Anda di halaman 1dari 9

PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-GHAZALI

(Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali)

Oleh: Ade Alfina

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang

vinaalvina120@gmail.com

ABSTRAK

Makalah ini mencoba membahas tentang pemikiran pendidikan dari tokoh yang sudah
sangat terkenal namanya di khazanah keilmuan Islam, Al-Ghazali. Pemikiran tersebut
menarik untuk dikaji karena sebagian besar diambil dari karya terbesarnya yaitu kitab
Ihya’u Ulumuddin. Dalam pandangan Al-Ghazali, sentral dalam pendidikan adalah hati
sebab hati merupakan esensi dari manusia karena substansi manusia bukanlah terletak pada
unsur-unsur yang ada pada fisiknya, melainkan berada pada hatinya. Sehingga, pendidikan
yang diungkapkan Al-Ghazali banyak berfokus pada nilai-nilai religius dan moralis dengan
tidak mengabaikan peran guru sebagai pengantar ilmu. Konsep pendidikan Al-Ghazali
dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya berkenaan dengan salah satu
aspeknya yaitu tujuan pendidikan. Dimana pemikiran al-Ghazali tentang tujuan pendidikan
sama dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu pendidikan yang dapat mengantarkan
pelakunya kepada akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sehingga pelaku tersebut untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kata Kunci: al-ghazali, tujuan pendidikan, ihya’u ulumuddin, kebahagiaan abadi

A. Pendahuluan
Telah banyak buku-buku mengenai pendidikan yang disusun oleh al-Ghazali. Akan
tetapi pandangannya yang paling penting tentang masalah ini ditemukan pada buku-buku
“Ayyuhal Walad”, “Fatihatul ‘Ulum” dan “Ihya’u Ulumuddin”. Buku yang terakhir
dipandang sebagai karya terbesar al-Ghazali dalam lapangan ilmu kalam, fiqh, dan akhlak.
Suatu studi tentang karya-karya al-Ghazali mengenai pendidikan serta pelbagai
permasalahannya, khususnya berkenaan dengan apa yang dikemukakannya dalam Ihya’u
Ulumuddin, akan menyingkapkan betapa ia telah berhasil menata suatu sistem pendidikan
yang lengkap, menyeluruh dengan batasan-batasan yang jelas. Hal ini tidaklah
mengherankan, karena pendidikan dapat dipandang sebagai aplikasi pemikiran filsafi. Al-
Ghazali mendasarkan sistem pendidikannya pada alam pikiran filsafinya untuk
mendapatkan jaminan bahwa sistem pendidikannya itu benar-benar mengarah kepada
tujuan pendidikan yang benar.
Salah seorang filosuf dan ahli pendidikan modern Amerika Serikat yaitu John
Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan dan filsafat sebagai dua aspek kerja yang tak
dapat dipisahkan. Keduanya saling berinterpedensi. Pendidikan menyebarkan dan
mengajarkan aliran filsafat kepada manusia. Sedangkan filsafat membatasi tujuan sistem
pendidikan serta menggariskan faktor-faktor penunjang di dalam mencapai tujuan ini.
Untuk mencapai tujuan dari sistem pendidikan apapun, dua faktor asasi berikut ini
mutlak adanya:
Pertama, aspek-aspek ilmu pengetahuan yang harus dibekalkan kepada murid atau dengan
makna lain ialah kurikulum pelajaran yang harus dicapai oleh murid.
Kedua, metode yang telah digunakan untuk menyampaikan ilmu-ilmu atau materi-materi
kurikulum kepada murid, sehingga ia benar-benar menaruh perhatiannya kepada kurikulum
dan dapat menyerap faidahnya. Dengan ini, murid akan sampai kepada tujuan pendidikan
dan pengajaran yang dicarinya.
Al-Ghazali telah menggariskan tujuan pendidikan berdasarkan pandangannya
tentang hidup dan nilai-nilai hidup, dengan kata lain, sesuai dengan falsafah hidupnya.
Kemudian dia meletakkan kurikulum yang dipandangnya sejalan dengan sasaran dan
tujuan pendidikannya. Dia mengklasifikasikan ilmu-ilmu serta menerangkan nilai-nilai dan
faidah-faidahnya kepada murid. Dia menyusun ilmu-ilmu berdasarkan kepentingan dan
faidahnya. Selanjutnya, ia menerangkan dasar-dasar yang harus diterapkan oleh guru dalam
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah metode mengajar secara
umum yang telah digariskan oleh al-Ghazali.
Pendidikan agama dan akhlak merupakan sasaran yang paling penting. Dia
memberikan metode yang benar untuk pendidikan Agama, pembentukan akhlak dan
pensucian jiwa. Dia berharap dapat membentuk individu-individu yang mulia dan
bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan kepada seluruh umat manusia.
Oleh karena akal manusia merupakan alat untuk mencapai ilmu, maka al-Ghazali
menempatkannya pada kedudukan yang terhormat. Secara khusus dia telah mengadakan
pengkajian tentang akal, tabiat dan kekuatan fitrah manusia. Dia telah menulis tentang
tabi’at-tabi’at manusia dan perbedaan-perbedaan individual, seperti: kemampuan berpikir
dan tingkat kecerdasan serta materi-materi lain yang secara langsung berhubungan erat
dengan masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.

Riwayat Singkat Al-Ghazali


Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-
Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi’i. Di dunia Barat ia lebih dikenal dengan sebutan “Algazel”.
Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di perkampungan kecil bernama Ghazalah, daerah Thus,
Khurasan, Iran.
Ia memiliki nama kunyah “Abu Hamid” karena salah seorang anaknya bernama
Hamid. Gelar beliau “al-Ghazali” dikaitkan oleh para peneliti sebagai nisbah terhadap
kampung kelahirannya yaitu Ghazalah dan berkaitan dengan profesi ayahnya yang bekerja
sebagai ghazzal al-shuf yaitu pemintal benang wol. Sedangkan gelar “asy-Syafi’i”
menunjukkan bahwa ia berpegang pada mazhab Syafi’i.
Imam al-Ghazali adalah seorang ulama besar, ahli pikir, ahli filsafat islam, dan ahli
teolog yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi kemajuan manusia dan
ilmu. Ia telah banyak mengeluarkan karya-karyanya dalam berbagai bidang keilmuan
seperti ilmu agama, filsafat, tasawuf, akhlak, politik, dan lainnya. Salah satu karyanya yang
terkenal ialah Ihya ‘Ulum ad-Din.
Imam al-Ghazali mengawali pendidikannya dengan mendatangi guru-gurunya,
dimana guru-guru tersebut tidak meminta bayaran karena tahu al-Ghazali berasal dari
keluarga yang miskin. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau
menguasai bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Karena minatnya yang mendalam terhadap
ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, ushul fiqh, filsafat, dan
mempelajari ilmu-ilmu empat mazhab. Selepas itu, beliau melanjutkan pembelajarannya
bersama gurunya yaitu Ahmad ar-Razikani dalam bidang ilmu fiqh, Abu Nash al-Ismail di
Jurjan, dan Imam al-Haramain di Naisabur. Di kota Naisabur inilah, al-Ghazali belajar
kepada Imam al-Haramain di sebuah madrasah yang bernama Madrasah Nizhamiyah
Naisabur. Sepeninggal al-Haramain, al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madarasah
tersebut.
Tak puas dengan itu, al-Ghazali melanjutkan pengembaraannya ke kota Muaskar
menemui Nidzam al-Mulk. Karena kecerdasan yang dimiliki oleh al-Ghazali, beliau
ditetapkan sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Sebuah universitas yang
didirikan oleh Nidzam al-Mulk (Perdana Menteri Kerajaan Saljuk) di Baghdad pada tahun
484 H. Kemudian al-Ghazali dilantik pula sebagai Naib Konselor di sana.
Empat tahun kemudian, al-Ghazali meninggalkan Baghdad menuju Makkah untuk
berhaji. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya ke Syiria dan Palestina untuk menimba
ilmu dari ulama-ulama di sana. Ia juga pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji. Setelah
itu ia pergi ke Syiria untuk menetap di sana. Namun, tidak lama di sana ia diminta untuk
kembali ke Baghdad. Tetapi Baghdad sudah menjadi kota yang gerah untuk kotemplasinya.
Akhirnya pada 492 H/1099 M ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya, Thus.
Di Thus, beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Satu tahun kemudian, al-Ghazali
meninggal pada 14 Jumadil Akhir 505 H. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya

B. Pembahasan
1. Kepentingan Ilmu dan Pengajaran
Ada hal-hal yang paling penting untuk diperhatikan didalam mengkaji
pemikiran al-Ghazali dalam lapangan paedagogik, antara lain ialah besarnya
perhatian al-Ghazali terhadap ilmu dan pengajaran, serta kuatnya keyakinan bahwa
pengajaran yang benar merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala dan mencapai kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat. Atas dasar ini, maka
al-Ghazali menempatkan guru pada kedudukan yang tinggi dan menaruh
kepercayaannya kepada guru yang shaleh, yang dipandangnya sebagai pembimbing
dan pendidik yang paling baik.
Al-Ghazali memulai bukunya, Ihya’u Ulumuddin, juz 1, dengan
menerangkan keutamaan ilmu dan pengajaran. Selanjutnya dia menggambarkan
kedudukan tinggi para ahli ilmu dan ulama dengan mengutip firman-firman Allah
Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta perkataan orang-
orang bijaksana dan ahli pikir. Pandangannya tentang perkara ini sangat kuat. Ini
terbukti dengan seringnya beliau menerangkan kedudukan ulama dalam juz-juz
berikutnya dan buku-bukunya yang lain. Sebagai contoh, dia mengatakan:
“Makhluk yang paling mulia di muka bumi ialah manusia. Sedangkan bagian
tubuh manusia yang paling mulia adalah hatinya. Guru sibuk
menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikannya, serta menuntunnya
untuk dekat kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu bukan
hanya termasuk aspek ibadah kepada Allah Ta’ala belaka, melainkan juga
termasuk khilafah Allah Ta’ala. Dikatakan khilafah karena hati orang alim
telah dibukakan oleh Allah Ta’ala untuk menerima ilmu yang merupakan sifat-
Nya yang paling khusus. Orang alim adalah bendaharawan yang mengurusi
khazanah Allah Ta’ala yang paling berharga.” (Ihya’u Ulumuddin, vol. I, hal.
13)
Di dalam Fatihatul ‘Ulum, (hal. 15) disebutkan:
“Kesempurnaan manusia dalam bertaqarub kepada Allah Ta’ala, sebenarnya
ditentukan oleh ilmu. Jika ilmunya lebih banyak dan lebih sempurna, maka dia
pun akan lebih dekat dan lebih menyerupai Malaikat”.
Kemudian al-Ghazali menerangkan keutamaan dan kepentingan ilmu
dengan mengutip ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dia menerangkan keutamaan mengajar dan kewajiban para ahli ilmu. Dia
mengatakan bahwa apabila seorang alim tidak merasa gembira dengan ilmunya,
tidak mengamalkannya serta tidak mengajarkannya, maka tak ada bedanya
bagaikan orang yang menumpuk harta, tapi tidak memanfaatkannya.
Di dalam Fatihatul ‘Ulum (hal. 15), al-Ghazali melukiskan kepentingan dan
kewajiban mengajar serta perlunya ada keikhlasan di dalam melaksanakannya,
seraya berkata:
“Seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Orang-orang
yang berilmu akan binasa kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya.
Dan orang-orang yang mengamalkan ilmunya akan binasa kecuali orang-orang
yang ikhlas.”
Selanjutnya dalam Ihya’u Ulumuddin, (vol. I, hal. 52), al-Ghazali
mengungkapkan:
“Barangsiapa berilmu dan mengamalkan ilmunya, maka dialah yang disebut
agung di kerajaan langit. Dia bagaikan matahari yang selain menerangi dirinya
sendiri juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi yang harum
dan memercikkan keharuman kepada orang yang berpapasan dengannya.
Barangsiapa yang menyibukkan dirinya dalam mengajar, berarti dia telah
meraih perkara yang agung. Oleh sebab itu, hendaklah seorang guru
memperhatikan tata krama dan tugas-tugasnya. .”

2. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghazali


Suatu sistem pendidikan apapun harus mempunyai filsafat khusus yang
mengarahkannya, serta menggariskan langkah-langkah dan metode-metodenya.
Secara alami, filsafat dan pandangan al-Ghazali tentang hidup secara umum telah
menjadi pendorong kepadanya untuk berpikir tentang sistem pendidikan tertentu
yang dibatasi dengan tujuan yang jelas. Setelah mengkaji tulisan al-Ghazali tentang
pengajaran dan pendidikan, dapat diketahui secara jelas bahwa dia mengarah ke
dua sasaran, yakni: kesempurnaan insani yang tujuannya adalah taqarub
(mendekatkan diri) kepada Allah, dan kesempatan insani yang tujuannya
kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu al-Ghazali gigih mengajar
masyarakat hingga mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkannya.
Pada umumnya, pendidikan Islam menonjol dengan karakteristik religius
dan moralisnya, yang tampak secara jelas dalam tujuan-tujuan dan metode-
metodenya. Dengan tidak mengesampingkan urusan-urusan duniawi, pandangan
al-Ghazali tentang pendidikan secara umum sesuai dengan konsepsi pendidikan
Islam, konsepsi yang religius moralis. Dia memandang bahwa untuk urusan-urusan
dan kebahagiaan duniawi hanya merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup
di akhirat yang lebih utama dan kekal daripada kehidupan di dunia. Dia
mengatakan:
“Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat. Dunia adalah
alat yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Sudah barang tentu, bagi
orang yang menjadikan dunia sebagai alat dan tempat persinggahan, bukan
bagi orang yamg menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan negeri
yang abadi”. (Ihya’u Ulumuddin, vol. III, hal. 12)
Hanya saja, bila ditinjau dari warna agamisnya yang menampilkan corak
tersendiri bagi pendidikan Islam, pendapat-pendapat al-Ghazali lebih banyak
cenderung kepada pendidikan ruhaniah. Kecenderungan ini sejalan dengan
filsafatnya yang sufi. Jadi, menurut al-Ghazali, tujuan pendidikan ialah
kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan
melalui pencaharian keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan
memberinya kebahagiaan di dunia serta mendekatkannya kepada Allah, sehingga
dia akan mendapatkan pula kebahagiaan di akhirat.
Keadaan al-Ghazali sebagai orang yang taat beragama dan ahli tasawuf
telah mempengaruhi pandangannyatentang hidup dan nilai-nilai hidup. Keadaan ini
juga mendorong dia untuk mendekatkan diri kepada Allah dan pencapaian
kebahagiaan akhirat sebagai tujuan akhirnya. Meskipun demikian, keadaan ini tidak
membuat dia lupa akan pentingnya menuntut ilmu yang murni (pure science). Ilmu
itu sendiri memiliki beberapa keistimewaan dan kebaikan. Dia mengungkapkan:
“Baik secara khusus (tercapai ilmu itu sendiri) maupun secara umum, imu adalah
keutamaan”. (Ihya’u Ulumuddin, vol. I).
Beranjak dari sini, al-Ghazali memandang bahwa pencapaian ilmu sudah
merupakan suatu tujuan pendidikan. Ilmu mempunyai nilai-nilai, dan dengan ilmu
seseorang akan mendapatka kenikmatan dan kesenangan. Al-Ghazali:
“Apabila saya melihat ilmu, maka saya lihat ada kenoikmatan didalamnya.
Oleh karena itu, secara khusus, ilmu harus dituntut. Sayaa mendapatkan bahwa
ilmu itu merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan akhirat, dan ia satu-
satunya pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya,
kedudukan yang paling agung bagi manusia adalah kebahagiaan yang abadi.
Sedangkan perkara yang paling utama adalah jalan yang menyampaikan
sesorang kepada kebahagiaan itu. Jalan itu hanya akan dicapai dengan ilmu dan
amal, sedangkan amal hanya akan dapat diperoleh dengan memiliki ilmu
tentang cara-cara beramal. Ringkasnya, pangkal kebahagiaan di dunia dan
akhirat adalah ilmu. Jadi, ilmu adalah amal yang paling utama”.

C. Penutup
1. Simpulan
Jadi, menurut al-Ghazali, pendidikan merupakan sarana manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan melalui jalur ilmu pengetahuan.
Dengan ilmu pengetahuanlah manusia dalam kehidupan sosialnya memiliki derajat.
Pada hakikatnya pendidikan memiliki berbagai macam tujuan, akan tetapi menurut
al-Ghazali yang memiliki pemahaman sufistik memfokuskan segala tujuan kesudut
ibadah kepada Allah.
Hal ini nampak terlihat dari pandangannya mengenai materi pendidikan yang
menggandeng antara akal hati dan akhlak sebagai kesatuan dalam proses
pembelajaran.
Pendidikan di matanya tidak hanya sekedar pemberian ilmu tapi lebih ke efek dari
pemberian ilmu tersebut. Oleh sebab itu, metode yang digunakannya pun
memadukan 3 unsur yakni psikologis, sosiologis dan pragmatis sehingga
terwujudnya pendidikan yang ideal.
2. Saran
Konsep pendidikan yang dibawa oleh al-Ghazali sangat cocok jika diterapkan di
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Walapun sudah banyak pesantren-
pesantren yang berdiri di Indonesia namun belum diketahui ada pesantren yang
menerapkan konsep pendidikan al-Ghazali secara gamblang.
Daftar Pustaka

Rusn, Abidin Ibnu. 2009. Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Sulaiman, Fathiyyah Hasan. 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan
Ilmu (Terjemahan I. Herry Noer Ali). Bandung: CV Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai