Anda di halaman 1dari 11

ULANGAN AKHIR SEMESTER

FILSAFAT ILMU

Ontologi dalam Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu : Drs. H. Ahmad Syamsir, M.Si

Disusun Oleh :

Nomor Urut : 4

Nama : Ade Ruhyatna

NIM : 1168010004

Kelas : AP A Semester

Administrasi Publik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Sunan Gunung Djati Bandung


A. Pengertian Ontologi

Secara etimologis (dari asal-usul bahasa) ontologi berasal dari bahasa


Yunani, yakni dari kata ontos artinya ada dan logos=logic artinya ilmu. Jadi secara
etimologis ontologi diartikan ilmu tentang ada.

Term atau istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh R-dolf


Gocnelius (1636) dalam usahanya untuk memberi nama teori tentang hakekat
(realita sebenarnya) mengenai ada yang metafisik. Dalam perkembangannya .
(Christian Wolf (1679-1754) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan metafisika khusus. (Amsal Bakhtiar, 2011, opcit.:134). Metafiska
umum inilah yang disebut ontologi, sedangkan metafisika khusus dibagi atas:
kosmologi,psikologi, dan teologi. Berturut-turut dapat dicermati pengertiannya
sebagai berikut:

Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus mengkaji tentang alam
semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan jiwa
manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas Tuhan.
(opcit.:135)

Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan


kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan
munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan
mencari apa sesungguhnya hakikat yang ada (being) itu, yang pada akhirnya ia
berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah
air. Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang
menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika)
(Jujun, 1986 :2). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa
hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang
tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu.
Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan
seterusnya merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan
bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan
kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988 :7). Louis
O. Kattsoff (1987 : 192) membagi ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja,
ontologi kuantitatif dan kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi
bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa
adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal
atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan:
apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah
jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan
dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik
melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18). Ada
beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat.
Misalnya pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang
ada itu (how is being?) dan di manakah yang ada itu? (where is being?).

Apakah yang ada itu (what is being ?) Dalam memberikan jawaban masalah ini
lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme. 1.
Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi
yang berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka
dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh filosuf yang
bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide
merupakan kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).

Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai
sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM)
menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246).
Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh
Whitehead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur
peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal, 1981:35).

Di manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang
ada itu berada dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak.
Sementara aliran materilaisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu
bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff
memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada
(being), kenyataan (reality), eksistensi (existence) perubahan (change), tunggal
(one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut dijabarkan secara rinci oleh
Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup
penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda dalam
jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti
penciptaan surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama).
Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan
yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah
merupakan konsistensi pada asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan
adanya verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan peryataan yang benar
secara ilmiah (Jujun, 1986: 3) Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran
tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di
atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek
ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari
nilai-nilai dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam argumentasi
ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi
keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah
pertama adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya
secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: Ilmu dimulai dengan
fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya. Menurut
Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana
adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat
seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan
alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun yang mencerminkan das sein agar dapat
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk
memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah
menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman
Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala
Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.

Ontologi adalah objek-objek yang dipikirkan secara mendalam sampai


pada hakikatnya. Nama lain dari teori hakikat yaitu teori tentang keadaan
(Langeveld).

Berikut ini pengertian ontologi menurut beberapa ahli :

1. Menurut Suriasumantri

Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh
kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori
tentangada. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan:

a) Apakah objek ilmu yang akan ditelaah


b) Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut
c) Bagaimana hubungan antar objek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir,merasa,dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan)

2. Menurut Soetrino dan Hanafie (2007)

Ontologi merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup


wujud yang menjadi objek penelaahan(objek ontologis atau objek formal dari
pengetahuan ) serta penapsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari objek
Ontologi atau objek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang
menayangkan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan
alam kenyataan dan keberadaaan.

3. Menurut Ensiklopedia Britanica yang juga diangkat dari konsepsi Aristoteles

Ontologi yaitu teori atau studi tentang being/wujud seperti karakteristik


dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi
filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli(real nature) dari suatu benda
untuk menentukan arti, struktur dan prinsip benda tersebut. (filosofi ini
didefinisikan oleh aristoteles abad ke-4 SM).

Ilmuan menyebut bahwa teori hakekat ini sama dengan ontologi yang tugasnya
memberikan jawaban atas pertanyaan apa sebenarnya realitas sesuatu? Apakah itu
sesuai dengan penampakkannya atau tidak? Untuk menjawab soal-soal tadi, para
filosof menyelesaikan dan memberikan jawaban dengan menggunakan teori
hakekat atau ontologi ini.

Jawaban terhadap soal-soal tadi, bisa sangat metafisik (pengakuan terhadap


eksistensi yang beyond ), atau bisa menolak keberadaan atau eksistensi yang
beyond. Karena itu, tidak salah juga jika dalam teori ini, ilmuwan kemudian
membagi dan mencabangkan teori ini pada faham-faham seperti berikut :

a. Aliran Idealisme
Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada
sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru
terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide. Yang fisik bagi
aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang dan sifatnya
sementara dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan
tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Pemikiran ini diawali dari pemikiran Socrates, Plato (era Yunani),
Stoa dan Neo-Platonisme (kaum Patristik), al-Ghazali (di dunia
Islam)
Idealisme berpendapat hakikat benda adalah rohani, spirit,
atau sebangsanya. Alasan mereka ialah sebagai berikut.
1. Nilai roh lebih tinggi daripada badan.
2. Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia
luar dirinya.
3. Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang;
benda tidak ada, yang ada energi itu saja (Oswald)
b. Aliran Materialisme

Aliran ini menganggap bahwa sejatinya realitas adalah


aspek materi. Bagi aliran ini, apa yang dimaksud dengan ide, justru
akan muncul dari realitas materi atau realitas benda. Apa yang
dimaksud dengan sejatinya sesuatu yang terletak dibalik yang fisik
yang dianggap kelompok idealitik sebagai sejatinya eksistensi
adalah sesuatu yang absurd kare na manusia tidak mungkin
mencapai pengetahuan tentangnya. Yang fisik bagi aliran ini
dianggap sebagai sejatinya eksistensi. Bahwa betul aspek materi
akan rusak, tetap matinya satu materi, pasti akan melahirkan materi
yang lainnya. Ia tidak sementara, tetapi abadi, meski hanya dalam
sifat material itu. Pemikiran ini diawali dari pemikiran Aristoteles
dan Arithiphos (era Yunani), al-Raji (di dunia Islam), dan yang
paling ekstrem tentu adalah Karl Marx.

Aliran ini merupakan aliran yang tertua. Ada beberapa


alasan mengapa aliran ini dapat berkembang.

1. Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan


yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran
terakhir. Pikiran yang masih sederhana tidak mampu
memikirkan sesuatu diluar ruang, yang abstrak.
2. Penemuan-penemuan menunjukkan betapa
bergantungnya jiwa pada badan. Maka peristiwa jiwa
selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih
menonjol dalam peristiwa itu.
3. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada
benda, seperti pada padi. Dewi sri dan tuhan muncul
dari situ. Kesemuanya ini memperkuat dugaan bahwa
yang merupakan hakikat adalah benda.

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu


thales(624-546 SM) ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air,
karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander(585-528 SM)
berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alas an
bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan.
Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atom-atom yang banyak junlahnya, tak dapat dihitung
dan halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.
Menurut materialisme sering juga disebut naturalisme,hakikat
benda adalah materi,benda itu sendiri.hakikat manusia adalah
materi maka menurut paham ini manusia itu hakikatnya ialah
seperti ia kelihatan. Rohani amnesia memang ada, tetapi bukan
hakikat. Kepuasaan dan kebahagiaan terletak pada badan, jika
badan hancur, karena mencuri atau mempertahankan kebenaran
maka selesailah manusia itu, rohnya hilanag tidak keruan bersama
badan. Tentu tidak ada soal neraka atau surga.

c. Aliran Dualisme
Aliran ini tampaknya hendak menggabungkan (sintesis),
antara eksistensi yang fisik dengan eksistensi yang metafisik. Bagi
aliran ini, eksistensi sesuatu itu, bisa berupa yang fisik, bisa juga
yang bersifat metafisik. Antara yang fisik dan yang metafisik, satu
sama lain selalu seiring sejalan. Satu sama lain tidak bisa saling
mengalahkan.

Tokoh paham ini adalah descrates (1596-1650 M) yang


dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua
hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang
(kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya discours de la method
(1637) dan meditations de prima philosopia (1641) dalam bukunya
ini pula ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan cogito
descrates (metode keraguan descrates/cartesian doubt) disamping
descrates ada juga benedictus de Spinoza (1632-1677M) dan
gitipried wihelm von Leibniz (1646-1716 M) Aliran dualisme
mudah ditebak.yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua,
material dan immaterial ,benda dan roh,jasd dan spirit.materi bukan
munculdari roh,dan roh bukan muncul dari benda.

d. Aliran Pluralisme

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk


merupakan kenyataaan. Tokoh aliran ini pada masa yunanai kuno
adalah Anaxagoras dan empedocies. Yang menyatakan bahwa
substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu
tanah,air,api,udara. Tokoh modern aliran ini adalah William james
yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dn lepas
dari akal yang mengenal.

e. Aliran Nihilisme

Nihilisme berasal dari dari bahasa latin yang berarti nothing


atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas
alternative yang positif. Istilah nihilism diperkenalkan oleh ivan
turgeniev pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilism
sebenarnya sudah ada semenjak zaman yunani kuno, yaitu pada
pandangan gorgian (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi
tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua,
bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui. Ketiga sekalipun
realitas itu dapat kita ketahui tidak akan dapat kita beri tahukan
kepada orang lain.

f. Aliran Agnositisme

Aliran agnositisme menyerah sama sekali.mereka


berpendapat bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat benda.
A artinya not, gno=kno. Didalam bahasa grik agnotos berarti
unknown. Agnoteisme adalah paham ketuhanan yang terletak
antara teisme dan ateisme. Mereka itu bertuhan tidak dan tidak
bertuhan juga tidak. Sama dengan pandangan agnostisisme pada
ontologi. Mereka beranggapan manusia tidak mampu mengetahui
hakikat tuhan.

B. Cara Berpikir Ontologi


Filsafat berusaha memerangi dunia dengan rasio manusia, dan
karenanya, filsafat lebih merupakan kebijaksananaan duniawi bukan
kebijaksanaan illahi yang sempurna dan mutlak abadi. Maka itu filsafat
berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan
kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati. Walaupun
filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio
semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan bagian integral dari
keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek lainnya dari
tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang bersifat monopluralis (satu
di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya
memuaskan pencarian manusia akan kebenaran, tetapi ia juga berusaha
menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara
kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi yang absurd,hambar, dan penuh
khayalan sia-sia.

Menurut Muhadjir (2011) cara berpikir ontologis dapat berbenturan


dengan suatu agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman
atau keyakinan. Filsafat ilmu Ontologi tidak mengajak berdebat antara
ilmu dan iman. Ontologi hendak meletakan dasar kelimuan. Dalam filsafat
ilmu jawa, misalnya ada pemikiran ontologi: benarkah tuhan tidak tidur?
Jawaban atas realitas abstrak ini perlu dijawab secara ontologisme
melalaui perenungan ilmiah. Hal tersebut semakin memperjelas Ontologi
sampai cabang filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan.
Membahas ilmu dari dasar keilmuan itu ada,bentuk ilmu, wajah ilmu, serta
perbandingan ilmu dengan yang lain akan menuntun manusia berpikir
ontologies. Ontologi menjadi pijakan manusia berpikir kritis tentang
keadaan alam semesta yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka

Atmaja, I Dewa Gede dkk. 2014. Filsafat Ilmu Dari Pohon Pengetahuan
Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani

Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai.


Bandung: Pustaka Bani Quraisy

Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan Filsafat, Ilmu Pengetahuan,


dan Peradaban. Depok: PT Rajagrafindo Persada

Hasan, Erliana. 2011. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu


Pemerintahan. Bogor: Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai