Anda di halaman 1dari 10

Etika dalam pendidikan kontemporer dari Al Ghazali

Berbicara tentang teori pelajaran agam islam dengan tidak menyebut nama al-ghazali
rasanya memang belum lengkap. Ia merupakan ulama yang besar, ilmuwan, dan seorang
pemikir yang menghasilkan lokakarya ilmiah di bidang polikrom, seperti ilmu agama,
doktrin, tasawuf, moralitas, edukasi, dan lain-lain. Al-Ghazali langsung terseok-seok terhadap
pendidikannya mdengan perantara tanaman Ihya'' Ulum al-Din dan Ayyuha al-Walad. Dua
karya besar ini ditulis setelah al-Ghazali pulih melalui keterpurukan keagamaan/intelektual
terhadap apa yang ia rasakan sebelum tahun 448 H. Profesionalisme spiritual ini berdampak
unggul pada debat al-Ghazali yang mengemukakan "membersihkan diri dari noktah moral
serta perilaku yang tidak baik. Karena,pengetahuan adalah wujud kemusyrikan hati, doa
akhlak, serta ketaatan kepada Allah SWT.

Hasil dari ilmu keagamaan yang telah dipelajari oleh al-Ghazali juga tercantum di
dalam dua harta yang ia perlihatkan melalui cita-cita tertinggi keilmuan, yaitu pencapaian
yang sempurna yang lahir di bumi dan mengarah pada pendekatan karakter kepada Tuhan
dan kesempurnaan fana yang mengarah ke kesenangan dalam penciptaan baik dunia maupun
akhirat. Dari pandangan pantauan petuah al-Ghazali, tidak adayang salah apabila beberapa
ulama maupun ilmuwan baik menempatkan hujjatul Islam menjadi representasi matematika
konservatif keagamaan fokus ilmu pembinaan edukasi agama islam. Refleksi Al-Ghazali
tentang pendidikan bisa diekspresikan melalui poin-poin prismatik yang berhubungan dengan
pendidikan, yaitu desain edukasi pembelajaran, mata kuliah, tnada pedagogi/pengajar serta
etika sarjana, dan pendekatan bimbingan.

Menelusuri serta mengerti tentang perdebatan seorang tokoh penting tidak boleh
keluar dari keadaan sosiokultutal serta intelektual yang dianut tokoh penting tersebuut.
Memang, untuk pertimbangan al-Ghazali, untuk memperoleh sketsa utuh tentang kisahnya,
mempelajari kondisi sosio-artistik dan intelektual al-Ghazali adalah sebuah puguh. Oleh
karena itu, melalui tulisan ini, sebelum mendeskripsikan debat pendakwahan al-Ghazali,
maka akan diuraikan bagaimana kehidupan dan kondisi sosio-artistik al-Ghazali. Selain itu,
langkah selanjutnya dalam penyelidikan akun al-Ghazali, kami terlebih dahulu mencari
benang merah maupun koneksi berdasarkan kesulitan mengenai edukasi di tengah keresahan
yang menyeluruh.

Menurut aga islam, edukasi adalah rangakaian urutan dalam penghimpunan fitrah
menuju pubertas ( kedewasaan), secara fisik, mental dan taqwa, demi memperoleh manfaat
amal yang kemudian ia dibawa sebagai perawan tua ('abd) di hadapan orang lain. Khaliq-Nya
dan sebagai pemelihara (kekhalifahan) ciptaan. Karena hal tersebut, manfaat edukasi ialah
untuk mempersiapkan para siswa yang dibekali keahlian serta kompetensi yang diperlukan
untuk memiliki kapasitas dan kesiapan memasuki masyarakat (tekstur), sebagai tujuan dari
pendidikan.

Akhir dari tujuan pendidikan agama islam ialah keinginan yang tercantum dalam Al-
Qur'an, ialah proses dari beberapa rangkaian himpitan oleh seorang guru yang membantu
(membimbing) murid-muridnya dalam menjalanikehidupan yang baik di muka bumi ini
sesaai dengan tuntunan dari Al-Qur’an dan hadis, baik dari segi materi. dan materi. aspek
rohani. Dengan tercapainya cita-cita tersebut, diharapkan peserta didik dapat memenuhi
syarat untuk menumbuhkan makhluk-makhluk bumi dua dimensi yang integral dan integral
dengan kehidupan dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Maka apabila terjadi hal
tersebut, maka akan ada siksa untuk kebahagiaannya dunia maupun akhirat.

konsekwensinya, pendidikan yang sempurna adalah suatu proses dalam mengubah


pertobatan baik dalam diri sendiri maupun dalam masyarakat yang lahir di muka bumi.
Karena hal tersebut, sebenarnya proses pendidikan ialah seseorang diizinkan untuk berkreasi
dengan hal baik, tanpa intimidasi, maupun eksploitasi. Disinilah tujuan pedagogi brownies
tale adalah untuk membebaskan manusia melalui dan melalui ikatan yang bernafas di alam
terbuka itu sendiri dapat pula dikatakn sebagai zat yang mengikat kebebasan seseorang.
Pandangan pedagogis ini memang memiliki aspek positif yang secara otentik memperhatikan
perkembangan anak, tetapi juga memiliki kelangkaan yang indah karena anak dianggap
terpisah dari kehidupan umum di masyarakat. Pedagogisme melahirkan pendidikan yang
berpusat pada anak yang hidup didalam masyarakat dan melupkan serta memiliki makna
tertentu untuk hidup bersama. Dengan kata lain, pendidikan yang berpusat pada anak pada
titik berpusat pada pendidikan dan menciptakan pada anak (child sine qua nons). Hal tersebut
mengartikan bahwa pandangan edukasi yang tak memandang kodrat seorang anak alam yang
berkreasi dalam kehidupannya sendiri oleh karena itu memerlukan perlakuan khusus dalam
proses perkembangannya. Dengan berkembangnya kedua keluasan tersebut, diharapkan siswa
dapat memanfaatkannya.

A. Sejarah Al-Ghazali.

Nama Lengkapnya namanya adalah Muhammad bin Muhammad, masuk memiliki


gelar sarjana tinggi Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam kemudian mendapat moniker
(laqab) "Zainuddin". Ahwaz. Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 komunike) adalah seorang
teolog, hakim, dan sufi Muslim abad pertengahan. Matematika legiun sejarah dalam kubah
ganda Islam memiliki pengaruh yang kuat serta beragam seperti Abu Hamid Al-Ghazali.

Suami dari ibunya ialah orang miskin yang taat. pabrik hanya sebagai jaket banding.
Ketika memiliki waktu untuk mencari pembelajaran dia seringkali berkunjung kepada para
ulama dan mencari edukasi, lagi dan lagi mengabdikan dirinya untuk membantu Ulama,
melakukan suatu kebaikan-kebaikan dan sedekah untuk Ulama. Kemudian, ketika
mendengar ceramah Ulama dia menangis dan mencemarkan nama baik dirinya dan memohon
kepada Allah swt agar dikaruniai anak dan menjadikannya seorang anak yang memiliki ilmu
agama dan pandai membimbing. Padahal, sebelum dia melihat apa yang inginkan dari
doanya, dia memotong ketika anak-anaknya (Muhammad Al-Ghazali dan kerabat ciumannya,
Ahmad) masih remaja. 3 Sebelum dia conked, dia memberikan kedua anak itu kepada salah
satu alter kebanggaannya. Kedua anak selanjutnya mengambil bimbingan dari cabang ilmu
polikrom. Tersebut terjadi semenjak sampai hak kesulungan ayahnya yang dipercayakan
kepada temannya yang ludes hanya untuk membiayai pendidikannya dan bukan ciuman
sepupunya. Untuk melanjutkan pendidikannya, pendidik sederhana itu menyarankan kepada
Al-Ghazali dan ayah mertuanya untuk melanjutkan pendidikan di sebuah seminari di hutan
aspal metropolitan miliknya. Dan mereka melanjutkan studi di seminari secara gratis.

Di Madrasah Al-Ghazali mempelajari ilmu-ilmu kaleidoskopik seperti fiqh, tasawuf,


dan lain-lain. Kepada Yusuf An-Nassaj, seorang sufi ternama pada waktu itu. Kemudian , ia
juga berguru terhadap seorang guru faqih yang tinggal di hutan aspalnya, scilicet Ahmad bin
Muhammad Ar-Razaqani. terutama tentang polisi (fiqh) dan juga pergi ke Jurjan dan belajar
dengan Abu

Setelah itu, Al-Ghazali melakukan perjalanan ke Nisapur demi merambah pendidikan


pada orang yang memiliki pengetahuan yang lebih terkemuka pada zamannya, beliau adalh
Al-Juwaini, Imam Al-Haramain (wafat 478 H/1085 iklan). Darinya ia mempelajari antara lain
ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu-ilmu lain yang saling berkaitan. Al-Ghazali ialah seorang
individu yang cukup memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan individu lainnya dan
kompeten untuk menyangkal segala sesuatu yang menyimpang dengan proporsi yang jelas
sampai Al-Juwaini memberinya gelar orang yang benar-benar berpengetahuan seperti
Neptunus yang menyelam dalam (Bahrun Mughriq). Setelah Al-Juwaini mogok dalam iklan
478 H/1085, Al-Ghazali pergi ke hutan aspal Nishapur. Al-Ghazali pergi ke majelis pastoral
Nizham Al Mulk. Dewan yang biasa digunakan oleh para ilmuwan untuk melkukan
pertemuan. Di majelis inilah keunggulan Al-Ghazali menonjol. cepat atau lambat pada
generasi 488 H (1091 buletin) ia diangkat oleh Nizham al-Mulk sebagai guru besar di Kolese
Al Nizhamiah di Bagdad. sampai sekarang dia akan beaucoup convert. Di kampus Seminari
tinggi Al-Nizhamiah, Al-Ghazali diberi amanah sebagai profesor selama lebih kurang empat
dekade. Kemudian, dalam generasi yang sama Al-Ghazali dilanda ketidakpercayaan,
ketidakpercayaan tentang tugas-tugas yang ia bahas antara lain (hukum, teologi dan wasiat),
kehandalan dirinya dalam mengemban amanah dan penggilingan yang dia hasilkan sehingga
dia menderita ditempa dalamkurun waktu tidaksampai tiga bulan. dan rumit untuk diobati.
Akibatnya, Al Ghazali tidak piawai dalam menjalankan amanah yang telah dititipkan
kepadanya sebagai seorang guru besar di Madrasah Nizamiyah. cepat atau lambat dia
meninggalkan Bagdad menuju kosmopolis Damaskus. Pernah terjadi dua kali ketika Al-
Ghazali berada di hutan aspal ini, ia melakukan uzlah, riyadhah dan mujahadah. ia
selanjutnya pindah ke Bait al-Maqdis, Palestina untuk melakukan penyembahan berhala,
setelah itu ia tergerak untuk mengembara dan mengunjungi makam Nabi. Setelah kembali
dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kelahirannya, setelah itu; tidak sampai sekarang dia
tinggal di pengasingan. Ketidakpercayaan Al-Ghazali berlanjut hingga sampai dengan
sepuluh generasi. Dan pada saat itu, beliau menciptakan suatu

karya yang luar biasa Ihya'' Ulum al-Din (Menghidupkan kembali pengetahuan
agama).Atas penegasan kedaulatan Seljuk, Al-Ghazali berangkat kembali untuk belajar di
madrasah Nizhamiyah di Naisabur. sebenarnya posisi ini dia masuki hanya mapu menetap
selama kurang lebih dua span. kemudian ia kembali ke Tus untuk membuat suatu sekolah
paruh dan zawiyah atau khanaqah bagi mutasawwifin. Setelah mengabdikan diri pada ilmu,
pekerjaan dan didikan, pada 14 Jumadil Akhir 505 H/ 19 Desember 1111M, ia
mengembuskan napas terakhir pada kedi relasi ciumannya, Ahmad Mujiduddin pada usia 55
tahun di tempat kelahirannya. Ia meninggalkan 3 orang putri dan seorang putra bernama
Hamid yang gugur ketika ia belum dewasa. Itu sebabnya dia berulang kali dipanggil Abu
Hamid. Ketenaran Al-Ghazali tidak terbatas pada zamannya, namun tetap dipuja oleh orang-
orang yang mencintai pengetahuan. Dia memiliki konsesi yang tidak dimiliki oleh para
cendekiawan dan pemikir lain. kecerdasan yang luar biasa dan benar-benar mendalami
pengetahuan. Singkatnya, seseorang sulit menemukan seseorang yang mirip dengannya.”
Karena banyaknya yang mengenali sosok Al-Ghazali seolah memasuki waktu maupun ruang,
memang sampai kini pemikirannya telah berkembang tinggi rendahnya mata pelajaran
pendidikan dan eksplorasi khususnya di perguruan tinggi.

Al-Ghazali yang menjadi tokohbesar dalam agama maka ia menjadi salah satu orang
yang paling penting dalam nasihat agama (hujjat al-Islam). Al-Ghazali terbagi dari seorang
sufi dan seorang eksponen, ia juga ahli dalam dunia pendidikan. al-Ghazali memiliki
pendidikan umum, salah satunya adalah pemahaman tentang etika belajar ulama. Etika studi
sarjana umum meliputi:

1) Konsep Etika Belajar Siswa


2) kepribadian- Etika Belajar

Menurut Al-Ghazali etika merupakan suatu keadaan dimana serebral inilah yang
dijadikan sumber rujukan lahirnya tingkah laku yang mulus secara alami tanpa perlu
pertimbangan dan perenungan. Dari generalisasi elemen ini, untuk menilai baik buruknya
suatu tindakan etis, pengetahuan tidak hanya dapat dilihat dari aspek eksternal, tetapi juga
harus dilihat dari elemen otak. Akibatnya, setiap setiap tindakan harus berdasarkan dari
tujuan serta motif yang ia lakukan.

Al-Ghazali menggunakan peristilahan dari para ulama menggunakan beberapa


definisi atau istilah antara lain, koresponden sebagai Al-Shobiy (anak), al-Muta'allim
(ulama), dan Tholibul'Ilmi (ulama ilmu). Oleh karena itu, anak didik dapat diartikan sebagai
orang yang sejak awal mencapai perkembangan jasmani dan rohani

kreasi dan merupakan objek utama pendidikan dalam arti luas. Lagi-lagi mengenai
etika menuntut ilmu para ulama, Al-Ghazali mengatakan bahwa

Sebenarnya tubuh tidak diciptakan oleh Tuhan sekaligus yang menjadi sempurna
dalam waktu sekejap saja, naun kesempurnaan tersebuti tidak bisa dihancurkan secara
perlahan. Namun bisa tumbuh secara kokoh dan tahan terhadap suatu apapun
tatkalamerasakan kemajuan pertumbuhan, mendapatkan makanan dan sebagainya. Ini tidak
sedikit berbeda dari jiwa. Dia kurang pada awalnya, tetapi begitu dia sama dengan mengakui
poin yang akan menyempurnakannya. Cara menyempurnakannya adalah membekali
pendidikan dengan akhlak mulia, akhlak mulia dan mengisinya dengan berbagai ilmu yang
bermanfaat. tergantung pada pernyataan Al-Ghazali di atas, etika belajar masih dipuja oleh
masyarakat, khususnya para pecinta lore. Tidak heran, berlandaskan pada pernyataan Al-
Ghazali di atas, etika belajar ulama dalam dirinya menurut Al-Ghazali bahwa unsur
kehidupan ada pada ulama dan dilengkapi dengan fitrah, perkembangan dan perubahan
peristiwa ulama dalam dua aspek. dengan

.A. Aspek fisik

Aspek fisik yang memungkinkan dan fakultas kekuatan fisik yang, jika benar dan
baik, pengembangan, itu akan menumbuhkan pengalaman dan kemampuan bekerja untuk
memanfaatkan karunia Allah di bumi ini dan di cakrawala, sebagai sarana untuk beribadah
kepada-Nya (taqwa kepada Dzat yang Pencipta Tertinggi).

B. Aspek psikis

Yang mengandung kejadian tak terhitung, yang jika benar dan mendidik dan
pembangunan, itu akan membentuk alam yang seharusnya karya ilmiah, karya ilmiah dan
postur ilmiah untuk ditemukan faktualitas tertinggi, serta makhluk alam yang berakhlak
mulia, berkepribadian kuat dan bertakwa kepada Allah SWT (Tuhan Pencipta manusia dan
fitrahnya). Dari dasar-dasar umum ini, untuk menilai baik atau buruk

- Bantalan etika pembelajaran ulama tidak bisa dilihat dari aspek eksternal, tetapi juga
harus dilihat dari unsur intelektual. ergo, tindakan eksternal harus dilihat dari motif
dan tujuan melakukannya.

Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali, murid atau murid adalah orang yang memasuki
pendidikan untuk mencapai makna pendidikan, mengasah kesempurnaan jasmani dan rohani
dengan mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, dengan cara
untuk mencapainya memerlukan pembelajaran dan pengetahuan yang juga termasuk
pemujaan pahlawan. dewa, itu juga merupakan tuntutan bagi murid untuk tinggal karenanya
dari nilai tercela dan milik pribadi.

Dari pembahasan etika pendidikan siswa hingga diri mereka sendiri menurut Di
kepala Al-Ghazali, desain ilmu menurut Al-Ghazali harus mengarah pada pencapaian
masalah agama dan moral, dengan penekanan pada merobohkan kebajikan dan taqarrub
kepada Allah. Dan bukan sekedar untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau memperoleh
kemegahan dunia. Seperti yang dikatakan Al-Ghazali bahwa Niat ulama dalam mempelajari
segala hikmah saat ini dan sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwa mereka,
sedangkan demi akhirat adalah mendekatkannya kepada Allah'azza wajalla. Dan bukan untuk
mencapai kedudukan yang tinggi, mendapatkan kemuliaan dunia, secara semena-mena
terhadap orang-orang jahil dan mengadakan perdebatan dengan para ulama.

Oleh karena itu, salah satu minyak siku yang paling penting untuk diprioritaskan
dalam memperbaiki etika belajar siswa menurut Al-Ghazali adalah langkah penanaman
dasar-dasar pendidikan akhlak yang baik sesuai dengan akal sehat dan syariat yang dilakukan
secara bertahap, serta latihan fisik dan ketergantungan sehingga kemajuan menuju
kesempurnaan. Dan dalam proses itu harus dilakukan sebelum siswa dapat secara logis dan
memahami sifat-sifat yang abstrak dan belum kompeten untuk menentukan apa yang baik dan
buruk, dan apa yang salah dan benar.

Selain itu, dari segi pendidikan, Al-Ghazali menganjurkan agar pendidikan iman
tentang aqidah harus ditanamkan kepada anak didik sejak dini agar mereka dapat belajar,
memahami, beriman, beriman, dan bertakwa agar keimanan pada anak didik tumbuh. hadir
sedikit demi sedikit hingga sempurna, kokoh dan mantap dalam aspek polikromatik hidupnya
dan dapat mengesankan semua sambutannya mulai dari pola debat, pola sikap, pola tindakan,
dan pandangan hidup. Di lingkungan pendidikan Islam, Muhammad'Athiyah al-Ibrasyi,
sebagai wakilnya, menegaskan bahwa etika mempelajari konstitusi para ulama sebenarnya
adalah ruh pendidikan Islam karena pendidikan Islam merupakan

B. Materialitas Pemikiran Pendidikan al-Ghazali di Era Global

Zaman global ditandai dengan maraknya perdagangan bebas dan persaingan yang
berlipat ganda serta inkonsistensi dalam meminta harga yang berdampak pada meningkatnya
bahaya bisnis. Hari ini juga ditandai dengan perkembangan teknologi yang semakin
ekspansif. Kita dapat menembus miliaran informasi setiap hari dengan mudah. Dunia yang
sebenarnya luas ini tampaknya menjadi kecil dan rumit berkali-kali lipat. jadi, pengetahuan
berkembang dua kali lipat.

Guncangan (gempa bumi) arus global ini cukup kuat dan berdampak pada seluruh
aspek kehidupan di muka bumi, termasuk pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak
diragukan lagi jatuh ke dalam perangkap arus dan peristiwa yang bergejolak ini. Untuk
pendidikan Islam, turbulensi arus

Globalisasi dapat menghasilkan keanehan atau gejala kontra moralitas, yakni


kontradiksi yang bertolak belakang dari dua sisi moral, sejajar dengan instruktur yang
memberikan pemberangkatan agar anak tidak terlibat dalam tawuran, melainkan dalam
masyarakat. itu berulang kali menunjukkan bentrokan antar warga atau antar kelompok
masyarakat; razia pornografi dilakukan di akademi-akademi, tetapi media massa cepat
mengungkap apa saja yang merangsang nafsu; dan kontemplasi agar murid tampak kreatif
dan egaliter, tetapi di rumah ia justru memvalidasi perilaku orang tua yang otoriter.
Globalisasi berdampak kontra-moral antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam (das
Solen) dan kenyataan di lapangan (das Sein).

Arus global bukanlah lawan atau sahabat bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai
peremajaan bagi “mesin” yang dijuluki pendidikan Islam. bagaimana pun, lagi-lagi "mesin"
itu tidak mau berhenti atau macet, apalagi pendidikan Islam. akan mempertahankan
penangkapan intelektual atau penangkapan intelektual, Jika pendidikan Islam mengambil
posisi anti-global. Di sisi lain, jika pendidikan Islam terseret arus global, tanpa kekuatan,
identitas keislaman, selanjutnya proses pendidikan akan dilindas oleh “mesin”. Menutup diri
atau bersikap eksklusif terhadap globalisasi dapat membuat Anda ketinggalan zaman,
sementara membuka diri juga berisiko kehilangan kepribadian atau karakter Anda.
karenanya, pendidikan Islam perlu mendorong dan menarik curahan global; apa yang baik
dan cocok, diambil; dan apa yang tidak bermanfaat atau tidak menyenangkan, ditinggalkan
atau ditinggalkan.

Di antara dampak nyata dari arus global adalah perubahan pola kehidupan di bumi
yang cenderung lebih materialistis dan apa yang ada di dunia. Kondisi ini memiliki
kesesuaian dengan kelangsungan al-Ghazali, dimana pada saat itu masyarakat Islam juga
memiliki kecenderungan seperti itu. Realitas sosial materialistis dan hedonis masyarakat
Indonesia sekarang dan sekarang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat
Barat. namun, pada masa al-Ghazali juga ada perbedaan. Pembelajaran dan praktik ilmiah
semata-mata berorientasi pada pencapaian materi dan duniawi. Saat itulah al-Ghazali
menganggap pendidikan dan tasawuf sebagai koreksi materialisme dan kebobrokan
masyarakat saat itu (breaking point exposure).

Titik didih progresif-garde dalam pendidikan Islam telah menjadi isu vital di dunia
Islam sejak lama. Dalam komunitas guru sekolah, misalnya, al-Ghazali mengetengahkan
gejala materialisme dari segi moralitas ulama dalam memorandumnya tentang ulama su',
yakni sosok ulama yang menggunakan ilmunya untuk mencapai kepuasan materi dan
kedudukan. dan menjilat dengan pihak berwenang untuk mempertahankan kantor.
Persoalan moral ini juga menjadi tantangan bagi pendidikan Islam di Indonesia
sekarang ini, di mana siswa tidak lagi mencari ilmu untuk kepentingan ilmu itu sendiri, tetapi
semata-mata untuk memenuhi permintaan materi. Pendidik sibuk mengurus semua
administrasi untuk mendapatkan sertifikasi, namun mengabaikan komitmennya terhadap ilmu
dan ilmu kesarjanaan. namun demikian, dengan tetap mencela aspek-aspek yang harus
dikontekstualisasikan dengan materialitas dengan zaman sekarang ini. Misalnya tentang
pendidik yang oleh al-Ghazali secara dinamis ditegur untuk tidak mencari amplop gaji dalam
pelatihan. Menurut penulis, hukum etik al-Ghazali bagi pengajar seharusnya berarti bahwa
guru sekolah/pendidikan harus memiliki tulang punggung terhadap pengetahuan dan proses
pendidikan. Sampul amplop gaji atau aspek remunerasi adalah pelindung sekunder yang
harus dinikmati oleh pendidik selaras dengan total filantropi mereka untuk kemajuan
pendidikan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa penentangan al-Ghazali bukanlah pada
keunggulan pendidik yang menguntungkan, tetapi pada komersialisasi pengetahuan.

C. Kesimpulan

Al-Ghazali adalah seorang pemikir konservatif agama. Salah satunya tercermin dari
cita-cita pendidikan yang diutarakannya, scilicet pencapaian kesempurnaan eksternal yang
mengarah pada kepribadian-pendekatan kepada Tuhan dan kesempurnaan alam yang
mengarah pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kesempurnaan alam di dunia dan akhirat
hanya dapat dicapai dengan mengambil sifat-sifat utama alam melalui jalan ilmu.

Sedangkan dari segi kajian, al-Ghazali mengklasifikasikan lore menjadi beberapa bidang (1)
ilmu syar'iyah (religius) dan 'aqliyah (rasa/kubah ganda), serta ilmu-ilmu ghairu syar'iyah
(non-religius) baik berjasa (mahmud), boleh (boleh), atau tercela (madzmum); (2)
pengetahuan teoretis dan praktis; (3) ilmu yang disampaikan (hudhuri) dan ilmu yang
diperoleh (hushuli); dan (4) ilmu fard'ain dan hikmah fardhu kifayah. Kategori ilmu menurut
al-Ghazali bukan berarti penolakan terhadap momen belajar segala macam ilmu. Al-Ghazali
hanya menekankan perlunya manusia mengutamakan pendidikan dengan menempatkan ilmu
agama pada posisi yang paling arogan.

Lebih penting lagi, al-Ghazal menyimpulkan bahwa pusat pendidikan adalah hati
karena hati adalah fitrah binatang yang lahir di muka bumi. Menurutnya, alam tidak
berbohong pada prinsip-prinsip yang bernafas dalam tubuhnya, tetapi dalam hatinya dan
memandang manusia sebagai binatang yang teosentris sehingga pengertian pendidikan lebih
diarahkan pada akhlak yang mulia. Untuk mewujudkan anak didik yang berakhlak mulia, al-
Ghazali memandang besarnya keteladanan dan sistem miras dalam proses pendidikan. Dalam
suasana kekinian dan kontemporer, renungan al-Ghazali masih relevan untuk dicetuskan
sebagai sebuah karya untuk merawat dan mengakhiri zero hour front pendidikan Islam.

Anda mungkin juga menyukai