Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FILSAFAT ILMU
“DIMENSI ONTOLOGIS DASAR ILMU TENTANG METAFISIKA,
ASUMSI, DAN PELUANG”

ADZULYANSYAH ( 22106251069 )
SULTAN FAKHRUR RASSYI ( 22107251058 )
CHITA KISYARANING MAHAYU ( 22107251059)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PEMBELAJARAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kita dapat menyusun makalah ini. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan arahan dan
petunjuk dalam setiap tindakan yang kita lakukan.
Makalah ini membahas tentang Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu
entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu
fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas
tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir,
dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar
pembahasan realitas. Penulis akan memaparkan lebih jauh mengenai kajian ontologi, berkaitan
dengan ruang lingkup metafisika, asumsi, dan peluang
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Secara etimologi, kita mengetahui bahwa filosofi berasal dari kata philosophia
yang diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Dalam filsafat ilmu, kita mengkaji
mengenai ontologi ilmu, suatu analisis filsafat tentang kenyataan dan keberadaan yang
berkaitan dengan hakikat “ada”, epistimologi ilmu, suatu teori tentang pengetahuan
yang berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan, dan
aksiologi ilmu, suatu teori tentang nilai atau makna.
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa
adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta.
Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas
tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola
berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan
sebagai dasar pembahasan realitas. Penulis akan memaparkan lebih jauh mengenai
kajian ontologi, berkaitan dengan ruang lingkup metafisika, asumsi, dan peluang
1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diuraikan rumusan masalah

sebagai berikut.

1. Apa definisi dari ontologi?


2. Apa definisi dari metafisika?
3. Apa definisi dari asumsi?
4. Apa definisi dari peluang?
1.3.Tujuan

Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, maka dapat diuraikan tujuan yang ingin

dicapai dalam pembuatan karya tulis ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan Terkait ontologi.


2. Mendeskripsikan Terkait Metafisika.
3. Mendeskripsikan Terkait Asumsi.
4. Mendeskripsikan Terkait Peluang.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Ontologi

Secara etimologi (bahasa),


Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada (being), dan Logos = ilmu
(logic). Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut istilah, berikut adalah definisi ontologi dari beberapa ahli :

1. Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak (Bakhtiar, 2010)
2. Menurut (Suriasumantri, 1998), ontologi membahas tentang apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :

• apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,


• bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
• bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

3. Menurut (Soetriono & Hanafie, 2007), ontologi yaitu merupakan azas dalam
menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek
ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita
(metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan
landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya
berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
4. Menurut The Liang Gie (Gie, 2010)

Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang
pembahasannya meliputi persoalan-persoalan :

• Apakah artinya ada, hal ada ?


• Apakah golongan-golongan dari hal yang ada ?
• Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada ?
• Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang
berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan)
dapat dikatakan ada ?

5. Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles, ontologi
yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh
realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan
sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan
prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)

Dari beberapa definisi tersebut, ditarik sebuah pengertian paling umum yang
menyatakan ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari
hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut
lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat
beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk
sebuah knowledge base”. dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna
dari suatu objek, properti dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi
pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi
tentang sesuatu yang ada.
2.2. Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang membahas tentang asal-usul dan hakikat segala
sesuatu di alam semesta. Metafisika berbicara tentang hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan
mata telanjang, seperti keberadaan Tuhan, ruang dan waktu yang tak terbatas, dan substansi
dasar dari segala sesuatu. Dalam metafisika, terdapat beberapa asumsi dasar yang menjadi
pijakan dalam penyelidikan.
Asumsi-asumsi tersebut meliputi bahwa dunia ini bersifat objektif, alam semesta
memiliki struktur yang teratur dan konsisten, dan adanya prinsip-prinsip universal yang
mengatur segala sesuatu.

Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini,


diantaranya :

1. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih
tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan
kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya
bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme
merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme
menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam
itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia
mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam
adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan
sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian,
hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna
merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh
pancaindra.
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini
merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup)
hanya merupakan gejala kimia-fisika semata.
Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme
juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat
diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Karena kaum vitalistik menganggap makhluk hidup adalah sesuatu yang unik dan berbeda
secara substansif dengan proses tersebut.
Namun, penolakan datang dari kaum dualistik yang dianut oleh Rene Descartes
(1596 – 1650), John Locke (1632 – 1714), dan George Berkeley (1685 – 1753). Ketiga
filsuf ini berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dan
segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Paham ini berpendapat bahwa yang
bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
Dari definisi diatas, dapat dikatakan bahwa metafisika adalah kajian filsafat yang
membahas hakikat atau hal-hal yang berada dibalik kenyataan/gejala-gejala yanga ada.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam
ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan
yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak
pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di
atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya
setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum
ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.

Dasar Ilmu Metafisika

Dasar ilmu metafisika adalah pemikiran rasional dan logis yang mempertanyakan realitas
di luar pengalaman manusia. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar seperti 'apa itu keberadaan?', 'apa itu substansi?', dan 'apa itu Tuhan?'. Dalam
metafisika, terdapat dua jenis pengetahuan: pengetahuan empiris dan pengetahuan rasional.
Pengetahuan empiris didapatkan melalui pengalaman, sedangkan pengetahuan rasional
didapatkan melalui pemikiran dan analisis.

