BIOGRAFI PLATO
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal disana pada tahun 347
SM (usia 80 tahun). Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang
jabatan penting dalam politik Atena. Sejak muda, Ia pun sudah bercita-cita untuk menjadi
orang negarawan, tetapi perkembangan politik pada masanya tidak memberi kesempatan
pada Plato untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu.
Nama Plato, sebenarnya ialah Aristokles. Nama “Plato” adalah julukan yang diberikan oleh
seorang pelatih gymnastiknya. Plato dalam bahasa Yunani berasal dari kata benda "platos"
(kelebarannya/lebarnya) yang dibentuk dari kata sifat "platus" yang berarti (lebar). Dengan
demikian, nama Plato berarti "si lebar". Plato memperoleh nama baru itu berhubungan
dengan bahunya yang lebar, sepadan dengan badannya yang tinggi dan tegap. Julukan itulah
yang kemudian menjadi populer dan dikenal hingga hari ini.
Plato memiliki ayah bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan Kodrus, raja terakhir
Athena yang hidup sekitar 1068 SM yang sangat dikagumi rakyatnya karena kecakapan dan
kebijaksanaannya ketika memerintah Athena. Ibu Plato bernama Periktione yang merupakan
keturunan Solon, tokoh legendaris dan keturunan agung Athena yang hidup sekitar seratus
tahun lebih awal dari Periktione.
Dua Dunia
Menurut Plato dalam bukunya yang terkenal “The Republic”, dia mempercayai
bahwa ada dua dunia, yakni dunia spriritual yang abadi dan permanen dan universal dan ada
juga dunia pendekatan atau dunia penglihatan, sentuhan, bau, rasa, dan suara yang berubah,
tidak teratur, dan tidak sempurna.
Berdasarkan pandangannya ini, Plato menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia
idea yang hanya terbuka bagi rasio (dunia rasional), dan dunia jasmani yang hanya terbuka
bagi panca indra (dunia indrawi). Dalam dunia rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian,
perubahan dan kenisbian hanya ada dalam dunia indrawi. Sebagai contoh, singa ini atau
singa itu akan mati, namun singa pada umumnya, yakni idea tentang singa, akan tetap dan
tidak berubah. Begitu juga dengan benda-benda yang lain semisal kursi, meja dan lain-lain
pasti akan musnah, akan tetapi idea tentang meja, kursi dan lain-lain itu akan tetap.
Dua dunia tersebut juga memiliki kategori yang berbeda. Pertama, dunia spiritual
atau dunia mental yang bersifat abadi, permanen, berurutan, teratur, dan universal. Di
dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian
kedudukannya lebih tinggi dari yang nampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Kedua, dunia penampakan yaitu dunia pengalaman melalui penglihatan, sentuhan, bau, rasa,
dan suara yang sifatnya berubah, tidak sempurna, dan tidak teratur.
Menurut falsafahnya, dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah
dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan,
hakikatnya hanyalah tiruan dan tidak sempurna dari yang asli yaitu idea. Keadaan idea
sendiri sifatnya bertingkat dan satu dalam setiap macamnya. Tingkat idea yang tertinggi
adalah idea kebaikan, di bawahnya ada idea jiwa dunia yang menggerakkan dunia,
berikutnya adalah idea keindahan yang menimbulkan seni, ilmu, pendidikan, dan politik. Ada
dua cara untuk mengenal kedua dunia itu, dunia indrawi dapat dikenal lewat panca indra,
sedangkan dunia ide dikenal lewat akal budi.
Lebih lanjut, Plato juga mengajarkan bahwa idea-idea tidak lepas dari yang lain. Ide
seekor singa misalnya, mempunyai hubungan dengan “idea satu”, sedangkan “idea satu”
sendiri mempunyai hubungan dengan “idea ganjil”. Contoh lain, “idea api” mempunyai
hubungan dengan “idea panas” dan lain sebagainya.
Dalam dunia idea ada juga idea-idea lain seperti kemuliaan, kerajinan, keindahan,
dan kebaikan, semuanya sempurna. Adapun dunia kedua ialah dunia pengamatan ini. Seperti
semua badan, juga yang tidak berjiwa, badan manusia menduduki sebuah tempat di dunia,
mempunyai bentuk material tertentu, dapat diukur, dan dihitung, juga terikat pada perubahan
dan waktu.
Manusia mempunyai pengetahuan dua macam, tentang dunia pengamatan dan
mengenai dunia idea, itu membuktikan bahwa manusia termasuk penghuni dalam dua dunia
itu, tetapi bukan secara keseluruhan manusia menjadi penghuni dunia idea, melainkan hanya
jiwa manusia itu saja. Menurut Plato, manusia terdiri dari badan yang material dan jiwa yang
tidak material. Jiwa itu dahulu tinggal di dunia idea, dan bahagialah ia dengan segala
kepuasan memandangi dan mengerti idea-idea yang sempurna itu.
Idea Bawaan
Manusia sebelum terlahir di dunia, telah mendapatkan idea bawaan yang ia dapat dari
dunia idea. Dengan idea bawaan ini, manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu
sehingga pada kemudian hari lahirlah ilmu pengetahuan. Manusia hanya perlu mengingat
kembali idea-idea bawaan itu jika ia ingin memahami sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam
idea inilah realitas yang sesungguhnya, sedangkan yang tampak dalam wujud nyata alam
indrawi bukanlah alam yang sesungguhnya (S. E. Frost, 1966 dikutip dalam Emma Dysmala
Somantri, 2012: 487).
Plato juga berpendapat bahwa kenyataan yang sesungguhnya bersifat spiritual atau
idea-sional dan beranggapan bahwa pengetahuan yang didapat melalui panca indra belum
mencapai kebenarannya. Kebenaran yang sebenarnya adalah bersifat tetap secara tidak
disadari telah hadir dalam pikiran mereka. Anggapan tersebut berakibat bahwa setiap
manusia mempunyai jiwa yang hadir lebih dahulu sebelum kelahiran raganya yang hidup
dalam dunia spiritual dari bentuk sempurna (ide-ide).
Pengetahuan Sejati
Berangkat dari teorinya tentang idea, Plato meneruskan penjelasannya tentang
pengetahuan sejati (true knowledge). Plato percaya bahwa segala sesuatu yang kita lihat di
sekeliling kita di alam ini, segala sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun,
sebab tidak ada sesuatu pun di dunia indrawi yang abadi. Manusia dan hewan lambat laun
akan mati dan membusuk, bahkan balok marmer pun lambat laun akan hancur, sehingga
Plato berkesimpulan bahwa kita tidak akan dapat memiliki sesuatu pengetahuan yang sejati
(true knowledge) dari segala sesuatu yang selalu berubah atau dari pengalaman indrawi. Kita
hanya akan mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dipahami oleh akal
kita.
Menurut Plato yang dapat menunjukkan pengetahuan sejati (true knowledge) adalah
matematika, karena matematika itu tidak pernah berubah dan selalu benar. Sebagai contoh:
bila seorang guru menanyakan pada murid-muridnya tentang warna pelangi apakah yang
paling indah? Barangkali dia akan mendapatkan banyak jawaban yang berbeda-beda, tetapi
jika ditanya berapakah 8X3? Maka seluruh murid akan memberikan jawaban yang sama
yaitu 24. Pengetahuan tersebut dianggap sejati karena meggunakan akal, bukan berbicara
tentang perasaan, maka akal tersebut hanya akan mengungkapkan keadaan yang kekal dan
universal.
Konsep pengembangan ilmu pengetahuan yang digagas Plato dapat dibedakan
menjadi 2 macam yaitu: pengetahuan yang bersifat indrawi (sensual) dan pengetahuan yang
bersifat kejiwaan. Menurut Plato, pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan sarana
indrawi hanya merupakan kesan-kesan yang bersifat sementara dan senantiasa berubah.
Sementara pengetahuan yang diperoleh melalui proses perenungan kejiwaan dapat
melahirkan kebijaksanaan dan keabadian nilai.
Bagi Plato pendidikan dan pengalaman tidak berpengaruh; pengetahuan sejati
merupakan bawaan dalam diri kita. Kita tidak harus mengandalkan indra kita untuk
memperoleh pengetahuan mengenai dunia. Sedangkan pengetahuan sejati itu terdiri dari
konsep/idea-idea yang telah ada dalam kepala kita, bukan informasi yang datang melalui
indra (Linda Smith & William Raeper, 2000: 16). Maksud Plato dari idea tersebut bukan
hasil suatu gagasan yang terdapat dalam pemikiran saja yang bersifat subyektif belaka atau
menduga-duga berdasarkan selera masing-masing orang, melainkan sesuatu yang objektif
yang tidak diciptakan oleh pikiran manusia.
Plato juga menegaskan bahwa hasil pengamatan indrawi tidak dapat memberikan
pengetahuan yang kokoh karena sifat yang selalu berubah-ubah. Sesuatu yang berubah- ubah
tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu, suatu ilmu pengetahuan agar dapat
memberikan pengetahuan yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang
tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu
alam yang tetap dan kekal, suatu alam tersebut adalah dunia idea.
DUALISME PLATO
Badan dan jiwa berbentuk dua substansi lengkap yang saling mempengaruhi. Doktrin
ini sering disebut Dualisme atau teori “roh di dalam mesin”. Akal umum melihat bahwa jiwa
dapat menggerakkan badan. Jiwa seseorang dapat berkeinginan, “aku mau menggerakkan
tanganku”, lalu tangan itu pun bergerak dengan seketika. Jika aku takut, jantungku berdebar
lebih cepat. Jika aku diancam, mukaku menjadi marah. Begitu juga dapat dilihat bahwa
badan mempengaruhi jiwa. Jika aku lelah secara fisik, maka semangatku terasa lesu. Jika aku
menerima suatu pukulan terlalu keras, maka aku jatuh pingsan. Itulah fakta-fakta, dan setiap
teori mengenai jiwa dan badan itu harus menghormatinya.
JIWA MANUSIA
Plato juga menjelaskan terkait jiwa manusia. Ia mengatakan bahwa setiap manusia
memiliki tiga bagian jiwa, yaitu nous (kecerdasan atau akal pikiran) merupakan daya
rasional yang letaknya di otak, thumos (semangat atau keberanian) merupakan bagian
kehendak yang tempatnya di dada, dan epithumia (kebutuhan atau nafsu) merupakan unsur
keinginan atau selera yang tempatnya di perut. Tiga bagian jiwa tersebut memiliki
karakteristiknya masing-masing, namun merupakan bagian yang saling berhubungan. Nous
berfungsi membangun kebijaksanaan, thumos berfungsi mencita-citakan perasaan dalam
dirinya agar dapat diwujudkan, dan epithumia menekankan pada berbagai kebutuhan
badaniah seperti makan, minum, dan seks.
Hubungan antara tiga bagian jiwa tersebut digambarkan oleh Plato dengan mitos
dalam Phaidros yang diibaratkan seorang sais (kusir) yang mengendarai dua kuda. Kuda
yang satu hendak terbang ke atas (sebagai bagian kehendak atau thumos), sedangkan kuda
yang lain menarik ke bawah (sebagai bagian nafsu atau epithumia). Sais (sebagai akal
pikiran atau nous) memiliki tujuan untuk mencapai puncak langit tertinggi supaya dapat
memandang kerajaan idea, tetapi karena kesalahan satu kuda yang selalu ingin ke bawah,
mereka kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke bumi.
Dari gambaran tersebut, maka dapat dipahami bahwa jiwa epithumia atau unsur nafsu
tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu harus berada di bawah
kontrol akal atau jiwa nous agar manusia tidak berlebihan dan berbuat kerusakan demi
memenuhi kebutuhan atau keinginan semata. Tetapi, jika tiga bagian jiwa dalam tubuh
manusia tersebut dapat diseimbangkan sebagai satu kesatuan, maka manusia akan berbudi
luhur.
NEGARA
Terkait dengan jiwa yang terbagi dalam tiga bagian, Plato juga kemudian
menjelaskan bahwa dalam upaya untuk mencapai sebuah kebahagian dengan
menyeimbangkan tiga bagian jiwa tersebut, tentu saja sangat berhubungan dengan kehidupan
jasmaniah atau perilaku manusia di dunia jasmani, yaitu melalui kehidupan bersama dalam
sebuah polis (negara).
Plato membagi negara idealnya menjadi tiga bagian, yaitu pemimpin yang
merupakan kepala negara, pembantu yang merupakan prajurit-prajurit, dan pekerja adalah
para petani, nelayan, tukang-tukang, dan lain sebagainya. Tiga bagian tersebut memiliki
keutamaannya masing-masinng. Keutamaan pemimpin ialah kebijaksanaan, keutamaan
pembantu adalah keberanian, sedangkan keutamaan pekerja adalah ugahari atau
pengendalian diri. Ketiga keutamaan ini harus berjalan selaras agar dapat mencapai
kebahagiaan bersama, untuk itu perlu diterapkan keadilan.
Seorang pemimpin dituntut untuk pandai dan memiliki kebijaksanaan. Maka dari itu,
seorang pemimpin haruslah telah melalui pendidikan yang panjang sehingga memiliki
kepandaian dan kecakapan sesuai dengan tanggungjawabnya yang besar. Dari sinilah,
pendidikan menurut Plato amat penting bagi anak-anak yang kelak akan menjadi seorang
pemimpin. Walau demikian, Plato juga mengatakan bahwa tidak semua orang dapat menjadi
pemimpin, hanya orang yang memiliki kepandai dan kecakapan tertinggi dan mampu
menanggung tanggungjawablah yang pantas jadi seorang pemimpin. Selebihnya, orang-
orang yang tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin dapat menjadi pembantu sebagai
prajurit, atau jika ia tidak memiliki kemampuan berperang, maka cukuplah ia menjadi
seorang pekerja sebagai petani atau pun nelayan dan sebagainya.
Dalam upayanya untuk menyeimbangkan tiga bagian dalam negara tersebut, Plato
menegaskan bahwa harus ada hukum atau undang-undang (nomoi) yang menaungi. Undang-
undang inilah yang harus dipatuhi oleh semua bagian dalam negara tersebut. Undang-undang
yang berguna untuk mengatur sebagai upaya agar terciptanya kebahagian bersama, dapat
dirumuskan oleh para pemimpin negara, atau para ahli dari luar negara seperti filsuf. Hukum
atau undang-undang tersebut, menurut Plato harus seperti “bapak yang baik hati” bukan
sebagai yang jahat. Kemudian setelah hukum tesebut selesai dirumuskan, para pemimpin
perlu membujuk akal budi para warga negara agar memiliki kesadaran bahwa hukum
tersebut memiliki fungsi untuk mengatur agar dapat menuju kebahagian, jika telah disetujui
oleh semua warga negara, maka hukum tersebut dapat diterapkan dan dapat dipaksakan.
Hukuman bagi para pelaku kejahatan juga perlu dirumuskan dan ditetapkan secara singkat
dan tepat.
Jika tiga bagian negara tersebut dapat menjalankan keadilan berdasarkan hukum atau
undang-undang yang telah menjadi kesepakatan bersama, maka negara ideal seperti yang
dijelaskan oleh Plato telah dapat terwujud dan kebahagian akan menyertai seluruh warga
negara.