Anda di halaman 1dari 8

Program Doktor Ilmu Akuntansi (PDIA) 2021

Mata Kuliah: FIlsafat Ilmu dan Pemikiran Akuntansi


Tugas: Essay Ontologi

Oleh Andi Faisal (A023202013)

 Pendahuluan
Diskukursus seputar ilmu pengetahuan tidak terlepas dari pertanyaan dasar terkait dasar ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Dalam ranah ontologis, wacana tentang hakekat realitas merupakan topik yang
pertama kali muncul dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan. bahkan sampai hari ini, pertanyaan seputar apa
itu realitas? Apakah realitas hadir secara objektife diluar diri individu? Apakah realitas hanya merupakan
konstruk dari kemampuan kognitif manusia? Apakah realitas hanya terdiri dari apa yang Nampak? Apakah
terdapat realitas metafisika? Merupakan pertanyaan – pertanyaan yang mengemuka dalam perdebatan seputar
filsafat ilmu pengetahuan.
Perdebatan ini menjadi penting disebabkan dampak yang ditimbulkan dari perdebatan ini terkait perkembangan
ilmu pengetahuan dan dunia social, ekonomi, politik, budaya bahkan agama. Sebagaimana dalam
perkembangan sejarah ilmu pengetahuan, di masa lalu Agama merupakan unsur yang menentukan dunia social
manusia. Namun dalam perkembangannya kemudian, digantikan oleh Ilmu Pengetahuan, kemudian digantikan
oleh EKonomi dan pada saat ini digantikan oleh Tekhnologi (informasi).
Karenya, perbedatan seputar Ontologi tidak pernah kehilangan peran pentingnya dalam konstruksi ilmu
pengetahuan, khususnya pada saat ini Ketika realitas virtual mengubah perilaku manusia secara total dalam
seluruh aspek kehidupan manusia. Realitas virtual adalah sesuatu yang baru dan dengan cepat menjadi
pemegang kendali realitas dunia manusia.
Beberapa pandangan terkait realitas (ontology) antara lain:
 Nominalisme – Realisme dan Pandangan Dunia Mekanistik
Perdebatan seputar dunia social manusia mengerucut pada perdebatan ontologis terkait apakah dunia social
merupakan sesuatu yang berada diluar diri manusia kemudian dipahami oleh manusia ataukah dunia social
merupakan konstruk dari kesadaran manusia itu sendiri? Apakah realitas social merupakan sesuatu yang
objektif ataukah dia adalah sepenuhnya subjktif? Apakah realitas social itu merupakan sesuatu yang sudah ada
(given) ataukah diciptkan dari kesadaran manusia?
Pertanyaan – pertanyaan diatas melahirkan dua mashab dalam ilmu social terkait ontology realitas social yang
disebut Nominalisme dan Realisme. Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap
merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau
label yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di
manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja
untuk menjelaskan, memberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan
paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.
Realisme beranggapan bahwa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang
berwujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan
yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilih penamaan
atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang
terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang
menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
Kedua mashab ontoligis diatas memiliki implikasi terhadap kontruk ilmu social. Nominalisme merupakan dasar
yang digunakan untuk mengkonstruksi metode kualitatif dalam ilmu – ilmu social. Metode kualitatif ini berperan
untuk menggali mankna, persepsi, nilai yang melekat dibalik fenomena. Sementara realisme merupakan dasar
yang digunakan untuk mengkonstruksi metode kuantitatif. Metode ini digunakan untuk menjelaskan suatu
fenomana berdasarkan pengamatan empiris dengan menggunakan alat statistic.
Pada umumnya mashab ontology tertentu akan melahirkan suatu pandangan dunia yang sejalan dengan
mashab ontologinya. Misalnya ontology nominalisme akan melahirkan pandangan dunia holistic dimana seorang
ilmuan social melihat realitas social sebagai sesuatu yang holistic tidak terpisah – pisah dan merupakan refleksi
dari nilai, keyakinan dan ideologi dari suatu komunitas yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sementara
mashab realisme akan melahirkan pandangan dunia yang mekanis. Yaitu pendangan dunia yang menggap
realitas social sebagai sesuatu yang determinis berdasakan hukum – hukum alam.

 Pandangan Hidup Sistem

Tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang
disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jujun, 1986:2). Ontologi
menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi
menjelaskan pertanyaan untuk apa. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno.
Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales
ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia
berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air. Ontologi merupakan azas dalam
menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas
(metafisika) (Jujun, 1986 :2).
Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu.
Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya merupakan paham
ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan
bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988:7).
Louis O. Kattsoff (1987:192) membagi ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan
kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan
sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakannya mengenai tunggal atau
jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis
kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya;
keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik
melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (Hery, 17-18). Ada beberapa pertanyaan ontologis yang
melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya pertanyaan: Apakah yang ada itu? ( what is being?),
bagaimanakah yang ada itu (how is being?) dan di manakah yang ada itu? (where is being?).

a) Apakah yang ada itu (what is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir empat aliran filsafat,
yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme.
o Aliran monisme. Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu hanya satu. Bagi yang berpendapat bahwa
yang ada itu serba spirit, ideal, serba roh, maka dikelompokkan dalam aliran monisme-idealisme. Plato
adalah tokoh filosuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide
merupakan kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).
o Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme dengan mengatakan,
bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani.
Descartes bisa digolongkan dalam aliran ini (Harun Hadiwijono, 1991:49).
o Aliran pluralisme. Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan
rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala
wujud.
o Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi
maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden
(Hasbullah Bakri, 1991:60).
b) Bagaimanakah yang ada itu? (how is being?) Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau
berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan
belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh
Whitehead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus
secara kreatif (Iqbal, 1981:35).
c) Di manakah yang ada itu? (where is being?). Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu berada dalam
alam ide, adi kudrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materilaisme berpendapat
sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff
memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality),
eksistensi (existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many). Semua istilah tersebut
dijabarkan secara rinci oleh Kattsoff (lihat Kattsoff, 1987: 194). Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup
penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berbeda dalam jangkauan pengalaman manusia.
Objek penalaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-
pengalaman (seperti penciptaan surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain (agama).
Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetauhan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas-batas ontologi tertentu.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat impiris ini adalah merupakan konsistensi pada
asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penyusunan
peryataan yang benar secara ilmiah (Jujun, 1986: 3) Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran
tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan, sebagaimana dituturkan di atas. Penafsiran metafisik
keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya (das sein) dengan
deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari
nilai-nilai dogmatis.
Suatu peryataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setelah melalui
pengkajian/penelitian berdasarkan epistemologi keilmuan. Untuk membuktikan kebenaran peryataan
tersebut maka langkah pertama adalah, melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya
secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan Einstein: “Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta pula, apapun juga teori yang disusunnya. Menurut Jujun (1986:4), metafisika keilmuan yang
berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang
bersifat seharusnya (das sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk
mewujudkan tujuan-tujaun yang mencerminkan das sein agar dapat menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol fenomena alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam
argumentasi ilmiah menurutnya hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-
Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman
modern.

 Perspektif Agama

Ontology juga menjadi diskursus yang cukup hangat pada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam sendiri, realitas
metafisik merupkan hal yang tidak lagi diperdebatkan karena merupakan bagian integral dari keyakinan
dalam Agama islam. Namun yang menjadi diskusur adalah bagaimana memahami realitas metafisika itu.
Bagi Kalangan teolog (Agamawan) memahami realitas metafisika harus berdasakran pada teks yang
tertuang dalam kitab Suci Al Qura’an kemudian ditafsirkan. Namun, bagi kalangan filosof memahami
realitas metafisika mutlak menggunakan penalaran akal, lalu kemudian dicari padananya dalam teks. Pada
bagian berikut ini, penulis akan jelaskan beberapa pendapat dari filosof muslim terkait ontologi.
Al-Farabi menafsirkan alam ini berasal dari Al-anwal (Yang Maha Pertama) melalui proses emanasi ( faid).
Dari “Yang Pertama” melimpah “Pertama” yang lain (akal pertama), yang lain, wujud kedua) memancar akal
kedua (wujud ketiga), dan begitu seterusnya sampai muncul akal kesepuluh (wujud kesebelas), dan dari
padanya muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam,
yaitu api, air, udara, dan tanah. Jadi, dari akal kesepuluh (akal fa’al) inilah keluar alam (bumi) yang
ditempati manusia serta seisinya dan merupakan jiwa yang mengaturnya. Walaupun materi itu makhluk,
tetapi itu tercipta tanpa mempunyai permulaan dalam waktu, yakni qadim.
Adapun Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dari satu segi, alam ini adalah baru, sebab wujudnya
membutuhkan sebab dari luar, yakni Tuhan sebagai Pencipta Pertama. Akan tetapi, dari sisi lain, alam ini
qadim, sebab adanya tidak didahului oleh adam (tiada) dan tidak pula didahului oleh zaman, sebab
wujudnya bukan terjadi secara Creatio ex Nihilo, tetapi bahan-bahannya telah tersedia.
Filosof lain yang bernama Suhrawardi berpendapat bawha Kelemahan filsafat Paripatetik secara
epistemologis adalah bahwa penalaran rasional dan silogisme rasional tidak akan bisa menggapai seluruh
realitas wujud, dan pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang
diketahuinya. Memang manusia adalah makhluk berpikir dan merupakan ciptaan Tuhan yang paling
sempurna dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya. Kapasitas berpikir yang dimilikinya menjadikan
manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan lain. Kemampuan ini pula yang
mendorong manusia menuju ke kondisi yang lebih baik. Manusia diciptakan Tuhan dengan ciri khusus yang
tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, yaitu daya berpikir. Akan tetapi, ada yang lebih spesifik lagi bagi
manusia, yaitu intuisi atau daya batiniah yang oleh Suhrawardi dipadukan dengan daya berpikir tersebut,
sehingga menghasilkan pemikiran Iluminasi atau Hikmah al-isyraq.
Suhrawardi mengembangkan teori emanasi menjadi teori iluminasi (isyraqi). Melalui teori iluminasi,
dia menyatakan bahwa iluminasi dan Nur al-Anwar menghasilkan cahaya-cahaya yang dinamakan cahaya-
cahaya murni (al-anwar al-mujarradah, al-anwar al-mahdiyyah), disebut juga dengan cahaya-cahaya
penguasa dan cahaya-cahaya dominator (al-al-anwar al-qahirah). Disebut cahaya-cahaya yang dominator
karena cahaya-cahaya ini menguasai cahaya-cahaya yang berada di bawahnya. Jadi, cahaya-cahaya yang
dominator bersifat menguasai, sedangkan cahaya-cahaya yang ada di bawahnya bersifat cinta (‘isyq)
kepada cahaya-cahaya yang ada di atasnya. Dalam konsep cahaya Suhrawardi, selain peringkat cahaya
vertikal (tabaqah at-tul) terdapat peringkat cahaya horizontal (tabaqah al-ard).
Cahaya-cahaya murni dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu cahaya-cahaya dominator ( al-anwar al-
qahirah) dan cahaya-cahaya pengatur (al-anwar al-mudabbirah). Cahaya-cahaya dominator dibagi ke
dalam dua jenis, yaitu:
a) Cahaya-cahaya dominator vertikal (al-anwar al-qahirah at-tuliyyah) yang menghasilkan hierarki-hierarki
cahaya tegak lurus yang dinamakan tabaqah at-tul
b) Cahaya-cahaya dominator horizontal (al-anwar al-qahirah al-ardiyyah), yang menghasilkan hierarki-
hierarki cahaya mendatar yang dinamakan tabaqah al-ard.
Inti utama filsafat iluminasi Suhrawardi adalah sifat dan penyebaran cahaya. Cahaya menurutnya bersifat
immaterial dan tak dapat didefinisikan. Cahaya seperti entitas yang paling terang di dunia ini, sehingga tidak
membutuhkan definisi. Adapun mengenai gradasi esensi, menurut Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi
hanyalah formulasi abstrak yang diperoleh pikiran dari substansi eksternal. Eksistensilah yang aksiden dan
esensilah yang prinsipal. Realitas yang sesungguhnya atau benar-benar ada hanyalah esensi-esensi yang
tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata dengan dirinya
sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali. Oleh karena itu, ia tidak membutuhkan
definisi. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas,
baik yang fisik maupun non-fisik, sebagai sebuah komponen yang esensial dari cahaya.
Filosof muslim lain dan yang lahir belajangan bernama Mulla Sadra dalam menjelaskan
pemikirannya ini menggunakan perumpamaan cahaya, seperti halnya Suhrawardi dalam menjelaskan
realitas kuiditas. Baginya, wujud seperti halnya level-level cahaya matahari yang merupakan gambaran
Tuhan bagi alam materi, bagaimana dia memancarkan dan menampilkan warna-warna pada cermin, dan
pada saat yang sama cahaya-cahaya tersebut merupakan cahaya dirinya sendiri. Tidaklah terjadi
perbedaan di antaranya kecuali pada kepadatan dan ketidakpadatan semata. Manusia yang terpaku hanya
pada cermin dan warna-warna yang ditampilkan dan terhijab dengannya dari cahaya hakiki dari level-level
hakiki yang terpancar turun, menurut Mulla Sadra, manusia tersebut tidak mampu memahami realitas
cahaya-Nya. Sebagaimana pandangan yang menyatakan bahwa kuiditas adalah persoalan hakiki yang
merealisasikan wujud, sedangkan wujud hanya merupakan persoalan abstraksi mental. Bagi manusia yang
menyaksikan beragam warna cahaya dan memiliki kesadaran bahwa hal tersebut dimunculkan oleh cermin
semata dan warna-warna tersebut pada substansinya adalah cahaya, maka manusia seperti itu dapat
memahami cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa yang menampakkan kuiditas dan
keragamannya tidak lain adalah level-level wujud itu sendiri. Berdasarkan prinsip ini, Mulla Sadra
menyatakan bahwa wujud merupakan pancaran dari “Wujud Tuhan” seperti cahaya memancarkan warna-
warna. Wujud Mutlak memancarkan kuiditas-kuiditas (mahiyah) yang bersifat imkan yang tidak lain
merupakan ragam bentuk makhluk.
Gradasi wujud yang dikemukakan Mulla Sadra ini merupakan perkembangan konsepsi dalam filsafat
Islam, karena pendahulunya, yaitu Ibnu Sina, telah meyakini bahwa yang utama dan real tidak lain adalah
wujud, hanya saja dalam proses munculnya wujud imkan pemikiran Ibnu Sina tidak mengenal prinsip
gradasi ini. Menurut Ibnu Sina, dalam proses penciptaan wujud imkan, sekalipun ada tingkatan intelek, akan
tetapi pada saat yang sama wujud imkan tersebut terikat dalam kesatuan substantif, masing-masing berdiri
secara independen. Melalui prinsip gradasi wujud ini, terlihat dengan jelas upaya Mulla Sadra untuk
menyelesaikan ketegangan antara kecenderungan monistik para sufi, bahwa semua realitas pada akhirnya
akan lenyap di hadapan “Realitas Tunggal Tuhan”. Mulla Sadra diketahui pernah menjadi pendukung bagi
pandangan seperti ini, karenanya dirinya sempat terusir dari Syiraz dan menyebabkannya mengasingkan
diri di Kahak. Adapun menurut pandangan pluralistik, wujud adalah pandangan bahwa setiap identitas
merupakan wujud independen yang berbeda, baik di antara setiap forma wujud maupun antara wujud
imkan dan niscaya, yang pada umumnya pandangan seperti ini dianut para teolog. Prinsip gradasi wujud
Mulla Sadra murni merupakan gagasan dirinya, yang terlihat dalam upayanya menyatukan kedua
pandangan di atas, karena wujud dalam gradasi wujud adalah univok sekaligus ekuivok. Sedikit sulit untuk
memahami teori ini tanpa muncul persoalan kontradiksi bahwa yang tunggal sekaligus plural, akan tetapi
Mulla Sadra sejak awal telah mengingatkan bahwa univok dan ekuivok tersebut tidak dalam satu dimensi.
Univok dalam hakikat wujudnya, sedangkan ekuivok dalam kualitas wujudnya.
Mulla Sadra secara lebih rinci menjelaskan tentang gradasi wujud sebagai berikut.229
a) Wujud Murni, yaitu wujud yang keberadaannya tidak tergantung kepada selain dirinya dan tidak
terbatasi oleh apapun. Keberadaannya mendahului segala sesuatu yang lain, dan Dia ada pada dirinya
sendiri tanpa perubahan dan pergerakan. Dia oleh para arif disebut ketersembunyian murni,
kerahasiaan yang absolut, dan ke-Esa-an zat yang hanya bisa diketahui melalui perumpamaan-
perumpamaan dan bekas-bekas-Nya.
b) Wujud Muqayyad, yaitu wujud yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya. Ia merupakan
wujud yang dibatasi dengan atribut-atribut yang merupakan tambahan pada dirinya, seperti akal-akal,
jiwa-jiwa, benda-benda langit, unsur-unsur yang membentuk manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
benda-benda mati, dan seluruh maujud tertentu.
c) Wujud Absolut dalam penyebarannya, yaitu realitas yang menyebar ke seluruh bentuk yang bersifat
mungkin dan pada lembaran-lembaran seluruh mahiyah, tanpa dibatasi dengan deskripsi tertentu.
Apa yang dijelaskan Mulla Sadra di atas bukan untuk menegaskan bahwa Tuhan itu wujud, tetapi ingin
menunjukkan persepsi yang benar bahwa secara hakiki, Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang
mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala hal, sehingga
setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya. Wujud makhluk jika
dibandingkan dengan Wujud Tuhan bukanlah wujud hakiki, melainkan sebagai bayangan, citra, dan
manifestasi sifat-sifat dan nama-nama Tuhan. Perbedaan Wujud Tuhan dengan makhluk tidak
dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah, tetapi terletak pada
kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk dan kekuatan Tuhan dan kelemahan makhluk. Oleh
karena itu, perbedaan antara keduanya tidak bersifat berhadap-hadapan, melainkan bersifat meliputi
dalam rangkaian gradasi dari manifestasi Zat dan Sifat-Sifat-Nya

Sumber Refrensi:
1. Burrell, G., & Morgan, G. (1979). Sociological Paradigms and Organizational Analysis: Elements of the
Sociology of Corporate Life. London: Heinemann. (Chapter 1 & 2)
2. Capra, Fritjof. (1997). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan . Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya (Bab 4, 7, & 8)
3. Capra, Fritjof. (1996). The Web of Life. New York: Anchor Books
4. Capra, Fritjof. (1975). The Tao of Physics. New York: Bantam Books (Chapter 2, 10, & 11)
5. Nasr, Seyyed Hossein. (1993). The Need for Sacred Science. Richmond: Curzon Press. (Chapter 1 & 8)
6. Nasr, Seyyed Hossein. (1997). Pengetahuan dan Kesucian.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (Bab 6 & 7)
7. Audi, Robert. (2013). Moral perception. Princeton University Press. USA

Anda mungkin juga menyukai