Anda di halaman 1dari 9

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AXIOLOGI ILMU

1.   Ontologi            


Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga
tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi, epistemologi
dan aksiologi (Jujun, 1986 : 2).           
  Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan
pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyaan untuk apa. Ontologi
merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan
ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya
hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan, bahwa asal usul
dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. Ontologi merupakan azas dalam menetapkan
batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang
hakikat realitas (metafisika) (Jujun, 1986 :2).
Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan
tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu. Paham idealisme atau spiritualisme,
materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya merupakan paham ontologis yang
akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan
bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento
Wibisono, 1988 :7). Louis O. Kattsoff (1987 : 192) membagi ontologi dalam tiga bagian:
ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan
ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa
adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau
jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang
merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan
bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan
dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau
idealisme dan materialisme (lihat, Hery, 17-18).
Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat.
Misalnya pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu
(how  is being?) dan di manakah yang ada itu? (where is being?).  
A. Apakah yang ada itu (what is being ?) Dalam memberikan jawaban masalah
ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme. 1.
Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi yang
berpendapat bahwa yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka dikelompokkan
dalam aliran monisme-idealisme. Plato adalah tokoh filosuf yang bisa dikelompokkan
dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang
sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).

1. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme


dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai
sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes bisa digolongkan
dalam aliran ini (Harun Hadiwijono, 1991:49).
2. Aliran pluralisme.  Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak hanya
terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang
merupakan unsur substansial dari segala wujud.
1. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak
suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden (Hasbullah Bakri,
1991:60).

B. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu
yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan,
bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini
dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam
ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara
kreatif (Iqbal, 1981:35).  
C. Di manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang
ada itu berada dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara
aliran materilaisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati,
individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term dasar
mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi
(existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut
dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda
dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti penciptaan
surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan yang mencoba
menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penyusunan peryataan  yang benar secara ilmiah (Jujun,  1986: 3)
Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek
ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus
didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan
deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik
ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi
keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah pertama
adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris,
sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4),
metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein)
menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu
justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun
yang mencerminkan das sein agar dapat menjelaskan, meramalkan dan mengontrol
fenomena alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang
(set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya
inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.
2.   Epistemologi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan


sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Terdapat tiga persoalan pokok dalam
bidang epistemologi:

1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang


benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang
benar dari yang salah? (Harold Titus et.al., 1984: 187-188).

Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistemologis menyangkut dua macam,


yakni epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-
pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek
pengetahuan tersebut (Kattsoff, 1987:76). Epistemologi meliputi tata cara dan sarana
untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan
mengakibatkan berbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi,
intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara
pendekatan dan batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara
pendekatan ilmiah (Koento Wibisono, 1988: 7). Pada dasarnya metode ilmiah merupakan
cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: pertama,
kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten
dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua, menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan ketiga,
melakukan verifikasi terhadap hipotetis tersebut untuk menguji kebenaran peryataannya
secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypotetico-
verificative atau deducto-hypotetico-verificative (Jujun, 1986: 6).
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam
mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empirik berarti
evaluasi secara objektif dari suatu peryataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Ini
berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain yang terkandung dalam hipotetis.
Demikian juga verifikasi faktual terbuka atas kritik terhadap kerangka pemikiran yang
mendasari pengajuan hipotesis. Berfikir ilmiah berbeda dengan kepercayaan relijius yang
memang didasarkan atas kepercayaan dan keyakinan, tetapi dalam cara berpikir ilmiah
didasarkan atas dasar prosedur ilmiah (Jujun, 1986:6).
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yaitu
rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain,
misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomenalisme), intuisionisme, postivisme dan
seterusnya. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya
peran akal atau ide, sementara peran indera dinomorduakan. Pemikiran para filosuf pada
dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan
rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme atau spiritualisme; dan dari
indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialisme.
Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori oleh Descartes, seorang
berkebangsaan Perancis yang dijuluki sebagai “Bapak filsafat moderen”. Rasionalisme
dikembangkan berdasarkan filsafat  “ide” Plato. Dalam sejarah kefilsafatan, nama Plato
(427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M) merupakan prototype cikal bakal
pergumulan antara rasionalisme dan empirisme. Plato berpendapat, bahwa hasil
pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yan
selalu berubah-ubah. Menurutnya, ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera
diragukan kebenarannya. Menurut Plato alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang
bersifat tetap tak berubah-ubah (lihat Harold H. Titus et-al., 1984:256). Menurut Plato,
manusia lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh Descartes (15966-1650 M) dan para
tokoh rasionalis yang lain disebut innate ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat
mengenal dan memahami segala sesuatunnya, dan dari situlah timbul ilmu pengetahuan
(Titus et.al., 1984:256).
Menurut rasionalisme Descartes, untuk memperoleh kebenaran harus dimulai
dengan meragukan sesuatu. Seorang yang ragu berarti sedang berpikir, yang berarti ada.
Statemennya yang populer adalah “aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum).
Kebenaran adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly), artinya bahwa
ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan dari gagasan-gagasan yang laim (Harun
Hadiwijono, 1990: 19, 21). Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes disamping
dapat dukungan dari para pengikutnya, seperti Spinoza dan Leibniz tidak luput pula dari
tantangan. Tantangan utama adalah datang dari seorang filosuf berkebangsaan Inggris,
John Locke (1632-1704 M) dengan filsafat empirisme-nya. Filsafat empirisme kalau
dilacak adalah bersumber dari filsafat Aristoteles yang mengatakan, bahwa realitas yang
sebenarnya adalah terletak pada “benda-benda kongkret” yang dapat diindera, bukan
pada ide sebagaimana kata Plato (lihat Bertens, 1984: 153).
Menurut Aristoteles karena realitas adalah bendanya yang kongkret itu sendiri,
bukan ide, maka ide tentang benda tidak terdapat dalam kenyataan. Meski demikian
Aristoteles juga mengakui adanya “ide”, tetapi ide yang terletak pada benda itu sendiri,
bukan seperti “ide” Plato yang berada pada rasio. Menurut Plato, dengan ide terlahir ilmu
pengetahuan “yang umum dan tetap”. Aristoteles tidak menyangkal dalam hal ini, tetapi
sesuatu “yang umum dan tetap” itu tidak berada di dunia “ide” yang tidak kongkret,
melainkan berada dalam bendanya yang kongkret itu sendiri. Teori Aristoteles ini disebut
dengan teori helemorphisme, materi bentuk. Artinya untuk bisa dikatakan benda, maka
harus terdiri dari “materi dan bentuk” (lihat Bertens, 1976: 12-13). Berdasarkan teori
helemorphisme Aristoteles, John Locke berpendapat, bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah pengalaman empiris. Menurut Locke, ketika manusia dilahirkan didalam akalnya
merupakan sejenis buku catatan yang kosong yang lebih dikenal dengan teori tabularasa,
dan di dalam buku inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang
akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut (Kattsoff, 1987: 137).
Kebenaran yang diperoleh empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan
antara subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji.
Kebenaran didapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik
kesimpulan. Menurut Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah
(sensation) dan pengalaman batiniah (reflexion) yang keduanya saling jalin-menjalin,
karena menurutnya segala sesuatu yang berada di luar diri kita menimbulkan ide-ide
dalam diri kita (Harun Hadiwijono, 1990: 36). Filsafat empirisme dikembangkan oleh
filosuf-filosuf Inggris: F. Bacon, T. Hobbes, J. Locke, C. Berkeley dan D. Hume
(Peurser, 1989: 81). Emperisme Locke juga dikembangkan oleh Comte, seorang filosuf
berkebangsaan Perancis dengan teori Postivisme-nya. Menurut positivisme, yang ada
adalah yang tampak, segala gejala di luar fakta ditolak. Oleh sebab itu metafisika pun
ditolak (Harun, 1990: 32). Beda emperisme dengan positivisme adalah keduanya
mengutamakan pengalaman, tetapi positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman
objektif, sementara emperisme menerima pengalaman subjektif (batiniah) (Harun,
1990:109-110). Tesis rasionalisme melahirkan antitesis yang berupa empirisme dan dari
keduanya pada abad belakangan memunculkan sintesis baru yang disebut dengan
rasionalisme kritis yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosuf
berkebangsaan Jerman. Rasionalisme kritis memang tepat ketika mengatakan, bahwa
rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari pada kekuatan nalar
ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan terhadap realitas empiris (Peursen,
1989 : 86). Kant membedakan empat macam pengetahuan: pengetahuan analitis a priori,
sintesis a priori, analitis a posteriori, sintesis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah
pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum
pengalaman. Pengetahuan a posteriori adalah terjadi sebagai akibat pengalaman.
Pengetahuan analitis apriori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisis-analisis
terhadap unsur-unsur a priori dan pengetahuan sintesis a priori dihasilkan oleh akal
terhadap bentuk-bentuk pengalaman sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak
saling bertumpu. Pengetahuan analitis a posteriori dan analisisnya diperoleh setelah ada
pengalaman (Kattsoff, 1987:143-144).
Jujun (dalam A.M. Saifuddin et.al., 1991: 16-17) menuturkan, bahwa ilmu dalam
upaya untuk menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria
kebenaran: yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatisme.
Koherensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria
kebenaran tentang konsistensi suatu argumentasi. Sekiranya terdapat konsistensi dalam
alur berpikir, maka kesimpulan yang ditariknya adalah benar, sebaliknya jika terdapat
argumentasi yang bersifat tidak konsisten, maka kesimpulan yang ditariknya adalah
salah. Landasan koherensi inilah yang dipakai sebagai dasar kegiatan keilmuan untuk
menyusun pengetahuan yang bersifat sistematis dan konsisten.          
Koresponden merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria
taentang kesesuaian antar materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek
yang dikenai pernyataan tersebut. Jika kita menyatakan “gula itu rasanya manis”, maka
peryataan itu benar sekiranya dalam kenyataanya gula itu rasanya memang manis.
Sebaliknya, jika kenyataanya gula itu rasanya tawar, maka peryataan itu salah. Jadi,
kebenaran harus sesuai dengan kenyataan setelah dibuktikan (verifikasi).
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria
tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu. Jadi, bila suatu teori keilmuan secara fungsional mampu menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori
tersebut benar, dan sekiranya dalam kurun waktu yang berlainan muncul teori lain yang
lebih funsional, maka kebenaran itu teralihkan kepada teori baru tersebut. Dengan
demikian, secara pragmatis, dunia keilmuan memberikan preferensi kepada teori yang
bersifat lebih menyakinkan dan lebih bersifat umun (universal) dibandingkan dengan
teori-teori sebelumnya. Penganut positivisme ilmu pengetahuan hanya mengakui satu
kebenaran, yaitu kebenaran inderawi, yang teramati dan yang terukur, yang dapat
diulangbuktikan oleh siapa pun. Di luar itu tidak diakui sebagai kebenaran. Sementara
rasionalisme hanya mengakui kebenaran etik (Noeng Muhadjir, 1990: 214).

3.   Aksiologi

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai,
parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana
kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik
materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-
sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis (Van Melsen, 1990: 107).

Pertanyaan mengenai aksiologi menurut Kattsoff (1987:331) dapat dijawab


melalui tiga cara: Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut
pandang ini, nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka; kedua,
nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak
terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan
dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan objektivisme logis; ketiga, nilai-
nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini
disebut objektivisme metafisik. Dalam pendekatan aksiologis ini, Jujun (1986: 6)
menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebagai
sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan
manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun di pergunakan
secara komunal dan universal. Komunal berarti, bahwa ilmu merupakan pengetahuan
yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya sesuai dengan komunalisme. Universal berarti bahwa ilmu tidak
mempunyai konotasi parokial sepertia: ras, ideologi atau agama. Tidak ada ilmu Barat
dan tidak ada pula ilmu Timur.

Anda mungkin juga menyukai