Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Filsafat ilmu atau teori keilmuan, sering direduksi hanya menjadi ajaran tentang
metode keilmuan. Lebih jelas lagi ia direduksi menjadi sebuah refleksi atau metode-metode
yang belum dimasukan kedalam bidang matematika atau logika formal, etika dan nilai.
Padahal filsafat ilmu tidak boleh dibatasi atau direduksi hanya sekedar mengenal metode-
metode atau teori-teori. Apabila filsafat ilmu atau teori keilmuan tidak direduksi, maka
sebagai filsafat, akan dapat merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang bersangkut paut
dengan masalah keilmuan dan kehidupan yang lebih luas. Misalnya : “Apakah ilmu itu?”
dengan cara bagaimana ilmu itu dibangun? “Adakah batas-batas karya keilmuan?” Dengan
cara bagaimana tanggung jawab ilmuan ditentukan?” Artinya dengan pertanyaan-pertanyaan
itu, ajaran tentang metode keilmuan akan menjadi suatu bagian yang kokoh dari filsafat ilmu,
di samping ajaran-ajaran lainnya. Dengan demikian, maka persoalan-persoalan tentang posisi
dari metodologi, akan menjadi persoalan di dalam lingkungan teori keilmuan atau filsafat
ilmu itu sendiri, begitu juga mencakup pembahasan Ontologi dan Metafisika.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. ONTOLOGI
1. Pengertian Ontologi
Istilah Ontologi berasal dari bahasa Inggris “Ontology” meskipun akar kata ini dari
bahasa Yunani on-ontos ( ada-keberadaan ) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa
pengertian dasar mengenai “ontologi” antara lain: pertama, ontologi merupakan studi tentang
ciri-ciri “esensial” dari “Yang Ada “ dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang
hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari “yang ada” dalam bentuknya yang
sangat abstrak, studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “apa itu “Ada” dalam dirinya
sendiri?”
Kedua, Ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang
menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-
kategori seperti ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, esensi, keniscayaan dasar,
bahkan “yang ada” sebagai “yang ada”. Ketiga, Ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat
yang mencoba melukiskan hakikat “Ada” yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal
tergantung pada eksistensinya. Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai
cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti “Ada” dan “Berada”, juga menganalisis
bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan “Ada”. Kelima,
Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang filsafat, antara lain ialah :
1) Menyelidiki status realitas suatu hal, misalnya “apakah objek pencerapan atau persepsi kita
nyata atau bersifat ilusi (menipu)? “apakah bilangan itu nyata?” apakah pikiran itu nyata?”
2) Menyelidiki apakah jenis reaitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang
dimiliki bilangan? Persepsi? Atau pikiran?
3) Yang menyelidiki relitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa
pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian
“pengetahuan tentang yang ada”
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan
yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Barat sudah menunjukan munculnya perenungan
dibidang Ontologi. Yang tertua diantara segenap filsuf barat yang kita kena ialah orang
Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales. Atas perenungannya terhadap air yang
terdapat dimana-mana, ia sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam
yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya

2
bukanlah ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu subtansi belaka.
2. Objek Formal
Ontologi Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif.
Realitas akan tampil menjadi airan-aliran seperti matrealisme, idealisme, naturalisme atau
hylomorphisme.
3. Dasar Ontologi
Ilmu Dasar ontologi ilmu berbicara tentang apakah yang ingin diketahui ilmu? Atau
apa yang bisa dirumuskan secara eksplisit yang menjadi bidang telaah ilmu? Berbeda dengan
agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada
kejadian yang bersifat empiris.
Untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai
objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selagi kita bisa menerima
asumsi yang dikemukakannya. Secara terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi dasar. Asumsi
pertama, menganggap bahwa objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,
umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi Kedua, ilmu
menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan ilmu bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu.
Asumsi Ketiga, ilmu menganggap bahwa setiap gejala bukan merupakan sesuatu kejadian
yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu hubungan polapola tertentu yang
bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Dalam pengertian ini ilmu mempunyai sifat
deterministik
4. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenakan tiga tingkatan abstraksi dalam ontology, yaitu
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas suatu objek, sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum
yang menjadi ciri semua yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetengahkan prinsip umum
yang menjadi dasar dari semua realitas.
B. Aliran- Aliran Ontologi
Dalam mengkaji ontology, muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan
aliran-airan dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberpa sudut
pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”,

3
“Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (what is
being?)”
1) Apakah yang ada itu ? (What is being?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir tujuh aliran dalam filsafat, yaitu
sebagai berikut :
a. Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah
satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa
ruhani.tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokan dalam aliran ini, karena ia
menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya.
b. Aliran Materiaisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhan.
Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu
Thales. Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.
Anaximander berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara
merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atomatom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom
itulah yang merupakan asal kejadian alam.
c. Aliran Idealisme
Idealisme diambil dari kata “Idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
menganggap bahwa dibalik relitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak nampak. Bagi aliran ini,
sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide yang fisik bagi
aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifat sementara, dan selalu menipu.
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran
sejati.
d. Aliran Duaisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikatsebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua
macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, samasama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Tokoh aliran ini adalah

4
Descartes yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu
dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan).
e. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa berbagai macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata. Tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno ialah Anaxagoras dan
Empledocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu udara. Tokoh moderen airan ini
adalah William James yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
f. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas aternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan
oleh Ivan Turgniev pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah
ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Gorgias yang memberikan tiga
proposisi tentang relitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu
ada, ia tidak dapat kita ketahui. Ketiga, sekaipun relitas itu dapat diketahui, ia tidak akan
dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh aliran ini adalah Friedrich Nietzche. Dalam
pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak
lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia dimana ia hidup.
g. Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agonostisime berasal dari bahasa Grik Agnostos,
yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan
belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya
kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik
materi maupun ruhani.
2) Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal
ini, Zeno menyatakan sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh
Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus
bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.

5
3) Dimanakah yang ada itu? (Where is being?)
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati,
universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya,
bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.
C. Kajian Metafisika
Sejak lama, istilah “metafisika” dipergunakan di Yunani untuk menunjukan karya-
karya tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani metata physika yang berarti
“ha-hal yang terdapat sesudah fisika”. Aristoteles mendefinisikan sebagai ilmu pengetahuan
mengenai yang ada sebagai yang-ada, yang dilawankan. Misalnya, dengan yang-ada sebagai
yang digerakan atau yangada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini metafisika dipergunakan
baik untuk menunjukan filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukan cabang
filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Namun secara singkat banyak
yang menyebutkan metafisika sebagai studi tentang realitas dan tentang apa yang nyata.
Terkadang metafisika ini sering disamakan dengan “ontologi” (hakikat ilmu). Namun
demikian, Anton Baker membedakan antara Metafisika dan ontologi. Menurut istilah
“metafisika” tidak menunjukan bidang ekstensif atau objek material tertentu dalam
penelitian, tetapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan, ataupun suatu
unsur formal. Inti itu hanya tersentuh pada taraf penelitian paling fundamental, dan dengan
metode tersendiri.
Maka nama metafisika menunjukan sebuah pemikiran, dan merupakan refleksi
filosofis mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling Ultimate.
Sedangkan ontologi yang menjadi objek material bagi filsafat pertama itu terdiri dari segala
hal yang ada. Secara umum metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif
mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang “ada” (being). Yang dimaksud
dengan “ADA” ialah semua yang ada, baik yang ada secara mutlak, ada tidak mutlak,
maupun ada dalam kemungkinan.” Jujun S Sumantri mengatakan, bidang telaah falasafati
yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran ilmiah.
Diibaratkan bila pikiran itu adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang,
menembus galaksi dan awan gemawan, maka metafisika adalah dasar peluncurannya.10
Secara umum metafisika dibagi menjadi dua bagian yaitu :
 Metafisika umum (yang disebut ontologi)
 Metafisika khusus (yang disebut kosmologi)
Metafisika umum (ontologi) berbicara tentang segala sesuatu sekaligus. Perkataan
ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “yang ada” dan, sekali lagi, logos. Maka
6
objek material dari filsafat umum itu terdiri dari segala-gala yang ada. Pertanyaan-pertanyaan
dari ontologi misanya :
 Apakah kenyataan merupakan kesatuan atau tidak ?
 Apakah alam raya merupakan peredaran abadi dimana semua gejala selau kembali,
seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses perkembangan ?
Sedangkan metafisika khusus (Kosmologi) adalah ilmu pengetahuan tentang struktur
alam semesta yang membicarakan tentang ruang, waktu, dan gerakan. Kosmologi berasal dari
kata “kosmos” = dunia atau ketertiban, lawan dari “chaos” atau kacau balau atau tidak tertib,
dan “logos” = ilmu atau percakapan. Kosmologi berarti ilmu tentang dunia dan ketertiban
yang paing fundamental dari seluruh realitas.
D. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi
penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang
kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan
latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai
merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu
gagasan lain yang akan muncul kemudian.
Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002)
menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan
adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek
sebelum melakukan penelitian. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan
UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas
bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini,
semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang
(backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka
hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan:
“Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang
digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai
payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu
pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan
kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan

7
kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang
disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan
sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau
suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat
dalam suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal
bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005).
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang
disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan
sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau
suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat
dalam suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal
bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin
Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat
empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan
dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang
telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum
alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu
sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan.
Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di
belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu
melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India
mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran
yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun
sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu.
8
Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik
dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik
probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu
hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%.
Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar
95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari
95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut
kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya
adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang
berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya
yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan
digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran
probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai
pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-
hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah
ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan
itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau
bersifat peluang. Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan?
Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek
observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang
mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk
asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini
harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis Asumsi ini harus disimpulkan
dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi
asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan
9
normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena,
apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu
atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua
asumsi yang berbeda:
Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan
konsep–kosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada.
Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada. Realisme: kehidupan sosial adalah
merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang
mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda
dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam
menentukan pendekatan terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan konflik,
perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua
teori:
1. Order
Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan
yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:
- Relatif stabil
- Terintegrasi dengan baik
- Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing–masing dan saling berkoordinasi.
- Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion)
2. Konflik
Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat :
- Mengalami perubahan di banyak aspek
- Mengalami konflik di banyak aspek.
Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi
Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation
(regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih
terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya
kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana
terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi. Penelaahan suatu ilmu
pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal,
perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan
perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan
10
memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan
tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai proses
pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ontologi dapat disimpulkan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan


kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, duaisme, pluralisme,
nihilisme dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang
pada akhirnya menentukan pendapat serta keyakinan kita masing-masing tentang apa dan
bagaimana yang “ada” itu. Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai
metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang
“ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenarbenarnya? Pada
suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain,
ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan
ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat
berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha
menggagas jawaban tentang apakah alam ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr. Idam Fautanu,MA, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Referensi, 2012),.

Drs. Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1992),.

Op.Cit, Prof.Dr.Idzam Fautanu, MA, Filsafat Ilmu,.

Sunarto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta : Andi Offset, 1983),.

Jujun S.Suriasumantri, Fisafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 196),.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),.

M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, (Jakarta : Lintas Pustaka Publisher,
2006),.

Anton Baker, Ontologi atau Metafisika Umum, (Yogyakarta : Kanisius, 1992),.

Jujun S Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal.63

13

Anda mungkin juga menyukai