Anda di halaman 1dari 18

36

C. KAJIAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU

3.1. Dimensi Ontologi

3.1.1. Definisi Ontologi

a. Menurut Bahasa :

Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / ontos = being atau ada,

dan logos = logic atau ilmu.

Jadi, ontologi bisa diartikan :

The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai

keberadaan), atau Ilmu tentang yang ada.

b. Menurut istilah :

Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang

merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani / kongkret maupun

rohani / abstrak (Bakhtiar, 2004).

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat

sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta

yang berarti yang berada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran.

Dengan demikian Ontologi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran tentang

yang berada. (Dr. A. Susanto, M.Pd. 2011)

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada

tahun 1636. Ontology tersebut diperkenalkan untuk menamai teori tentang


37

hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya

metafisika terbagi menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika

khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontology.

(Christian Wolff, 1679-1757)

Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah

hanya setelah melalui pengkajian atau penelitian berdasarkan epistimologi

keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah

pertama adalah melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya

secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einsten dalam Zainuddin

(2006: 27) bahwa : Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula,

apa pun teori yang disusunnya.

3.1.2. Objek Kajian Ontologi

Objek kajian telaah ontology adalah semua yang ada, yaitu ada

individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada

mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian

maupun sumber segala yang ada, yaitu Tuhan yang maha Esa, pencipta dan

pengatur serta penguasa alam semesta.

A. Metode dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkat abstraksi dalam ontology,

yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik
38

menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; abstraksi bentuk

mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum yang menjadi dasar dari

semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontology adalah abstraksi

metafisik. Metode pembuktian dalam ontology oleh Lorens Bagus dibedakan

menjadi dua, yaitu: pembuktian apriori dan pembuktian a posteriori.

B. Metafisika

Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu

yang bersifat keluarbiasaan (beyond nature), yang berada diluar

pengalaman manusia (immediate experience). Metafisika mengkaji sesuatu

yang berada diluar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya

(keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada

diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia. (Asmoro Achmadi, 2005:

14)

Singkatnya, metafisika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan

hal-hal yang berada dibelakang gejala-gejala yang nyata. Jika ditinjau dari

segi filsafat secara menyeluruh metafisika juga ilmu yang memikirkan hakikat

di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu

dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh

pancaindra.

Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas

dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisik keilmuan harus

didasarkan kepada karakteristik objek ontologism sebagaimana adanya (das


39

sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti,

bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Metafisika

umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika umum

atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling

dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada.

Manusia berpendapat bahwa di alam ini terdapat wujud-wujud

supranatural (bersifat gaib) yang mana wujud-wujud tersebut lebih tinggi

atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animism (roh-roh bersifat

gaib yang terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh

kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supranaturalisme. Lalu ada paham

naturalisme yang menolak secara keras paham supranaturalisme, paham

naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh

pengaruh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam

itu sendiri.

C. Asumsi

Asumsi merupakan pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori

dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional. Yang berkenaan dengan

konsep-konsep, dan pengandaian-pengandaian. Dengan demikian, filsafat

ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang

digunakannya, dan juga dengan perluasan serta penyusunan yang lebih ajeg

dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.


40

3.1.3. Aliran-Aliran dalam Metafisika Antologi

Di dalam pemahaman atau pemikiran ontology dapat ditemukan

pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti: Monoisme, dualisme,

pluralisme, dan agnitisisme. Berikut ini akan dijelaskan tentang pokok-pokok

pemikiran tersebut.

A. Aliran Monoisme

Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh

kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat

saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa

ruhani. Tetapi aliran monoisme pun terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Aliran Materialisme (Naturalisme)

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu materi, bukan rohani.

Menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu.

2. Aliran Idealisme (Supranaturalisme)

Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka raga mini

berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.

Materi atau zat itu hanyalah salah satu bentuk dari penjelmaan ruhani

B. Aliran Dualisme

Aliran dualism adalah aliran yang mencoba memadukan dua paham

yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran

dualisme materi atau ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul


41

bukan karna adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karna materi. Akan

tetapi, dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah

dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut.

Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari dua macam

hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham aliran yang

serba dua, yaitu antara materi dan bentuk. Menurut paham dualisme, didalam

dunia ini selalu dihadapkan kepada dua pengertian, yaitu yang ada sebagai

potensi dan yang ada sebagai terwujud. Keduanya adalah sebutan yang

melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidios).

C. Aliran Pluralisme

Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk

merupakan kenyataan. Pluralism bertolak dari keseluruhan dan mengakui

bahwa segenap macam bentuk itu nyata adanya. Pluralism sebagai paham

yang menyatakan bahwa kenyataan ala mini tersusun dari banyak unsure,

lebih dari satu atau dua entitas.

D. Aliran Nikhilisme

Selanjutnya pada aliran nikhilisme menyatakan bahwa dunia terbuka

untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas

alternative positif. Dalam pandangan nikhilisme, Tuhan sudah mati. Manusia

bebas berkehendak dan berkreativitas.


42

E. Aliran Agnotisisme

Sedangkan aliran agnotisisme menganut paham bahwa manusia tidak

mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya. Manusia tidak

mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan sebagainya. Sebab menurut

aliran ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa

hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indranya maupun oleh pikirannya.

Paham agnotisisme mengingkari kemampuan manusia untuk mengetahui

hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.

3.1.4. Teologi

Teologi juga merupakan bagian dari kajian bidang ontologi. Dalam

kamus teologi, dijelaskan bahwa teologi dalam bahasa Yunani artinya

pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha meyodis untuk memahani dan

menafsirkan kebenaran wahyu (gerald OCollins dan Edward G., 2001; 314).

Dalam bahasa latin teologi dairtikan ilmu yang mencari pemahaman,

maksudnya dengan menggunakan sumber daya rasio, khususnya ilmu

sejarah dan filsafat, teologi selalu mencari dan tidak pernah sampai pada

jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.

Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup filsafat

metafisika, adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada

kejadian alam. (Sudarsono, 2001 : 129). Pembahasan filsafat ini mengkaji


43

keteraturan hubungan antara benda-benda alam sehingga orang meyakini

adanya pencipta alam atau pengatur alam tersebut.

Teologi dalam kajian filsafat metafisika memliki arti penting dalam

pemikiran kefilsafatan. Pemikiran tersebut muncul sejak dari para filosof

Yunani, kemudian dilanjutkan oleh kaum Sophi dan masa Sokrates, juga

filsafat pada abad pertengahan, terutama dengan hadirnya filosof kristen,

hingga perkembangan filsafat dewasa ini.

2.2. Dimensi Epistimologi

2.2.1 Pengertian Epistimologi

Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli

yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi

itu. Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of

knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi bersal dari bahasa Yunani

episteme, yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya ilmu atau teori.

Jadi, epistemologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari

asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas)

pengetahuan.

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan

pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah

sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup


44

pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk

ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965,

dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).

Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan

sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaaan mengenai

pilihan landasan ontologi akan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam

menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal, budi, pengalaman, atau

kombinasi antara akal budi dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang

dimaksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan adanya model-

model epistemologis seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, atau

rasionalis kritis, postitivisme, fenomenologis, dengan berbagai variasinya.

Pengetahuan yang diperoleh manusia melalu akal, indera, dan lain-

lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya

adalah :

A. Metode Induktif

Induksi yaitu suatu objek yang menyampaikan pernyataan-pernyataan hasil

obeservasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.


45

B. Metode Deduktif

Deduksi ialah metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah

lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.

C. Metode Positivisme

Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode ini

berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang positif.

D. Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk

memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang akan dihasilkan pun akan

berbeda-beda. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi ini dapat diperoleh

dengan cara berkontemplasi.

E. Metode Dialektis

Dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan

metode-metode penuturan, juga nalisis sistematis tentang ide-ide untuk

mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.

2.2.2. Persyaratan Epistimologi

Ilmu harus memiliki dasar pembenaran, bersifat sistematis dan

sistemik serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri tersebut saling terkait dan
46

merupakan persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut sebagai

pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersebut menurut

Conny R. Semiawan (2005 : 99) adalah sebagai berikut.

A. Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan

pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus

dirasakan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil

kerja empiris.

B. Semantik dan sistematis masing-masing menunjuk pada susunan

pengetahuan yang didasarkan pada penyelidikan (research) ilmiah

yang keterhubungannya merupakan suatu kebulatan melalui

komparasi dan generalisasi secara teratur.

C. Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan tidak dirasakan atas intuisi

dan sifat subjektif orang seorang, namun harus ada kesepakatan dan

pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu didalam setiap bagian

dan didalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai

intersubjektivitas.

3.2.3. Aliran-Aliran Dalam Epistimologi

Secara garis besar, terdapat dua aliran pokok dalam dimensi

Epistemologi. Kedua aliran tersebut adalah alirann rasionalisme dan

empirisme, dari kedua aliran ini kemudian lahirlah aliran isme yang lainya,
47

misalnya rasionalisme kritis (kritisime), fenomenalisme, instuisionisme,

positivisme, dan seterusnya.

Rasionalisme adalah suatu aliran yang pemikiran yang menekankan

pentingnya peran akal atau ide sebagai bagian yang sangat menentukan

hasil keputusan atau pemikiran. Hasil pemikiran filosof pada jaman klasik

hingga kini pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini, rasio dan indera. Dari

rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologis

idealisme atau spiritualisme, dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang

berpijak pada dasar ontologis materialisme. Rasionalisme timbul pada masa

renaissance yang dipelopori oleh Rene Decrates, seorang yang

berkebangsaan prancis yang dijuluki sebagai bapak filsafat modern.

