Anda di halaman 1dari 15

NAMA : WIWIN SAWA’UN

NPM : 20320021

PRODI : AKUNTANSI

DIALEKTIKA AKUNTANSI

Dialektika dalam ilmu akuntansi disini sebagai auditimg yang terdiri dari beberapa dalil:

1. Auditing adalah kegiatan dialektika antara Otoritas menulis dengan otoritas kritik untuk
menghasilkan laporan keuangan sebagai sintesis keduanya. Hasil dialektika ini adalah proses roh
("realitas") yang mengobjektifkan dalam sejarah pengaruh atau auditing adalah logika sejarah yang
dikonstruksikan dalam ilmu untuk melakukan transliterasi.
2. Auditing adalah kegiatan dialektika, sebagai logika sejarah masa lalu (historis cost) yang
dikonstrusikan. Atau Auditing adalah proses kegiatan dialectic pada isi tulisan klien dengan
memahami kembali seluruh phenomena, Noumena makna konteks, text, dan menulis isi penilaian
dalam bentuk opini (auditor melakukan proses membaca dan menulis).
3. Auditor, Auditee, dan Auditing adalah manusia, merupakan cara manusia bereksistensi bersifat
intersubjektivitas.
4. Akuntansi adalah perilaku menulis yang disampaikan kepada pembaca. Ada aturan menulis, dan
aturan dibuat untuk melindungi pemilik modal (kapitalisme). Menghadirkan tatanan ilmu akuntansi
dan auditing sebagai fungsi produksi teks laporan keuangan kepada pemakai informasi.
5. Independensi Auditor ("kritik logika murni") idial harus mampu bereksistensi tampil,
menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dunia sebagai individu yang bereksistensi
dan konkrit. Auditor tidak dapat direduksi ke dalam realitas-realitas universal dan abstrak, karena
apabila auditor direduksi ke dalam realitas-realitas abstrak dan universal, maka auditor tidak pernah
memiliki kebebasan untuk merealisir atau mewujudkan dirinya sebagai individu yang bereksistensi
dan konkrit.

Pendasaran Epistimologi Auditing Metode Dialektika berdasarkan Pada Auditor, dan Auditee:
Penelitian dilakuka di Kantor Akuntan Publik di Jakarta. Metode sampling adalah menggunakan
probalility sampling dengan Slovin (Sevilla et. al., 1960:182)
A. DIALEKTIKA PIKIRAN

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya selalu dipandang remeh oleh masyarakat. Tak
jarang para filsuf dan filsafatnya selalu mendapatkan cemoohan dari masyarakat pada sejarahnya.
Meskipun begitu, sebenarnya filsafat merupakan ilmu yang kritis. Filsafat tidak akan puas dengan satu
jawaban, filsafat akan terus menanyakan pertanyaan tentang dunia sampai pertanyaan tersebut tidak
dapat terjawabkan.

Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan filsafat sendiri merupakan pertanyaan yang tidak perlu
dipertanyakan, tidak boleh dipertanyakan serta diperdebatkan. Pertanyaan yang terus menerus inilah
kemudian yang menyebabkan filsafat dikatakan sebagai ilmu kritis. Filsafat pun disadari, sebenarnya ada
berdampingan dengan keseharian umat manusia.

Salah satu filsafat yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari adalah filsafat
dialektika. Filsafat dialektika merupakan,filsafat milik George Wilhelm Friedrich Hegel atau yang biasa
disebut Hegel. Hegel merupakan seorang filsuf barat yang menonjol serta merupakan seorang pemikir
yang paling berpengaruh. Filsafat Hegel merupakan filsafat yang dapat dikatakan sangat berpengaruh
pada abad ke 19 Masehi.

Mengutip dari sebuah artikel berjudul ”Filsafat Dialektika Hegel : Relevansinya Dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945” oleh Suyahmo mengatakan bahwa dalam filsafat dialektika Hegel terdapat
tiga fase yaitu Tesis-Antitesis-Sintesis. Fase dari filsafat dialektiktika dikatakan mempunyai sifat
ontologis, maksudnya proses gerak pemikiran sama dengan proses gerak kenyataan.

Dialektika berasal dari kata Yunani yang berarti “Berargumen”, merupakan sebuah aktivitas yang
meningkatkan kesadaran diri dari pikiran dengan memberikan kepada semua objek pemikirannya tenpat
yang tepat dan dikonsepsikan secara rasional dalam keseluruhan (Suyahmono, 2007 ; 146). Filsafat
dialektika Hegel ini merupakan bentuk penyempurnaan dari para filsuf terdahulu yaitu Fichte dan
Schelling.

Pemikiran dari Fichte dianggap oleh Hegel sebagai “idealisme subjektif” dan pemikiran Schelling
dianggap sebagai “idealisme objektif”. Kemudian Hegel memandang filfasatnya sendiri sebagai bentuk
sintesis dari kedua filsuf tersebut yang kemudian ia sebut sebagai “idealisme mutlak”

Dalam proses filsafat dialektika, Hegel memberikan tiga fase, yaitu “tesis” sebagai fase pertama yang
kemudian menampilkan lawannya “antitesis” yang merupakan fase kedua, kemudian dari kedua fase
tersebut timbulah fase ketiga yang disebut “sintesis” yang mendamaikan kedua fase seperti yang sudah
dijelaskan diatas.
Filsafat dialektika ini contonya dapat dilihat dari sejarah kemerdekaanIndonesia, yang mana fase
tesisi ditandai dengan adanya penjajah yang datatng ke indonesai. Kemudian muncul pemikiran bahawa
penjajajan tersebut harius dihapuskan dan munculah tindakan pergerakan nasional yang menjadi fase
antithesis. Sintesis dari dua tindakan penjajahan dan pergerakan kemerdekaan itulah uang kemudian
menyebabkan Indonesia memperoleh kemedekaan.

Pokok-Pokok Pikiran (Filsafat) Hegel.

Untuk menjelaskan filosofinya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Dialektika Hegel
berarti rekonsiliasi, kompromi yang berlawanan.

Proses dialektika selalu mencakup tiga tahap. Tahap pertama (tesis) menghadapi antitesis (tahap
kedua), dan terakhir tahap ketiga (sintesis) muncul. Dalam sintesis itu, argumen dan pertentangan
menghilang. Bisa juga tidak hilang, tetap ada tetapi menjadi atau berada di tingkat yang lebih tinggi.
Sintesis menjadi menjadi tesis baru, menghadapi antitesis baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan
begitu seterusnya.

Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh pendapat-pendapat yang dikemukakan,
kemudian antitesis adalah ungkapan pendapat yang bertentangan dengan tesis. Sedangkan sintesis
merupakan paduan (campuran) dengan berbagai pendapat, sehingga menjadi satu kesatuan yang baru.

Menurut plato

"Dialektika" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan metode argumen filosofis yang
melibatkan semacam proses yang bertentangan antara pihak yang berlawanan. Dalam apa yang
memungkinkan versi paling klasik dari "dialektika", filsuf Yunani kuno, Plato, misalnya, ia
memperkenalkan argumen filosofisnya sebagai dialog atau perdebatan dua arah atau bolak-balik,
umumnya antara karakter Socrates, di satu sisi, dan beberapa orang atau sekelompok orang kepada siapa
Socrates berbicara (lawan bicaranya), di sisi lain.

Dalam serangkaian dialog, lawan bicara Socrates mengusulkan definisi konsep filosofis atau
mengungkapkan pandangan bahwa Socrates mempertanyakan atau menentang. Perdebatan bolak-balik
antara pihak lawan menghasilkan semacam perkembangan linier atau evolusi dalam pandangan atau
posisi filosofis: selama dialog berlangsung, lawan bicara Socrates mengubah atau memperbaiki
pandangan mereka dalam menanggapi tantangan Socrates dan datang untuk mengadopsi pandangan
yang lebih maju. Dialektika bolak-balik antara Socrates dan lawan bicaranya dengan demikian menjadi
cara Plato berdebat melawan yang sebelumnya, pandangan atau posisi yang kurang maju dan untuk yang
lebih maju nanti.

Menurut hegel
"Dialektika Hegel" mengacu pada metode argumen dialektik tertentu yang digunakan oleh filsuf
Jerman abad ke-19, G.W.F. Hegel, yang mana, seperti metode "dialektik" lainnya, bergantung pada proses
yang bertentangan antara pihak yang berlawanan. Sedangkan pada "pihak berlawanan" menurut Plato
itu tergantung pada orangnya seperti (Socrates dan lawan bicaranya), Namun, apa yang ada pada "pihak
berlawanan" dalam hasil karya Hegel tergantung pada materi subjek yang dia bahas.

Dalam karyanya pada logika, misalnya, "sisi yang berlawanan" adalah definisi yang berbeda dari
konsep logis yang bertentangan satu sama lain. Dalam Fenomenologi Roh, yang menyajikan epistemologi
hegel atau filsafat pengetahuan,"Pihak yang berlawanan" adalah definisi kesadaran yang berbeda dan
objek yang disadari kesadaran atau klaim untuk diketahui.

Seperti dalam dialog Plato, proses yang bertentangan antara "pihak yang berlawanan" dalam
dialektika Hegel mengarah pada evolusi linear atau pengembangan dari definisi atau pandangan yang
kurang maju ke yang lebih maju nanti. Proses dialektik dengan demikian merupakan metode Hegel untuk
berdebat melawan definisi atau pandangan yang sebelumnya, kurang maju dan untuk yang lebih maju
nanti.

Menurut Hegel,kemajuan masyarakat kita ini berasal dari kemajuan pikiran semata-mata.
Pikiran kita ini mempertemukan pertentangan dalam otak, umpamanya adil dan lalim. Dalam bahasa
Hegel ini berupa thesis dan anti-thesis, adil dan anti-adil ialah lalim. Pertentangan ini diselesaikan
dalam otak, dengan mendapatkan pengertian baru sebagai sinthesis,yakni peleburan dari thesis dan
anti-thesis.Kita contohkan saja peleburan,synthesis itu “Kemakmuran bersama”.Pengertian
“Kemakmuran Bersama”, yakni hasil pikiran yang didapat dalam otak ini, akhirnya memajukan
benda, memajukan politik, ekonomi, pendidikan dan tehnik dalam masyarakat.

Menurut Hegel kemajuan pikiran itulah yang mendorong kemajuan Ilmu, seperti Ilmu Alam,
Kodrat,Kimia,Politik,Ekonomi,Sejarah dan Masyarakat itu sendiri

B. DIALEKTIKA ALAM

Dialektika alam mengembangkan sifat umum dialektika sebagai limu pengetahuan mengenai antar
keterkaitan-antarketerkaitan. maka itu adanya hukum-hukum dialektika diabstraksikan dari sejarah
alam dan masyarakat manusia. Karena hukum-hukum itu tidak lain yalah hukum-hukum yang paling
umum dari kedua aspek perkembangan historikal, maupun dari pikiran itu sendiri. Dan, sebenarnyalah,
hukum-hukum itu pada dasarnya dapat dipulangkan pada tiga buah hukum:

 Hukum perubahan (transformasi) kuantitas menjadi kualitas dan vice versa yaitu karyanya
Logic, dalam Doktrin mengenai Keberadaan (Being)
 Hukum penafsiran mengenai yang berlawanan (opposites); yaitu mengisi seluruh bagian kedua
dan bagian yang paling penting dari Logic, Doktrin mengenai Hakekat (Essence)
 Hukum negasi dari negasi yaitu hokum fundamental bagi rancang bangun seluru sisitem itu.

Ketiga-tiganya dikembangkan oleh Hegel dalam gaya idealisnya sebagai sekedar hukum-hukum
pikiran. Namun terdapat kesalahan yaitu terletak pada kenyataan bahwa hukum-hukum ini disisipkan
pada alam dan sejarah sebagai hukum-hukum pikiran, dan tidak dideduksi dari situ. Inilah sumber dari
seluruh pendekatan yang dipaksakan dan seringkali melampaui batas (keterlaluan); semesta alam, mau
tidak mau, mesti bersesuaian dengan sebuah sistem pikiran yang sendiri Cuma produk dari suatu tahap
tertentu dari evolusi pikiran manusia. Jika kita membalikkan semuanya itu, maka segala sesuatu
menjadi sederhana, dan hukum-hukum dialektika yang tampak begitu luar-biasa misterius dalam
filsafat idealis seketika menjadi sederhana dan jelas seperti siang-hari bolong.

Hukum-hukum dialektika itu adalah hukum-hukum nyata mengenai perkembangan alam, dan
karenanya berlaku juga bagi ilmu-pengetahuan alam teoretikal. Karenanya kita tidak dapat memasuki
bagian dalam antar-keterkaitan hukum-hukum ini satu sama yang lainnya.

Hukum perubahan dari kuantitas menjadi kualitas dan vice versa. Untuk maksud kita, dapat kita
ungkapkan ini dengan mengatakan bahwa dalam alam, dengan suatu cara yang secara tepat ditetapkan
untuk setiap kasus individual, perubahan-perubahan kualitatif hanya dapat terjadi oleh penambahan
kuantitatif atau pengurangan kuantitatif dari materi atau gerak (yang dinamakan energi).

Setelah disatu pihak reaksi terhadap "filsafat alam" melepas dayanya dan merosot menjadi
sekedar cercaan--suatu reaksi yang terutama dibenarkan oleh titik-keberangkatan yang salah ini
dan degenerasimtak-berdaya dari Hegelianisme Berlin; dan sesudah, di pihak lain, ilmu-pengetahuan
alam secara teramat mencolok ditinggalkan dalam keterpurukan oleh metafisika eklektik dewasa
ini sehubungan dengan persyaratan-persyaratan teoretikalnya, barangkali ada kemungkinan untuk
sekali lagi menyebut nama Hegel di depan para sarjana ilmu-alam tanpa memancing tarian St.Vitus
yang dengan begitu mengasyikkan diperagakan oleh Herr Dü hring.

Semua perbedaan kualitatif dalam alam berlandaskan pada perbedaan-perbedaan komposisi


(susunan) kimiawi atau pada kuantitas- kuantitas atau bentuk-bentuk gerak (energi) yang berbeda-
beda atau, sebagaimana hampir selalu halnya, pada kedua-duanya. Maka itu tidaklah mungkin
mengubah kualitas sesuatu tanpa pertambahan atau pengurangan materi atau gerak, yaitu, tanpa
perubahan sesuatu yang bersangkutan itu secara kuantitatif. Dalam bentuk ini, karenanya, azas
misterius dari Hegel itu tampak tidak hanya sangat rasional, melainkan bahkan jelas sekali.

Nyaris tidak perlu dinyatakan lagi, bahwa berbagai keadaan benda-benda secara allotropik
(allotropy=variasi sifat-sifat fisikal tanpa perubahan substansi) dan agregasional (terkumpul jadi satu),
karena mereka bergantung pada berbagai pengelompokan molekul-molekul, bergantung pada jumlah-
jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit dari gerak yang dikomunikasikan pada benda-benda itu.
Tetapi, bagaimana tentang perubahan bentuk atau gerak, atau yang disebut energi? Apabila kita
mengubah panas menjadi gerak mekanikal atau vice versa, tidakkah kualitas diubah sedangkan
kuantitasnya tetap sama? Benar sekali. Tetapi dengan perubahan bentuk atau gerak itu adalah seperti
dengan kejahatan-kejahatan Heine; setiap orang jika sendirian bisa saja saleh, luhur-berbudi, karena
untuk kejahatan-kejahatan selalu diperlukan dua orang.

Perubahan bentuk atau gerak selalu merupakan suatu proses yang terjadi di antara sedikitnya dua
benda, yang satu kehilangan sejumlah tertentu gerak dari suatu kualitas (misalnya, panas), sedangkan
yang satu lagi memperoleh kuantitas gerak dari kualitas lain yang bersesuaian (gerak mekanikal, listrik,
dekomposisi kimiawi). Di sini, karenanya, kuantitas dan kualitas saling bersesuaian satu sama lain.
Sejauh ini belum ditemukan kemungkinan untuk mengubah suatu bentuk gerak menjadi satu bentuk
gerak yang lain dalam sebuah benda tunggal yang terisolasi.

Di sini yang pertama-tama kita permasalahkan yalah benda-benda tidak-hidup (benda mati);
hukum yang sama berlaku bagi benda-benda hidup, tetapi ia beropperasi dalam kondisi-kondisi yang
sangat kompleks dan pada waktu sekarang pengukuran kuantitatif acapkali masih belum mungkin bagi
kita.

Jika kita membayangkan sesuatu benda mati terpotong menjadi potongan-potongan lebih kecil dan
lebih kecil lagi, mula-mula tidak terjadi perubahan kualitatif. Namun ini ada batasnya: jika kita berhasil,
seperti dengan penguapan (evaporasi), dalam memperoleh molekul-molekul terpisah itu dalam keadaan
bebas, maka benarlah bahwa kita lazimnya dapat membaginya lebih lanjut, namun hanya dengan suatu
perubahan kualitas secara menyeluruh.

Molekul itu didekomposisi ke dalam atom-atomnya yang terpisah-pisah, yang mempunyai sifat-
sifat yang sangat berbeda dengan sifat-sifat molekul itu. Dalam hal molekul-molekul itu terdiri atas
berbagai unsur kimiawi, atom-atom atau molekul-molekul unsur-unsur itu sendiri muncul sebagai
gantinya molekul persenyawaan itu; dalam hal molekul-molekul unsur-unsur, tampillah/muncullah
atom-atom bebas yang menimbulkan akibat-akibat/efek-efek kualitatif yang sangat berbeda-beda;
atom-atom bebas dari oksigen yang lahir secara mudah dapat menghasilkan yang tidak pernah dapat
dicapai oleh atom-atom dari oksigen atmosferik, yang terikat menjadi satu di dalam molekul itu.

Tetapi, molekul itu secara kualitatif juga berbeda dari massa benda yang padanya molekul itu
termasuk. Ia dapat melakukan gerakan-gerakan secara bebas dari massa itu dan selagi yang tersebut
belakangan itu tampak lembam, yaitu misalnya, vibrasi- vibrasi panas; melalui suatu perubahan posisi
dan keterkaitan dengan molekul-molekul di sekitarnya ia dapat mengubah benda itu menjadi suatu
allotrope atau suatu keadaan agregasi yang berbeda.
Dengan demikian kita melihat bahwa operasi pembagian yang semurninya kuantitatif itu
mempunyai suat batas di mana ia menjadi terubah menjadi suatu perbedaan kualitatif: massa itu terdiri
semata-mata atas molekul-molekul, tetapi ia sesuatu yang pada pokoknya berbeda dari molekul itu,
tepat sebagaimana yang tersebut belakangan berbeda dari atom. Perbedaan inilah merupakan dasar
bagi pemisahan mekanika, sebagai ilmu dari massa-massa ruang angkasa dan bumi, dari ilmu fisika,
sebagai mekanika molekul-molekul, dan dari ilmu kimia, sebagai ilmu fisika atom-atom.

Di dalam ilmu mekanika, tidak terjadi kualitas-kualitas; paling-paling keadaan-keadaan seperti


keseimbanghan (ekuilibrium), gerak, energi potensial, yang kesemuanya bergantung pada
perpindahan/peralihan (transference) gerak yang dapat diukur dan sendirinya berkemampuan ekspresi
(pernyataan) kuantitatif. Karenanya, sejauh perubahan kualitatif terjadi di sini, itu ditentukan oleh suatu
perubahan kuantitatif yang bersesuaian.

Di dalam ilmu fisika, benda-benda diperlakukan sebagai yang secara kimiawi tidak dapat diubah
atau tidak berbeda; kita berurusan dengan perubahan-perubahan keadaan-keadaan molekularnya dan
dengan perubahan bentuk gerak, yang dalam semua kasus, sekurang-kurangnya pada satu dari kedua
sisinya, membuat molekul itu beraksi. Di sini setiap perubahan adalah suatu transformasi kuantitas
menjadi kualitas, suatu konsekuensi dari perubahan kuantitatif dari jumlah suatu atau lain bentuk gerak
yang dikandung di dalam benda itu atau yang dikomunikasikan padanya.

Demikian pula, suatu kekuatan arus minimum tertentu dipersyaratkan agar kawat platinum dari
sebuah lampu pijar listrik menyala; dan setiap metal memiliki suhu pijar dan padunya, setiap cairan
mempunyai titik beku dan didihnya yang tertentu pada suatu tekanan tertentu --sejauh alat kita
memungkinkan kita mereproduksi suhu yang diperlukan; akhirnya, setiap gas juga mempunyai titik
kritikalnya, di mana ia dapat dicairkan lewat tekanan dan pendinginan.

Singkatnya, yang disebut konstan-konstan fisikal untuk sebagaian besar tidak lain dan tidak bukan
adalah penandaan-penandaan (designations) titik-titik nodal di mana perubahan kuantitatif (berupa)
pertambahan atau pengurangan gerak menghasilkan perubahan kualitatif dalam keadaan benda
bersangkutan, di mana, karenanya, kuantitas diubah menjadi kualitas.

Namun, bidang di mana hukum alam yang ditemukan oleh Hegel itu merayakan kejayaannya yang
paling penting yalah bidang ilmu kimia. Ilmu kimia dapat diistilahkan ilmu mengenai perubahan-
perubahan kualitatif dari benda-benda sebagai hasil komposisi kuantitatif yang berubah. Hal itu sudah
diketahui oleh Hegel sendiri. (Logik, Gesamtausgabe, III, hal. 433.)

Seperti dalam hal oksigen: jika tiga atom bersatu ke dalam sebuah molekul, gantinya yang lazimnya
dua buah, kita mendapatkan ozone, suatu benda yang amat sangat berbeda dari oksigen biasa dalam bau
dan reaksi- reaksinya. Dan memang, berbagai proporsi yang di dalamnya oksigen berpadu dengan
nitrogen atau sulfur, yang masing-masing menghasilkan suatu substansi yang secara kualitatif berbeda
dari setiap lainnya! Betapa berbeda gas ketawa (nitrogen monokside N2O2) dari nitrik anhydride
(nitrogen pentoxide, N2O5)! Yang pertama adalah suatu gas, yang kedua pada suhu-suhu normal adalah
suatu substansi kristalin padat.

Namun begitu, seluruh perbedaan dalam komposisi yalah bahwa yang kedua itu mengandung
oksigen yang lima kali lipat lebih banyak daripada yang pertama, dan di antara keduanya itu terdapat
tiga okside nitrogen lebih banyak (NO, N2O3, NO2), yang masing-masingnya secara kualitatif berbeda
dari dua yang pertama dan satu sama lainnya.

Hal ini tampak lebih menyolok lagi dalam deretan gabungan-gabungan karbon homolog, terutama
dari hidrokarbon-hidrokarbon yang lebih sederhana. Dari parafin-parafin normal, yang terendah jalah
methani, CH4; di sini keempat kaitan atom karbon dijenuhi oleh empat atom hidrogen. Yang kedua,
ethane, C2H6, mempunyai dua atom karbon yang tergabung dan keenam kaitan lepas itu dijenuhi
dengan enam atom hidrogen. Dan begitulah seterusnya, dengan C3H8, C4H10, dst-nya, sesuai definisi
aljabar CnH2n+2, sehingga dengan setiap penambahan CH2 terbentuk sebuah benda yang secara
kualitatif tidak sama dari sebuah yang terdahulu.

Tiga babak paling rendah dari deretan itu adalah gas-gas, yang tertinggi yang dikenal, hexadecane,
C16H34, adalah suatu benda padat dengan suatu titik didih 270 °C. Tepat seperti itu pula yang berjalan
untuk deretan alkohol-alkohol primer dengan formula CnH2n+2O, yang diderivasi (secara teoretikal)
dari parafin-parafin, dan deretan asam-asam lemak monobasik (formula CnH2nO2).

Perbedaan kualitatif yang dapat ditimbulkan oleh penambahan kuantitatif C3H6, diajarkan oleh
pengalaman jika kita minum Ethyl Alkohol, C2H6O, dalam bangun-bangun cair (yang dapat diminum)
tanpa penambahan alkohol-alkohol lainnya, dan pada suatu kesempatan lain minum ethyl alkohol yang
sama itu, tetapi dengan menambahkan sedikit saja amyl alkohol, C5H12O, yang menjadi pembentuk
utama dari minyak pelebur (fusel) yang mengerikan itu. Kepala seseorang pasti akan menyadari akan
hal itu di pagi esok harinya, suatu siksaan yang sangat; sehingga seseorang bahkan dapat mengatakan
bahwa kemabokan itu, dan perasaan "keesokan pagi" berikutnya itu, adalah juga kuantitas yang diubah
menjadi kualitas, di satu pihak dari ethyl alkohol dan di lain pihak dari tambahan C3H6 ini.

Di dalam deretan ini kita menjumpai hukum Hegelian itu dalam bangun-bangun yang lain lagi.
Anggota-anggota yang lebih rendah hanya memperkenankan suatu saling-pengaturan tunggal dari
atom-atom. Namun, jika jumlah atom-atom yang digabung menjadi sebuah molekul mencapai suatu
ukuran yang secara tetap ditentukan untuk setiap deretan, maka pengelompokan atom-atom itu di
dalam molekul dapat terjadi dalam lebih dari satu cara; sehingga dua atau lebih substansi isomerik
dapat diwujudkan, yang mempunyai jumlah-jumlah sama dari atom-atom C, H dan O di dalam molekul
itu, tetapi bagaimanapun secara kualitatif tidak sama satu sama lainnya.
Kita bahkan dapat memperhitungkan berapa banyak isomer-isomer seperti itu dimungkinkan untuk
setiap babak dari deretan itu. Demikianlah, dalam deretan-deretan parafin, untuk C4H10 terdapat dua,
untuk C5H12 terdapat tiga; di sela anggota-anggota lebih tinggi, jumlah isomer yang mungkin
bertambah dengan sangat cepat. Karenanya, sekali lagi, adalah jumlah kuantitatif atom-atom itu di
dalam molekul yang menentukan probabilitas itu dan, sejauh yang sudah dibuktikan, juga keberadaan
sesungguhnya dari isomer-isomer yang secara kualitatif tidak sama seperti itu.

Sedang telah tersedia lagi. Dari analogi substansi-substansi yang kita kenal/ketahui dalam setiap
dari deretan-deretan ini, kita dapat menarik kesimpulan-kesimpulan mengenai sifat-sifat fisikal dari
anggota-anggota yang sedang belum dikenal/diketahui dari deretan-deretan ini dan, sedikitnya untuk
anggota-anggota yang segera menyusul anggota-anggota yang dikenal, memprediksikan sifat-sifatnya,
titik didihnya, dsb-nya, secara lebih kurang pasti.

Akhirnya, hukum Hegelian kesahihannya tidak hanya untuk substansi-substansi gabungan,


melainkan juga untuk unsur-unsur kimiawi itu sendiri. Kini kita mengetahui dan bahwa, karenanya,
kualitas mereka ditentukan oleh kuantitas berat atomik mereka. Dan pengujian atas hal ini sudah
diterapkan dengan gemilang. Mendeleyev sudah membuktikan bahwa bermacam celah terdapat/terjadi
dalam deretan-deretan unsur-unsur bersangkutan yang diatur menurut berat-berat atomik yang
menandakan bahwa di sini unsur-unsur baru sedang harus ditemukan.