Asumsi dalam Metafisika

Asumsi pertama dalam metafisika adalah bahwa segala sesuatu memiliki esensi
atau hakikat yang unik. Esensi ini merupakan substansi dasar dari suatu benda atau
fenomena. Asumsi kedua adalah bahwa segala sesuatu memiliki tujuan atau arah yang jelas.
Asumsi ketiga adalah bahwa ada hubungan antara segala sesuatu di alam semesta. Asumsi-
asumsi tersebut memberikan pijakan bagi para filsuf untuk memahami alam semesta dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat keberadaan.

Peluang dalam Metafisika

Metafisika memberikan peluang untuk memahami realitas di luar pengalaman manusia.


Dengan menggunakan akal dan logika, kita dapat memahami prinsip-prinsip dasar yang
mengatur alam semesta. Selain itu, metafisika juga memberikan peluang untuk
mempertanyakan keyakinan dan pandangan dunia yang sudah ada. Namun, metafisika juga
memiliki batasan-batasan dalam memahami realitas. Keterbatasan pengalaman manusia
membuat sulit untuk memahami realitas yang tidak dapat diamati atau diukur secara
langsung. Selain itu, banyak pertanyaan metafisika yang sulit untuk dijawab secara pasti.

2.3. Asumsi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asumsi berarti dugaan yang diterima
sebagai dasar atau landasan berpikir karena dianggap benar. Menurut Suriasumantri (1984)
asumsi diperlukan sebagai arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah
pengetahuan dapat dianggap benar, selama kita bisa menemukan asumsi yang ada di
dalamnya.
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi
penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang
kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan
merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula
sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk
menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk
menyuratkan segala hal yang tersirat.
Dari definisi ini dapat dikatakan, jika diperiksa ke belakang (backward) maka
hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan
kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung
agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah
hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan
menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan. Dengan demikian, asumsi menjadi
masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan
asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian
hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur
penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;

• Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena


kebenaran sudah membuktikan sendiri.

Contoh : kebudayaan yang tidak tumbuh dan berkembang adalah kebudayaan yang mati

• Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu


fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya

Contoh: manusia yang berkawan adalah manusia sebagai makhluk sosial

• Pangkal pendapat dalam suatu entimen


Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan
asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa
gejala alam tunduk pada tiga karakteristik :
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini
merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian
ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.

1. Pilihan Bebas

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak


terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini
banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur
yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik
menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia
lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu
melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di
India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya.
Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan
waktu.

2. Probabilistik

Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada


namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan
peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan
untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada
ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak
dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan
variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar
5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi
deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa
ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan
variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu
ekonomi.

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,


permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi
seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya
yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu
manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub
deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan
tengahnya.
2.4.Peluang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peluang berarti ruang gerak, baik yang
konkret maupun yang abstrak, yang memberikan kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk
memanfaatkannya dalam usaha mencapai tujuan. Menurut (Murwani, 2007), peluang
merupakan perbandingan antara banyaknya kejadian yang muncul (observed) dengan
banyaknya seluruh kejadian yang mungkin muncul (expected).
Dalam perkembangannya peluang menjadi salah satu cabang ilmu yang baru yang
kemudian dikenal dengan ilmu probabilistik atau ilmu peluang. Walau termasuk ilmu yang
relatif baru, ilmu ini bersama dengan statistika berkembang cukup pesat. Peluang
dinyatakan dari angka 0 sampai 1. Angka 0 menyatakan bahwa suatu kejadian itu tidak
mungkin terjadi. Dan angka 1 menyatakan bahwa sesuatu itu pasti terjadi. Misalnya bahwa
peluang semua makhluk hidup itu akan mati dinyatakan dengan angka 1. Dalam proses
pencarian ilmu, peluang merupakan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pencarian
atau perumusan suatu pengetahuan yang pasti.
Misalnya seorang ilmuwan geofisika dan meteorologi hanya bisa memberikan bahwa
kepastian tidak turun hujan 0.8. Keputusan apa yang akan diambil seseorang sehubungan
informasi cuaca di atas atau langkah apa yang akan diambil. Seseorang yang mengenal
dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “80% anda akan sembuh jika
meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah
meminum obat ini”.
Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan
yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi kita untuk mengambil keputusan, dimana keputusan harus
berdasarkan penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif dengan demikian maka kata
akhir dari suatu keputusan terletak di tangan kita dan bukan di teori-teori keilmuan. Oleh
karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan
kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :

• Ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu.
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
• Metafisika adalah kajian filsafat yang membahas hakikat atau hal-hal yang berada
dibalik kenyataan/gejala-gejala yanga ada. Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan
pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.
• Asumsi berarti dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berpikir karena
dianggap benar. Asumsi diperlukan sebagai arah dan landasan bagi kegiatan
penelaahan kita. Sebuah pengetahuan dapat dianggap benar, selama kita bisa
menemukan asumsi yang ada di dalamnya.
• Peluang merupakan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pencarian atau
perumusan suatu pengetahuan yang pasti. Peluang mendasari terbentuknya hipotesa
untuk menjawab masalah keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, A. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada (Rajawali Press).
Gie, T. L. (2010). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Murwani, S. (2007). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: UHAMKA PRESS.
Soetriono, & Hanafie, R. (2007). Filsafat Ilmu Dan Methodologi Penelitian. Yogyakarta: C.V.
Andi Offset.
Suriasumantri, J. S. (1998). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar
harapan.

Anda mungkin juga menyukai