Rasionalisme dikembangkan berdasarkan ide dari Plato. Bagi Plato,

alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-

ubah. Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan inderawi tidak

memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-

ubah. Menurut Plato, ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera

diragukan kebenarannya.

Sedangkan filsafat empiris berasal dari filsafat yang dikembangkan

oleh aristoteles, yang mengatakan bahwa realitas yang sebenarnya adalah

terletak pada benda-benda konkret, yang didapat oleh indera,bukan pada ide
48

sebagaimana yang disebutksn oleh Plato. Jadi, menurut Aristoteles sumber

ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris.

Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosof-filosof inggris seperti

F.Bacon, Thommas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume.

Menurut John Locke, ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Bagi

Locke, manusia dilahirkan dalam keadaan bersih,bagaikan kertas putih yang

lebih dikenal dengan teori tabularasa, di mana melalui kertas putih inilah

tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai

tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan

tersebut.

Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa segenap

proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.

Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori

pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan,

sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui

dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa

terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah

sama sekali.
49

3.3. Dimensi Aksiologi

3.3.1 Pengertian Aksiologis

Istilah aksiologis berasal dari Bahasa Yunani (axios) yang berarti nilai,

dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang

nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk

melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang

nilai yang dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika.

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang

umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga

menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam

menerapkan ilmu ke dalam praktis.

Aksiologi atau etika adalah studi tentang prinsip-prinsip dan konsep

yang mendasari penilaian terhadap perilaku manusia. Contohnya tindakan

yang membedakan benar atau salah menurut moral, apakah kesenangan

merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang baik, apakah

putusan moral bertindak-sewenang atau bertindak sekehendak hati. Aksiologi

merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia

menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang

tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang

mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan


50

sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa

memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya serta

di jalan yang baik pula.

3.3.2. Objek Aksiologis

Aksiologis memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk

nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan

(estetika). Aksiologis ini juga mengandung pengertian lebih luas dari pada

etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).

Filsafat ilmu juga menyibukan diri dengan berbagai masalah yang

datang dari konsep-konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi,

misalnya penjelasan peristiwa-peristiwa dipandang dari tujuannya atau

kesudahannya, penjelasan sebab-musabab, hubungan antara ilmu-ilmu yang

berbeda, keadaan di mana satu ilmu berkurang untuk ilmu lain, dan konsep-

konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu per satu.

Dalam Aksiologi ada dua penilaian yang umum digunakan, yaitu etika

dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan

sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada perilaku,

norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah satu cabang filsafat

tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa

Sokrates dan para kaum Shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah


51

kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku

Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai

pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan

pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini

sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan

dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak

menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah

pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia

mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.

1. Etika

Etika disebut sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan

(kegiatan menilai). Etika merupakan standar prinsip atau standar prilaku

manusia, yang kadang-kadang disebut dengan moral. (Conny R.

Semiawan).

Ditinjau secara filosofis, sangat sukar mengatakan semua itu sebagai

hal yang objektif, sebab boleh dikatakan segala sesuatau boleh dikatakan

mengenai hampir semua keberadaan di alam ini adalah hasil kesepakatan,

yang dipelopori oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang

dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh
52

masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu

pengetahuan pada umumnya universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.

Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan

kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan

manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan

hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika

meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku

manusia baik buruknya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang

pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan

fenomena disekelilingnya.

2. Estetika

Estetika mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni.

Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hekikat indah dan

buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi

yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah

dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan

pembentukan mode-mode yang esteris dari suatu pengetahuan ilmiah

tersebut.
53

A. Universal

Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi

oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu harus berlaku umum, lintas

ruang dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga dapat berarati hukum-

huum fisika yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika Serikat, baik

sekarang maupu seratus tahun yang lalu, dengan beberapa catatan,

misalnya kondisi-kondisi yang rekevan di tempat-tempat dan di waktu-waktu

yang dibandingkan itu sama.

B. Dapat Dikomunikasikan (communicable)

Maksudnya, apabila bahsa tidak merupakan kendala, pengetahuan itu bukan

saja dimengerti sebatas artinya, tetapi juga maknanya. Jadi, memberikan

pengetahuan baru kepada orang lain dengan tingkat kepercayaan cukup

besar. Terpenuhinya dengan baik sifat intersubjektif suatu pengetahuan

sangat membantu menjadi communicable.

C. Progresif

Progresif dapat diartikan sebagai adanya kemajuan, perkembangan, atau

peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntutan modern untuk ilmu. Sifat

ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh

(holistic, comprehensive). Mendasar (radical), kritis, dan analitis yang

menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai