadi orang fanatik dalam
masalah-masalah furu‟ sehingga sering menyalahkan pendapat orang lain. Tetapi lain
halnya dengan murid yang mempunyai pengetahuan dasar penyebab perbedaan pendapat
dan perselisihan paham tersebut maka ia tidak akan fanatisme terhadap madzhab atau
aliran tertentu, tidak menyalahkan orang lain, apalagi sampai mengkafirkan dan
sebagainya.
e. Harus mengetahui nilai dan tujuan pengetahuan yang dipelajari.
Pandangan Al-Ghazali terhadap ilmu mendasari pemikirannya mengenai bagaimana
langkah terbaik dalam mengkaji suatu ilmu pengetahuan. Ilmu itu menurutnya
mempunyai nilai yang bebeda-beda. Begitu pula tujuannya, ada yang sangat penting,
kurang penting dan tidak penting.
f. Belajar secara bertahap.
Sesuai dengan pandangannya terhadap manusia bahwa ia dapat menerima ilmu
pengetahuan dengan baik jika prosesnya sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya, dan pandangannya bahwa ilmu itu dalam berbagai macamnya saling
terkait dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Al-Ghazali menegaskan
bahwa pelajar yang ingin menguasai ilmu dengan baik serta mendalam haruslah belajar
secara bertahap.
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah.
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali ialah mendekatkan diri kepada Allah. Beliau
menasihatkan agar murid dalam belajar bertujuan menjadi ilmuan yang sanggup
menyebarluaskan ilmunya demi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang murid menurut al-
Ghazali haruslah menjadi calon guru, minimal guru bagi dirinya sendiri dengan
berakhlakul karimah dan keluarganya dengan menjadi uswatun khasanah. Dalam
kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka
adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT.
Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok
dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu
tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar ia
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurut Al-Ghazali, terdapat beberapa sifat penting yang harus dimiliki oleh seorang
murid, yaitu: (1) Rendah hati; (2) Mensucikan diri dari segala keburukan; serta (3) Taat dan
istiqamah. Al-Ghazali menguraikan tentang tata kesopanan dan tugas-tugas seorang murid, yaitu
antara lain:

11
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

1) Hendaknya murid bersih jiwanya dan menjauhi akhlak yang rendah serta sifat-Sifat
tercela. Beliau mengatakan: “Wajiblah seorang murid bersih jiwanya dari akhlak yang
rendah dan sifat-sifat yang tercela, karena kesucian jiwa dan kebaikan akhlak merupakan
dasar bagi kecemerlangan dalam ilmu itu.”
2) Menyedikitkan hubungan-hubungannya dengan kesibukan dunia, dan menjauh dari
keluarga serta tanah air. Karena hubungan-hubungan itu menyibukkan dan
memalingkan.21
3) Tidak menyombongkan diri kepada ilmu. Seorang murid tidak boleh mengatur guru.
Bahkan, dia harus menyerahkan segala keputusan kepada sang guru. Dia juga harus terus
menerus berkhidmat kepada gurunya.
4) Bagi pelajar permulaan janganlah melibatkan atau mendalami perbedaan pendapat para
ulama, karena yang demikian itu dapat menimbulkan prasangka buruk, keragu-raguan
dan kurang percaya pada kemampuan guru.22
5) Orang yang mencari ilmu tidak meninggalkan satu cabang ilmu yang terpuji, kecuali
apabila jika seorang murid menyelam ke dalam ilmu tersebut hingga mendapatkan apa
yang ia cari. Apabila usianya mendukungnya untuk melakukan pencarian itu, dia dapat
menyempurnakan ilmu tersebut. Tetapi, apabila tidak, maka dia dapat memilih hal yang
paling penting.
6) Janganlah murid mendalami suatu ilmu atau teknik (seni) sebelum ia dapat memahami
benar ilmu atau teknik (seni) yang telah dipelajari sebelumnya. Karena semua ilmu itu
tersusun secara bertingkat-tingkat menurut keharusannya. Sebagian ilmu menjadi jalan
bagi ilmu yang lainnya.
7) Seorang pelajar agar dalam mencari ilmu selalu didasarkan pada upaya untuk menghiasi
batin dan mempercantiknya dengan berbagai keutamaan. Hal ini didasarkan pada tujuan
belajar yaitu untuk memperoleh kehidupan yang baik di akhirat. Hal itu tentunya tidak
akan tercapai kecuali dengan membersihkan jiwa, menghiasi diri dengan keutamaan dan
akhlak yang terpuji.
8) Seorang pelajar harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya. Oleh
sebab itu setiap pelajar harus menemukan maksud dan tujuan ilmu, dan yang paling
penting adalah memilih ilmu yang dapat menyampaikan pada maksud tersebut.
Anak adalah makhluk yang masih membawa kemungkinan untuk berkembang, baik
jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan, baik
bentuk, kekuatan maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah, anak
mempunyai bakat-bakat yang harus dikembangkan. Ia juga mempunyai kehendak, perasaan dan
pikiran yang belum matang. Di samping itu, ia mempunyai berbagai kebutuhan seperti
kebutuhan pemeliharaan jasmani, yaitu: makan; minum; dan pakaian, kebutuhan akan
kesempatan berkembang, bermain-main, berolahraga dan sebagainya. Selain itu, anak juga
mempunyai kebutuhan rohaniah, seperti: kebutuhan akan ilmu pengetahuan duniawi dan

21
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin.
22
Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali.
12
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

keagamaan, kebutuhan akan pengertian nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan, kasih sayang dan
lain-lain.23
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Islam yang ada
harus dapat dan mampu untuk membimbing, menuntun, mengembangkan, serta memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anak didik dalam berbagai bidang tersebut.

Metode Pendidikan
Untuk mewujudkan konsep pendidikannya, Imam Al-Ghazali menggunakan metode
pengajaran dengan konsep keteladanan, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat
keutamaan pada diri muridnya. Hal ini selaras dengan prinsipnya yang mengatakan bahwa
pendidikan ialah pekerjaan yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi, yaitu guru dan
murid.
Pendidikan agama dan akhlak merupakan sasaran Al-Ghazali yang paling penting. Dia
menyuguhkan metode yang benar untuk pendidikan agama, pembentukan akhlak dan pensucian
jiwa. Harapannya dapat membentuk banyak individu yang mulia dan bertaqwa, yang selanjutnya
dapat menyebarkan keutamaan-keutamaan kepada seluruh umat manusia.24
Dalam ungkapannya yang lain, Al-Ghazali menjelaskan bahwa metode pendidikan yang
semestinya dipergunakan oleh para pendidik-pengajar adalah yang berprinsip pada child
centered atau yang lebih dikenal mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Metode
demikian dapat diwujudkan dalam berbagai macam metode antara lain: (1) Metode contoh
teladan; (2) Metode guidance and counsellling (bimbingan dan penyuluhan); (3) Mtode cerita 4)
Metode motivasi 5) Metode reinforcement (mendorong semangat).25
Metode pendidikan islam juga diklasifikasikan oleh Al-Ghazali menjadi dua bagian:
1) Metode khusus pendidikan Agama. Metode khusus pendidikan agama ini memiliki
arah/sikap terhadap pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih
sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya, karena pendidikan agama berkaitan
dengan problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality
peserta didik. Dengan demikian pendidikan akal yang kohesif pada diri peserta didik
selama dalam proses pendidikan akan sangat memungkinkan untuk dikendalikan,
sehingga bukan hanya mementingkan rasio, rasa, dan berpikir sebenar-benarnya tanpa
dzikir. Tetapi peserta didik juga memiliki kepribadian yang kamil. Dengan demikian,
agama bagi peserta didik menjadi pembimbing akal yang dari sinilah kemudian letak
kesempurnaan hidup manusia didalam keseimbangan.
2) Metode khusus pendidikan Akhlak. Al-ghazali mengungkapkan: “Sebagaimana dokter,
jikalau memberikan pasiennya dengan satu macam obat saja, niscaya akan membunuh
kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukkan jalan kepada murid dengan
satu macam saja dari latihan, niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi
seyogyanyalah memperhatikan tentang penyakit murid, tentang keadaan umurnya, sifat
23
Arifin.
24
Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu.
25
Arifin.
13
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

tubuhnya dan latihan apa yang disanggupimya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina
latihan”. Dan berikutnya bilamana guru melihat murid yang sombong, keras kepala dan
congkak maka suruh ia ke pasar untuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri
egois tidak akan hancur selain dengan sifat mandiri.
Dari keterangan tersebut, al-ghazali menegaskan bahwa untuk membuat diagnosis dan
melakukan perbaikan akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan
sebaliknya. Layaknya bila badan sakit obatnya ialah dengan cara menurunkan panas atau
obatnya ialah membuang penyakitnya.26
Pendekatan dalam pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan dalam
tiga macam, yaitu: (1) mengajar (al-ta’lim); (2) mendidik (al-ta’dib); dan (3) teladan (uswah al-
hasanah). Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Mengajar (al-Ta’lim)
Pendekatan mengajar menurut Al-Ghazali terefleksi dalam bab yang menjelaskan tentang
etika seorang peserta didik, yaitu: (a) menyangi dan mengasihi peserta didik, serta
memperlakukannya sebagaimana anaknya sendiri; (b) ittiba’ (mengikuti) metode
Rasulullah SAW, termasuk ikhlas dalam menjalankan tugas mengajar; (c) senantiasa
untuk terus memberi nasihat dan bimbingan kepada peserta didik, bahkan
mengarahkannya agar tidak mempelajari ilmu yang belum menjadi kapasitasnya; (d)
mengkritik kesalahan peserta didik dengan cara menyindir dan dengan cara yang halus,
tidak berterus terang atau dengan keras; (e) menyampaikan atau mengajarkan ilmu sesuai
dengan kapasitas pemahaman dan logika peserta didik; (f) memperhatikan peningkatan
intelektual peserta didik, sehingga memberi materi yang mudah dan jelas kepada peserta
didik yang lemah, dan tidak memberi materi yang rumit.
b. Mendidik (al-Ta’dib)
Perhatian Al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada pendekatan khusus
bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini dia telah mencontohkan semua
metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-
sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali dalam pendidikan agama dan
moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-
prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru
dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali,
karena berdasarkan pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai
kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid.
Dengan demikian faktor keteladanan ini merupakan bagian dari metode pengajaran yang
amat penting.
c. Teladan (Uswah al-Hasanah)
Pendekatan ini dianggap sebagai metode pendidikan yang paling penting dalam Islam.
Hal itu karena Islam merupakan satu agama, dan agama tidak tersebar karena ketajaman
pedang, tetapi karena keteladanan. Hal ini juga dikarenakan kekuatan pedang kadang-

26
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005).
14
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

kadang dapat memaksa manusia, akan tetapi dia tidak dapat memasuki relung hati
manusia yang paling dalam. Karena ideologi yang disiarkan dengan pedang akan sangat
cepat hilang pengaruhnya, bahkan masyarakat berubah menjadi anti setelah pedang
hilang atau pembawa pedangnya pergi. Karena itu, keteladanan dalam pendidikan adalah
obat yang paling mujarab dan yang paling dekat kepada kesuksesan. Dengan keteladanan,
pendekatan berubah menjadi fakta, lalu fakta berubah menjadi gerakan, dan gerakan
berubah menjadi sejarah.27

Evaluasi Pendidikan
Evaluasi dalam pendidikan Islam ialah cara atau teknik penilaian yang dilakukan
terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif
dari seluruh aspek kehidupan mental psikologi dan spiritual-religius, karena manusia hasil
pendidikan Islam itu bukan hanya sosok pribadi yang tidak beramal dan berbakti kepada Tuhan
dan masyarakatnya.
Kata evaluasi berasal dari bahasa Arab yaitu kata Muhasabah, yang berasal dari kata
Hasiba yang berarti menghitung, atau kata Hasaba yang berarti memperkirakan. Al-Ghazali
menggunakan kata tersebut untuk menjelaskan tentang evaluasi diri (Muhasabah an-Nafs)
setelah selesai melakukan aktifitas. Evaluasi pendidikan Al-Ghazali ini pada prinsipnya
diarahkan sepenuhnya untuk mengetahui kondisi murid berkaitan dengan penilikan sejauh mana
muridtelah dapat meresap ilmu pengetahuan yang didapat dalam pembelajaran
danperkembangan kepribadian murid. Evaluasi pendidikan Al-Ghazali berangkat dari teori dasar
pendidikannya, yaitu Al-Fadhilah.28
Menurut Imam Al-Ghazali, evaluasi pendidikan bermakna usaha memikirkan,
membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur dan menghitung
semua aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan
kreativitasnya sehingga menjadi efektif dan efisien untuk mendapatkan tujuan yang lebih baik di
waktu yang akan datang. Adapun subjek evaluasi pendidikan adalah orang yang terkait dalam
proses kependidikan yang meliputi: pimpinan, subjek didik, wali murid dan seluruh tenaga
administrasi. Kemudian yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas yang
terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.29
Teknik evaluasi pendidikan digunakan pada rangka penilaian dalam proses belajar, ketika
dalam kepentingan perbaikan situasi, proses serta kegiatan belajar mengajar. diantara teknik dari
penilaian itu ada dua, yaitu:
Pertama, Teknik tes: yaitu penilaiannya menggunakan tes yang telah ditentukan lebih
dulu. Metode mempunyai tujuan untuk mengukur dan memberikan suatu penilaian pada hasil
belajar yang dicapai oleh murid. Meliputi: kesanggupan mental, penguasaan hasil belajarnya
selama ini, keterampilan, koordinasi, motorik, dan bakat yang ia punya.
27
Muhammad Qutb, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Cet. Ke-17 (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007).
28
Agus.
29
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
15
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

Kedua, Teknik non tes: yaitu penilaian yang tidak menggunakan pertanyaan dalam
tesnya. Melainkan dalam bentuk laporan dari pribadi mereka sendiri (self-report). Tujuannya
untuk mengetahui sikap dan sifat kepribadian murid yang berkaitan dengan kiat belajar atau
pendidikan. Objek penilaian non tes ini meliputi: perbuatan, ucapan, kegiatan, pengalaman,
keadaan tingkah laku, dan riwayat hidup.30
Dari uraian tersebut, dapat diartikan bahwa dalam pendidikan perlu adanya evaluasi.
Tujuannya adalah agar dapat mengetahui sejauh mana tujuan pendidikan yang telah tercapai, dan
untuk dapat mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang menjadi penghambat tercapainya
tujuan pendidikan tersebut.

Kesimpulan
Menurut Al-Ghazali, pendidikan yang baik dan benar ialah jalan untuk mendekatkan diri
kepada Yang Maha Kuasa dan mendapat kebahagiaan baik dunia maupun akhirat. Tentang
kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali menyampaikan bahwa Al-Quran dan kandungannya
berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari,
membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan
pendidikan Islam dalam pandangan Al-Ghazali ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun tujuan utama dari penggunaan metode dalam pendidikan harus disesuaikan dengan
tingkatan usia, kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dengan tujuan yang tidak lepas dari
banyak nilai manfaat. Tentang pendidik, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus
memiliki norma yang bisa dicontoh, khususnya norma akhlak. Karena pendidik merupakan
contoh bagi anak didiknya. Dalam kaitannya dengan peserta didik, Al-Ghazali menjelaskan
bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali oleh potensi atau fitrah untuk
beriman kepada Allah. Fitrah itu telah disiapkan oleh Allah sesuai dengan kodrat manusia
tersebut, cocok dengan tabiat dasarnya dan memang condong kepada agama Islam.

Daftar Pustaka
Agus, Zulkifli, ‘Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Ghazali’, Raudhah Proud To Be
Professionals : Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 3.2 (2018), 21–38
<https://doi.org/10.48094/raudhah.v3i2.28>
Abdullah, M. A. (2002). Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Terj) (Cet.I).
Bandung: Mizan
Al-Ghazali, Abu Hamid, Mutiara Ihya’ Ulumuddin (Bandung: Penerbit Mizan, 2001)
———, Tahafut Al-Falasifah (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)
Arista, R. N. (2019). Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali dan Relevansinya dalam
Pendidikan di Indonesia. Jurnal Tawadhu, 3(2), 883–892.

30
Nata, Filsafat Pendidikan Islam.
16
TA’LIMUNA ISSN 2085-2875 (Print)
Vol. 1, No. 1, Januari 2023, Hal. 1-16 E-ISSN 2622-9889 (Online)

Ihsan, Hamdani, and Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Nisa’, K. (2016). Al-Ghazali: Ihya’ Ulum Al-Din dan Pembacanya. Jurnal Ummul Qura,
VIII(2), 1–15.
Nizar, S. (2002). Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoretis, dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press.
———, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
———, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf Al-
Ghazali (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)
Primarni, Amie, and Khairunnas, Pendidikan Holistik: Format Baru Pendidikan Islam
Membentuk Karakter Paripurna (Jakarta: AMD Press, 2016)
Qutb, Muhammad, Manhaj Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Cet. Ke-17 (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007)
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015)
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998)
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu (Bandung:
Penerbit Diponegoro, 1986)
———, Konsep Pendidikan Al-Ghazali (Jakarta: Guna Aksara, 1986)
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
Tafsir, A. (1992). Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya.
Wahyudi, I., & Rouf, A. (2012). Konsep Pendidikan Manajemen dalam Perspektif Al-
Ghazali. Yogyakarta: Leutikaprio

17

Anda mungkin juga menyukai