Anda di halaman 1dari 3

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu dan Pemikiran Akuntansi

Tugas : Artikel Review Ontologi


Nama : Andi Faisal
Nim : A023202013
Referensi : 1. Sociological Paradigms and Organisational Analysis (Chapter 1)
2. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Bab 1 & 2)

A. Pendahuluan

Dalam literatur Filsafat khususnya filsafat ilmu, terdapat tiga hal yang menjadi pembahasan pokok
filsafat. Yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Ontologi merupakan pembahasan tentang realitas,
epistemologi adalah pembahasan tentang pengetahuan dan sumber-sumber pengetahuan dan aksiologi
merupakan pembahasan tentang kaidah baik dan buruk (moral). Secara umum, setiap ilmu pengetahuan
diturunkan dari pemikiran filsafat. Sebagai contoh, ilmu ekonomi yang dikenal hari ini adalah turunan
dari pemikiran filsafat moral. Jujun Sumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu memberikan analogi, bahwa
filsafat itu seperti pasukan marinir yang bertugas merebut area pantai, setelah berhasil pantai kemudian
diserahkan ke pasukan Infranti untuk dijelajahi lebih jauh. Filsafat juga demikian, pada awalnya para
filosof memikirkan tentang hakikat alam semesta dan manusia (ontologi), hakikat pengetahuan
(epistemologi) dan hakikat masyarakat (aksiologi), setelah itu kemudian menyerahkan hasil
perenungannya itu kepada para ilmuan untuk dikembangkan lebih jauh. Sampai saat ini, pertanyaan –
pertanyaan seputar filsafat masih senantiasa muncul khususnya dalam ilmu pengetahuan social.

Hal tersebut juga senada dengan apa yang dijelaskan oleh Burrel dan Morgan dalam bukunya
Sociological Paradigms. Menurut Burrel dan Morgan, setiap teori tentang organisasi (social masyarakat)
didasarkan pada suatu filsafat ilmu dan suatu teori social tertentu. Ada empat asumsi yang menjadi
fondasi bangunan teori social yaitu asumsi tentang ontologi, asumsi tentang epistemologi, asumsi tentang
karakteristik alamiah manusia dan asumsi tentang metodologi. Keempat asumsi ini menururt Burrel dan
Morgan saling terkait satu sama lain. Asumsi tentang ontologi, akan membawa pada asumsi tentang
epistemologi, kemudian akan turun pada asumsi tentang karakteristik manusia, kemudian berakhir pada
asumsi tentang metodologi apa yang digunakan dalam merumuskan suatu teori social.

B. Asumsi Tentang Ontologi.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan khususnya ilmu – ilmu sosial lahir
dari suatu filsafat tertentu, maka setiap ilmu pengetahuan memiliki asumsi tentang ontologi. Burrel dan
Morgan menyebut bahwa setiap ilmuan social dihadapkan pada pertanyaan ontologi seperti: apakah
realitas (yang akan diteliti oleh ilmuan) berada secara independent diluar diri manusia ataukah yang
dimaksud dengan realitas sosial hanyalah produk dari kesadaran mansuia, dalam artian manusialah yang
mencitptakan realitas social itu sendiri. Apakah realitas social merupakan sesuatu yang bersifat objektif
ataukah produk dari kebudayaan manusia. Apakah realitas social benar ada diluar diri manusia atau hanya
produk pikiran manusia saja. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Burral dan Morgan diatas. Jujun
Sumantri juga mengemukakan pertanyaan dasar terkait hakikat ilmu seperti: objek apa yang ditelaah oleh
ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan?

Itu adalah pertanyaan – pertanyan dasar yang mesti dijawab oleh seorang ilmuan social sebelum
merumuskan suatu teori social. Tentu para ilmuan social mencari jawaban tersebut dari berbagai
pemikiran filsafat yang sudah ada sebelumnya. Bisa jadi kemudian seorang ilmuan social memiliki
pandangannya sendiri terkait pertanyaan tersebut. Namun secara umum, menurut burrel dan morgan
ilmuan social terbagi kedalam dua kategori yaitu, ilmuan social yang menggunakan pendekatan
Nominalisme dan ilmuan social yang menggunakan pendekatan Realisme.

C. Nominalism vs Realism

Perdebatan ontologi merupakan perdebatan yang banyak dijumpai dalam banyak literatur dan dalam area
yang sangat luas. Perdebatan seputar ontologi secara garis besar terbagi pada Perdebatan antara
Nominalist dan realist. Para nominalist memiliki asumsi bahwa realitas sosial di luar individu tidak lebih
dari nama, label dan konsep yang digunakan untuk apa yang kita sebut realitas sosial. Dengan kata lain,
nominalist tidak mengakui adanya realitas eksternal yang independent dari individu. Hanya individu yang
benar-benar real sementara sosial adalah kesepakatan bersama antar individu. Keberadaan realitas sosial
sangat tergantung pada para individu yang ada didalamnya. Hal inilah yang membuat realitas sosial
berbeda – beda antara suatu komunitas sosial dengan komunitas sosial yang lain.

Sementara itu, bagi para realist, realitas sosial merupakan realist yang eksis secara independent diluar diri
individu. Apakah kita memberikan label atau tidak, realitas ini tetap eksis sebagai entitas empiris.
Seorang individu lahir dan hidup daalam suatu realist sosial yang benar-benar ada. Sehingga realitas
sosial bukan merupakan sesuatu yang diciptakan dan diberi nama atau label. Bagi para realist, realitas
sosial adalah eksis secara konkret dan keras sebagaimaan realiatas fisik (dunia). Dengan kata lain,
seorang realist mengkosntruksi dunia sosial sebagai realitas yang objective sebagaimana realitas empiris.

Perbedaan pandangan dalam melihat realitas sosial akan membuat seorang ilmuan sosial memliki
pendekatan yang berbeda dalam mengkonstrksi ilmu sosial. Para nominalist akan mengkonstruksi ilmu
sosial dengan asumsi bahwa dunia sosial pada dasarnya adalah realist semu atau hanya konstruksi
kesadaran manusia. Dengan pandangan ini, para nominalist akan lebih banyak menggunakan metode
fenomenologi dan interpretasi dalam mengkonstruksi ilmu sosial. Sementara itu, para realist akan
megkonstruksi ilmu sosial dengan asumsi bahwa realita sosial adalah eksis secara objektive diluar
kesadaran manusia layaknya realitas empiris. Maka dengan pandangan ini, para realist akan
menggunakan metode science (ilmu pasti) dalam mengkonstruksi ilmu-ilmu sosial.

D. Penutup

Diskursus tentang Ontologi pada dasarnya sudah berlangsung sejak lama, perdebatan ini sudah muncul
sejak zaman sebelum socrates yang biasa dikenal dengan para filsuf alam. Subjek utama dari pedebatan
para filsuf alam adalah terkait pertanyaan hakikat alam semesta dan unsur pembentuknya. Perdebatan
inipun sudah membagi filsuf menjadi filsuf empiris dan idealism. Kemudian seiring perkembangan
pemikiran filsafat, perdebatan kemudian bergeser kepada perdebatan seputar realitas sosial sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas.

Bahkan sampai saat inipun perdebatan ini masih ada dan intens. Akan tetapi beberapa ilmuan sosial
mengambil jalan tengah dengan mengakomodasi kedua pendekatan sekaligus. Para ilmuan sosial yang
mengambil jalan tengah akan menggunakan salah satu diantara kedua asumsi tentang realitas sosial
berdasarkan kebutuhannya. Sebagai contoh, ilmuan sosial yang ingin menggali terkait sebab-sebab
terbentuknya suatu komunitas sosial akan menggunakan pendekatan nominalist, sementara ilmuan sosial
yang ingin mengkaji tentang gejala gejala sosial akan menggunakan pendekatan realist.

Anda mungkin juga menyukai