B. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu
yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan,
bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini
dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead, bahwa alam
ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara
kreatif (Iqbal, 1981:35).
C. Di manakah yang ada itu? (where is being ?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang
ada itu berada dalam alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara
aliran materilaisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati,
individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term dasar
mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi
(existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut
dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu
membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda
dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-
pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti penciptaan
surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama). Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan yang mencoba
menelaah kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penyusunan peryataan yang benar secara ilmiah (Jujun, 1986: 3)
Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek
ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik keilmuan harus
didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan
deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik
ilmu terbebas dari nilai-nilai dogmatis. Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi
keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan tersebut maka langkah pertama
adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris,
sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4),
metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein)
menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu
justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujaun
yang mencerminkan das sein agar dapat menjelaskan, meramalkan dan mengontrol
fenomena alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang
(set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya
inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern.
2. Epistemologi
3. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai,
parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana
kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik
materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-
sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita
perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis (Van Melsen, 1990: 107).