Jauh sebelumnya sudah diuraikannya sifat-sifat kimiawi umum dari salah-satu dari unsur-unsur
yang belum dikenal ini, yang dinamakannya eka-aluminium, karenanya menyusul sesudah aluminium di
dalam deretan-deretan yang dimulai dengan yang tersebut belakangan, dan dia memprediksikan
anggaran berat khusus dan atomik maupun volume atomiknya.

Beberapa tahun kemudian, Lecoq de Bois-baudran benar-benar menemukan unsur ini, dan
prediksi-prediksi Mendeleyev cocok telah tersedia dengan hanya kelainan-kelainan sangat kecil. Eka-
aluminium diberitahukan dalam gallium (ibid., hal. 828). Dengan cara penerapan--secara tidak sadar--
hukum Hegel mengenai transformasi kuantitas menjadi kualitas, Mendeleyev mencapai suatu hasil
ilmiah yang luar biasa, yang tidaklah berlebih- lebihan jika disamakan dengan hasil Leverrier dalam
memperhitungkan orbit planet yang sampai masa itu belum dikenal, yaitu planet Neptune.

Di dalam ilmu biologi, seperti halnya dalam sejarah warga manusia, hukum-hukum yang sama
berjalan pula pada setiap langkah, namun kita lebih suka berurusan dengan contoh-contoh dari ilmu-
ilmu pasti, karena di sini kuantitas-kuantitas dapat diukur dan dilacak secara cermat.

Barangkali orang terhormat yang sama yang sampai kini sudah menolak transformasi kuantitas
menjadi kualitas sebagai mistisisme dan transendentalisme yang absen ikhtiar, kini akan mencetuskan
bahwa itu benar-benar sesuatu yang sangat gamblang, tidak berfaedah, dan biasa-biasa saja, yang sudah
lama mereka gunakan, dan dengan begitu mereka tidak memperoleh pelajaran apapun yang baru.

Tetapi dengan--untuk pertama kalinya--telah dirumuskan suatu hukum perkembangan umum dari
alam, warga dan pikiran, dalam bangun-bangunnya yang kesahihannya bersifat universal, itu sebagai
selamanya akan merupakan suatu langkah yang bermakna historikal. Dan apabila tuan-tuan ini selama
bertahun-tahun sudah menyebabkan ditransformasikannya kuantitas dan kualitas sampai tercampur
aduknya satu sama yang lainnya, tanpa mengetahui apa yang sedang mereka lakukan itu, maka mereka
mesti menghibur diri mereka sendiri dengan Monsieur Joudain-nya Molière yang sepanjang hidupnya
mengucapkan prosa tanpa sedikitpun faham yang dituturkannya.

Engels mendefinisikan dialektika sebagai “ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan
perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran.” Dalam Anti-Dü hring dan Dialektika Alam,
Engels memberikan satu ringkasan tentang hukum-hukum dialektika, yang dimulai dengan tiga yang
paling dasar:

 Hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas dan sebaliknya;


 Hukum tentang kutub berlawanan yang saling merasuki;
 Hukum tentang negasi dari negasi.

Sekilas, pernyataan itu terlihat sangatlah ambisius. Apakah benar-benar mungkin kita
dapatmerumuskan hukum-hukum yang memiliki penerapan seluas dan seumum itu? Apakah mungkin
terdapat satu pola dasar yang sama bukan hanya dalam masyarakat dan pemikiran, tapi juga di dalam
alam itu sendiri? Sekalipun terdapat banyak sekali keberatan tentangnya, semakin hari semakin jelas
bagi kita bahwa pola semacam itu memang sungguh-sungguh hadir dan selalu memunculkan diri dalam
tiap tingkatan, dengan berbagai macam cara. Dan semakin banyak pula contoh-contoh, yang diambil dari
bidang-bidang yang sangat jauh berbeda, dari partikel sub-atomik sampai studi kependudukan, yang
semakin memberi bobot pada teori materialisme dialektik.

Poin yang hakiki dari pemikiran dialektik adalah bahwa pemikiran itu tidak didasarkan pada ide
tentang perubahan dan gerak, tapi justru melihat gerak dan perubahan sebagai satu gejala yang
didasarkan pada kontradiksi. Di mana logika formal tradisional berusaha menyingkirkan kontradiksi,
pemikiran dialektika justru memeluknya erat-erat. Kontradiksiadalah satu ciri yang hakiki dari seluruh
keberadaan. Kontradiksi ada di jantung materi itu sendiri. Ia adalah sumber dari segala gerak, perubahan,
kehidupan dan perkembangan. Hukum dialektika yang menyatakan ide ini adalah hukum tentang
kesatuan dan saling merasuknya kutub-kutub yang bertentangan.

Hukum dialektika yang ketiga, negasi dari negasi, menyatakan pandangan tentang perkembangan.
Bukannya satu lingkaran tertutup, di mana satu proses secara abadi mengulangi dirinya sendiri, hukum
ini menunjukkan bahwa pergerakan melalui kontradiksi-kontradiksi yang susul menyusul akan
menuntun kita menuju perkembangan, dari yang sederhana menjadi yang kompleks, dari yang rendah ke
yang tinggi. Segala macam proses tidaklah mengulangi dirinya dengan cara yang persis sama, sekalipun
nampaknya demikian. Hukum-hukum ini, dalam garis yang sangat skematik, adalah tiga hukum paling
dasar dari dialektika.

Dari ketiganya, muncullah seluruh rangkaian proposisi tambahan, yang melibatkan hubungan antara
yang sebagian dengan yang keseluruhan, hubungan antara bentuk dan isi, hubungan antara yang
terhingga dan yang tak-terhingga, hubungan antara tarikan dan tolakan, dan seterusnya. Hal-hal ini akan
coba kita telaah. Mari kita mulai dengan kuantitas dan kualitas.

C. DIALEKTIKA MATERIALISME

Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi bergerak dan berkembang sebagai
pembentuk awal dari alam, akal dan kesadaran merupakan proses materi fisik.1Materialisme tidak
mengakui entitas-entitas non material seperti roh, hantu, setan, malaikat dan bahkan Tuhan.
Materialisme juga tidak mengakui dzat adikodrati dengan begitu materialisme adalah pandangan
hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di alam kebenaran
semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.

Pengertian Materialisme yang populer sampai saat ini adalah bahwa realitas, keindraan, benda,
dipahami hanya dalam bentuk objek, akan tetapi tidak dimengerti sebagai aktivitas indrawi manusia atau
tidak dikenal secara subyektif.

Materialisme dialektis meyakini keberadaan perubahan di dunia dan kemunculan sifat-sifat baru di
setiap tahap perkembangan. Seperti yang dikatakan oleh Z. A. Jordan, "Engels sering kali menggunakan
sudut pandang metafisis bahwa tingkatan keberadaan yang lebih tinggi muncul dari dan mengakar dari
yang lebih rendah; bahwa tingkatan yang lebih tinggi merupakan tatanan baru dengan hukum-hukum
yang tidak dapat direduksikan; dan proses kemajuan evolusioner ini diperintah oleh hukum-hukum
perkembangan yang melambangkan sifat-sifat dasar 'materi dalam pergerakan secara keseluruhan'."[3]

Perumusan materialisme dialektis dan historis versi Soviet (seperti di buku Josef Stalin yang berjudul
Materialisme Dialektis dan Historis) pada tahun 1930-an menjadi penafsiran "resmi" Marxisme ala
Soviet. Penafsiran ini dipopulerkan di dalam buku-buku teks yang menjadi bacaan wajib di Uni Soviet dan
beberapa negara Eropa Timur. Penafsiran ini juga menyebar ke Tiongkok.

Materialisme dialektika adalah bukan semata-mata gejala materi dari kesatuan yang organik,
melainkan bergerak dan berkembang. Seluruh alam, kata Engels, dari yang sebutir pasir sampai
matahari, dari sperma sampai manusia, adalah selalu dalam keadaan senantiasa mengalir dengan
bergerak dan berkembang.
Materialism dialektika merupakan sebuah ajaran dari KarlMax yang menyangkut peristiwa alam
semesta . Marx mengatakan bawahwasannya perkembangan sejarah manausia tunduk kepada sifat
materialism dialektik. Hal ini didasari bahwa kelas-kelas sosiallah yang menentukan struktur dan
perkembangan sejarah. Kelas social yang ada bukanlah suatu kebetulan, melainkan upaya yang dibentuk
oleh manusia untuk memperbaiki kehidupan dengan mengadakan pembagian kerja. Prinsip dasar dari
teori ini adalah bukan kesadaran manusia yang membentuk keadaan social, tetapi sebaliknya keadaan
sosiallah yang membentuk kesadaran manusia.

Marx sendiri yakin bahwa untuk memahami sejarah dan arah perubahan tersebut, tidak perlu
memperhatikan pikiran manusia, tetapi bagaimana dia kerja. Maka dar itu, dengan cara melihat manusia
itu kerja, dapat menentukan cara manusia itu berpikir.

Gerak adalah bentuk eksistensi materi, di manapun tak pernah ada dan tak mungkin ada materi
tanpa gerak. Sebab materi tanpa gerak adalah sama mustahilnya gerak tanpa materi atawa nonsens! Oleh
sebab itu, gerak sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan atau dilenyapkan. Ia hanya bisa
ditransfer.

Sebagai contoh, dalam masyarakat, ia juga tidak pernah diam. Masyarakat sebagai suatu himpunan
material dari sekumpulan manusia, selalu terlibat dalam gerak dalam bentuk kerja atau kegiatan yang
beraneka ragam. Sehingga tak ada masyarakat (materi) yang diam tanpa gerak, dan tak ada gerak tanpa
materi (masyarakat).

Berikut ini adalah paparan singkat mengenai dialektika materialisme. JIKA kita membahas metode
Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan ide-ide yang memberikan basis bagi aktivitas-aktivitas kita
dalam gerakan buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan ketika kita mengikuti berbagai diskusi,
dan artikel-artikel yang kita tulis.

Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari tiga akar pokok:

1. Analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan
perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19.
2. Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis
seperti yang berkembang di Inggris.
3. Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat Jerman',
dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di sini.

Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah materialisme. Maksudnya, Marxisme
dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal,
dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal dari pikiran –
misalnya ide-ide tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya
berasal dari dunia material. 'Akal', yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan
otak itu sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari perkembangan materi
hidup.

Jadi, akal adalah produk dari dunia material. Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya
dari kesadaran dan masyarakat manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya
adalah "bukan berangkat dari apa yang dikatakan, dikhayalkan, atau dibayangkan oleh manusia… agar
sampai pada yang namanya manusia dengan bentuk seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia
riil (nyata) dan aktif, dan berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan
perkembangan refleks-refleks dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini.

Bayangan-bayangan yang terbentuk dalam otak manusia adalah juga gambaran-gambaran dari
proses-kehidupan material, yang secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya dan terikat pada
premis-premis(dalil) material.

Jadi, moralitas, agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang
berhubungan (serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Moralitas, agama, metafisika, dan segala
macam bentuk ideologi itu tidak memiliki sejarah, tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang
mengembangkan produksi material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan
eksistensi riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Kehidupan tidak ditentukan
oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan.

1. Dalam metode pendekatan pertama (non materialis), titik mulanya adalah kesadaran yang dianggap
sebagai individu hidup.
2. Dalam metode pendekatan kedua (materialis), yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial)
adalah individu-individu hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai
kesadaran mereka." (Ideologi Jerman, Bab Satu). Karena itu, seorang materialis selalu berusaha
mencari penjelasan bukan hanya tentang ide-ide, melainkan juga tentang gejala-gejala material itu
sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan campur tangan supranatural oleh Tuhan, Dewa,
atau yang semacam itu.

Dan ini adalah aspek yang sangat penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode
pemikiran dan logika yang telah mapan dalam masyarakat kapitalis. Perkembangan pemikiran ilmiah di
negeri-negeri Eropa pada abad ke-17 dan 18 menunjukkan ciri-ciri yang sangat kontradiktif
(bertentangan), yang masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para teoritisi borjuis masa kini.

Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis. Para ilmuwan mencari sebab-sebab.
Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam sebagai keajaiban Tuhan, melainkan mencari
penjelasan atas gejala-gejala itu. Namun seiring dengan itu, para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman
materialis yang konsisten dan menyeluruh; dan sering kali, di balik penjelasan-penjelasan tentang gejala
alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari kaitannya dengan campur tangan Tuhan dalam proses itu.

Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa dunia
material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide
muncul lebih dahulu, yaitu dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara independent
(tidak terikat) pada dunia riil.

Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis dari materialisme, kita sebut 'idealisme'. Menurut
pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan masyarakat – baik seni, ilmu pengetahuan, dll. –
ditentukan bukan oleh proses material, melainkan oleh perkembangan ide-ide, oleh penyempurnaan atau
turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka bahwa pendekatan umum ini,
dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua filsafat kapitalisme.

Para filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima sistem yang ada sekarang secara apa
adanya. Mereka menerima bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang
tidak bisa digantikandengan sebuah sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha untuk
menjelaskan semua sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang belum maju untuk
mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin bahwa kapitalisme telah
mencapainya atau bisa mencapainya.

Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir besar borjuis di masa lalu atau
bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa mereka cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide
materialis dan ide-ide idealis dalam pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti hukum-
hukum mekanik, gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa proses-proses ini
ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya ialah bahwa tenaga penggerak awal
diberikan kepada semua materi, dan bahwa dorongan awal ini ditentukan oleh semacam kekuatan
supranatural, yaitu oleh Tuhan.

Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini untuk menerima ide bahwa species
tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri adalah
hasil perkembangan dari species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang terpaku
pada gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan akal hewan, yaitu
bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia setelah kematiannya.

Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur juga mencampuradukkan metode
materialis dengan ide-ide idealis seperti ini, yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-sungguh
terbelakang, serta lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu pengetahuan.
Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme
dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis
tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan).

Buat ahli dialektika-materialisme, hukum berpikir pertentangan yang mengandung sebab-


akibat, tempo atau waktu dan gerakan itu tiada lain, melainkan hukum gerakan benda pada alam
kita yang membayang pada otak manusia, seperti benda membayang pada cermin. Hegel
mengembalikan semua benda yang nyata itu pada Absolute Idee. Absolute Idee itulah yang
membuatnya seperti Maha Dewa Rah menitahkan, memfirmankan semua benda yang ada.

Menurut ahli dialektika-materialis, Absolute Ide-nya Hegel itu suatu Abstraksi, suatu perumpamaan.
Lebih tegas lagi suatu pemisahan antara benda dan sifatnya, pemisahan benda dan pikiran, seperti
dilakukan oleh David Hume. Pemisahan benda dengan gerakan inilah yang menentukan keadaan
benda. semua aturan tentang gerakan yang membayang dalam otak manusia itulah yang
diabstrakan, dipisahkan dari benda.

Sebab satu-satunya orang itu fana, hidup dan mati, maka oleh ahli mistik dicarilah sesuatu yang
abadi, tetap. Dari sinilah pemisahan abstraksi tadi berasal. Bukan berasal dari aturan gerakan benda
yang membayang pada otak kita, melainkan dari Absolute Idee, Rohani, Maha Kuasa, Maha Dewa, Maha
Budha, dan sebagainya yang tak bergerak itu.

Menurut ahli dialektika-materialis, kejadian itu berlaku sebaliknya. Bukan dalam ide semata-
mata, melainkan dalam masyarakatlah semua itu berawal. Pertentangan dalam Masyarakat itu di
antara kelas bawah dan kelas atas, kemudian dipertajam oleh pesatnya kemajuan di berbagai
bidang kehidupan. Kemajuan dalam bidang tehnik yang pesat itu menambah orang kaya dan kuasa
bertambah kaya dan berkuasa dalam masyarakat.

Sebaliknya menambah miskin dan lemahnya orang yang memang dari awal miskin dan lemah.
Perpaduan baru, sinthesis itu didapat dalam masyarakat juga. Sinthesis, perpaduan baru itu berupa
“Kepunyaan Bersama”, atas peralatan yang menghasilkan buat mendapat: “Kemakmuran Bersama”.
Sinthesis inilah yang tercermin dalam otak. Akhirnya politik buat mendatangkan masyarakat baru
berdasarkan “Kepunyaan Bersama” buat “Kemakmuran Bersama” inilah yang mengendalikan kelas
tak berpunya.

Anda mungkin juga menyukai