Anda di halaman 1dari 6

A.

    Demensi Ontologi
1.      Definisi Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.
Istilah ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu taonto yang artinya ‘yang berada’, dan logos
berarti ilmu pengetahuan atau pengajaran. Dengan demikian, ontologi berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran tentang yang berada.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula awal pemikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan dibidang
ontologi.
Pembahasan tentang ontomologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang
menurut Aristoteles merupakan the fisrt philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Kata ontology adalah ‘on’ sama dengan being, dan ‘logos’ sama dengan logic. Jadi ontologi
adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Ontologi
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana
entitas dari kategori-kategori yang logis, yang berlainan (objek-objek fisik, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisional ontology dianggap sebagai teori
mengenai prinsip-prinsip umum dari hal yang ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-
akhir ini ontology dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalakan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.
untuk menamai teori tenteng hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya
Christian Wolft (1679-1757) membagi metafiskia menjadi dua, yaitu metafisika umum dan
metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metefisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yng ada. Sedangkan
metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi komsologi, psikologi, dan teologi. Komsologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan teteng alam semesta. Psikologi adalah
cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi merupakan
cabang filsafsat yang secara khusus membicarakan tentang tuhan.
2.        Objek Kajian Ontologi
Objek telaahan ontologi adalah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada
universal, ada mutlak termasuk kosmologi dan metefisika dan ada sesudah kematian maupun
sumbaer segala yang ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pencipta dan pengatur serta penentu alam
semesta. Studi tentang ada, pada tataran studi filsafat pada umumnya dilakukan olen filsafat
metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kitia membahas tentang yang ada dalam
konteks filsafat ilmu.

a.       Metode dalam Ontologi


Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkat abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstrkasi
metafisik. Metode pembuktian dalam ontologi oleh lorens dibedakan mejadi dua yaitu
pembuktian apriori dan pembuktian a posteriori.
b.      Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat
mendasar yang berada diluar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara
komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi (2005: 14), metafisika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keterbaisaan’ (beyond nature), yang berada dilaur
pengalaman manusia (immediate experience). Menurut Achmadi, metafisika mengkaji segala
sesuatu yang berada diluar  hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan), atau
hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman
manusia.
Istilah metafisika berasal dari akar kata ‘meta’ dan ‘fisika’. Meta berarti ‘sesudah’, ‘selain’,
atau ‘dibalik’. Fisika berarti ‘nyata’, atau ‘alam fisik’. Metafisikan berarti ‘sesudah’, ‘dibalik
yang nyata’. Dengan kata lain, metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan ‘hal-hal
yang berada dibelakang gejala-gejala yang nyata’.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan
hakikat dibalik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata
tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.
Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang ‘filsafat
pertama’ yang berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurut Aristoteles, ilmu metafisika termasuk
cabang filsafat teoritis yang membahas hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi
inti filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa masalah-masalah yang metafisik
merupakan sesuatu yang fundamental dalam kehidupan. Oleh karena itu, setiap orang yang sadar
berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut didalamnya.
3.      Aliran-Aliran dalam Metafisika Ontologi
a.       Aliran Monoisme
Paham monoisme menggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah
satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal
berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan
berdiri sendiri. Istilah monoisme oleh Thomas Davinson disebut dengan block universe. Paham
monoisme kemudian terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran materialisme dan aliran dinamisme.
Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran ini sering disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan
dan satu-satunya cara tertentu.Sedangkan aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme.
Idealisme berarti serba cita sedangkan spiritualisme berarti serba ruh, isealisme diambil dari kata
‘idea’ yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka raga mini semua berasal dari ruh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.
b.      Aliran Dualisme
Aliran dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling
bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh
sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitupun ruh muncul
bukan karena materi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki
masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut.
Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri atas dua macam hakikat sebagai
sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi dan bentuk.
Menurut paham dualisme, didalam dunia ini selalu dihadapkan kepada dua pengertian, yaitu
‘yang ada sebagai potensi’ dan ‘yang ada secara terwujud’. Keduanya adalah sebutan yang
melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidos).

c.       Aliran Pluralisme
Paham pluralisme berpandangan behwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segala macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan behwa kenyataan ala mini tersusun dari
banyak unsure, lebih dari satu atau dua entitas.
d.      Aliran Nikhilisme
Paham nikhilisme menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas
manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternatif positif. Dalam pandangan nikhilisme,
Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan beraktivitas.
e.       Aliran Agnotisisme
Aliran agnotisime menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat
sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api, dan
sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manusia sangnat terbatas dan tidak mungkin
tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya. Paham
agnotisisme mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat
materi maupun rohani.
4.      Teologi
Teologi juga merupakan bagian dari kajian bidang ontologi. Istilah teologi merupakan
pengertian yang sangat luas dan beragam. Dalam Kamus Teologi, dijelaskan bahwa teologi
dalam bahasa Yunani artinya pengetahuan mengenai Allah, yaitu usaha metodis untuk
memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu (Gerald O’Collins dan Edward G.,2001: 314).
Dalam bahasa latin, teologi diartikan ‘ilmu yang mencari pemahaman’, maksudnya dengan
menggunakan sumber daya rasio,khususnya ilmu sejarah dan filsafat,teologi selalu mencari dan
tidak pernah sampai pada jawaban terakhir dan pemahaman yang selesai.
Sedangkan yang dimaksud dengan teologi dalam ruang lingkup filsafat metafisika, menurut
Sudarsono (2001: 129) adalah filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada
kejadian alam. Pembahasan filsafat ketuhanan ini mengkaji tentang keteraturan hubungan antara
benda-benda alam sehingga orang meyakini adanya pencipta alam atau pengatur alam tersebut.
B.     Dimensi Epistemologi
1.      Pengertian Epistemologi
Epistemologi sering juga dengan teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi,
istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti pengetahuan, dan logos yang
berarti ilmu atau teori. Jadi, epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode, dan syahnya (validitas) pengetahuan.
 Menurut Conny Semiawan dkk., (2005:157) epistemologi adalah cabang filsafat yang
menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan. Epistemologi
memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan dengan konsep, sumber dan kriteria
pengetahuan, jenis pengetahuan, dan sebagainya.
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana  tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan epitemologi akan dengan
sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal, budi,
pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang
dimaksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan adanya model-model epistemologis
seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologis
dan berbagai variasinya. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia memulai akal, indera, dan
lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.       Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyampaikan pernyataan-pernyataan hasil observasi dan
disimpulkan dalam suatu pernyataanyang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan
tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
b.      Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut
dalam suatu sitem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang haris ada alam metode deduksi ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
c.       Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Ia mengesampingkan segala uraian diluar yang
ada sebagai fakta.

d.      Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda, harusnya dikembangkan satu
kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
e.       Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini
dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan,
juga analisis sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
2.      Persyaratan Epistemologi
Ilmu-ilmu memiliki dasar pembenaran, bersifat sistenatis dan sistemik serta bersift
intersubjektif. Ketiga cirri tersebut saling berkaitan dan merupakan persyaratan bagi pengetahuan
untuk disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Persyaratan tersubut menurut Conny
R. Semiawan (2005:99) adalah sebagai berikut:
a.      Dasar Pembenaran
Dasar pembenaran menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat
kepastian sebesar mungkin. Pernyatan harus dirasakan atas pemahaman apriori yang juga
didasarkan atas hasil kajian empiris.

b.      Sistemik
Sistemik dan sistematis masing-masing menunjukkan pada sususnan pengetahuan yang
didasarkan pada penyelidikan (research) ilmiah yang keterhubungannya merupakan suatu
kebulatan melalui komparasi dan generalisasi secara teratur.
c.       Intersubjektif
Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan tidak dirasakan atas intuisi dan sifat subjektif
seseorang, namun harus ada kesepakatan dan pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu
didalam setiap bagian dan didalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai
intersubjektivitas.
3.      Aliran-Aliran dalam Epistemologi
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi,
yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kumudian muncul beberapa isme
lainnya, misalnya rasionalisme kritis (kritisme), fenomenalisme, institusionisme, positivisme, dan
seterusnya.
Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau
ide sebagai bagian yang sangat menentukan hasil keputusan atau pemikiran. Rasionalisme timbul
pada masa renaissance yang dipelopori oleh Rene Descartes, seorang berkebangsaan Perancis
yang dijuluki ‘bapak filsafat modern’.
Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosof-filosof Inggris seperti F. Bacon, Thommas
Hobbes, John Locke, Goerge Berkeley, dan David Hume. Menurut John Locke, ilmu
pengetahuan adalah pengalaman empiris. Bagi Locke, manusia dilahirkan pada keadaan bersih,
bagaikan kertas putih kosong yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, dimana melalui kertas
putih inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat
penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut.
C.   Dimensi Aksiologis
1.    Pengertian Aksiologis
Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan logos yang
berarti ilmu atau teori. Jadi Aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan  didalam menerapkan ilmu kedalam praktis.
2.    Objek Aksiologis
Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi dari tuhan.
Misalnya, nilai moral, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologi ini juga mengandung
pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf
tinggi).
Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam
membangun filsafat ilmu ini, yaitu etika dan estetika.
a.       Etika
Conny R. Semiawan (2005: 158) menjelaskan teteng etika itu sebagai: “the study of the
nature of morality and judgement”, kajian tenteng hakikat moral dan keputusan (kegiatan
menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan etika sebagai prinsip  atau standar perilaku
manusia, yang kadang-kadang disebut dengan “moral”.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etikan merupakan suatu kumpulan
pengetshusn mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan
suatu predikat dimana untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, manusia-manusia lain.
b.      Estetika
Mengenai estetika, Semiawan  (2005: 159) menjelaskan sebagai: “the study of nature of
beauty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan didalam seni. Estetika merupakan
cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan
dalam membentuk suatu persepsi yagn baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan
mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan
mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
3.      Universal
Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu atau
pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu itu haurs berlaku umum, lintas ruang dan waktu, paling sedikit
dibumi ini. Ini juga dapat berarti hukum-hukum fisika yang berlaku di Indonesia juga berlaku di
Amerika Serikat,baik sekarang maupun seratus tahun yang lalu, dengan berbagai catatan,
misalnya kondisi-kondisi yang relevan ditempat-tempat dan diwaktu-waktu dibandingkan itu
sama.
4.      Dapat Dikomunikasikan (communicable)
Maksudnya, apabila bahasa tidak merupakan kendala, pengetahuan ilmiah itu bukan saja
dimengerti artinya, tetapi juga maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain
dengan tingkat kepercayaan cukup besar. Terpenuhinya dengna baik sifat intersubjektif suatu
pengetahuan sanagt membantu menjadi communinable.
5.      Progresif
Progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan, atau peningkatan. Sifat ini
merupakan salah satu tuntunan modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh cirri-ciri
penalaran filosofis yaitu skeptic, menyeluruh (holistic, comprehensive), mendasar (radical),
kritis, dan analistis, yang menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai