FILSAFAT ILMU
Disusun Oleh :
Nomor Urut : 4
NIM : 1168010004
Kelas : AP A Semester
Administrasi Publik
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus mengkaji tentang alam
semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan jiwa
manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas Tuhan.
(opcit.:135)
Apakah yang ada itu (what is being ?) Dalam memberikan jawaban masalah ini
lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme. 1.
Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi
yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka
dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh filosuf yang
bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide
merupakan kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).
Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai
sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM)
menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246).
Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh
Whitehead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur
peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal, 1981:35).
Di manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang
ada itu berada dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak.
Sementara aliran materilaisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu
bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff
memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada
(being), kenyataan (reality), eksistensi (existence) perubahan (change), tunggal
(one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut dijabarkan secara rinci oleh
Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup
penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda dalam
jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti
penciptaan surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama).
Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan
yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah
merupakan konsistensi pada asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan
adanya verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan peryataan yang benar
secara ilmiah (Jujun, 1986: 3) Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran
tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di
atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek
ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari
nilai-nilai dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam argumentasi
ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi
keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah
pertama adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya
secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: Ilmu dimulai dengan
fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya. Menurut
Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana
adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat
seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan
alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun yang mencerminkan das sein agar dapat
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk
memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah
menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman
Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala
Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.
1. Menurut Suriasumantri
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori
tentangada. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan:
Ilmuan menyebut bahwa teori hakekat ini sama dengan ontologi yang tugasnya
memberikan jawaban atas pertanyaan apa sebenarnya realitas sesuatu? Apakah itu
sesuai dengan penampakkannya atau tidak? Untuk menjawab soal-soal tadi, para
filosof menyelesaikan dan memberikan jawaban dengan menggunakan teori
hakekat atau ontologi ini.
a. Aliran Idealisme
Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada
sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru
terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide. Yang fisik bagi
aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang dan sifatnya
sementara dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan
tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Pemikiran ini diawali dari pemikiran Socrates, Plato (era Yunani),
Stoa dan Neo-Platonisme (kaum Patristik), al-Ghazali (di dunia
Islam)
Idealisme berpendapat hakikat benda adalah rohani, spirit,
atau sebangsanya. Alasan mereka ialah sebagai berikut.
1. Nilai roh lebih tinggi daripada badan.
2. Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia
luar dirinya.
3. Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang;
benda tidak ada, yang ada energi itu saja (Oswald)
b. Aliran Materialisme
c. Aliran Dualisme
Aliran ini tampaknya hendak menggabungkan (sintesis),
antara eksistensi yang fisik dengan eksistensi yang metafisik. Bagi
aliran ini, eksistensi sesuatu itu, bisa berupa yang fisik, bisa juga
yang bersifat metafisik. Antara yang fisik dan yang metafisik, satu
sama lain selalu seiring sejalan. Satu sama lain tidak bisa saling
mengalahkan.
d. Aliran Pluralisme
e. Aliran Nihilisme
f. Aliran Agnositisme
Atmaja, I Dewa Gede dkk. 2014. Filsafat Ilmu Dari Pohon Pengetahuan
Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani
Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya