Anda di halaman 1dari 4

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu dan Pemikiran Akuntansi

Prodi : PDIA 2021


Nama Mahasiswa : Andi Faisal
NIM : A023202013
Tugas : Essay “ Problematika Epistemologi Empiris dan Rasional Dalam
Mengenali Tuhan”

Tuhan merupakan salah satu subjek pembahasan filsafat selama berabad-abad. Pertanyaan seputar
apakah Tuhan benar-benar ada? Adalah pertanyaan krusial yang memantik perdebatan tentang Tuhan
yang tidak ada habisnya. Perdebatan kemudian tidak berhenti pada apa Tuhan ada atau tidak, tapi
berlanjut pada pertanyaan bahwa jika benar ada Tuhan, maka ada berapa Tuhan. Pertanyaan ini juga
dikuatkan oleh Agama – agama yang tidak sama dalam mempercayai “jumlah” Tuhan. Agama Islam
misalnya meyakini bahwa Tuhan hanya ada satu, sementara agama Hindu meyakini bahwa Tuhan
terdiri dari Tuhan utama yang berjumlah tiga dan Tuhan lainnya.
Pertanyaan lain yang tidak kalah peliknya adalah Jika benar Tuhan ada dengan cara apa kita
mengetahui Tuhan? Pertanyaan inilah yang akan mengantar kita pada perdebatan seputar
epistemologi. Secara bahasa, Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti
sumber-sumber dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Dari akar kata ini dapat dipahami bahwa
epistemologi merupakan diskursus tentang sumber-sumber pengetahuan.
Diskursus seputar epistemologi muncul dari keraguan para filosof terkait pengetahuan manusia.
Ketika para filosof Yunani tenggelam dalam perenungan tentang hakikat alam semesta dan
penciptanya, muncullah keraguan terkait kemampuan manusia dalam mengetahui sesuatu. Apakah
pengetahuan manusia mampu mengetahui secara persis tentang realitas dan dengan alat apa manusia
bisa mengetahui sesuatu dengan benar.
Sebagian filosof mengatakan bahwa manusia mampu mengetahui realitas dengan benar dengan
menggunakan instrumen rasio, para filosof ini kemudian disebut dengan filosof rasionalis. Dasar
pemikiran rasionalis adalah realitas tidak hanya terbatas pada realitas fisik, tapi juga terdapa t realitas
yang lebih tinggi yang disebut metafisika. Sumber gagasan ini dapat dilacak pada Plato yang
merupakan salah satu di antara tiga Filosof utama Yunani. Dalam alegeri manusia gua, Plato
menyebut manusia diibaratkan hidup dalam gua yang setiap harinya hanya melihat bayangan realitas.
Agar manusia dapat melihat realitas yang sebenarnya maka manusia perlu merangkak keluar dari gua
untuk melihat realitas yang sebenarnya. Lebih lanjut Plato menyebut bahwa apa yang dilihat manusia
setiap harinya hanyalah bayangan dari realitas sebenarnya yang ada didunia ide, untuk dapat
menjangkau realitas hakiki tersebut manusia perlu membuang kepercayaannya terhadap apa yang
dilihat oleh mata dan menggunakan rasionya untuk menggapai realitas hakiki.
Pemikiran Plato terkait rasionalisme/idealisme sampai pada puncaknya melalui Descartes yang juga
dikenal sebagai bapak Filsafat Modern. Descartes memulai filsafatnya dengan doktrin bahwa aku ada
karena aku berpikir (cogitoergo sum). Makna dari kalimat ini adalah bahwa pertama-pertama manusia
ragu terhadap setiap hal yang diketahui melalui pancaindra. Fakta bahwa informasi yang dihasilkan
oleh indra manusia seringkali keliru membuat kita tidak bisa mempercayai sepenuhnya dengan apa
yang dilihat oleh mata. Pada tahap tertentu kita bahkan ragu apakah kita memiliki tangan yang sama
lurusnya, memiliki kaki yang sama panjangnya. Tapi ada satu hal yang tidak bisa kita ragukan yaitu
pikiran. Pikiran adalah bukti kuat bahwa kita benar-benar ada.
Melalui descartes, metafisika mencapai puncaknya sebagai sesuatu hal yang tidak diragukan
kebenarannya. Dalam ranah Teologi, rasionalisme juga dijadikan sebagai dasar argumen untuk
membuktikan keberadaan Tuhan. Misalnya dalam Agama Katolik, Thomas Aquinas dalam bukunya
Summa Teologica menggunakan pendekatan rasionalisme dalam mempertahankan doktrin gereja.
Menurut Aquinas, realitas Tuhan adalah realitas mutlak seperti halnya realitas pikiran itu sendiri.
Dalam Agama Islam, Rasionalisme sejak awal sudah menjadi dasar dalam memahami Allah SWT.
Salah satu filosof muslim yang bernama Ibnu Sina menjelaskan bahwa untuk dapat memahami Allah
SWT maka manusia harus mampu keluar dari belenggu penglihatannya dan sepenuhnya
menggunakan akal (rasio) dalam memahami hakikat. Ibnu Sina bahkan membagi tingkatan Akal
menjadi sepuluh tingkatan, dan pada tingkatan paling tinggi disebut sebagai Akal al Mustafa, atau
akal yang menerima wahyu dari Allah SWT.
Keraguan dan kritikan terhadap rasionalisme ini terletak pada kemampuan akal dalam memahami
realitas non fisik (metafisika). Muncul pertanyaan apakah manusia benar-benar dapat mengetahui
realitas metafisika sebagaimana yang diyakini oleh kaum rasionalis. Pertanyaan ini kemudian
mengerucut pada pertanyaan bagaimana akal dapat mengetahui sesuatu atau dari mana datangnya
pengetahuan yang ada dalam akal manusia. Para rasionalist tentu meyakini bahwa pengetahuan
manusia bersifat given atau pemberian langsung dari Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh
Descartes. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh seorang filosof Inggris yang bernama Jhon Locke.
Manusia kata Jhon Locke terlahir seperti kertas tabularasa (kertas kosong) yang tidak memiliki
pengetahuan apapun, nanti kemudian dalam perjalanan hidupnya manusia menyerap informasi dan
pengalaman yang kemudian menjadi pengetahuan dalam dirinya.
Gagasan Jhon Lokce ini bisa dilacak dari gagasan Aristoteles tentang pengetahuan manusia. Menurut
Aristoteles, pengetahuan manusia bersumber dari proses abstraksi yaitu manusia pada awalnya
melihat benda – benda sekitarnya kemudian akal manusia bekerja melepaskan unsur – unsur
partikuler dari benda tersebut dan kemudian menetapkan konsep universal menjadi suatu pengetahuan
atau informasi. Misalnya ketika manusia melihat Suatu Pohon mangga, manusia terlebih dahulu
mempersepsi bentuk, warna dan tekstur dari benda tersebut, setelah itu akal melepaskan persepsi
tersebut dan menentukan suatu konsep universal dari pohon tersebut, yaitu pohon mangga sehingga
semua jenis pohon yang memiliki karakteristik yang sama akan diberi nama pohon mangga.
Jadi pengetahuan tentang pohon mangga tidak bersumber dari pikiran yang menciptakan konsep
pohon mangga sebagaimana yang dikatakan oleh Plato atau bersumber dari pemberian Tuhan
sebagaimana kata Descartes, tapi konsep pohon mangga merupakan hasil dari pengindraan. Yaitu
mata melihat suatu subjek partikuler dan kemudian menetapkan suatu konsep universal dari subjek
tersebut.
Gagasan ini kemudian dikuatkan dengan lahirnya Nominalisme yaitu suatu gagasan yang tidak hanya
menolak kemampuan akal dalam mengetahui realitas metafisika tapi juga menolak adanya realitas
metafisika itu sendiri. nominalisme menggunakan metode abstrak pengetahuan dari Aristoteles untuk
menjelaskan gagasannya yang menolak metafisika. Menurut paham nominalisme apa yang kita sebut
realitas sosial maupun realitas metafisika hanyalah nama atau label yang digunakan untuk
menjelaskan konsep – konsep hasil pikiran manusia. Jadi pada dasarnya realitas metafisika hanyalah
hasil daya nalar manusia dalam menciptakan suatu konsep abstrak dan kemudian memberikan nama
pada konsep tersebut.
Kritikan terhadap rasionalisme pada dasarnya membuktikan kelemahan epistemologi rasionalisme
yang selama ini diklaim sebagai sumber pengetahuan utama manusia. Pengetahuan manusia pada
dasarnya bersumber dari persepsi empiris dan observasi bukan karena diberikan dari Tuhan. Lantas
apakah kiranya akal mampu memahami keberadaan Tuhan. Maka jawabannya tidak bisa, jawaban ini
memecah para pemikir menjadi dua golongan - golongan yang radikal berkembang menjadi paham
empirisme, suatu paham yang hanya mengetahui pengetahuan yang benar jika dan hanya jika
merupakan hasil dari observasi atau dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam ilmu sosial,
pemahaman ini disebut dengan positifisme.
Positifisme adalah suatu aliran yang memandang pengetahuan ilmiah (saintifik) hanya boleh jika
menggunakan pendekatan empiris. Pencetus aliran ini adalah seorang sosiolog yang bernama Aguste
Comte, dimana Comte meyakini bahwa tahapan terakhir dari perkembangan peradaban manusia
adalah tahapan positif. Kata comte ketika manusia belum mampu memahami fenomena alam maka
mendasarkannya pada Tuhan. Segala sesuatu dikembalikan pada Tuhan sebagai sumber utama segala
kejadian di Dunia, manusia hanyalah boneka yang diatur sedemikian rupa oleh Tuhan. Ketika
manusia mulia memfungsikan akalnya, manusia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan dan
meragukannya. Lantas peradaban manusia kemudian berkembang dengan meyakini adanya realitas
metafisika yang tidak bermateri sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Dalam
perkembangannya kemudian, manusia mulai menyadari bahwa segala pengetahuannya tidak lebih dari
hasil olah akal terhadap apa yang diobservasi olehnya, karena itu maka sumber pengetahuan yang
paling valid bagi manusia adalah pengetahuan observasi.
Golongan kedua mengambil jalan yang lebih moderat yaitu mempertemukan antara empirisme dan
rasionalisme seperti yang dilakukan oleh Imanuel Kant. Pada satu sisi Kant setuju dengan pandangan
kaum empiris bahwa pengetahuan manusia bersumber dari observasi empiris. Kant kemudian
melanjutkan bahwa pengetahuan tentang metafisika pada dasarnya inheren dalam diri manusia tapi
dalam bentuk kategori-kategori. Dari kategori-kategori ini manusia mampu mengembangkan
pengetahuan lainnya. Salah satu kategori yang dimaksud oleh kant adalah kategori sebab akibat.
Dengan kategori ini manusia memiliki daya ingin tahu tentang penyebab dari satu fenomena dan
dengan itu, pengetahuan manusia berkembang. Ide kant ini juga dapat dijumpai dari gagasan logika
klasik dari Aristoteles.
Aristoteles menyebut adanya pegetahuan mendasar yang ada dalam diri setiap orang dimana dengan
pengetahuan itu manusia bisa mengetahui yang lainnya. Salah satunya adalah prinsip kausalitas dan
prinsip non kontadiksi. Menurut Aristoteles, manusia selain menyadari bahwa setiap akibat pasti
memiliki sebab, juga meyakini bahwa segala sesuatu yang bersifat kontradiksi itu tidak benar.
Kemudian terkait Tuhan, kant mengatakan bahwa ide manusia tentang Tuhan bukan bersumber dari
kemampuan akal manusia dalam memahami keberadaan Tuhan. Akan tetapi ide tentang Tuhan
merupakan postulat yang memang sudah ada dalam diri setiap manusia. Dengan kata lain, Immanuel
kant mengatakan bahwa ide tentang Tuhan adalah pemberian dari Tuhan itu sendiri dan bukan
merupakan hasil perenungan manusia.
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa baik epistemologi rasionalisme maupun empirisme
memiliki permasalahannya sendiri dalam memahami keberadaan Tuhan. Rasio manusia pada
dasarnya adalah hasil observasi yang dikonseptualisasikan oleh akal yang kemudian menghasilkan
pengetahuan. Karenanya maka klaim rasionalisme tentang metafisika sangat diragukan. Begitupun
dengan empirisme, kemampuan indra yang hanya bisa menangkap benda partikuler tidak
memungkinkannya untuk memahami keberadaan Tuhan.
SUMBER REFRENSI:
1. Alexander Seran & T.M. Soerjanto Poepawardojo. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Penerbit
Kompas. Jakarta
2. F. Budi Hardiman. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari
Machiavelli Sampai Nietzche). Penerbit Erlangga. Jakarta.
3. Jujun S. Suriasumantri. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan Keduapuluh.
Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai