Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan bagai seorang yang sedang
berpijak di bumi sedang tengadah ke arah bintang-bintang di langit. Dia ingin
mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri
di puncak gunung yang tinggi memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya.
Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
Filsafat, mengikuti cara berfikir Will Durant, dapat diibaratkan pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan
infanteri adalah sebagai pengetahuan dan filsafatlah yang memenangkan tempat
berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Namun, apakah sebenarnya fisafat itu?
Tulisan kali ini masuk pada pembahasan sistematika filsafat. Dilihat dari
judulnya cukup asing bagi orang yang belum mendalami mata kuliah filsafat ilmu.
Dari beberapa buku kami temukan bahwa yang dinamakan sistematika filsafat
terdiri dari tiga model: Ontologi (wujud/hakikat). Epistemologi (teori
pengetahuan) dan Aksiologi (nilai/guna). Terkadang tiga model sistematika
filsafat itu dimasukkan pula ke dalam aliran, madzhab atau cabang-cabang dalam
filsafat. Digabungkan dengan metafisika, etika, logika dan lain-lain. Padahal tiga
sistematika filsafat tersebut masih melahirkan cabang-cabang dalam filsafat yang
akan akan kami jelaskan dalam sub tema di bawah ini.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka penulis akan membahas:
1. Apa pengertian Metafisika filsafat dan cabang-cabangnya?
2. Apa definisi Epistemologi filsafat dan aliran-alirannya?
3. Apa itu Logika filsafat?
4. Apa yang dimaksud Aksiologi filsafat dan aliran-alirannya?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini agar penulis dan pembaca lebih tahu
akan pentingnya mengetahui Cabang-cabang Filsafat.
1. Pembaca mengetahui pengertian tentang Metafisika Filsafat dan cabang-
cabangnya.
2. Pembaca tahu definisi dari Epistemologi Filsafat dan aliran-alirannya.
3. Pembaca mengetahui pengertian Logika Filsafat
4. Pembaca mengetahui definisi Aksiologi Filsafat dan aliran-alirannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
CABANG-CABANG FILSAFAT

Jika kita mengamati karya-karya besar filsuf, seperti Aristoteles (384-322


SM) dan Immanuel Kant (1724-1804), ada tiga tema besar yang menjadi fokus
kajian dalam karya-karya mereka, yakni kenyataan, nilai, dan pengetahuan. Ketiga
tema besar tersebut masing-masing dikaji dalam tiga cabang besar filsafat.
Kenyataan merupakan bidang kajian metafisika, nilai adalah bidang kajian
aksiologi, dan pengetahuan merupakan bidang kajian epistemologi. 1
Namun ada juga yang membagi cabang filsafat berdasarkan karakteristik
objeknya. Berdasarkan karakteristik objeknya filsafat dibagi dua, yaitu:
1. Filsafat Umum/Murni
a. Metafisika, objeknya adalah hakikat tentang segala sesuatu yang ada.
b. Epistemologi. Objeknya adalah pengetahuan/kenyataan.
c. Logika. Merupakan studi penyusunan argumen-argumen dan
penarikan kesimpulan yang valid. Namun ada juga yang memasukkan
Logika ke dalam kajian epistemologi.
d. Aksiologi. Objek kajiannya adalah hakikat menilai kenyataan.
2. Filsafat Khusus/Terapan, yang lebih mengkaji pada salah satu aspek
kehidupan. Seperti misalnya filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat
bahasa, dan lain sebagainya. 2
Pembagian cabang-cabang filsafat di atas tidak kaku. Seorang filsuf
yang mengklaim bahwa pemikiran filsafatnya berupa kajian ontologis
sering kali pula membahas masalah-masalah eksistensi manusia,
kebudayaan, kondisi masyarakat, bahkan etika. Ini misalnya tampak dari
filsafat Heidegger. Dalam bukunya yang terkenal, Being and Time
(1979), dia menulis bahwa filsafatnya dimaksudkan untuk mencari dan

1 Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm. 24.
2 Dr. Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung, 2008), Hlm. 7

3
memahami “ada”. Akan tetapi dia mengakui bahwa “ada” hanya dapat
ditemukan pada eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
sebab itu, dalam bukunya itu dia membahas mengenai keotentikan,
kecemasan, dan pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan
sehari-hari.3
A. Metafisika
Koestenbaum (1968) mendefinisikan metafisika sebagai studi mengenai
karakteristik-karakteristik yang sangat umum dan paling dasar dari kenyataan
yang sebenarnya (ultimate reality). Metafisika menguji aspek-aspek kenyataan
seperti ruang dan waktu, kesadaran, jiwa dan materi, ada (being), eksistensi,
perubahan, substansi dan sifat, aktual dan potensial, dan lain sebagainya.
Metafisika pada asasnya meneliti perbedaan antara penampakan
(appearance) dan kenyataan (reality). Ada sejumlah aliran yang mencoba
mengungkap hakikat kenyataan di balik penampakan tersebut. Misalnya aliran
naturalism dan materialism percaya bahwa kenyataan paling dasar pada
prinsipnya sama dengan peristiwa material dan natural. 4
Sejak zaman Yunani kuno sebagian besar filsafat diwarnai oleh pemikiran-
pemikiran metafisik, kendati cukup banyak juga filsuf yang meragukan dan
menolak metafisika. Para filsuf yang menolak metafisika beralasan bahwa
metafisika tidak mungkin karena melampui batas-batas kemampuan indera untuk
membuktikan kebenaran-kebenarannya. Kebenaran-kebenara yang dikemukakan
oleh metafisika terlalu luas dan spekulatif, sehingga tidak dapat dibuktikan dan
diukur kebenarannya.5 Dalam perkembangannya, metafisika kemudian dibagi lagi
menjadi tiga sub cabang, yaitu:
1) Ontology
Menurut bahasa, ontology berasal dari bahasa Yunani yaitu: On/Ontos
(ada), dan Logos (ilmu). Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.

3 Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm. 26
4 Ibid, Hlm. 57-58.
5 Ibid, Hlm. 64.

4
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat
yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. 6
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami
dinamika dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan
ilmu-ilmu yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat
sebagai suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga
cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan
(epistemologi), dan teori nilai (aksiologi). 7
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy
dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu On (being), dan Logos (logic). Jadi, ontologi adalah
The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan).8
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Membahas tentang yang ada, yang universal, dan
menampilkan pemikiran semesta universal. Berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada dan yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.9 Sedangkan Jujun S.
Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu
pengkajian mengenai yang “ada”. 10
Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan
terakhir dari kenyataan. Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung

6 Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
7 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2006). Hlm. 47
8 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007). Hlm.13
9 Jalaluddin, Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). Hlm. 5
10
Jujun S. Suriasumantri, Pengantar Ilmu dalam Perspektif Islam, cet. VI. (Jakarta: Gramedia,
1985). Hlm. 5

5
pada pengetahuan. Dalam agama, ontologi mempersoalkan tentang Tuhan. 11
Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan ontologi
berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud
tentang hakikat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada alam nyata
tetapi berdasar pada logika semata-mata.12
➢ Aliran-aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul bebrapa pertanyaan yang
kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing
pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi.
Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”,
“Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang
ada itu? (What is being?)”. 13
Apakah yang ada itu? (What is being?). Dalam memberikan
jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal,
baik yang asal berupa materi ataupun merupakan sumber yang pokok
dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah
tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia
menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya.
Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
➢ Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah
materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan

11 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan, buku II, cet. I.
(Jakarta: Bulan Bintang). Hlm. 106.
12Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, cet. I. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm. 169.
13 Muhammad Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. (Jakarta: Lintar Pustaka

Publisher, 2006). Hlm. 25

6
naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kanyataan dan
satu-satunya fakta.14
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu
Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air,
karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM)
berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan
bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokratis
(460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat
halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam. 15
➢ Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa.16 Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik
pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya
sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide,
yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-
bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda
fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada
kebenaran sejati.17
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran
Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap
yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap
sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat
sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu. 18

14 Sunarto, Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1983). Hlm. 70
15 Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996), Hlm. 64.
16 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 138.
17 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,

2006), Hlm. 48.


18 H Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Hlm. 53.

7
b. Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani,
benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-
masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini Tokoh
paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai
bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah
dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum
dalam bukunya Discours de Ia Methode (1637) dan Meditations de
Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerapkan
metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan
Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga
Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitlifried Wilhelm von
Leibniz (1646-1716M).19
c. Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion di katakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun
dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras
dan Empedocles, yang menyatakan bahwa sustansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal
yang mengenal.

19 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Hlm. 142.

8
d. Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau
tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada
tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak
zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM)
yang memberikan tiga proposisi tentang relitas. Pertama, tidak ada
sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak
akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini
adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya
dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia
tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di
mana ia hidup.
e. Aliran Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata
agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti
unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri
sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan
tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang
terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang
menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku
umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak
dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan
pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa
satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah

9
yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean
Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu
menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada),
melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah
paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia
mengetahui hakikat benda baik materi maupun rohani.
2) Kosmologi
Mengkaji persoalan-persoalan tentang alam semesta, asal-usul, dan
unsur-unsur yang membentuk alam semesta.
3) Humanologi
Mengkaji persoalan-persoalan tentang hakikat manusia, hubungan
antara jiwa dan tubuh, kebebasan dan keterbatasan manusia.
4) Teologi
Mengkaji persoalan-persoalan tentang Tuhan/agama.

B. Epistemologi
Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang
berarti pengetahuan dan “logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata
“episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya
menundukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harfiah episteme
berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya. Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai definisi ilmu
itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran
ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya.
Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan
dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain
sebagainya.
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi dari pada
epistemologi adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope

10
pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain yang mencoba
mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegas bahwa orang memiliki pengetahuan. 20
Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemologiy is the branch of
philosophy which invetigates the origin, structure, methods and validity of
knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah epistemologi
untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854
(Runes, 1971-1994).21
➢ Aliran-aliran Epistemologi
Ada beberapa aliran yang berbicara tentang ini, diantaranya:
a. Empirisme
Kata empiris berasal dari kata Yunani empieriskos yang berasal
dari kata empiria, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila
dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena manusia
menyentuhnya, gula manis karena manusia mencicipinya.
John Locke (1632-1704) bapak aliran ini pada zaman modern
mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti meja lilin.
Maksudnya adalah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari
pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang
masuk itu sederhana, lama-lama sulit, lalu tersusunlah pengetahuan.
Berarti, bagaimanapun kompleks (sulit) pengetahuan manusia, ia
selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang

20
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), Hlm. 8
21
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009), Hlm. 23

11
tidak dapat diamati dengan indera bukan pengetahuan yang benar.
Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.
Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran
ini adalah metode eksperimen. Kesimpulannya bahwa aliran
empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia. Misalnya benda
yang jauh kelihatan kecil, sebenarnya benda itu kecil ketika dilihat
dari jauh, sedangkan kalau dilihat dari dekat benda itu besar.
b. Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan
melalui kegiatan akal menangkap objek. Bapak aliran ini adalah
Descartes (1596-1650). Descartes seorang filosof yang tidak puas
dengan filsafat scholastik yang pandangannya bertentangan, dan tidak
ada kepastian disebabkan oleh kurangnya metode berpikir yang tepat.
Dan ia juga mengemukakan metode baru, yaitu metode keragu-
raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan
itu jelas ia sedang berpikir. Sebab, yang sedang berpikir itu tentu ada
dan jelas ia sedang erang menderang. Cogito Ergo Sun (saya berpikir,
maka saya ada).
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalh yang
dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanya tindakan
akal yang terang benderang yang disebut Ideas Claires el Distictes
(pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Ide terang
benderang inilah pemberian tuhan kepada seorang yang dilahirkan
(idea innatae = ide bawaan). Sebagai pemberian tuhan, maka tak
mungkin tak benar. Karena rasio saja yang dianggap sebagai sumber
kebenaran, aliran ini disebut rasionalisme. Aliran rasionalisme ada dua
macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam
bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas dan
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam

12
bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering
berguna dalam menyusun teori pengetahuan.
a. Positivisme
Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857). Ia
menganut paham empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu sangat
penting dalam memperoleh pengetahuan. Tetapi harus dipertajam
dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan
indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen
memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misalnya untuk mengukur
jarak kita harus menggunakan alat ukur misalnya meteran, untuk
mengukur berat menggunakan neraca atau timbangan misalnya kiloan.
Dan dari itulah kemajuan sains benar benar dimulai. Kebenaran
diperoleh dengan akal dan didukung oleh bukti empirisnya. Dan alat
bantu itulah bagian dari aliran positivisme. Jadi, pada dasarnya
positivisme bukanlah suatu aliran yang dapat berdiri sendiri. Aliran ini
menyempurnaka em[irisme dan rasionalisme.
b. Intuisionisme
Henri Bergson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia
menganggap tidak hanya indera yang terbatas. Akal juga terbatas.
Objek yang selalu berubah, demikian bargson. Jadi, pengetahuan kita
tentangnya tidak pernah tetap. Intelektual atau akal juga terbatas. Akal
hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya
pada objek itu, jadi dalam hal itu manusia tidak mengetahui
keseluruhan (unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap
pada objek. Misalnya manusia mempunyai pemikiran yang berbeda-
beda. Dengan menyadari kekurangan dari indera dan akal maka
Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia, yaitu intuisi.22

22 Ibid, Hlm. 24-28.

13
c. Kritisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana
seseorang ahli pemikir yang cerdas mencoba menyelesaikan
pertentangan antara rasioanalisme dengan empirisme. Seorang ahli
pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba menyelesaikan
persoalan diatas, pada awalnya, Kant mengikuti rasionalisme tetapi
terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya Kant mengakui peranan
akal harus dan keharusan empiris, kemudian dicoba mengadakan
sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal
(rasionalisme) tetapi adanya pengertian timbul dari pengalaman
(empirisme). Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis.
Walaupun ia mendasarkan diri dari nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia
tidak mengingkari bahwa adanya persoalan-persoalan yang melampui
akal.23
d. Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat
dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan jiwa dan roh.
Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu suatu yang hadir dalam
jiwa. Pandangan ini dimiliki oleh Plato pada filsafat modern.
Idealisme mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh
karena itu, tokoh-tokoh yang mengajarkan bahwa materi tergantung
pada spirit tidak disebut idealisme karena mereka tidak menggunakan
menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme.
Idealisme secara umum berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah
madzhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori
(masa bodoh) atau deduktif dapat diperoleh dari manusia dengan
akalnya.24

23Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), Hlm. 118-119.
24Hakim, M. A dan Drs. Bani Ahmad Saebani, M. Si, Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),Hlm. 206.

14
C. Logika
Logika sebagai salah satu cabang filsafat pada dasarnya adalah cara untuk
menarik kesimpulan yang valid. Secara luas logika dapat didefinisikan sebagai
pengkajian untuk berfikir secara sahih. Ada banyak cara menarik kesimpulan.
Namun secara garis besar, semua itu digolongkan menjadi dua cara yaitu logika
induktif dan logika deduktif.
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-
kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan
logika deduktif berhubungan dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus atau individual. Bail logika
induktif maupun logika deduktif, dalam proses penalarannya mempergunakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Ketepatan
penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor,
kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah
satu dari ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya
akan salah.

D. Aksiologi
Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani “axios” yang berarti
bermanfaat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah,
aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau
dari sudut kefilsafatan. 25 Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi
adalah studi tentang jakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan,
keindahan, dan kebenaran). 26
Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-
nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang
menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan

25 Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul
Pengantar Filsafat, (Cet. V, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), Hlm. 327.
26 Sarwan H.B, Filsafat Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Hlm. 22.

15
menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.27 Dengan demikian
aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai
atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sebndiri dapat kita jumpai dalam kehidupan
seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung
penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau
merealisasikan nilai. 28 Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai
macam-macam makna seperti: mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (
baik/benar/indah, mempunyai nilai (merupakan objek keinginan), mempunyai
kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui
(mempunyai sifat nilai tertentu), memberi nilai (menanggapi sesuatu sebagai hal
yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu). 29 Nilai ini
terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan
manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral. Sedangkan nilai estetika adalah telaah manusia terhadapnya. 30 Di dalam
etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena
menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat,
alam maupun terhadapa Tuha.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh
tanggung jawab, baik tanggung jawab ilmiah maupun tanggung jawab moral. 31
Tanggung jawab ilniah adalah sejauh mana ilmu pengetahuan melalui pendekatan
metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan
sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran objektif, baik secara
koheren-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi,

27 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Baya Madya Pratama, 1997), Hlm.
69.
28 N. Drijakarta SJ, Percikan Filsafat, (Cet. IV, Jakarta: PT. Pembangunan, 1981), Hlm. 36.
29 Louis O. Kattsoff, op. Cit, Hlm. 332.
30 Lihat kembali uraiannya lebih lanjut dalam ibid, 327. Bandingkan dengan Ali Mudhafir ,

Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Cet. I, Yogyakarta: Intan
Pariwara, 1997), Hlm. 19.
31 Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Cet. I, Yogyakarta: Al-Russ, 2004), Hlm. 164.

16
berdasarkan tanggung jawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk
mengejarkan kebohongan, dan hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung
nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk
kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran
objektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan
terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
➢ Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang
dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni:
1. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James
(1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan
Jhom Dewey.32 Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia
mempunyai bahasa. Dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat
dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal
dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai
kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan
adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud
sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus,
John Amos Comenius (1592-1670), John Locke (1632-1704), John
Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852),
Johann Fiedirich Herbanth (1776-1841), dan William T. Horris (1835-
1909).33 Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan
idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua

32 Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit, Hlm. 70-71.


33 Djuberansyah Indar, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994), Hlm. 136.

17
pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme
terbina dari dua pandangan tersebut.
a. Teori Nilai Menurut Idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum
kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi
dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah
laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas
baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam
upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah
bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang
mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap
pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian
dan suasana kesungguhan tersebut.
b. Teori Nilai Menurut Realisme
Menurut realisme, sumber semua penegtahuan manusia terletak
pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa
baik dan buruknya kedaan manusia tergantung pada keturunan dan
lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perapduan antara
pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya.
George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam
suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai
dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman
seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung tinggi asa otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri.34
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas
Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai
zaman yang menpunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan,

34 Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit, Hlm. 87.

18
kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai
zaman yang membtutuhkab usaha untuk mengamankan lapangan moral,
intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. 35 Sedangkan
menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas
“supernatural”, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti
itu, tidak hanya ontologi, dan epistemologi yang didasarkan pada teologi
dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi
oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai
merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada
asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah
laku manusia. Jadi, hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena
itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-
perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonstruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak
kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang
memandang bahwa kedaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang
terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran
rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan
kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja
sama.
➢ Nilai yang menjadi kajian aksiologi ada dua, itu sebabnya aksiologi dibagi
menjadi dua sub cabang yaitu:
1. Etika.
Kajian filsafat mengenai baik dan buruk, lebih kepada bagaimana
seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku, apa makna etika atau
moralitas dalam kehidupan manusia.

35
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode, (Yogyakarta:
Andi Offset, 1990), Hlm. 15.

19
2. Estetika.
Nilai yang berhubungan dengan keindahan (indah dan buruk).
Mengkaji mengenai keindahan, kesenian, kesenangan yang disebabkan
oleh keindahan.

20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Filsafat terlahir pada awalnya adalah dikarenakan oleh keingintahuan
manusia akan hakikat kehidupannya dan hakikat suatu kebenara. Filsafat
menelaah segala masalah yang dapat dipikirkan oleh manusia. Oleh karena itu
filsafat dikenal juga sebagai induk dari semua ilmu “the mother of the sciences”
Hal ini sesuai dengan arti filsafat secara bahasa yaitu cinta akan hikmat.
Dalam mencari hakikat kebenaran tersebut setiap filsuf belum tentu
menitikberatkan pada satu kajian yang sama. Dan berdasarkan objek kajian
tersebut, filsafat dibagi dalam beberapa cabang, yakni:
1. Metafisika, yaitu dibagi menjadi:
• Ontology
• Kosmologi
• Humanologi
• Teologi
2. Epistemologi
3. Logika
4. Aksiologi, terbagi menjadi dua, yaitu:
• Etika
• Estetika

Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal


atau hakekat objek (fisik) di dunia
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang
sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali
yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang
tidak benar.

21
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajariasal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya)
pengetahuan.
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat
yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan
dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri.
Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan
berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit
dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base.
Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah
knowledge base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang
makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang
mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan
filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.

22
B. APLIKASI SECARA PRAKTIS. 36

Peristiwa Alam/Sosial
(Fakta) Ontologi

Analisis (Indrawi) What Analisis (Teori)

Epistemologi
Why How gi
Akar Penyebab

Aksiologi
Nilai Kegunaan Tindakan
(What For)

36Sumber: kuliahdoktoralunairs3.files.wordpress.com/2012/10/filsafat2.pptx. (29 September


2014).

23
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers.


Mudyaharjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung.
Amsal Bakhtiar. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy).
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suriasumantri, Jujun S. 1985. Pengantar Ilmu dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Gramedia.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar
Pustaka Publisher.
Sunarto. 1983. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi
Offset.
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, H. 1982. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Zuhairini. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asmoro, Achmad. 2012. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hakim, MA dan Drs. Bani Ahmad Saebani, M. Si. Filsafat Umum dari Metologi
sampai Teofilosofi. (Bandung: Pustaka Setia).
Kattsoff, Louis O. 1992. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono
Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sarwan, HB. 1994. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Drijakarta SJ, N. 1981. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.

24
Idi, Abd dan Jalaluddin. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama.
Suhartono, S. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Al-Russ.
Indar, D. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama.
Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode.
Yogyakarta: Andi Offset.
Kuliahdoktoralunairs3.files.wordpress.com/2012/10/filsafat2.pptx. (29 September
2014).
.

25

Anda mungkin juga menyukai