Anda di halaman 1dari 10

IDEALISME PLATO

BIOGRAFI PLATO
Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal disana pada tahun 347
SM (usia 80 tahun). Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang
jabatan penting dalam politik Atena. Sejak muda, Ia pun sudah bercita-cita untuk menjadi
orang negarawan, tetapi perkembangan politik pada masanya tidak memberi kesempatan
pada Plato untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu.
Nama Plato, sebenarnya ialah Aristokles. Nama “Plato” adalah julukan yang diberikan oleh
seorang pelatih gymnastiknya. Plato dalam bahasa Yunani berasal dari kata benda "platos"
(kelebarannya/lebarnya) yang dibentuk dari kata sifat "platus" yang berarti (lebar). Dengan
demikian, nama Plato berarti "si lebar". Plato memperoleh nama baru itu berhubungan
dengan bahunya yang lebar, sepadan dengan badannya yang tinggi dan tegap. Julukan itulah
yang kemudian menjadi populer dan dikenal hingga hari ini.
Plato memiliki ayah bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan Kodrus, raja terakhir
Athena yang hidup sekitar 1068 SM yang sangat dikagumi rakyatnya karena kecakapan dan
kebijaksanaannya ketika memerintah Athena. Ibu Plato bernama Periktione yang merupakan
keturunan Solon, tokoh legendaris dan keturunan agung Athena yang hidup sekitar seratus
tahun lebih awal dari Periktione.

Masa pendidikan Plato


Masa kecil Plato, diisi dengan berbagai pelajaran umum, selain itu ia juga
mendapatkan pelajaran menggambar dan melukis, kemudian disambung dengan belajar
musik dan puisi. Sebelum dewasa, ia sudah pandai membuat karangan bersajak. Seperti anak
orang baik-baik di masa itu, Plato juga mendapatkan pendidikan dari guru-guru filosofi.
Pelajaran filosofi mulanya ia peroleh dari Kratylos yang merupakan murid dari Herakleitos.
Selain mendapatkan pelajaran tentang filsafat Herakleitos, Plato juga mengenal ajaran
Parmenides yang bertolak belakang dengan pemikiran Herakleitos. Plato juga mengetahui
dengan baik ajaran Orphisme atau yang sering disebut sebagai Mysteri Orphik, yakni suatu
gerakan agamis dan filosofi yang tersebar di Yunani pada awal abad ke-6 SM dan yang
begitu mempengaruhi serta menarik perhatian para penganut Phytagoreanisme di Italia
Selatan. Orphisme mengajarkan dualisme tubuh yaitu jiwa yang terpenjara dalam tubuh dan
tugas manusia adalah membebaskan jiwa dari penjara tubuh itu. Untuk pembebasan jiwa itu
hanya mungkin tercapai lewat upacara kudus.
Selanjutnya, sejak berumur 20 tahun Plato berguru dengan Sokrates. Socrates adalah
guru filsafat yang amat dikagumi, dihormati, dan dicintai oleh Plato. Bagi Plato, Socrates
adalah guru dan sahabat, “the noblest and the wisest and most just” (yang paling mulia dan
paling bijaksana dan yang paling tulus). Ungkapan itu menunjukkan bahwa Socrates
memiliki tempat yang paling khusus dalam kehidupan Plato dan hal itu nampak jelas lewat
karya-karya filsafatnya. Hampir seluruh karya filsafat Plato menggunakan “metode sokratik”,
yaitu metode yang dikembangkan oleh Socrates atau dikenal juga dengan nama “metode
dialektis” atau “elenkhus”.
Metode itu terwujud ke dalam suatu bentuk tanya jawab atau dialog sebagai suatu
upaya untuk meraih kebenaran dan pengetahuan. Plato berhasil menyempurnakan metode
sokratik dengan menuliskan dialog-dialognya ke dalam suatu bentuk kesastraan yang mampu
mempesona begitu banyak orang dari abad ke abad. Dalam hampir semua dialog
Plato, peran Socrates senantiasa ditempatkannya sebagai pelaku utama. Lewat seluruh karya
filsafatnya, Plato seolah-seolah hendak mengabdikan nama gurunya yang amat ia kagumi,
hormati dan cintai itu.
Karena latar belakang pendidikannya tersebut, Filsafat Plato tidak hanya dipengaruhi
oleh paham Socrates tetapi juga dipengaruhi oleh filsuf sebelumnya yang dikenal sebagai
filsuf pra-sokratik seperti Kratylos, Herakleitos, Parmenides, dan ajaran Orphisme. Pengaruh
pemikiran yang lain adalah Phytagoreanisme tentang tubuh dan jiwa sebagai soma-sema yang
artinya tubuh (soma) adalah kubur (sema) jiwa.
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan
lama, mana yang benar antara yang berubah-ubah (Herakleitos) atau yang tetap (Parmenides),
mana yang benar antara pengetahuan lewat indra atau pengetahuan lewat akal? Pengetahuan
yang diperoleh lewat indra disebut pengetahuan indra atau pengetahuan pengalaman, dan
pengetahuan tersebut bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Sedangkan pengetahuan lewat
akal disebut pengetahuan akal dan bersifat tetap atau tidak berubah-ubah.
Jadi Plato, dengan ajarannya tentang ide, berhasil menjembatani pertentangan
pendapat antara Herakleitos dan Parmenides. Plato mengemukakan bahwa ajaran dan
pemikiran Herakleitos itu benar, tetapi hanya berlaku pada dunia pengalaman. Sebaliknya,
pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya berlaku pada dunia ide yang hanya dapat
dipikirkan oleh akal.
Pemecahan Plato terhadap pertentangan antara Herakleitos dan Parmenides, yaitu
bahwa yang serba berubah itu dikenal oleh pengamat, akan tetapi yang tidak berubah dikenal
oleh akal. Misalnya di dalam pengamatan manusia mengenai segi tiga yang bermacam-
macam, ada yang sama sisi ada yang siku-siku, ada yang besar, ada yang kecil dan lain-
lainnya. Segala macam segi tiga itu dikenal dengan melalui pengamatan. Akan tetapi dengan
akal kita sampai kepada segi tiga seperti keadaannya yang sebenarnya, yang tetap, yang tidak
berubah, yang kekal, yang tidak tergantung kepada segi tiga yang kita amati. Demikian juga
halnya dengan "yang baik", "yang benar", dan "yang indah". Dengan melalui akal kita
mengenai yang baik (kebaikan), yang benar (kebenaran) dan yang indah (keindahan).
Demikianlah, Plato berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Herakleitos yang
menyangkal tiap perhentian dan Parmanides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan.
Setiap yang tidak berubah atau yang kekal itu oleh Plato disebut "idea".
Dibandingkan dengan gurunya, Socrates, Plato telah maju selangkah dalam
pemikirannya. Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum merupakan
hakikat dari suatu realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa
hakikat suatu realitas itu bukan “yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang
terpisah dari sesuatu yang berada secara kongkret, yaitu idea. Dunia idea inilah yang hanya
dapat dipikirkan dan diketahui oleh akal.
IDEALISME PLATO
Merujuk pada akar kata idealisme yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu idea berarti
pandangan (vision) atau kontemplasi. Istilah ini pertama kali digunakan oleh filsuf ahli
matematika Jerman G.W. Leibniz pada awal abad ke-18 yang merujuk pada pemikiran Plato
dan membedakannya dengan empirisisme.
Idea yang dimaksud bukanlah bersifat kognitif (tingkat kecerdasan berpikir
menggunakan otak), dengan arti suatu gambaran atau satu rencana kegiatan (gagasan),
misalnya dalam kalimat “manusia itu memiliki ide (gagasan) yang hebat”, tetapi idea yang
dimaksud oleh Plato dalam teorinya adalah bersifat metafisik, yang berisi tentang segala
sesuatu yang sempurna.
Idealisme juga mengindentifikasi bahwa hakikat yang senyatanya dari dunia adalah
berupa ide yang sifatnya rohani atau disebut juga intelegensi. Menurut Idealisme, hanya
realitas spiritual, mental atau rohani yang nyata dan tidak berubah, serta akan kekal dan
abadi. Selain itu, Idea juga bukanlah sesuatu yang subjektif karena tercipta oleh daya pikir
manusia atau bergantung pada daya pikir manusia. Bagi Plato, idea bersifat objektif karena
keberadaan idea itu mandiri, sempurna, abadi, dan tidak berubah-rubah.
Plato percaya bahwa realitas yang dapat dikenal lewat panca indra, seperti pohon,
bunga, manusia, hewan, dan lain-lain akan mati dan berubah, tetapi idea pohon, bunga,
manusia, dan hewan tidak akan pernah berubah, sebab idea adalah realitas yang sebenarnya
atau keberadaan dari ada yang sesungguhnya.
Bagi Plato, kenyataan yang demikian itu membuktiakan bahwa dunia indrawi
bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia indrawi itu hanyalah bayangan atau gambaran yang
tidak lengkap dan tidak sempurna dari dunia idea. Contonya seperti kursi, beraneka ragam
kursi di dunia indrawi hanyalah bayangan yang tidak lengkap dari kursi sempurna yang ada
di dunia idea. Kursi yang sempurna di dunia idea itu hanya satu, sedangkan kursi yang ada di
dunia indrawi bermacam-macam karena sebagai bayangan atau gambaran yang tidak
sempurna, ia justru menggambarkan yang sempurna itu lewat aneka bentuk dan berbagai
rupa.
Plato mengakui bahwa dunia indrawi yang serba majemuk adalah suatu realitas juga,
namun bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia indrawi hanyalah tiruan sementara dari
dunia idea. Oleh sebab itu yang paling utama bagi Plato ialah dunia idea. Tetapi itu tidak
berarti dunia indrawi harus disangkal keberadaannya. Kedua dunia itu tetap merupakan
realitas sendiri-sendiri, meskipun yang indrawi hanyalah merupakan tiruan dari dunia ide.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, jelas terlihat bahwa idealisme Plato berbeda
dengan idealisme modern. Dunia ide bagi Plato merupakan suatu realitas yang objektif,
karena itu idealisme Plato sering disebut sebagai idealisme realitas, sedangkan idealisme
modern bersifat subjektif oleh sebab itu sering disebut idealisme subjektif.
Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta,
oleh karena itu, kebenaran telah dulu ada dan terlepas pengalaman indrawi. Dengan
demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut
idealisme mempercayai adanya intuisi, wahyu, dan rasio dalam fungsinya meraih dan
mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam memperoleh
kebenaran sebagai ide (gagasan) yang merupakan epistemologi dasar dari idealisme.
Menurut Herman Horne, Idealisme merupakan pandangan yang menyatakan bahwa
alam merupakan ekspresi dari pikiran. Ia juga berpandangan bahwa hal‐hal yang bersifat
materi dapat dijelaskan melalui jiwa. Senada dengan itu, Ahmad Tafsir mengemukakan
bahwa dalam kajian filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia
fisik hanya dapat dipahami dalam ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (ruh). lstilah
ini diambil dari "idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Berbeda dengan W.E. Hocking
yang seorang idealis, mengatakan bahwa kata-kata “idea-ism” lebih tepat daripada kata
idealisme untuk menggambarkan pemikiran dari Plato ini.
Lebih lanjut George R. Knight menguraikan bahwa idealisme pada mulanya, adalah
suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal pikir daripada suatu penekanan
pada objek-objek dan daya-daya materi. Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal
dasar atau lebih dulu ada bagi materi dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah
sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir.
Menurutnya, ini sangat berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi
adalah yang nyata ada, sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa idealisme merupakan suatu aliran
filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu ada pada idea. Realitas
atau kebenaran yang berwujud sebenarnya muncul terlebih dahulu dalam realitas idea dan
pikiran, bukan pada hal‐hal yang bersifat materi. Meskipun begitu, Idealisme tidak
mengingkari adanya materi karena materi merupakan bagian luar dari apa yang disebut
hakekat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi merupakan bungkus luar dari hakekat,
pikiran, akal, budi, ruh atau nilai.

Tentang Pengertian Idea


Pengertian ''kucing" di alam idea berlaku umum, sedangkan "kucing hitam di rumah
saya" adalah kucing yang khusus (Ahmad Tafsir, 1990: 5l) Dalarn bahasa logika, konsep
'ldea' disebut 'pengertian'. Manusia sebagai makhluk, harus mempunyai pengertian, misal
untuk berdialog. Dalam dialog, manusia perlu pengertian agar pengetahuan tersebut bisa
dimengerti dan tidak menimbulkan salah pengertian. Pengertian tersebut dapat diwakilkan
dengan suatu simbol tertentu atau pun kata-kata. Tentang pengertian (idea) ini, Plato
menggunakan kata eidos yang rnemiliki arti: gambar. Namun dalam karyanya, Plato
rnengartikan eidos sebagai: maksud, arti, dan pengertian.
lstilah pengertian itu bersifat abstrak, sebab pengertian selalu berlaku umurn,
walaupun tidak sama umumnya, tergantung dari pengabstrakan. (Poedja wijatna. 1985: 48-
49). Pengertian memang selalu abstrak, tetapi pengertian rnanusia lebih abstrak daripada
pengertian 'guru', artinya: pengertian 'manusia' lebih umum daripada pengertian ‘guru’ sebab
semua individu yang masuk jenis manusia dapat dimasukkan kepada pengertian manusia itu.
tetapi tidak sernuanya dapat dimasukkan kepada pengertian guru (lbid: 32).
Pengertian atau ide itu berlaku umum, sedangkan realitas itu konkrit atau bersifat
khusus. Karena yang konkrit itu merupakan individu, maka ia berbeda dengan yang lain.
Pengertian tidaklah menunjuk hal yang konkrit dengan segala ketentuan yang terdapat
padanya, melainkan yang jauh lebih tinggi.
Sesuatu yang ada di dunia ini terbatas sekali dan terlibat dalarn ruang dan waktu,
maka akan selalu berubah sesuai dengan keadaan ruang dan jangka waktu tertentu. Tetapi,
pengertian bukanlah suatu yang terlibat dalam ruang dan waktu, sehingga pengertian akan
selalu tetap dan tidak berubah. Misal dalam ilmu pasti, kita menggunakan sesuatu pengertian
yang tetap dan tidak berubah yakni: lingkaran, segitiga, dan lain-lain. Lingkaran yang
dimaksud dalam ilmu pasti tersebut bukanlah lingkaran yang tergambar pada papan tulis pun
bukan segitiga yang terbuat dari kayu, ini semuanya menunjukkan ketidaksempurnaan karena
akan ada berbagai bentuk lingkaran dan segitiga yang berbeda satu sama lainnya. Oleh karena
itu, segitiga atau lingkaran yang dimaksudkan oleh ilmu pasti ialah yang sempurna dan tidak
berubah, misalnya dalam putusan bahwa segitiga itu l80 derajat jumlah sudutnya. Itulah eidos
(idea) (lbid: 48-51).

Dua Dunia
Menurut Plato dalam bukunya yang terkenal “The Republic”, dia mempercayai
bahwa ada dua dunia, yakni dunia spriritual yang abadi dan permanen dan universal dan ada
juga dunia pendekatan atau dunia penglihatan, sentuhan, bau, rasa, dan suara yang berubah,
tidak teratur, dan tidak sempurna.
Berdasarkan pandangannya ini, Plato menyatakan adanya dua dunia, yakni dunia
idea yang hanya terbuka bagi rasio (dunia rasional), dan dunia jasmani yang hanya terbuka
bagi panca indra (dunia indrawi). Dalam dunia rasional, tidak ada perubahan dan kenisbian,
perubahan dan kenisbian hanya ada dalam dunia indrawi. Sebagai contoh, singa ini atau
singa itu akan mati, namun singa pada umumnya, yakni idea tentang singa, akan tetap dan
tidak berubah. Begitu juga dengan benda-benda yang lain semisal kursi, meja dan lain-lain
pasti akan musnah, akan tetapi idea tentang meja, kursi dan lain-lain itu akan tetap.
Dua dunia tersebut juga memiliki kategori yang berbeda. Pertama, dunia spiritual
atau dunia mental yang bersifat abadi, permanen, berurutan, teratur, dan universal. Di
dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian
kedudukannya lebih tinggi dari yang nampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Kedua, dunia penampakan yaitu dunia pengalaman melalui penglihatan, sentuhan, bau, rasa,
dan suara yang sifatnya berubah, tidak sempurna, dan tidak teratur.
Menurut falsafahnya, dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah
dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan,
hakikatnya hanyalah tiruan dan tidak sempurna dari yang asli yaitu idea. Keadaan idea
sendiri sifatnya bertingkat dan satu dalam setiap macamnya. Tingkat idea yang tertinggi
adalah idea kebaikan, di bawahnya ada idea jiwa dunia yang menggerakkan dunia,
berikutnya adalah idea keindahan yang menimbulkan seni, ilmu, pendidikan, dan politik. Ada
dua cara untuk mengenal kedua dunia itu, dunia indrawi dapat dikenal lewat panca indra,
sedangkan dunia ide dikenal lewat akal budi.
Lebih lanjut, Plato juga mengajarkan bahwa idea-idea tidak lepas dari yang lain. Ide
seekor singa misalnya, mempunyai hubungan dengan “idea satu”, sedangkan “idea satu”
sendiri mempunyai hubungan dengan “idea ganjil”. Contoh lain, “idea api” mempunyai
hubungan dengan “idea panas” dan lain sebagainya.
Dalam dunia idea ada juga idea-idea lain seperti kemuliaan, kerajinan, keindahan,
dan kebaikan, semuanya sempurna. Adapun dunia kedua ialah dunia pengamatan ini. Seperti
semua badan, juga yang tidak berjiwa, badan manusia menduduki sebuah tempat di dunia,
mempunyai bentuk material tertentu, dapat diukur, dan dihitung, juga terikat pada perubahan
dan waktu.
Manusia mempunyai pengetahuan dua macam, tentang dunia pengamatan dan
mengenai dunia idea, itu membuktikan bahwa manusia termasuk penghuni dalam dua dunia
itu, tetapi bukan secara keseluruhan manusia menjadi penghuni dunia idea, melainkan hanya
jiwa manusia itu saja. Menurut Plato, manusia terdiri dari badan yang material dan jiwa yang
tidak material. Jiwa itu dahulu tinggal di dunia idea, dan bahagialah ia dengan segala
kepuasan memandangi dan mengerti idea-idea yang sempurna itu.

Idea Bawaan
Manusia sebelum terlahir di dunia, telah mendapatkan idea bawaan yang ia dapat dari
dunia idea. Dengan idea bawaan ini, manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu
sehingga pada kemudian hari lahirlah ilmu pengetahuan. Manusia hanya perlu mengingat
kembali idea-idea bawaan itu jika ia ingin memahami sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam
idea inilah realitas yang sesungguhnya, sedangkan yang tampak dalam wujud nyata alam
indrawi bukanlah alam yang sesungguhnya (S. E. Frost, 1966 dikutip dalam Emma Dysmala
Somantri, 2012: 487).
Plato juga berpendapat bahwa kenyataan yang sesungguhnya bersifat spiritual atau
idea-sional dan beranggapan bahwa pengetahuan yang didapat melalui panca indra belum
mencapai kebenarannya. Kebenaran yang sebenarnya adalah bersifat tetap secara tidak
disadari telah hadir dalam pikiran mereka. Anggapan tersebut berakibat bahwa setiap
manusia mempunyai jiwa yang hadir lebih dahulu sebelum kelahiran raganya yang hidup
dalam dunia spiritual dari bentuk sempurna (ide-ide).

Pengetahuan Sejati
Berangkat dari teorinya tentang idea, Plato meneruskan penjelasannya tentang
pengetahuan sejati (true knowledge). Plato percaya bahwa segala sesuatu yang kita lihat di
sekeliling kita di alam ini, segala sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun,
sebab tidak ada sesuatu pun di dunia indrawi yang abadi. Manusia dan hewan lambat laun
akan mati dan membusuk, bahkan balok marmer pun lambat laun akan hancur, sehingga
Plato berkesimpulan bahwa kita tidak akan dapat memiliki sesuatu pengetahuan yang sejati
(true knowledge) dari segala sesuatu yang selalu berubah atau dari pengalaman indrawi. Kita
hanya akan mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dipahami oleh akal
kita.
Menurut Plato yang dapat menunjukkan pengetahuan sejati (true knowledge) adalah
matematika, karena matematika itu tidak pernah berubah dan selalu benar. Sebagai contoh:
bila seorang guru menanyakan pada murid-muridnya tentang warna pelangi apakah yang
paling indah? Barangkali dia akan mendapatkan banyak jawaban yang berbeda-beda, tetapi
jika ditanya berapakah 8X3? Maka seluruh murid akan memberikan jawaban yang sama
yaitu 24. Pengetahuan tersebut dianggap sejati karena meggunakan akal, bukan berbicara
tentang perasaan, maka akal tersebut hanya akan mengungkapkan keadaan yang kekal dan
universal.
Konsep pengembangan ilmu pengetahuan yang digagas Plato dapat dibedakan
menjadi 2 macam yaitu: pengetahuan yang bersifat indrawi (sensual) dan pengetahuan yang
bersifat kejiwaan. Menurut Plato, pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan sarana
indrawi hanya merupakan kesan-kesan yang bersifat sementara dan senantiasa berubah.
Sementara pengetahuan yang diperoleh melalui proses perenungan kejiwaan dapat
melahirkan kebijaksanaan dan keabadian nilai.
Bagi Plato pendidikan dan pengalaman tidak berpengaruh; pengetahuan sejati
merupakan bawaan dalam diri kita. Kita tidak harus mengandalkan indra kita untuk
memperoleh pengetahuan mengenai dunia. Sedangkan pengetahuan sejati itu terdiri dari
konsep/idea-idea yang telah ada dalam kepala kita, bukan informasi yang datang melalui
indra (Linda Smith & William Raeper, 2000: 16). Maksud Plato dari idea tersebut bukan
hasil suatu gagasan yang terdapat dalam pemikiran saja yang bersifat subyektif belaka atau
menduga-duga berdasarkan selera masing-masing orang, melainkan sesuatu yang objektif
yang tidak diciptakan oleh pikiran manusia.
Plato juga menegaskan bahwa hasil pengamatan indrawi tidak dapat memberikan
pengetahuan yang kokoh karena sifat yang selalu berubah-ubah. Sesuatu yang berubah- ubah
tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu, suatu ilmu pengetahuan agar dapat
memberikan pengetahuan yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang
tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu
alam yang tetap dan kekal, suatu alam tersebut adalah dunia idea.

PENDIDIKAN MENURUT PLATO


Manusia selalu mempertanyakan tentang dunia, tetapi sering kali, manusia tidak
menyadari bahwa di dalam diri terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang
dipertanyakan, maka untuk menggali atau menemukan jawaban yang terpendam tadi atau
untuk melahirkan idea yang terpendam dari diri manusia, diperlukanlah orang lain untuk
membantunya (Syaiful Bakhri, 2017: 61-62), bertindak sebagai “bidan yang membantu bayi
keluar dari rahimnya” (Ahmad Tafsir, 2014: 9).
Secara umum, Plato menawarkan dua macam pengetahuan yang akan membantu
formasi tubuh dan jiwa, yaitu musik dan gimnastik. Musik dalam arti puisi, musik
instrumental, dan tarian-tarian berguna untuk membantu pembentukan jiwa, sedangkan
gimnastik berguna untuk ketahanan fisik.
Berbagai macam percobaan dan ujian dalam pendidikan Plato diharapkan muncul tiga
hal; (1) ingatan yang bagus; agar mereka bisa belajar dan mencintai ilmu pengetahuan, (2)
ketangguhan fisik berhadapan; agar mereka selalu dijiwai semangat berani, (3) ketahanan
menghadapi berbagai tawaran kesenangan; agar semangat bersahaja/kesederhanaan dan
reflektif terhadap berbagai kebutuhan (A. Setyo Wibowo, 2010: 164).
Namun, bagaimana bisa mencintai hal-hal yang intelligible mengingat pendidikan
musik dan gimnastik masih berkaitan erat dengan hal-hal yang indrawi? Maka pada tahap
pertama, selama sepuluh tahun (pada usia 20-30 tahunan), pendidikan dilakukan dengan
memberikan pengantar lewat ilmu-ilmu aritmetika, geometri bidang, geometri ruang,
astronomi, serta musik.
Anak-anak dilatih menyadari jarak yang bersifat intelligible. Mereka diajak
mengagumi harmoni semesta alam, melampaui apa yang bersifat empirik (yang bisa disentuh
dan dialami panca indra), juga diajak mengerti akan pentingnya mempelajari ilmu yang
terlepas dari kegunaan praktisnya, kemudian didorong agar memiliki minat untuk meneliti
hal-hal yang intelligible dalam dirinya sendiri dan diajak untuk tidak terlalu menganggap
penting indrawi, serta diajak mengembangkan hal-hal intelligible dengan sedemikian rupa
agar mereka berhasrat “keluar dari goa” indrawi ke yang intelligible.
Tahap kedua (pada kisaran usia 30 sampai 35 tahun), para siswa diberi ilmu tertinggi
di Akademia, yaitu filsafat dengan metode dialektik selama lima tahun. Kemudian tahap
ketiga, mereka akan diuji secara langsung (liver in) dengan mengembalikan mereka ke
masyarakat (kembali ke dalam goa) untuk belajar di bawah bimbingan orang yang
berpengalaman selama lima belas tahun. Setelah mereka menyelesaikan pendidikan dan
belajar seperti ini hingga usia 50 tahunan, bagi mereka yang memiliki karakter terpuji dan
memiliki moralitas yang tinggi, diperkenankan untuk membagi pengalamannya kepada
masyarakat (A. Setyo Wibowo, 2010: 163-166 dan Rapar, 1996: 113-120).

ETIKA MENURUT PLATO


Sebagai konsep dari pandangannya tentang idea, dalam masalah etika ia berpendapat
bahwa orang yang berpengetahuan dengan sendirinya akan berbuat baik. Budi adalah tahu.
Siapa yang tahu akan yang baik, cinta kepada idea, maka menuju kepada yang baik. Siapa
yang hidup di dunia idea tidak akan berbuat jahat.

DUALISME PLATO

Badan dan jiwa berbentuk dua substansi lengkap yang saling mempengaruhi. Doktrin
ini sering disebut Dualisme atau teori “roh di dalam mesin”. Akal umum melihat bahwa jiwa
dapat menggerakkan badan. Jiwa seseorang dapat berkeinginan, “aku mau menggerakkan
tanganku”, lalu tangan itu pun bergerak dengan seketika. Jika aku takut, jantungku berdebar
lebih cepat. Jika aku diancam, mukaku menjadi marah. Begitu juga dapat dilihat bahwa
badan mempengaruhi jiwa. Jika aku lelah secara fisik, maka semangatku terasa lesu. Jika aku
menerima suatu pukulan terlalu keras, maka aku jatuh pingsan. Itulah fakta-fakta, dan setiap
teori mengenai jiwa dan badan itu harus menghormatinya.

ALEGORI MANUSIA GUA


Dalam buku ketujuhnya yang berjudul Politeia, Plato membuat sebuah alegori atau
perbandingan dengan menggunakan kiasan-kiasan tentang manusia dalam sebuah gua. Di
dalam gua tersebut terdapat beberapa orang tahanan yang terbelenggu sedemikian rupa,
sehingga mereka pun tidak bisa menggerakkan kepalanya dan hanya menghadap ke arah
dinding gua, sedangkan di belakang mereka ada api menyala. Di antara api dan para tahanan
ada jalan yang digunakan oleh para budak untuk berlalu lalang dengan berbagai macam
barang bawaannya. Hal yang demikian itu, kemudian mengakibatkan adanya berbagai macam
bayangan yang dipantulkan pada dinding gua. Para tahanan tentu menganggap hal itu sebagai
realitas sejati dan tidak ada realitas yang lain.
Akan tetapi, pada suatu ketika ada seorang tahanan berusaha melepaskan diri dari
belenggu dalam penjara itu. Ia berhasil dan lantas mengerti bahwa pemandangan yang selama
ini dia lihat di dalam gua hanyalah bayang-bayang dari sebuah benda yang dibawa oleh
budak. Pengertian itu ia peroleh setelah berada di luar gua, matanya membiasakan diri
dengan cahaya, lalu ia melihat pohon, sungai, gunung, dan berbagai macam bentuk yang ada
di luar gua. Waktu berjalan, ia pun mulai melihat matahari, semula ia berpikir telah
meninggalkan realitas, tetapi secara berangsur-angsur ia mulai menyadari bahwa itulah
realitas yang sebenarnya.
Setelah itu, ia kembali ke dalam gua, di mana teman-temannya yang lain masih
terbelenggu. Kemudian, ia bercerita kepada teman-temannya bahwa yang dilihat mereka pada
dinding gua itu bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanyalah bayangan. Namun,
teman-temannya tidak percaya dengan apa yang telah dikatakannya. Seandainya mereka tidak
terbelenggu, pasti mereka akan membunuh siapa saja yang berusaha melepaskan dari
belenggunya.
Lalu apa yang dapat kita pahami dari alegori gua tersebut? Sebenarnya alegori ini
lebih kepada bagaimana menjelaskan bahwa gua adalah dunia yang dapat ditangkap oleh
indra, dalam hal ini para tahanan yang diumpamakan seperti kebanyakan orang yang
menerima pengalaman spontan begitu saja. Akan tetapi, ada beberapa orang yang
memperkirakan bahwa realitas indrawi hanyalah bayangan, mereka adalah filsuf.
Lebih dari itu, alegori gua pada dasarnya ditulis oleh Plato atas peristiwa yang
menimpa gurunya yang sangat ia cintai, yaitu Socrates. Socrates divonis hukuman mati
dengan meminum racun oleh para hakim di Athena karena dianggap menyebarkan kesesatan
bagi para pemuda Athena. Namun melalui alegori tersebut, Plato menjelaskan bahwa
keputusan yang diambil oleh para hakim itu diibaratkan seperti para tahanan yang tidak mau
menerima kenyataan yang sesungguhnya dan tetap berpegang teguh pada bayangan di
dinding gua sebagai suatu kebenaran, lalu membunuh seorang tahanan yang telah berhasil
bebas lalu menceritakan kebenaran yang sesungguhnya.

JIWA MANUSIA
Plato juga menjelaskan terkait jiwa manusia. Ia mengatakan bahwa setiap manusia
memiliki tiga bagian jiwa, yaitu nous (kecerdasan atau akal pikiran) merupakan daya
rasional yang letaknya di otak, thumos (semangat atau keberanian) merupakan bagian
kehendak yang tempatnya di dada, dan epithumia (kebutuhan atau nafsu) merupakan unsur
keinginan atau selera yang tempatnya di perut. Tiga bagian jiwa tersebut memiliki
karakteristiknya masing-masing, namun merupakan bagian yang saling berhubungan. Nous
berfungsi membangun kebijaksanaan, thumos berfungsi mencita-citakan perasaan dalam
dirinya agar dapat diwujudkan, dan epithumia menekankan pada berbagai kebutuhan
badaniah seperti makan, minum, dan seks.
Hubungan antara tiga bagian jiwa tersebut digambarkan oleh Plato dengan mitos
dalam Phaidros yang diibaratkan seorang sais (kusir) yang mengendarai dua kuda. Kuda
yang satu hendak terbang ke atas (sebagai bagian kehendak atau thumos), sedangkan kuda
yang lain menarik ke bawah (sebagai bagian nafsu atau epithumia). Sais (sebagai akal
pikiran atau nous) memiliki tujuan untuk mencapai puncak langit tertinggi supaya dapat
memandang kerajaan idea, tetapi karena kesalahan satu kuda yang selalu ingin ke bawah,
mereka kehilangan sayap-sayapnya dan jatuh ke bumi.
Dari gambaran tersebut, maka dapat dipahami bahwa jiwa epithumia atau unsur nafsu
tidak mempunyai prinsip untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu harus berada di bawah
kontrol akal atau jiwa nous agar manusia tidak berlebihan dan berbuat kerusakan demi
memenuhi kebutuhan atau keinginan semata. Tetapi, jika tiga bagian jiwa dalam tubuh
manusia tersebut dapat diseimbangkan sebagai satu kesatuan, maka manusia akan berbudi
luhur.
NEGARA
Terkait dengan jiwa yang terbagi dalam tiga bagian, Plato juga kemudian
menjelaskan bahwa dalam upaya untuk mencapai sebuah kebahagian dengan
menyeimbangkan tiga bagian jiwa tersebut, tentu saja sangat berhubungan dengan kehidupan
jasmaniah atau perilaku manusia di dunia jasmani, yaitu melalui kehidupan bersama dalam
sebuah polis (negara).
Plato membagi negara idealnya menjadi tiga bagian, yaitu pemimpin yang
merupakan kepala negara, pembantu yang merupakan prajurit-prajurit, dan pekerja adalah
para petani, nelayan, tukang-tukang, dan lain sebagainya. Tiga bagian tersebut memiliki
keutamaannya masing-masinng. Keutamaan pemimpin ialah kebijaksanaan, keutamaan
pembantu adalah keberanian, sedangkan keutamaan pekerja adalah ugahari atau
pengendalian diri. Ketiga keutamaan ini harus berjalan selaras agar dapat mencapai
kebahagiaan bersama, untuk itu perlu diterapkan keadilan.
Seorang pemimpin dituntut untuk pandai dan memiliki kebijaksanaan. Maka dari itu,
seorang pemimpin haruslah telah melalui pendidikan yang panjang sehingga memiliki
kepandaian dan kecakapan sesuai dengan tanggungjawabnya yang besar. Dari sinilah,
pendidikan menurut Plato amat penting bagi anak-anak yang kelak akan menjadi seorang
pemimpin. Walau demikian, Plato juga mengatakan bahwa tidak semua orang dapat menjadi
pemimpin, hanya orang yang memiliki kepandai dan kecakapan tertinggi dan mampu
menanggung tanggungjawablah yang pantas jadi seorang pemimpin. Selebihnya, orang-
orang yang tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin dapat menjadi pembantu sebagai
prajurit, atau jika ia tidak memiliki kemampuan berperang, maka cukuplah ia menjadi
seorang pekerja sebagai petani atau pun nelayan dan sebagainya.

Dalam upayanya untuk menyeimbangkan tiga bagian dalam negara tersebut, Plato
menegaskan bahwa harus ada hukum atau undang-undang (nomoi) yang menaungi. Undang-
undang inilah yang harus dipatuhi oleh semua bagian dalam negara tersebut. Undang-undang
yang berguna untuk mengatur sebagai upaya agar terciptanya kebahagian bersama, dapat
dirumuskan oleh para pemimpin negara, atau para ahli dari luar negara seperti filsuf. Hukum
atau undang-undang tersebut, menurut Plato harus seperti “bapak yang baik hati” bukan
sebagai yang jahat. Kemudian setelah hukum tesebut selesai dirumuskan, para pemimpin
perlu membujuk akal budi para warga negara agar memiliki kesadaran bahwa hukum
tersebut memiliki fungsi untuk mengatur agar dapat menuju kebahagian, jika telah disetujui
oleh semua warga negara, maka hukum tersebut dapat diterapkan dan dapat dipaksakan.
Hukuman bagi para pelaku kejahatan juga perlu dirumuskan dan ditetapkan secara singkat
dan tepat.
Jika tiga bagian negara tersebut dapat menjalankan keadilan berdasarkan hukum atau
undang-undang yang telah menjadi kesepakatan bersama, maka negara ideal seperti yang
dijelaskan oleh Plato telah dapat terwujud dan kebahagian akan menyertai seluruh warga
negara.

Anda mungkin juga menyukai